Fearless

Summary:

Selama ini, monster dianggap mitos oleh umat manusia. Kenyataannya, makhluk-makhluk ini nyata dan hidup membaur dengan mereka. Namun, apa jadinya jika sesosok monster yang berasal dari luar planet datang ke bumi dan membuat gempar dunia supernatural dengan kemampuannya?

Disclaimer:

Naruto. Date a Live. Dan hal-hal yang ada di fic ini. Semuanya bukan milik author. Author hanya meminjamnya untuk keperluan ceritanya.

Warning:

AU - Alternative Universe.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Chapter 1 – Into The Unnatural.

.

.

.

Seorang gadis berambut merah panjang dengan kacamata di belahan matanya terlihat melangkah dalam koridor Raizen High School sambil membawa tumpukan buku di kedua lengannya. Selagi dia melangkah, sebagian besar siswa-siswi di sekitarnya yang tak sengaja melihatnya mengirim tatapan benci serta tidak suka kepadanya.

Usut punya usut, rupanya alasan mereka melakukan itu dikarenakan Raizen High School merupakan sekolah yang tak bisa dimasuki sembarang orang. Latar belakang murid di sekolah ini kebanyakan berasal dari 'kelas atas' dan bukannya 'kelas bawah'. Oleh sebab itu, mengetahui kalau di antara mereka terdapat murid 'kelas bawah' membuat yang merasa 'elit' menjadi risih dan tak senang karenanya.

Sejujurnya, gadis itu sadar jika cepat atau lambat rekan sekolahnya akan membenci kehadirannya. Meski begitu, dia tak boleh membiarkan hal sepele semacam itu menurunkan semangatnya untuk belajar di tempat yang bisa dibilang paling terbaik untuk mengumpulkan pengetahuan. Apalagi dia telah bekerja keras agar diterima di sekolah ini melalui jalur beasiswa, jadi kata 'menyerah' tak boleh ada di dalam kamus pribadinya.

Berbelok ke sisi kanan, gadis itu memasuki perpustakaan dan meletakkan buku-buku tersebut di atas meja, yang di mana seorang pemuda berambut raven dengan penampilan menarik duduk di kursi dekat meja yang dimaksud. Pemuda itu mengangkat wajahnya dari buku yang tengah dia baca untuk menatap sang gadis.

"Kenapa aku tidak terkejut melihatmu membawa buku, Karin?"

Karin tersenyum simpul mendengar perkataan satu dari dua teman yang dia punya di sekolah ini.

"Pujian tidak akan membawamu ke mana pun, Sasuke."

Sasuke terkekeh. "Mungkin. Namun, jika itu membuatmu senang kurasa tak ada salahnya untukku mencoba." Dia mengerutkan keningnya ketika mengamati jumlah buku yang ada di meja. "Bukannya aku tidak suka, tapi seingatku rekan-rekan sekelas kita banyak sekali yang tidak suka membaca buku. Kecuali Naruto. Sayangnya kelasnya berbeda dengan kita."

Karin mengangguk, setuju dengan apa yang dikatakan olehnya.

Namikaze Naruto. Siapa yang tidak kenal dengan pemuda minim bicara itu. Semua orang di Raizen High School kenal dan tahu siapa dia. Sangat sulit mengabaikannya mengingat dia merupakan keturunan dari salah satu keluarga terkaya di Jepang. Meskipun dia pendiam, nilai pelajarannya selalu saja di atas huruf [B], ditambah dengan sikapnya yang sopan pada setiap orang yang ditemuinya ditambah penampilannya yang menarik di mata kaum hawa membuatnya jadi incaran hampir seluruh siswi di sana.

Walaupun demikian, sampai saat ini belum ada gadis manapun yang berhasil menarik perhatiannya. Bukannya jera, mereka malah semakin bersemangat untuk menaklukkan hatinya, sesuatu yang membuat pemuda pirang itu risih dibuatnya.

"Kau benar juga. Oh iya Sasuke, bisa kau bantu aku meletakkan buku-buku ini ke tempatnya masing-masing?"

Sasuke mengangkat bahu.

"Tentu. Kenapa tidak?"

Line Break–

Bel sekolah berbunyi lebih dari sekali, pertanda pelajaran akan segera dimulai, para murid bergegas masuk ke dalam kelasnya masing-masing, tak terkecuali seorang pemuda pirang dengan warna mata yang mengingatkan seseorang pada langit maupun samudra. Pemuda ini duduk di bangkunya dan mengeluarkan buku dan peralatan menulisnya dari dalam tas.

Selagi gurunya mulai mengabsen nama-nama murid, dia melirik keluar jendela dan melihat burung-burung beterbangan dengan bebas di udara. Senyum lembut perlahan nampak di wajah rupawannya.

"Namikaze Naruto-kun?"

Mendengar namanya dipanggil, dia mengangkat sebelah tangannya ke atas. Melihat hal ini, sang guru melanjutkan dengan memanggil nama yang berikutnya.

Naruto menghela nafas, pikirannya melayang pada berita pembunuhan berencana yang akhir-akhir ini terjadi di kota Tengu. Tidak seperti kasus yang biasanya, setiap kali aparat keamanan bergerak menuju lokasi kejadian, mereka selalu berhasil menangkap pelakunya setelah mendapat informasi dari narasumber yang kebetulan melihat aksinya. Anehnya, meski barang bukti berupa luka hasil tusukan senjata tajam serta mayat korban berhasil ditemukan, sang pelaku tetap bersikeras kalau dia bukanlah dalang dibalik perbuatan keji itu disamping sidik jarinya terdapat di T.K.P.

Lucunya lagi, semua tersangka tidak memiliki catatan kriminal semasa hidupnya, dan kondisi kejiwaan mereka sesudah diperiksa ahlinya ternyata baik-baik saja.

'Jika kasus ini terus bermunculan, ini bukan lagi kebetulan, melainkan kesengajaan.' Pikir Naruto. 'Hanya saja, orang waras mana yang mengaku tidak bersalah tapi tetap melakukannya?'

Dia mengelus dagunya. 'Kecuali kalau… mereka terpaksa melakukannya.' Dia menggelengkan kepalanya. 'Tapi itu tidak mungkin. Apalagi latar belakang semua tersangka melibatkan pekerjaan yang baik-baik, keadaan ekonomi mereka juga tidak terlalu buruk. Jadi kenapa–'

"Namikaze-kun, bisa kau maju ke depan dan kerjakan soal ini?"

Kesadaran Naruto kembali saat gurunya menyuruhnya untuk mengerjakan soal di papan tulis. Mengangguk, Naruto bangkit dari kursinya kemudian mengambil beberapa langkah ke depan, sepenuhnya melewatkan tatapan berbagai macam emosi dari rekan-rekan sekelasnya. Meraih kapur, Naruto membaca sejenak soal yang ditunjuk gurunya, setelah paham, Naruto mulai menulis jawabannya, lengkap dengan definisi serta contohnya. Selesai, Naruto berbalik dan bergerak lurus menuju kursinya.

"Menakjubkan seperti biasanya Namikaze-kun. Kalian lihat, jika kalian mau belajar giat sepertinya–"

Acuh tak acuh dengan 'pujian' dari gurunya, Naruto memilih melirik keluar jendela.

