A.N
Hi, YagamiShura back with another story. But, this time, I using a different language.
I was just try to make something different, well I expect any positive responses from all of you guys.
This story is all about MakixNico, because this is my favorite pairing in Love Live.
Oh, and one other thing, if you enjoy this story, and expect anything different, perhaps I will make it the english version of this story. In a note, this story has to be a good one. And a good response as well.
Well, sorry for only using English in the Author Note section, enjoy the story as much as you can.
One Last Breath
Maki mengeluarkan nafas yang berat, ini sudah kelima kalinya hari ini. Matanya terlihat sayu. Dia menerawang langit dengan gelisah.
"Mungkin ini sudah saatnya." Maki bergumam pada dirinya sendiri. Sejujurnya, dia tidak mengetahui lagi kapan dirinya akan bisa melihat kembali matahari. Dia terus melamun dan menatap langit, sampai kemudian sebuah suara membangunkannya.
"Maki, kita kedatangan pelayan baru." Terdengar suara lembut menegurnya.
Maki menoleh sekilas, kemudian kembali menatap langit. "Kita tidak membutuhkan satu pelayan lagi, bu. Aku sudah di ambang batas." Maki menggumamkan sesuatu.
"Janganlah berkata seperti itu, anakku. Mungkin masih ada harapan bagimu."
"Apa ibu tidak melihatnya? Bahkan untuk berdiri pun aku sudah susah payah." Maki akhirnya menolehkan kepalanya. Matanya menatap nanar pada sosok wanita di depan pintunya.
"Tapi, mungkin dengan datangnya pelayan ini, kamu bisa menikmati waktu bersamanya. Dia masih sebaya denganmu." Ibunya memberikan penjelasan.
"Ibu membiarkan seorang anak SMA bekerja sebagai pelayan di rumah ini? Ibu pasti sudah kehilangan akal." Maki membelalakkan matanya, tidak mempercayai apa yang ibunya katakan.
"Mungkin, tapi cobalah dulu kamu berkenalan dengannya. Yazawa-san, kemarilah." Ibunya memanggil seseorang. Tak lama kemudian, datang seseorang dengan rambut bermodel twintail masuk ke kamarnya.
"Ada apa nyonya?" Gadis tersebut bertanya.
"Jangan terlalu formal begitu, Yazawa-san. Ibu ingin mengenalkanmu pada seseorang yang tadi ibu ceritakan. Kau lihat anak yang sedang duduk di atas kasur tersebut? Orang tersebut adalah Nishikino Maki. Mulai hari ini, dia akan menjadi temanmu." Ibunya memperkenalkan gadis tersebut pada Maki.
"Teman? Ibu tidak menyebutkan satu poin pun mengenai kata teman." Maki membelalakkan matanya, tak percaya dengan kata-kata yang terlontar dari mulut ibunya itu.
Gadis tersebut mendekati Maki dan mengulurkan tangannya. "Perkenalkan, namaku Yazawa Nico. Kamu boleh memanggilku Nico." Gadis tersebut menyebutkan namanya.
"P—Perkenalkan juga, aku Nishikino Maki. Mungkin ini terlihat membingungkan. Tapi, untuk apa sebenarnya kamu disini?" Maki menanyakan sesuatu pada Nico.
Nico terlihat bingung. Dia menolehkan kepalanya pada ibu Maki, namun beliau hanya tersenyum. "Sejujurnya, aku sendiri tidak mengetahuinya. Yang kutahu, aku mencari pekerjaan di rumah ini."
Maki memasang wajah kebingungan. "Kamu tidak mengetahui tugasmu, sementara kamu ingin bekerja disini? Itu aneh sekali, tidak heran kamu menginginkan pekerjaan menjadi pelayan di rumah ini." Maki memasang wajah masam dan memalingkan mukanya. Dia melihat kembali ke arah jendela.
"Apa jendela itu begitu menarik perhatianmu, Nishikino-san?" Nico bertanya pada Maki.
