Authors/notes : Persembahan dari tim panitia #AkaFuriDomestic untuk merayakan AkaFuri Day.
Disclaimer: Kuroko no Basket punya Fujimaki Tadatoshi. Kami tidak mengambil keuntungan komersil atau materil apapun dari membuat fanfiksi ini.
Setting : AU/AR, tempat di negara sebuah negara di Amerika Serikat, California, Distrik Ojai.
Warning: MalexMale,fluffy, angsty, OC , OOC , established relationship, mention of mental disorder.
We proudly present our relay project Fanfiction
.
.
.
Hujan Halau Mentua
.
.
.
Berselonjor kaki di atas lantai karpet. Sedikit-sedikit digeser ke depan. Mencoba agar ujung-ujung kaki dapat saling bersentuhan. Telapak dengan telapak. Saling bersandar dan mendorong. Berbagi kehangatan.
Kouki tertawa geli sendiri. Melihat ternyata suaminya membalas dorongan kakinya. Mengaku tak ingin kalah dalam permainan kecil yang mereka habiskan di suatu pagi di akhir pekan. Minggu ke tiga bagi pengantin baru ini menjalani hari sebagai pasangan suami.
Di luar sedang hujan. Sama seperti saat-saat pernikahan mereka. Saat janji suci telah diucapkan di atas altar, kecupan manis dibagikan. Setelah itu Seijuuro menarik Kouki ke luar dari gereja. Membiarkan pakaian putih mereka basah terkena tetesan airnya. Tamu undangan yang datang hanya menatap keheranan dari balik pintu.
"Sei, kita kehujanan!" Kouki menatap sepatu barunya yang mulai terkena lumpur dengan cemas.
"Aku tahu," ucap Seijuuro tenang. Garis senyum terkembang lebih lebar, lebih lepas. Kemudian menarik Kouki lebih dekat untuk menciumnya lagi.
Seijuuro memiliki alasan sendiri mengapa dia menyukai hujan. Jika Kouki adalah buminya – pijakan hidupnya, maka hujan adalah afeksinya. Afeksi yang terjerat dalam sebuah siklus abadi.
Suara ketel terdengar nyaring dari arah dapur. Kouki langsung bangkit dan terbirit mendengarnya. Meninggalkan Seijuuro yang masih duduk di atas karpet sambil tersenyum geli.
Tak lama Kouki kembali dengan dua cup mi instan. Memberikan salah satu kepada Seijuuro sebelum akhirnya Kouki berpindah duduk di sebelah suaminya. Ketika hendak membuka tutupnya, Kouki tiba-tiba bangkit lagi. Kembali ke dapur sambil bergumam, "Oia, minum.."
Kouki keluar lagi dari dapur sambil membawa dua gelas air minum.
"Terima kasih, my love," ucap Seijuuro sambil menerima gelas minumnya.
Mereka makan dengan tenang sambil duduk bersebelahan. Kouki sesekali melirik ke arah Seijuuro. Mengintip ekspresi suaminya ketika menyeruput mi – yang sepertinya enak.
Seijuuro mengerti tatapan Kouki. Pria berambut merah tersebut menyumpit mi miliknya, ditiup lebih dahulu sebelum akhirnya diarahkan ke mulut Kouki. Kouki dengan senang hati memakannya.
"Ternyata lebih enak punyaku." Kouki berkomentar. "Mau coba?"
"Tidak perlu. Untukmu semuanya saja," ucapnya sambil menyeka pipi Kouki yang terkena cipratan kuah saat disuapinya tadi.
Kouki tersenyum melanjutkan santapannya.
"Nanti siang kita belanja yuk, Sei!"
Seijuuro menjawab dengan gumaman. Kouki menyikut Seijuuro dengan bahunya. "Kita sudah tidak ada bahan makanan lagi di kulkas. Sampai kapan kita makan mi terus?"
"Tapi di luar hujan, Kouki. Kamu lihat sendiri ramalan cuacanya." Seijuuro menyeruput kuah mi lalu melanjutkan, "Lagipula mobil kita baru akan sampai tiga hari lagi."
Kouki meletakkan cup mi instannya kemudian mencubit hidung Seijuuro."Itulah gunanya payung, Sei!"
Seijuuro ikut meletakkan mi instan santapannya untuk membalas cubitan Kouki di hidung. "Jangan mengatakan seolah aku tidak tahu kegunaan payung, Kouki." Seijuuro berbicara dengan suara sengau.