-Skip-

Sekolah berakhir ketika sore datang. Sebagian murid di sana sudah pulang sepuluh menit yang lalu, sementara yang masih berada di sekolah sedang melaksanakan kegiatan piket dalam kelasnya masing-masing saat ini.

Dalam salah satu kelas, Naruto menyeka dahinya yang banjir keringat setelah selesai mengangkat seluruh bangku ke atas meja. Dia meraih tasnya kemudian berjalan ke pintu keluar, membiarkan senyum tipis mengembang di wajahnya saat melihat rekan sekelasnya datang membawa alat-alat kebersihan.

"Semua kursi sudah kuangkat semua. Kuserahkan sisanya kepada kalian."

Salah satu gadis di hadapannya, Shion kalau pemuda pirang itu tidak salah ingat, mengangguk mendengar laporannya.

"Kerja bagus seperti biasanya Namikaze-kun. Sekarang biarkan kami menyelesaikan sisanya."

Naruto mengangguk, menyeret kakinya keluar kelas dengan kedua lengan diletakkan di tengkuknya. Sepanjang perjalanan menuju lantai paling bawah, dia bersenandung pada dirinya sendiri sambil matanya berkeliaran mengawasi keadaan sekelilingnya. Setibanya dia di depan loker penyimpanan sepatu, Naruto mencopot uwabaki dan menukarnya dengan sepatu aslinya. Tanpa banyak bicara Naruto melangkah keluar sekolah.

Line Break–

Terkadang, berjalan seorang diri ada keuntungan tersendiri. Contohnya, dia tak perlu memikirkan topik yang patut dibicarakan agar suasana tidak terlalu canggung antara dirinya dengan yang lainnya. Dia bukan seorang yang pemalu, hanya saja jika hal yang dibicarakan tidak terlalu penting dan sekedar basa-basi dia lebih memilih tidak ikutan.

"Hm?"

Naruto membuka telapak tangannya, kaget melihat betapa basahnya jari-jari lengannya saat ini. Dia menengadah, meringis saat pasukan cairan murni jatuh ke bawah dan tanpa ampun menghajar wajahnya. Mengangkat jaketnya hingga melindungi kepalanya, dia mengedarkan pandangan lalu berlari menuju halte bus untuk berteduh. Saat dia duduk, Naruto mengambil sapu tangan dari tas dan membersihkan mukanya dengan itu. Selesai, dia mengembalikan sapu tangan dan sebagai gantinya mengeluarkan ponselnya untuk membaca berita terbaru di dunia maya.

Naruto mengerutkan keningnya.

"Lagi-lagi kasus pembunuhan berencana. Padahal ini sudah yang ke 15 dalam satu setengah bulan ini."

Kemudian, sebuah suara mengandung kegugupan terdengar dari sampingnya.

"Hai Naruto."

Naruto mengalihkan pandangan pada orang yang memanggil namanya, yang diketahui sebagai seorang gadis berambut perak yang mencapai pinggang dengan mata kelabu. Gadis ini memakai seragam Raizen High School sesuai kelaminnya. Naruto mengirim senyuman kepadanya saat dia duduk di sebelahnya.

"Hai juga Mio. Naik bus lagi?"

"Begitulah."

Seingat Naruto, Takamiya Mio adalah siswi yang berasal dari kelas yang sama dengannya. Mio juga merupakan murid pindahan dari sekolah luar kota dan masuk ke Raizen High School satu bulan yang lalu. Lucunya, sifat mereka bisa dibilang hampir mirip, mereka sama-sama tidak suka keramaian, dan lebih menyukai keheningan. Namun, bila Naruto tidak keberatan didekati siapapun, Mio sebisa mungkin menjauh dari itu.

Sejujurnya, Naruto menganggap Mio sebagai "enigma" nyata. Itu dikarenakan setiap kali Mio melihat benda perak di dekatnya, wajahnya akan perlahan pucat sebelum akhirnya jatuh pingsan. Lebih anehnya lagi, saat Mio mengamati gambar bulan dia malah senyam-senyum sendirian.

Meski begitu, Naruto sama sekali tak menganggapnya sebagai orang gila. Ilmuwan saja bisa dianggap salah satunya mengingat penemuan-penemuan mereka kebanyakan di luar batas akal sehat. Barangkali kata "unik" lebih cocok untuknya.

Jika orang-orang mulai mempertanyakan hubungan mereka, Naruto dengan sepenuh hati menjawab kalau mereka itu berteman.

Keheningan menyelimuti suasana keduanya, masing-masing memilih diam karena bingung harus memulainya dari mana. Mereka bukanlah tipe "pembicara" melainkan "pendengar" jadi wajar bila mereka seperti ini.

'Ini benar-benar canggung,' ujar Naruto dalam hatinya.

Mengejutkan, belum sempat Naruto mengatakan apapun, Mio mengalahkannya terlebih dahulu.

"Naruto."

"Ya?"

"Apa yang kau ketahui tentang serigala?"

Naruto menaikkan alisnya, kemudian menjawab.

"Serigala adalah hewan buas. Mereka karnivora dan biasa hidup berkelompok. Mereka bisa ada di mana-mana karena mereka selalu berpindah dari satu tempat ke tempat yang lainnya apabila kebutuhan perut mereka tidak terpenuhi di area yang sebelumnya."

Mio mengangguk.

"Lalu apa pendapatmu tentang… Werewolf."

Naruto merasa bingung dengan pertanyaan yang satu ini. Meski begitu dia tetap menjawabnya.

"Pendapatku tentang Werewolf, huh? Jujur, aku akan lari sejauh mungkin bila bertemu dengan mereka. Lagipula, nyawaku berada di ujung tanduk jika aku tidak kabur."

Mendengar balasan pemuda pirang itu, Mio melirik ke arah lain.

'Aku terlalu banyak berharap. Seharusnya aku sudah menduganya dari awal. Mengharapkan hubungan lebih jauh dengan manusia hanyalah khayalan belaka.' Pikirnya.

Naruto mengerutkan keningnya, merasa bingung dengan sikap Mio saat ini. Membaca sekali lagi berita di internet, Naruto menyambung kalimatnya.

"Tapi jika memungkinkan, aku tidak keberatan berteman dengan Werewolf."

"Eh?"

Mio terkejut dengan apa yang dikatakan olehnya.

"Kau… tidak keberatan berteman dengan Werewolf?"

Naruto mengangguk. Dia menggaruk pipinya dikarenakan merasa gugup.

"Yeah. Maksudku, jika ada seseorang di luar sana berniat mengincar nyawaku, entah itu pembunuh berantai maupun orang suruhan saingan bisnis Ayahku. Tentunya aku akan merasa lega apabila 'seseorang yang tidak dapat disentuh hukum dunia' menjadi sahabatku. Setidaknya, aku tahu aku tidak akan bertarung sendirian ketika aku mencoba mempertahankan hidupku."

Tanpa disadari olehnya, Mio menundukkan kepalanya, mencoba menyembunyikan pipinya yang perlahan merah akibat senang mendengar kata-kata Naruto.

Biiiiiiip! Biiiiiiip!

"Hm?"

