Not Him or He and He

Disclaimer: Asagiri Kafka

Warning: OOC, typo, alur kecepetan (?), dll.

Author tidak mengambil keuntungan apa pun dari fanfic ini dan semata-mata dibuat untuk bersenang-senang.


Chapter 1: OdaDaz

Langkah dua pemuda menjadi satu-satunya lagu yang mengalun di puncak malam. Mereka baru menjauhkan langkah dari Bar Lupin–tempat biasa menongkrong kala sibuk mereda sampai jari lupa cara berhitung. Sebenarnya, ada seorang lagi yang juga mengobrolkan rupa-rupa hal–ia pergi duluan usai meneguk jus tomat dan bertukar beberapa kalimat, jadilah tidak pulang bersama-sama.

Sebenarnya juga kalau boleh mengaku, jalan pulang mereka bertiga lain arah apa lagi tujuan. Namun, bagi Oda Sakunosuke yang malam itu wajahnya agak merah, menemani Dazai Osamu pulang telah menjadi rutinitas tanpa melewatkan satu kehadiran pun. Sahabatnya itu tidak pernah dan mustahil meminta begituan. Dia sendiri mengaku sukarela setiap ditanya oleh wajah-wajah penasaran yang selalu mempertanyakan alasannya.

"Aku jadi teringat sesuatu saat lewat gang ini." Diam bukanlah pribadi yang dimilikinya. Apa pun rasa dan kalimat dalam benak, semua akan diucapkan tanpa terkecuali.

"Saat kamu pulang bersama Nakahara-san kemarin?" Oda ingat walau samar. Seorang beridentitas Nakahara Chuuya diceritakan mabuk berat dan sebagai rekannya, Dazai wajib mengantar dia pulang.

"Padahal tidak kuat, tetapi minumnya banyak sampai tambah. Di perjalanan pulang dia berteriak 'aku pasti membunuhmu!' sampai orang-orang berlari ketakutan. Karena Chuuya sangat menyusahkan, aku membawanya pulang ke apartemenku."

"Pantas kalian lewat gang. Apa dia baik-baik saja?"

"Salah, Odasaku~ Seharusnya kamu menanyakan itu padaku. Bengkak di pipiku ini karena ditonjok sama Chuuya," keluh Dazai menunjuk luka yang dimaksud. Untung dia baik hati sehingga berhenti mengungkitnya pada yang bersangkutan.

"Kamu pasti melakukan sesuatu padanya."

"Hanya sedikit iseng, kok. Aku meninggalkan Chuuya dan bersembunyi terus bikin gaduh. Kemudian dia teriak, 'HOI DAZAI, DI MANA KAU?!' dengan panik. Saat aku menampakkan wajah dia malah memukulku. Apa maksudnya coba?"

"Nakahara-san mungkin berpikir kamu telah diculik dan yang menampakkan diri adalah musuh."

"Chuuya juga bilang begitu. Katanya, 'aku menghajar musuh yang menculikmu kemarin. Jadi, berterima kasihlah padaku'. Dia bahkan tidak bisa membedakan wajah musuh dan rekannya sendiri, untuk apa aku berterima kasih."

"Kalian benar-benar akrab, ya." Bukan kali pertama Dazai akan menghela napas dan mencibir jika seseorang berpendapat demikian. Lebih-lebih Oda mengucapkannya penuh ketulusan.

"Meski, ya ... mengisengi Chuuya memang seru. Aku pernah menempelkan bekas permen karet di kursinya yang kulumur lagi menggunakan lem. Karena sulit dilepas, dia terpaksa pulang dengan permen karet menempel di pantat dan ditertawakan orang-orang."

"Aku kaget dia sabar." Duet soukoku diresmikan setahun lalu. Dalam 365 hari yang dibagi menjadi bulan dan dipecah lagi ke 24 jam per hari, entah berapa ratus keisengan yang Dazai perbuat jika ditotalkan seluruhnya.

"Sabarnya tidak ikhlas menurutku. Aku minta tolong untuk membuatkan laporan, tetapi Chuuya malah cerewet dan marah-marah menyuruhku mengerjakannya sendiri."