"Kalau begitu ayo belanja," Kouki membalas dengan suara sengau yang sama. Kemudian mereka tergelak dalam tawa.
Kouki memeluk Seijuuro dari samping sampai tawa mereka mereda. Lalu dilanjutkan dengan saling tatap. Meresapi perasaan masing-masing.
"Sei..." panggil Kouki memancarkan afeksi.
Seijuuro menangkap sinyal wajah mereka. Mata fokus pada sepasang mata sewarna bumi yang menarik bagai gravitasi. Lalu teralih pada magnet selatan lain yang sama kuat tarikannya. Bahkan lebih adiktif dengan warna merah dan sensasi manis lembut yang diakibatkan.
Lalu terlintas di benaknya sebuah pikiran nakal, 'Apakah dia bisa melanjutkan yang sudah selesai tadi malam?'
Dengan satu tangan menjalar menuju pinggang si brunet. Sisa akal sehat Seijuuro menjawab, "Ya?"
"Kita pergi sekarang!" seru Kouki. Mengecup bibir Seijuuro dengan cepat lalu buru-buru melepaskan diri dan berlari menuju kamar.
"Ke kamar?"tanya Seijuuro. Suaranya dikeraskan agar Kouki mendengar. Nadanya dimainkan hingga terdengar meledek.
"Supermarket!" teriak Kouki dari dalam kamar. "Aku tahu apa yang kamu pikirkan tapi aku tidak mau melakukannya!" Hening sebentar. Seijuuro juga masih tak bergerak dari duduknya. "Tidak sampai kita berbelanja, lalu masak dan memiliki makanan layak jika kelaparan nanti," lanjut Kouki
Seijuuro menyeringai. Setidaknya dia menyunting sendiri arti kelaparan menjadi kelelahan jika dimasukkan dalam kalimat yang Kouki ucapkan tadi.
Akhirnya dia berdiri juga dan menyusul Kouki ke kamar.
Hujan sepanjang siang. Mereka berdiri di muka Westridge Midtown Market. Seijuuro memegang masing-masing satu kantung kertas di kedua tangannya sedangkan Kouki membuka kedua payung mereka. Begitu kedua payung berwarna hitam itu sudah terbuka, Kouki menukarnya dengan satu kantung di tangan kanan Seijuuro.
Jadilah mereka berjalan beriringan di tepi jalan dengan masing-masing satu kantung belanjaan dan satu payung. Bagai mengikuti parade, mereka berjalan sesekali bersebelahan dan sesekali Kouki mundur ke belakang jika ada orang yang datang dari arah depan untuk memberikan jalan.
Memakai payung sendiri-sendiri seperti ini adalah ide dari Kouki. Mungkin kebiasaan yang dibawa sejak di Jepang dulu. Kouki selalu merasa canggung jika menunjukkan afeksi di khalayak umum. Padahal keputusan mereka pindah ke California adalah untuk mendapatkan kebebasan itu. Tapi memang kebiasaan lama susah dihilangkan.
Kouki rasanya ingin berubah. Ingin bisa mendukung Seijuuro yang selama ini berperan paling besar pada hubungan mereka saat ini. Kouki memang pengecut. Tapi Kouki tak mau jadi penakut maupun rapuh. Sedangkan Seijuuro menahannya.
Sampai tiga minggu setelah menikah, Kouki masih belum diberi kesempatan untuk mencari pekerjaan di Negara ini. Tak membiarkan Kouki meninggalkan rumah jika bukan seizinnya. Seperti anak ayam yang dipingit. Seijuuro menjadi lebih protektif dibandingkan saat mereka di Jepang dulu.
Mereka berbelok di persimpangan, namun Kouki tiba-tiba berhenti. Seijuuro menengok ke belakang. Melihat Kouki berlari menghampiri seorang anak kecil yang menepi di bawah naungan kanopi rumah. Setengah badan anak kecil itu basah kuyup karena tidak berhasil melindungi tubuhnya dari hujan.
"Kenapa kamu tidak masuk?" tanya Kouki. Pelafalan bahasa Inggris miliknya sudah mudah dimengerti sekarang.
Anak perempuan yang berambut pirang dan bermata biru itu menatap Kouki keheranan. "Ini bukan rumahku."
Kouki menaikkan sebelah alis. "Rumahmu di mana?"
Anak itu diam sejenak. Ragu untuk memberikan informasi. "Jalan El Paseo. Tapi aku ingin pergi ke Bart's Books dulu untuk menemui pamanku."