Membaca nama yang tertera di layar ponselnya, membuat Naruto mengedipkan matanya beberapa kali.

"Aku ada panggilan. Kita lanjutkan percakapan kita nanti," ujarnya pada Mio.

Mio mengangguk, menatap Naruto yang bangkit dan bergerak lurus ke depan dalam rangka menjaga privasi.

"Ya, Ayah?… aku sekarang sedang berada di halte bus… oh, baiklah. Aku hanya perlu menyalakan GPS, bukan?… jaa ne."

Mematikan panggilan. Naruto melihat bus datang dari arah timur. Dia berkata pada Mio.

"Untuk hari ini, kurasa aku tidak akan naik bus."

Mio mengernyitkan alisnya.

"Kenapa?"

"Karena sebentar lagi ayahku datang untuk menjemputku."

"Oh. Begitu."

Mengambil selembar kertas dari dalam tasnya, Mio menulis sesuatu di sana sebelum memberikannya pada Naruto.

"Jika kau merasa sesuatu yang aneh terjadi di sekitarmu, tolong hubungi aku."

Naruto berkedip, sentuhan pink mulai mewujudkan diri di pipinya.

"Kau… mencemaskan diriku?"

Sesungguhnya, ini pertama kalinya seorang gadis yang 'baik-baik' memberikan nomer teleponnya kepadanya, jadi tidak terlalu mengejutkan jika dia agak grogi, apalagi perempuan yang mengatakan itu memiliki kecantikan yang terlalu berlebihan untuk seorang manusia(sumber: imajinasi liar Naruto).

Walaupun merasa malu, Mio memaksakan diri untuk berbicara.

"Me-Memangnya salah mengkhawatirkan teman sendiri?"

Naruto pura-pura batuk.

"Yah, tidak juga sih. Hanya saja–"

Tak ingin mendengar lebih lanjut, Mio segera masuk ke dalam bus, mengakibatkan pemuda pirang itu sweat drop dibuatnya.

-Skip-

Sebuah mobil mewah melintas di jalanan. Pengendara mobil ini tidak lain dan tidak bukan adalah Namikaze Minato, seorang pria kaya yang dulunya berprofesi sebagai dokter di rumah sakit, dan sekarang menjadi pemilik salah satu itu. Dia baru saja menjemput putranya dan sekarang mereka sedang dalam perjalanan menuju rumah.

"Bagaimana kehidupan sekolahmu, Naruto? Ada sesuatu yang menarik?"

Duduk di kursi belakang, Naruto mengangkat mukanya dari buku fiksi yang tengah dia baca.

"Semuanya biasa-biasa saja."

Minato tersenyum aneh saat menatapnya melalui kaca spion.

"Benarkah?"

"Ya."

"Kau yakin? Karena kudengar gadis-gadis seusiamu cukup 'berani' jika kau paham apa yang kumaksud."

Naruto menghela nafas.

"Dan aku sangat yakin mereka yang 'berani' hanya mengincar isi dompetku," katanya.

Minato memutar setirnya ke kanan, dan mobilnya mengikuti arah yang diinginkan olehnya. Dia menambahkan.

"Aku tidak melihat adanya masalah. Lagipula, jika kau dan dia saling suka, kenapa tidak? Kau tahu, saat aku belum berjumpa dengan Ibumu, aku–"

"–sudah meniduri lebih dari tiga puluh wanita di bangku SMA dan secara ajaib belum pernah terkena penyakit HIV. Ya, ya, ya. Dan ah, oh, ah, uh. Terakhir bla, bla, bla, bla."

Minato mengedipkan matanya.

"Kenapa ke orang lain kau ramah sedangkan ke ayahmu sendiri kau kasar?"

Naruto mendengus.

"Kenapa ke orang lain Ayah membicarakan hal serius sementara ke anakmu sendiri menceritakan hal cabul?"

"…"

"Itu karena–"

"Tolong jangan dijawab."

Minato menghela nafas.

"Naruto, Naruto. Kakakmu saja sudah punya tunangan. Jika aku tahu kau akan begini jadinya, aku takkan mau repot-repot menjelaskan struktur anatomi manusia kepadamu."

Naruto mengabaikan perkataan Minato yang satu itu.

Tiga puluh menit kemudian, mobil mereka berhenti tepat di depan gerbang besi berwarna hitam. Melihat kedatangan mobil tersebut, para penjaga yang bernama Kakashi dan Yamato segera membukakan gerbang untuk kendaraan roda empat itu. Mobil itu berhenti tepat di tempat parkir yang tersedia. Mencopot sabuk pengamannya masing-masing, Naruto dan Minato keluar dari mobil.

"Ayah."

"Ya?"

"Bukannya aku tidak suka, tapi tumben Ayah mau menjemputku."

Minato membiarkan senyum simpul di wajahnya saat dia dan putranya melangkah bersama ke pintu masuk kediaman Namikaze.

"Oh, itu. Kau tahu sendiri 'kan kasus yang sering muncul akhir-akhir ini. Karena aku takut skenario terburuk terjadi padamu, maka dari itu mulai dari sekarang setiap pulang sekolah kau akan dijemput oleh Iruka atau aku. Kau keberatan?"

Naruto menggeleng.

"Jika aku keberatan, antara aku punya keinginan untuk mati muda, atau egoku sangat tinggi hingga melebihi kepalaku sendiri."

Minato terkekeh dan mengacak gemas rambut Naruto.

"Berpikir sebelum bertindak. Kau benar-benar seorang Namikaze."

Merasa malu dengan tindakannya, Naruto menarik tangan Minato dan menjauhkannya dari rambutnya, memancing tawa dari pria yang bersangkutan. Minato mengetuk pintu, kemudian pintu terbuka oleh seorang wanita berambut biru indigo panjang dengan sepasang mata lavender.

"Tadaima Hitomi-chan."

"Okaeri Minato-kun. Air hangat sudah kusiapkan jika kau ingin mandi dulu."

Namikaze Hitomi, atau dulunya Hyuga Hitomi, merupakan mantan istri seorang ahli beladiri terkenal bernama Hyuga Hiashi. Sepuluh tahun yang lalu, tanpa alasan yang jelas Hiashi menceraikan Hitomi. Parahnya, putri hasil perkawinan keduanya yang bernama Hinata, kebetulan waktu itu sedang dalam kondisi demam tinggi. Walaupun demikian, bukannya berpikir ulang mengenai tindakannya, Hiashi malah menendang mereka dari rumahnya.

Minato, yang saat itu menjadi duda karena Kushina, istri pertamanya sekaligus ibu kandung Naruto yang wafat setelah mengalami kecelakaan mobil, menemukan mereka di jalanan ketika dia dalam perjalanan pulang dari rumah sakit. Menyadari kalau Hinata butuh penanganan medis, Minato kembali ke rumah sakit tapi kali ini membawa mereka. Sesuatu yang lebih dari sekedar pertemanan terjadi di antara keduanya setelah itu.