"Hmmm, bagaimana aku mengatakannya, ya? Sebenarnya, ini bukan urusanmu. Sekarang, kalau bisa kamu boleh memulai pekerjaanmu. Dan jangan panggil aku dengan nama itu." Maki menunjuk Nico dan mulai memerintahnya.
"Jadi, harus bagaimana aku memanggilmu, Nishikino-san?" Nico bertanya kembali.
"Panggil aku dengan nama depanku sudah cukup, kan? Panggil aku Maki, aku pun akan memanggilmu Nico."
"Suatu kehormatan mendapat panggilan seperti itu dari dirimu, Maki-san." Nico membungkukkan kepalanya dan segera memulai pekerjaan. Sementara itu, Maki kembali menajamkan matanya pada jendela di samping tempat tidurnya. Dunia yang indah, yang mungkin tidak akan pernah lagi aku rasakan.
µµµ
Sudah seminggu sejak Nico memulai pekerjaannya di rumah keluarga Nishikino. Dia mulai mempelajari kebiasaan tuannya, Maki dalam menyikapi berbagai hal. Mereka pun makin akrab dan saling bertukar pikiran bersama.
"Aku senang sekali kita bisa berbicara seperti ini, Maki-san." Nico tersenyum pada tuannya.
"Aku sudah katakan berkali-kali, Nico-chan. Tolong segera hilangkan partikel –san dari nama depanku."
"Tapi, engkau adalah tuanku. Bukankah hal tersebut tidak sopan jika kulakukan?" Nico bertanya dengan penuh kebingungan.
Maki menoleh dan tersenyum kepadanya. "Sebenarnya, tidak sama sekali. Aku akan dengan senang hati menerima panggilan darimu. Walaupun, sebenarnya aku tidak peduli mau bagaimana kamu memanggil diriku." Maki kembali memasang wajah masam.
Nico diam sesaat, kemudian memberanikan diri bertanya pada Maki. "Baiklah, Maki-chan. Sebenarnya ada satu hal yang ingin aku tanyakan padamu."
"Apa itu? Sebutkan saja selama itu bukanlah pertanyaan yang aneh."
"Kenapa kamu terus duduk termenung di atas kasurmu, dan wajahmu selalu menoleh ke langit?" Nico bertanya pada Maki.
Satu pertanyaan, hanya satu pertanyaan sudah cukup membuat Maki terdiam. Dia tidak tahu harus menjawab apa. Semua kalimat berputar di kepalanya. Namun, dia berusaha terdengar tegar. "Apa aku harus menjawabnya sekarang?" Maki mencoba tersenyum dalam pertanyaannya.
Nico mengetahui bahwa Maki tidak ingin memperpanjang lagi pembahasan ini. Jadi, Nico lebih memilih diam dan tidak memperpanjangnya. "Maafkan aku bila aku memaksamu mengingat sesuatu yang tidak ingin engkau ingat, Maki-chan." Nico berkata lemah.
"Bukan kesalahanmu, Nico-chan. Hanya saja, mungkin nanti." Maki bergumam, kalimat itu mengakhiri pembicaraan mereka hari itu. Nico kemudian pamit dan beranjak meninggalkan kediaman keluarga Nishikino.
"Mungkin hanya aku saja yang berpikir bahwa kita sudah mulai dekat." Nico bergumam pada dirinya sendiri. Sementara itu, dari dalam kamarnya, Maki menolehkan lagi kepalanya. Dia melihat siluet Nico yang berjalan pulang.
"Seandainya kamu mengetahui apa yang sebenarnya sedang terjadi saat ini, Nico-chan." Maki bergumam pelan. Seluruh pikirannya berkabut, penglihatannya memburam dan dirinya menangis dalam diam.
Sementara itu, Nico tidak bisa berhenti memikirkan tentang Maki. "Andai ada yang bisa kuperbuat untuknya." Nico mengatakan sesuatu pada hatinya. Kokoro, salah seorang adiknya mendengarkan perkataan kakaknya.