"Di mana itu?" Kouki bertanya lagi.
Mata anak itu membola tak percaya. "Kamu tidak tahu? Itu satu blok dari sini."
Kouki tersenyum inosen. Mengartikan bahwa dia benar-benar tidak tahu. "Kalau sedekat itu, bagaimana kalau aku antarkan?"
Anak itu terdiam lagi. Kali ini kebingungan kemudian mengangguk.
Kouki tersenyum senang. Dia berbalik menghadap Seijuuro yang menunggunya di belakang. "Sei, aku akan mengantar anak ini. Kamu duluan saja!"
Seijuuro berjalan mendekat. "Tidak. Aku ikut," ucapnya. Mendengar itu Kouki terkekeh geli.
Mereka berjalan bertiga. Kouki dan anak kecil yang bernama Sharon di depan, dalam naungan payung milik Kouki. Sedangkan Seijuuro mengikuti di belakang.
Begitu tiba di depan toko buku yang dimaksud, wajah Kouki berubah sumringah. Sungguh dia baru tahu ada toko buku yang pernah dia lihat di sebuah majalah saat masih di Jepang dulu sebagai toko buku tercantik, dan ternyata selama lebih dari tiga minggu dia baru tahu bahwa toko buku ini tak jauh dari rumahnya!
"Terima kasih atas tumpangannya," ucap Sharon sopan kemudian berjalan untuk berdiri di teras.
Kouki hanya menggeleng. Mulutnya masih setengah terbuka, matanya berbunga-bunga.
"Aku tahu apa yang kamu pikirkan," bisik Seijuuro di telinganya. Karena terlalu terpesona Kouki sampai tak menyadari Seijuuro mendekat.
"Aku harus kesini lagi!" bisik Kouki dengan suara tercekat. Masih beruntung dia menemukan suaranya.
"Tapi katamu kita harus masak," bisik Seijuuro lagi dan diakhiri dengan kecupan di cuping telinga Kouki. Menghilangkan sedikit maksud lain yang menjadi sasaran Seijuuro setelah acara makan siang nanti.
Sharon menatap interaksi mereka dengan mulut menganga. "Kalian ... ah..." dan diakhiri dengan kata "Ohh..." seolah mengerti.
Wajah kouki seketika merona sewarna tomat. Mengatakan "Permisi" dengan gagap dan berbalik untuk berjalan lebih dahulu.
Sedangkan Seijuuro menyeringai kepada Sharon, seolah bangga dengan keisengannya kemudian berjalan menyusul Kouki.
Pemuda brunet sedang asik memotong bahan makanan ketika Seijuuro masuk ke dapur. Menyelinap ke belakang tubuhnya untuk menempel dan memeluk.
"Kenapa tidak kunjung matang?"
Kouki menggidikkan bahu. Menyingkirkan kepala Seijuuro yang bersandar di pundaknya. "Kalau begitu ya bantu aku."
Tangan Seijuuro mulai menjalar nakal. Yang satu berjalan naik, dan yang satu lagi bergeser turun. "Kamu kan tahu kalau aku di dapur lebih suka mencicipi si juru masak daripada membantunya," bisiknya yang diakhiri dengan kecupan di pangkal leher.
Kouki menghela nafas namun tersenyum. Dia meletakkan pisaunya lalu berbalik. "Kalau begitu kembali ke ruang kerjamu dulu sana."
"Suamimu ini kesepian." Dikecupnya bibir Kouki.
Bagusnya, Kouki membalas. Dalam ciuman mereka, Seijuuro menyeringai menang. Sayangnya, kegiatan tersebut tidak lama. Kouki mendorong dada Seijuuro pelan dan berkata, "Tunggu dua puluh menit lagi, dan setelah itu kita bisa bermain seperti yang kamu mau."
Seijuuro mengecup sekali lagi lalu berjalan mundur. "Kutunggu dua puluh menit lagi. Persis. Dimulai dari sekarang."
"Ya ... ya ..." Kouki berkata sambil berbalik dan melanjutkan aktifitasnya.
Seijuuro berjalan ringan menuju kamar. Duduk di tepi tempat tidur mereka. Mata menatap ke luar dimana langit masih berwarna abu-abu dan titik hujan membasahi balkon rumah.
Dalam hati menginginkan hujan jangan mereda.
Bab 1
.
Genre Fluffy
..
Suatu Hari di Kamar Ketika Hujan
...
Written by : Anne Garbo
To be continue
.
.
Thank you so much. Please read review our fanfiction. :')