Naruto masih ingat ketika usianya masih tujuh tahun, dia bertemu dan bermain bersama Hinata yang berumur sembilan tahun di ruang tamu, di sisi lain Hitomi dan Minato berduaan di kamar mereka sesudah acara pernikahan mereka selesai. Meski pada awalnya mereka mengabaikan kehadiran satu sama lain karena canggung, tapi seiring waktu berjalan mereka akhirnya akur layaknya seorang adik dan kakak pada umumnya, terlebih sikap Hinata yang sangat mirip dengan ibunya(penyayang dan lemah lembut) membuat Naruto merasa nyaman bila berada di sekitarnya.

Mendengar perkataan istrinya, Minato mengangguk dan membiarkan Hitomi mengambil tas kerjanya.

"Sepertinya segala penat yang kurasakan baru saja hilang karena perhatian Aphrodite di depanku ini."

Hitomi tertawa geli sebagai responnya.

"Ya ampun Minato-kun, tolong tahan sikapmu bila di rumah. Lihat Naruto-kun, dia benar-benar malu akibat menonton aksi genitmu."

Orang yang dibicarakan mengerang dengan tangan menutupi sebagian wajahnya.

Dibarengi dengan ekspresi serius, Minato menepuk punggung Naruto.

"Dengar, Nak. Mengingat umurmu sudah cukup untuk melakukan 'itu', mungkin ada baiknya kalau–"

"–aku segera ganti pakaian. Terima kasih karena repot-repot mengingatkan aku, Ayah."

Setelah memberikan hormat (mengejek) kepada Minato, Naruto menaiki tangga yang mengarah ke ruangan pribadinya dengan terburu-buru.

Kebingungan, Minato melirik ke arah Hitomi.

"Apa salahku?"

Hitomi tertawa lebih keras dari sebelumnya.

Line Break

Makan malam keluarga Namikaze berlangsung dengan nyaman, dalam arti lain tak ada makanan yang terbuang.

"Umm… Ayah."

Duduk di sebelah Naruto yang sibuk memainkan game Minecraft di ponselnya, Hinata memanggil Minato. Menyadari putri angkatnya memanggil dirinya, Minato memandang Hinata dengan senyuman. Di belakangnya terlihat Hitomi sedang mencuci peralatan bekas makan mereka di wastafel.

"Ya Hinata?"

Mengumpulkan keberaniannya, Hinata melanjutkan.

"Karena besok hari libur. Aku dan teman-temanku ada rencana nonton film di bioskop sekarang. Apa boleh?"

Minato mengamati sejenak arloji yang melingkari lengan kirinya, dia lalu mengirim anggukan pada Hinata.

"Aku izinkan. Tapi, untuk jaga-jaga Kakashi akan ikut bersamamu."

Hinata menghembuskan nafas, lega karena Minato mengizinkannya untuk main keluar rumah. Mendengar suara kursi ditarik, Hinata menengok ke Naruto, yang bergerak ke anak tangga setelah memasukkan ponselnya ke saku celananya.

"Kau ingin ke mana, Naruto-kun?"

Naruto menengok ke Hinata.

"Ke kamar. Ada pekerjaan rumah yang lupa belum aku selesaikan."

Line Break

Sambil mengunyah pelan oreo rasa vanilla dalam mulutnya, Naruto dengan tenang menyalin soal dari buku paket ke buku tulisnya, dan di saat bersamaan mencari jawaban setelah selesai menulis itu.

Knock. Knock.

"Masuk saja. Pintunya tidak aku kunci."

Tepat saat pintu terbuka dari luar, Naruto memutar kursi putarnya untuk menghadap ke arah pintu, ia menaikkan alisnya ketika melihat Hinata.

"Dan aku pikir Nee-san sudah berangkat dari tadi."

Hinata membiarkan senyum gugup di wajahnya.

"Apa kau masih punya semprotan cabai, Naruto-kun?"

Naruto mengangguk, beranjak dari kursinya kemudian menarik laci paling bawah dari mejanya. Dia mengambil benda yang dibutuhkan kakak tirinya dan memberikan itu kepadanya.

"Ini. Hati-hati saat menggunakannya."

Hinata mengucapkan terima kasih pada Naruto, dia mendekati pintu lalu memutar kenopnya. Membiarkan pintu sedikit terbuka, Hinata berbicara lagi.

"Umm.. Naruto-kun."

"Ya, Nee-san?"

"Bisa kau biarkan ponselmu menyala sampai tengah malam?"

Naruto mengirim senyum simpul kepada Hinata.

"Tentu saja bisa."

Merasa lega, Hinata kemudian keluar dari kamar adik tirinya itu setelah menutup pintu dengan hati-hati. Memutar kursi putarnya lagi, Naruto melanjutkan kegiatannya yang sebelumnya tertunda.

Line Break–

Di suatu wilayah di kota Tengu, tepatnya di depan rumah bertingkat yang ditandai garis kuning, di sana terlihat beberapa mobil aparat keamanan beserta para polisi sedang menyelidiki sebuah kasus… yang lagi-lagi pembunuhan berencana.

"Kalian harus percaya kepadaku! Aku bukan pelakunya!"

Dengan teriakan kabur dari mulutnya, seorang pria berpakaian rapi mencoba melepaskan dirinya dari genggaman kuat kedua polisi berbadan besar yang menyeretnya secara paksa dari rumah megahnya. Tak jauh dari posisi ketiganya, dua orang polisi berkelamin wanita menatap jijik pria yang dibawa oleh rekan mereka.

"Padahal sudah ketahuan tapi masih saja tidak ingin mengaku."

"Gak aneh. Kejujuran 'kan tidak termasuk dalam sifat para kriminal."

Di sisi lain, seorang pemuda berambut merah dan mengenakan seragam polisi biru dibalut jas cokelat panjang tampak berdiri di samping salah satu mobil, mata jingganya dengan sibuk membaca informasi yang didapatnya dari petugas yang memeriksa keadaan di dalam bangunan.

"Bagaimana Senju. Apa kau mendapat sesuatu yang penting dari itu?"

Pemuda yang diketahui bernama Senju Kurama itu melirik ke samping, melihat seorang pria dengan rambut hitam dan mata onyx yang memakai pakaian seperti polisi lainnya bergerak menghampirinya.

Kurama menggeleng.

"Aku tidak mendapat apapun dari hal ini, Uchiha. Semua yang tertulis di sini nyaris sama persis dengan catatan yang sebelumnya, yang membedakan mereka hanyalah jenis kelamin korban serta si pelaku yang berasal dari kalangan berbeda-beda."

Itachi memijat pelipisnya.

"Ini benar-benar kasus yang membingungkan. Kalau begini terus maka hanya masalah waktu sebelum hal yang sama terulang kembali."

Kurama mengangguk, menyetujui perkataan rekan kerjanya.

Line Break–

Hinata, yang keluar dari toilet umum yang terdapat di samping sebuah supermarket, menggerakkan kakinya dengan terburu-buru ke tempat parkir. Dalam hatinya dia berharap semoga teman-temannya tidak marah dia datang terlambat.

Setibanya dia di sana, Kakashi langsung membukakan pintu mobil untuknya. Saat Hinata duduk dengan nyaman, dengan nada yang terdengar bingung Kakashi bertanya pada putri angkat majikannya.

"Ke mana jaket pemberian Minato-sama, Hinata-sama?"