"Kakak, apa ada masalah?" Adiknya mencoba bertanya.
Nico yang sedang melamun terperanjat dengan kemunculan adiknya tersebut. Namun, dia bergegas merubah ekspresinya dan tersenyum lembut pada adiknya. "Kakak sedang berpikir, Kokoro." Nico menjawab pertanyaan adiknya tersebut.
"Berpikir? Memangnya apa yang sedang kakak pikirkan?"
"Kakak berpikir, bagaimana cara membahagiakan seseorang yang berarti dalam hidup kakak. Mungkin Kokoro akan berpikir aneh bila kakak berbicara bahwa orang yang kakak maksud baru kakak kenal selama tiga hari." Nico mulai membicarakan masalahnya.
"Bukankah itu hal yang bagus? Kakak sudah sedekat itu dengan seseorang, walaupun kakak baru mengenalnya tiga hari." Kokoro menanggapi.
"Bukan hanya itu masalahnya, Kokoro. Dia belum bisa membuka hatinya untuk kakak. Karena itu, walaupun kakak ingin membuatnya merasa senang, kakak bahkan tidak mengetahui mau memulainya darimana." Nico bergumam kembali, semakin tenggelam ke dalam pemikirannya.
"Apa hanya itu masalahnya?"
"Iya, sepertinya hanya itu. Kakak baru mengenalnya selama tiga hari, tentu saja kakak belum mengenalnya secara keseluruhan."
"Hmmm, kalau Kokoro berpikir, bagaimana kalau kakak tanyakan langsung saja pada orangnya."
"Haaahh? Apa hal seperti itu dapat menyelesaikan semuanya?" Nico bertanya dengan kebingungan.
"Kakak memang aneh. Kokoro malah berpikir, apa kakak secara tidak sengaja sudah menyukai orang tersebut?" Kokoro bertanya secara blak-blakan.
Dalam sekejap, wajah Nico memerah. Hatinya seketika berdebar tak karuan. Apa aku menyukainya? Nico menggumamkan sesuatu dalam pikirannya. "Ahaha-haha, kenapa kamu bisa berpikir seperti itu, Kokoro?" Nico bertanya pada adiknya.
"Tentu saja aku bisa berpikir seperti itu. Seorang yang ingin membahagiakan orang lain, tapi bahkan terlalu takut untuk menanyakan langsung pada orang yang bersangkutan. Bahkan anak kecil pun pasti akan mengetahui bahwa itu adalah cinta." Kokoro menanggapi dengan cepat.
"K—Kakak belum mengetahui kalau ini cinta apa bukan. Tapi, kakak sendiri tidak mengetahui perasaan apa ini sebenarnya."
"Hahaha, kakak lucu ya. Tidak heran kakak bercita-cita ingin menjadi idol dulu." Kokoro tertawa kecil.
"B—Bahkan sampai sekarang pun, cita-cita kakak tidak berubah. Kakak memang ingin menjadi seorang idol." Nico berteriak pada adiknya.
Kokoro berbalik dan melempar senyum pada kakaknya. "Kalau untuk hal tersebut kakak tidak menyerah dan tetap berterus terang, bukankah untuk masalah yang kakak hadapi sekarang pun kakak bisa melakukan hal yang serupa?"
Nico seketika menyadari perkataan adiknya. Dia tersenyum pada Kokoro dan kembali menolehkan wajahnya pada langit yang berbintang. "Mungkin memang itu hal yang sebenarnya, ya."
Well, pretty good for a first Indonesian Fic timer. I guess I hit a good spot to make some cliffhanger.
Anyway, if you guys love this story, please give me some reviews. It will make myself improve.
Also, you can try to read my other fic. Like To The One I Love, A Reason to Live, or My Wish.
See you guys in the next chapter, and stay tune to this story as possible as you can ^^