Melihat penampilannya, Hinata melebarkan matanya saat menyadari hadiah ulang tahunnya yang ke-18 tidak berada di tempat yang seharusnya. Sebelum dia bangkit, Kakashi berbicara.

"Tertinggal di toilet, benar?"

Hinata menjawabnya dengan anggukan, terlalu malu untuk mengatakannya secara langsung.

Kakashi tersenyum dibalik masker hitamnya, memutar badan dan bergerak menuju toilet umum. Delapan menit kemudian, Kakashi kembali ke mobil dengan bekas tamparan merah besar di pipi kanannya.

"M-Maaf Kakashi-san."

"Seharusnya aku yang bilang begitu Hinata-sama, bukannya malah sebaliknya."

Hinata memiringkan kepalanya.

"M-Memangnya kenapa?"

Kakashi menjelaskan, "Itu karena jaket pemberian Minato-sama tidak berhasil aku temukan. Padahal aku sudah periksa seisi toilet tapi tetap saja tidak ada."

"…"

Kesedihan adalah emosi yang dirasakan Hinata saat ini. Bukan tanpa alasan dia seperti itu tentu saja. Maksudku, jaket tersebut merupakan salah satu barang berharga miliknya yang diberikan oleh orang yang sangat disayanginya melebihi "ayah" kandungnya sendiri.

Sembari menarik nafas panjang, dia berkata.

"Kita pergi Kakashi-san."

Kakashi terlihat gelisah, walaupun demikian dia tetap menuruti permintaan anak majikannya itu.

Setelah mobil mereka kembali ke jalanan, tidak lama kemudian seseorang keluar dari gang yang sangat gelap sambil mengenakan jaket Hinata, menandakan kalau dialah dalang atas hilangnya barang berharga milik sang gadis mata lavender. Mengejutkan, ketika dia menarik tudung jaket yang bukan miliknya ke belakang, wajah orang tersebut sangat mirip dengan wajah Hinata.

Namun, 'Hinata' yang satu ini menampilkan seringai lebar dengan matanya menyala akan warna kuning.

Line Break–

"Akhirnya selesai juga."

Sambil melemaskan otot-otot tangannya yang agak kaku, Naruto mengamati pekerjaan rumahnya yang sudah selesai di atas meja belajarnya. Hanya karena tugasnya dikumpulkan minggu depan bukan berarti ia harus mengerjakannya saat deadline.

Menghembuskan nafas, Naruto membereskan peralatan menulisnya dan memasukkan mereka ke dalam tasnya, lalu mengalihkan pandangan pada jam dinding. Menyadari waktu tidurnya belum datang, dia membuat keputusan untuk meminum sesuatu yang menyegarkan.

Setibanya di dapur, Naruto mengerutkan keningnya ketika melihat Hitomi sedang sibuk memasukkan beberapa makanan mentah dari plastik belanjaan ke dalam kulkas. Ia tidak memerlukan otak pintar untuk menebak apa yang baru saja dilakukan oleh dia.

"Padahal jika Ibu ingin membeli sesuatu kenapa tidak suruh Naruto saja?"

Hitomi nyaris melompat ketika mendengar Naruto yang tiba-tiba berbicara. Menarik napas panjang kemudian membuangnya, Hitomi berbalik dan menatap Naruto seraya tersenyum canggung.

"Belanja kebutuhan sehari-hari merupakan urusan wanita, bukannya pria. Malah terasa aneh kalau kau atau Minato-kun yang pergi ke supermarket."

Naruto berkedip, tapi tidak merespon balik. Ia mengangkat bahu dan menjangkau gelas bersih dan mengisinya dengan air putih. Sesudah habis, ia menaruh gelas itu ke atas meja.

Kemudian, suara bel yang berbunyi memancing perhatian keduanya. Menyadari hal ini, Hitomi bergerak menuju pintu rumah, diikuti oleh Naruto yang berjalan di belakangnya. Hitomi memutar knop lalu menariknya. Mereka kebingungan ketika melihat Hinata.

"Memangnya durasi filmnya sangat singkat, Hinata?" tanya Hitomi pada putrinya tersebut.

Hinata menggeleng.

"Lalu kenapa?"

"Saat kami sedang dalam perjalanan, ban mobil tiba-tiba kempes terkena paku di jalan. Kakashi-san juga saat ini sedang berada di bengkel menunggu mobil selesai diperbaiki."

Naruto dan Hitomi mengernyitkan dahinya masing-masing.

'Ini pasti ulah orang iseng/Dasar orang iseng.' Pikir mereka berdua.

Hinata melirik ke arah Naruto dengan senyuman.

"Kau keberatan mengantarku ke suatu tempat, Naruto-kun?"

Naruto membiarkan senyum simpul di wajahnya.

"Nee-san tunggu saja di luar. Aku ambil kunci motorku dulu dalam kamar."

"Sebenarnya, aku ingin kita ke sana dengan berjalan kaki."

"Kau yakin?" tanya Naruto.

Hinata mengangguk.

"Kalau keinginan Nee-san seperti itu ya sudah, untuk sekarang tunggu saja di luar dulu. Aku akan segera kembali."

Setelah mengatakan itu, Naruto memutar badan sebelum bergerak menuju ruangan pribadinya.

Line Break–

Tidak membutuhkan waktu lama, Naruto akhirnya sampai ke kamarnya. Hal pertama yang dilakukannya adalah menyimpan kunci motornya yang ada di atas meja ke tempat yang aman. Setelah itu, dia mengambil jaket dan baru ingin menyentuh knop pintu sebelum ponselnya membunyikan nada dering. Penasaran, pemuda pirang itu mengeluarkan ponselnya, menatap nama yang tertera di layar dengan kening mengerut.

[Nee-san: Naruto-kun, bisa kau beritahu Ibu kalau aku tidak bisa pulang malam ini?]

"…"

Merasa ada hal yang tidak beres, Naruto membalas pesannya.

[Naruto: Memangnya Nee-san ada di mana sekarang?]

[Nee-san: Saat ini aku berada di rumah Sakura, karena orang tuanya tidak ada di rumah, untuk satu malam aku menginap di sini menemaninya.]

"…"

Tanpa banyak bicara, Naruto menarik laci mejanya setelah memasukkan ponsel miliknya ke saku celananya lalu mengeluarkan sebuah kotak berwarna coklat. Ia membuka kotak dan melihat dua buah suntikan di dalamnya. Ekspresinya perlahan mengeras.

Line Break–

Saat sebagian besar orang di kota Tengu sedang menikmati dunia yang ditawarkan Morpheus. Di langit, yang ditaburi bintang-bintang gemerlap, seberkas api besar yang diketahui sebagai meteor jatuh meluncur menuju sebuah hutan, tanpa ragu menabrak apa saja yang menghalangi jalur pendaratannya. Tidak lama kemudian itu berhenti sesudah menghantam pohon berukuran raksasa.

Meskipun meteor tersebut kelihatan masih panas, namun dengan cepat itu mulai mendingin. Semacam retakan tiba-tiba muncul di sisi meteor, yang menit demi menit menyebar ke seluruh permukaan dan membentuk lubang besar di bagian depan, perlahan sesuatu mulai bergerak dan keluar dari sana, yang diketahui sebagai cairan berwarna hitam pekat.

Walaupun demikian, cairan ini tidak seperti cairan pada umumnya, itu memiliki pikiran serta kemauannya sendiri. Dan hal pertama yang ingin dilakukannya di planet ini adalah mencari inang yang sesuai dengan kriterianya.

Umumnya, makhluk ini membentuk ikatan simbiosis dengan inangnya untuk bertahan hidup. Sebagai bayaran karena telah disediakan tempat untuk "tinggal", itu memberikan inangnya kekuatan yang tidak terbayangkan.

Tak jauh dari tempatnya, seekor laba-laba merangkak keluar dari sarangnya, mata hitamnya yang gelap melirik ke bawah untuk memandang cairan tersebut. Melompat ke bawah, laba-laba itu tidak tahu jika cairan tersebut punya kesadarannya tersendiri. Oleh sebab itu, tanpa peringatan cairan hitam tersebut langsung meluncurkan dirinya ke sang hewan berkaki enam.

Mereka bergulat selama beberapa menit sebelum akhirnya cairan tersebut yang memenangkan pertempuran. Kemudian, cairan hitam menyerap seluruh kelebihan maupun kemampuan yang dimiliki laba-laba, semata-mata untuk menjadikan inangnya sebagai makhluk yang berada di atas segalanya.

Lalu, laba-laba yang dikendalikan oleh Symbiote itu pergi menuju kedalaman hutan, berharap kalau calon inangnya ada di sana menunggu kedatangannya.

Line Break–

"Sudah lama sekali kita tidak ke sini. Benarkan, Naruto-kun?"

"Ya."

Melangkah dalam hutan dengan hanya ditemani cahaya senter dan sinar bulan merupakan hal yang biasa bagi Naruto. Dia dan Hinata pernah melakukan ini sebelumnya, hanya saja perbedaan yang dulu dengan yang sekarang adalah mereka berjalan bersama tanpa ditemani orang dewasa saat ini.

Naruto melirik ke arah 'Hinata'.

"Nee-san," panggilnya.

'Hinata' menatap balik Naruto.

"Ya, Naruto-kun?"

Meski merasa malu dengan pilihan kalimatnya, Naruto memaksakan diri untuk berbicara.

"Boleh aku minta lagi video porno yang kusimpan di hapemu?"

'Hinata' terkejut. Dan untuk sesaat, Naruto melihat mata lavendernya berubah menjadi kuning sebelum kembali ke warna yang sebelumnya. Melihat hal itu, menyebabkan getaran tidak nyaman mengelilingi seluruh permukaan badan Naruto.

'Siapa sebenarnya orang ini? Mengapa penampilan dan suaranya bisa menyerupai Nee-san? Dan kenapa warna matanya tiba-tiba berubah dari lavender menjadi kuning,' batinnya.

Menunjukkan ekspresi "sedih", 'Hinata' menjawab.

"M-Maafkan aku Naruto-kun, ponselku hilang saat dalam perjalanan menuju rumah."

Naruto ingin sekali meneriakkan kata "Bohong!" saat ini, namun, mengingat situasinya yang sekarang memaksanya untuk menahan diri dengan menutup bibirnya rapat-rapat.

'Untuk memastikan, mungkin sekali lagi bertanya tidak ada salahnya,' batinnya.

"Kau tahu Nee-san, sekarang Akamaru sedang berada di rumah sakit karena tindakan bengis Kiba."

"Seharusnya Kiba-kun bisa memperlakukan pacarnya lebih baik dari itu. Bukankah kau setuju?"

"…Ya."

Naruto berhenti berjalan. 'Hinata' yang menyadari hal ini berkata.

"Ada yang salah, Naruto-kun?"

Naruto menggaruk bagian belakang kepalanya, terkekeh akibat 'gugup'.

"Bisa Nee-san berbalik sebentar? Sesuatu dengan nama 'panggilan alam' benar-benar membuatku tidak nyaman saat ini."

'Hinata' tertawa geli, mengangguk kemudian memutar badan ke arah yang berlawanan dengan pandangan adik tirinya itu. Melihat kesempatan, Naruto mengeluarkan salah satu suntikan berisi cairan bius dari saku celananya, keringat dingin mulai berkumpul di pipi lalu menurun ke dagunya.

'Ingat diriku. Dia bukanlah Hinata. Dia hanya seseorang yang mirip dengan "Hinata".'

Naruto dengan perlahan berjalan mengendap-ngendap sambil mendekati 'Hinata', menarik napas panjang kemudian membuangnya, tangan terangkat sebelum menancapkan suntikan ke tengkuk leher 'Hinata', alhasil dia langsung terjatuh pingsan karenanya. Di sisi lain, Naruto berusaha mengatur nafas sebab ia baru saja melakukan hal yang bisa dibilang perbuatan kriminal. Ia lalu mengambil ponselnya.

"Semoga Mio punya koneksi dengan aparat keamanan."

Line Break

Dalam sebuah rumah yang merupakan tempat tinggal keturunan Takamiya, bagian ruang tamu. Di sana, Mio terlihat berjalan kesana-kemari dengan ekspresi cemas di wajahnya. Sementara itu, seorang lelaki berambut biru dengan mata coklat dan perempuan dengan fitur yang sama seperti orang yang sebelumnya memandang saudara mereka dengan penasaran.

"Kau baik-baik saja?"

Mio melirik ke arah sang lelaki, menampilkan senyuman.

"Terima kasih telah mengkhawatirkanku Shinji. Tapi, seperti yang kau lihat aku baik-baik saja."

Perempuan di samping Shinji mengerutkan keningnya.

"Tapi kau kelihatan sedikit pucat, kau yakin kau baik-baik saja Mio-nee?" tanyanya.

"100%."

Bip!

Mendengar bunyi yang sangat dikenalinya, Mio langsung mengambil ponselnya dari saku celananya, matanya melebar tatkala membaca pesan yang tertera di layar itu. Menaruh hapenya ke tempat yang sebelumnya, Mio menatap Shinji dan Mana.

"Kalian tunggulah di sini. Aku ada urusan di luar."

"Urusan apa Mio-nee?" tanya Shinji.

Mio mengatupkan bibirnya, berpikir akan konsekuensi dari kalimatnya. Dia berbicara lagi.

"Naruto."

Mio dibuat kaget ketika Shinji dan Mana langsung bangkit dari tempat duduknya, ekspresi mereka dilanda kepanikan saat ini.

"Kalau begitu apa lagi yang kita tunggu? Ayo kita segera pergi menyelamatkan Namikaze-senpai," ujar Mana.

Shinji mengangguk, setuju dengan kata-kata Mana.

Mio kebingungan.

"Kalian mengenal Naruto?"

Shinji menggaruk pipinya, tertawa gugup.

"Aku dan Mana… sering meminta bantuannya terkait pelajaran fisika dan sejarah para pahlawan."

Mio menyipitkan matanya.

"Dan aku tidak tahu ini karena?"

"Karena kami meminta bantuannya pada saat jam istirahat, tepatnya saat dia sendirian di perpustakaan," jelas Mana.

"Meski begitu kalian tidak aku ijinkan ikut bersamaku."

""Kenapa?!""

"Siapa yang menjaga rumah ini jika semua penghuninya tidak ada?"

Shinji dan Mana meringis, sadar kalau apa yang dikatakan kakak mereka memang benar adanya.

Mio tersenyum lembut.

"Aku tahu kalian cemas terhadap keadaannya. Tapi, kalian jangan khawatir. Aku tidak akan membiarkan dia masuk ke dalam 'dunia' kita, 'dunia' kita terlalu berbahaya bagi manusia sepertinya. Kalian percaya kepadaku, 'kan?"

Mereka menganggukkan kepalanya.

Puas, Mio melangkah ke pintu utama dan mengenakan sepatu kasual, keluar dari rumahnya dan memandang bulan selama beberapa menit. Perlahan namun pasti, sepasang taring terlihat di bagian atas dan bawah mulutnya, cakar demi cakar tumbuh di sekitar jari kedua lengannya dan warna matanya berubah dari kelabu menjadi amber yang menyala terang. Dia menggeram bagaikan hewan buas sebelum meraung.

"▂▂▂▃▃▃▅▅▅!"

Line Break

Naruto bisa saja terjatuh ke tanah jika punggungnya tidak menabrak sebuah pohon. Meski keadaannya seperti itu tangannya dengan sibuk mencari nomor lain, seseorang yang dia kenal memiliki pekerjaan sebagai polisi.

Line Break

Mendengar nada dering hapenya, Kurama meraih ponselnya dan membaca nama yang meneleponnya. Selagi memutar stir ke kanan, Itachi bertanya.

"Siapa?"

"Naruto."

"Naruto? Oh. Angkat saja kalau begitu."

Kurama mengangguk, menekan gambar hijau di layar sebelum mendekatkan ponselnya ke telinganya.

"Ada apa Naruto?… Tunggu sebentar! Kau tidak bercanda, bukan?… Kau tunggu di sana dan jangan pergi ke mana-mana."

Itachi penasaran dengan isi percakapan mereka.

"Dia bicara apa?"

Untuk pertama kalinya, Itachi melihat Kurama menyeringai seakan dia baru saja memenangkan tiket hadiah untuk masuk ke klub malam.

Line Break

"Baik. Semuanya sudah selesai kuberitahu. Sekarang tinggal–"

Apapun yang ingin dikatakan Naruto kembali ke tenggorokannya ketika ia memandang 'Hinata' yang seharusnya masih dalam kondisi tak sadarkan diri menghilang entah ke mana.

"–mengawasi tubuh palsu Nee-san."

Naruto menatap sekelilingnya, melihat dari satu sudut ke sudut yang lainnya. Naruto bergerak ke sebuah pohon dan memeriksa belakang itu, namun hanya kegagalan yang didapatnya. Tidak menyerah, Naruto melakukan hal yang serupa seperti sebelumnya tapi kali ini pohon yang berbeda. Walaupun demikian, tetap tidak ada perubahan.

'Kemana mayat duplikat itu?'

Whush.

Naruto langsung menengok ke sumber suara ketika mendengar itu, keningnya mengerut ketika memandang daun-daun kering beterbangan akibat ulah angin yang nakal.

'Aneh.'

Whush.

Brak.

"Gakgh!"

Sontak Naruto menemukan dirinya terangkat ke udara dan punggungnya menghantam batu berukuran besar dengan keras. Meringis, Naruto membulatkan bola matanya, melihat 'Hinata' mencengkeram lehernya dengan matanya bersinar akan warna kuning. Yang membuat pemuda pirang itu terkejut bukanlah warna mata ataupun aksinya, melainkan setengah wajah 'Hinata' berwarna putih pucat layaknya mayat.

"Menyuntik Nee-san mu sendiri? Kau sungguh adik yang bandel Naruto-kun. Meski itu tidak membunuhku, entah kenapa DNA-ku jadi kacau sehingga membuatku tidak dapat mempertahankan wujudku."

Naruto memaksakan diri untuk berbicara.

"S-Siapa *cough* kau *cough* sebenarnya?"

'Hinata' menyeringai lebar, merebut hape Naruto dari tangan pemiliknya dan mengambil selfie bersamanya. Lalu dia membuang itu ke tanah.

"Pertama, aku bukanlah manusia. Kedua, jika kau bertanya-tanya kenapa aku mengambil foto, jawabannya adalah : aku. Tidak. Takut. Terhadap. MANUSIA!"

Setelah pernyataan itu, ShapeShifter-Hinata membanting Naruto ke tanah. Merasa belum puas, ShapeShifter-Hinata memukul Naruto diiringi dengan tawa yang membahana. Naruto mencoba bertahan dengan menyilangkan lengannya di depan wajahnya, meski begitu rasa sakit yang diterimanya perlahan bertambah.

"Ada apa Naruto-kun?! Tidak berani menyerang wanita?!"

Naruto menggertakkan giginya.

'Pikirkan jalan keluarnya Naruto! Nyawamu dipertaruhkan di sini!'

Dia benci mengakuinya, tapi dalam hal kekuatan fisik dia kalah jauh dari makhluk ini. Oleh sebab itu, satu-satunya cara untuk menutupi kekurangannya adalah…

"Kalian datang juga!"

ShapeShifter-Hinata terkejut dan refleks mengikuti arah pandangan Naruto karena kepanikan langsung menguasai hatinya. Melihat kesempatan emas, tanpa pikir panjang Naruto mengeluarkan suntikan terakhir dan menancapkan itu pada leher ShapeShifter-Hinata, membuatnya menjerit seperti menahan sakit yang dibarengi dengan wajah 'Hinata' yang lenyap seutuhnya, terakhir dia menendang perutnya sehingga terpental beberapa meter. Bangkit, Naruto dapat melihat wujud si makhluk sesungguhnya sekarang.

Dengan tinggi menyamai manusia dewasa, kulit pucat dari ujung kepala hingga ke ujung kuku, mata kuning bersinar yang menyiratkan kebengisan dan kejahatan murni. Sang makhluk yang diketahui sebagai ShapeShifter ini menyeringai lebar, membiarkan barisan gigi tajamnya terlihat oleh Naruto, berharap kalau manusia di depannya itu takut melihat bentuk giginya. Namun, alangkah terkejutnya dia ketika Naruto hanya diam dengan ekspresi datar di wajahnya.

"Syukurlah kalau kau bukan Vampir."

ShapeShifter menggeram.

"KENAPA MANUSIA SEPERTIMU TIDAK TAKUT KEPADAKU?!"

'Karena aku pernah menghadapi hal yang lebih buruk daripada kau.'

Naruto mengabaikan fakta kalau makhluk di depannya baru saja berteriak dengan suara perempuan. Dia memiringkan kepalanya ke samping, melihat ponselnya berada tepat di sebelah kaki ShapeShifter.

'Ayolah! Ayolah! Ayolah!'

Kebingungan dengan apa yang dilakukan calon mangsanya itu, ShapeShifter mengikuti arah pandangannya, menyeringai saat melihat ponsel yang merupakan milik Naruto tergeletak di sebelah kakinya. Mengambil alat elektronik tersebut, dia mengirim senyum remeh kepadanya, tak sadar mengetuk bagian layar itu.

"Mencari ini?"

Berpikir kalau pemuda pirang itu akan ketakutan kali ini, ShapeShifter keheranan saat Naruto menghembuskan nafas, seolah-olah dia lega karena sang makhluk mengambil ponselnya.

"Aku beruntung ada seseorang di dunia ini yang letak otaknya berada di dengkul," ujar Naruto, mengikuti gaya bicara temannya yang memiliki model rambut seperti bokong bebek.

Merasa terhina, ShapeShifter menggeram...

"Kau–

…sebelum flash dari hape Naruto tiba-tiba menyala dan membutakan penglihatannya.

"Arghh! Mataku!"

Naruto tersenyum pada dirinya sendiri.

Sebelum membuka pintu kamarnya, Naruto mengeluarkan ponselnya dan mengaktifkan fitur auto flash yang akan aktif ketika seseorang selain dia menyentuh layar ponselnya selama lebih dari satu menit.

"Semoga rencana cadangan ini berhasil," gumamnya pelan.

Selagi ShapeShifter meraung sambil menggosok matanya akibat rasa sakit yang terasa di indra penglihatannya, Naruto bergegas mengambil ponselnya dan segera kabur dari tempat itu, berlari sejauh yang dia bisa dengan fitur senter yang aktif di hapenya. Tidak lama kemudian, Naruto terkejut ketika kakinya menabrak sesuatu yang keras, membuatnya kehilangan keseimbangan dan berguling menurun di tanah sebelum keningnya menghantam batu secara kasar. Meringis, Naruto bisa merasakan pandangannya mulai kabur dibarengi rasa pusing di kepala. Mendengar suara langkah kaki, dengan sisa tenaga yang tersisa Naruto mengangkat kepalanya, kelegaan dirasakan olehnya saat ia melihat Mio.

Di sisi lain, Mio merasakan kemarahan luar biasa ketika ia mengamati kondisi Naruto. Menarik nafas kemudian membuangnya, dia meletakkan tangan Naruto di sekitar lehernya, dengan hati-hati membawanya ke sebuah pohon lalu mengistirahatkannya di sana.

"Kepalamu... Kepalamu berdarah."

Mendengar perkataan Mio, Naruto menyentuh anggota tubuh yang diberitahu olehnya, mencermati lengannya yang sedikit berwarna merah di bagian jari telunjuk serta ibu jari. Tersenyum lemah, Naruto meletakkan ponselnya pada telapak tangan Mio yang terbuka lalu mulutnya terbuka.

"Kau harus... Berikan ini pada seseorang yang bernama Kurama."

Setelah mengatakan itu, Naruto menutup matanya. Mio panik mendengar suara detak jantung Naruto mulai mengecil menit demi menit. Merasa tidak ada pilihan lain, Mio memegang erat lengan Naruto lalu berkonsentrasi, tiba-tiba sebuah aliran ungu bergerak dari pembuluh nadi si remaja pirang menuju lengan gadis berambut abu-abu. Seiring waktu berjalan, luka di kepala Naruto yang mengalami pendarahan perlahan sembuh dengan sendirinya.

Merasa cukup, Mio melepaskan lengan Naruto, mencoba mengatur pernapasannya yang tidak beraturan, keringat terlihat menumpuk di dahinya dan lambat laun berjatuhan ke tanah. Meski keadaannya seperti itu, Mio berseri mendengar jantung Naruto berdetak normal kembali.

"Di sini rupanya!"

Mio melirik ke belakang saat ia bangkit, melihat kehadiran ShapeShifter yang membiarkan gigi tak normalnya dilihat oleh sang werewolf betina. Marah, Mio melangkah ke arah ShapeShifter, yang kaget dan berjalan mundur karena takut dengan tatapan yang diterimanya.

"Monster lemah, rendahan, dan pengecut sepertimu berani menyerang seseorang yang mungkin bisa menerimaku apa adanya?!" Dia melepas geraman buas, mengakibatkan cakar tumbuh di sekitar jari-jari lengannya dan warna matanya berubah dari biru menjadi amber yang bersinar dalam kegelapan. "Kau sudah membuat kesalahan yang sangat besar Perubah Bentuk!"

ShapeShifter panik. Dari semua makhluk yang ditemuinya, dia malah bertemu Werewolf yang terkenal akan kebrutalan mereka dalam pertempuran jarak dekat. Mencoba kabur, dia tercengang ketika Mio tiba-tiba muncul di hadapannya, memblokir satu-satunya jalan keluarnya.

"K-Kumohon. J-Jangan bun–"

Mio tanpa pikir panjang mencabik leher ShapeShifter, meninju perutnya hingga tembus lalu mengeluarkan paksa jantungnya sebelum menghancurkan itu dengan cara menginjaknya, akibatnya genangan darah berwarna hitam kehijauan bermunculan di tanah.

Meskipun keadaannya yang sedang sekarat, adrenalin yang dirasakan Naruto tetaplah tinggi. Dia tak tahu kalau ketegangan yang dirasakannya sebelumnya menarik minat laba-laba yang dikendalikan oleh cairan hitam, yang merasa kalau si pemuda pirang layak untuk menjadi inang pertama dan terakhirnya. Dengan gerakan cepat, cairan hitam melompat dari laba-laba dan mendarat di wajah Naruto. Itu mulai masuk ke dalam tubuhnya melalui lubang hidung, telinga, terakhir mulut yang sedikit terbuka.

Beralih pada Naruto, Mio yang baru ingin membawanya keluar dari habitat hewan liar tersebut, terpaksa mengurungkan niatnya ketika bunyi langkah kaki terdengar dari sisi lain hutan. Mendecih, Mio memutar badan sebelum bergerak menuju rumahnya dalam kecepatan yang tidak normal bagi manusia.

Beberapa menit kemudian, Kurama dan Itachi sampai ke tempat Naruto mengandalkan GPSyang aktif di hape si pemuda pirang. Mereka menahan diri untuk tidak muntah melihat keadaan mayat ShapShifter yang tergeletak tak jauh dari tubuhnya.

"Senju, menurutmu apakah mayat itu adalah pelaku asli dari pembunuhan yang selama ini terjadi?" tanya Itachi pada Kurama.

Kurama terdiam, ekspresinya mengeras.

"Sejujurnya Uchiha, aku lebih penasaran apakah mayat ini manusia… atau sesuatu yang lain?"

T-B-C

A/N: Hallo reader sekalian! Seperti yang kalian lihat, author membuat cerita baru dengan tema supernatural. Bagaimana menurut kalian, apakah chapter awal ini menarik?

Untuk referensi bentuk Werewolf di fic ini, kalian bisa lihat di wikipedia serial tv Teen Wolf, author terinspirasi dari sana.

Seperti yang kalian lihat, di sini Naruto akan bekerja sama dengan Venom untuk menghadapi makhluk-makhluk supernatural lainnya. Author juga ada rencana memasukkan alien lain selain Symbiote di fic ini.

Untuk pairing, Naruto akan memiliki kekasih yang berasal dari ras yang berbeda-beda. Intinya harem.

Soal fanfic Half, itu sedang dalam masa pengerjaan. Mohon bersabar bagi yang menantikannya :)

Ciao!

[Railgun37: Log out]