"Laporan memang harus dikerjakan sendiri, bukan? Tugas eksekutif pasti sangat banyak."

"Tetapi di awal kita sudah sepakat kalau Chuuya mengerjakan laporan dan aku merevisi." Bohong jelas. Kenyataannya Dazai justru menganggur dan asyik bermain PSP daripada terjaga di meja kerja.

"Saat Chuuya menolak mengerjakan laporanku, aku bilang akan membelikannya wine dan dia langsung menurut. Coba Odasaku tebak kelanjutannya~"

"Kamu tidak membelikannya?"

"Tepat sekali! Aku hanya mencampur air putih dengan pewarna dan memberikannya pada Chuuya. Tetapi dia pingsan setelah itu. Kata bos keracunan minuman."

"Jangan bilang kamu salah kasih."

"Odasaku memang mengerti aku~ Ternyata itu pewarna tekstil yang sengaja kubeli untuk percobaan bunuh diri, tetapi malah tertukar."

"Lalu, lalu ... Chuuya juga ..."

Cerewet dan menyebalkannya Nakahara Chuuya menjadi topik yang mengisi kosong udara namun menghampakan sepotong hati. Tidakkah Dazai sadar ada diam yang ingin dicintai seperti celoteh-celoteh riang itu? Diperhatikan oleh kalimatnya dan merasai cinta seturut arah jarum jam–penuh tanpa pengecualian?

Oda merasa bodoh karena secemburu ini. Siapa dirinya sampai kecewa akan masa lalu yang bukan tentang mereka begitupun nanti? Dazai berhak bahagia dengan mencintai pilihannya. Kesenangan orang dewasa justru menjatuhkan diri pada keputusan anak muda yang dilandasi ketulusan, bukan?

"Tetapi, yang paling aku suka saat Chuuya bilang, 'jangan sembarangan pergi'. Dia memang tsundere akut ternyata." Senyumnya mungkin tengah membingkai kebahagiaan yang lucunya Oda pahami–bahkan, tiada sekali pengertiannya gagal menumbuhkan pemahaman.


Apa pemahaman memang hadir untuk membahagiakan orang lain dan memaksa kita menerima apa adanya, baik suka maupun benci?


"Pasti rasanya menyenangkan ketika jatuh cinta." Kenapa dia bilang? Peluangnya menipis bahkan hilang jika demikian.

"Jatuh cinta, ya ... aku jadi ingin meminta saran."

"Tentu. Kamu boleh menanyakan apa pun."

"Odasaku pasti tahu soukoku dibentuk karena kemampuanku untuk menetralisir corruption milik Chuuya. Karena itu, dia jadi berutang nyawa padaku."

"Apa dengan alasan itu, aku boleh menjadikannya milikku?"

Sebelah mata itu menjadi malam kedua yang Oda saksikan dengan kejut. Mafia memang kejam. Para manusianya dipaksa berhenti merasai kemanusiaan seperti cinta, belas kasih, kebaikan dan ketulusan yang diharuskan menjadi kebalikannya. Dazai boleh menyembunyikan segalanya dalam keriangan. Namun, apa yang terkatakan oleh gelap pandang itu adalah suara dari darahnya yang menggantikan hati untuk bertindak melalui mata.

Kemanusiaan tidak memaknai cinta sebagai paksaan. Rasa tersebut mekar dengan kerelaan yang mengizinkan dua hati menjadi satu dalam tuju, sepakat akan kebersamaan entah bersukaria, berdukacita dan lainnya. Jika salah seorang melangkah sementara yang lain enggan, mereka bukanlah saling melainkan paling dalam mencintai–hanya tahu meruntuhkan interaksi dan mengeruhkan rasa.

'Kesenangan orang dewasa menjatuhkan diri pada keputusan anak muda yang dilandasi ketulusan', Oda mengulang kalimat tersebut karena pada hakikatnya, melupakan adalah inti jiwa manusia. Dazai ada untuk bahagia–setidaknya ia bisa memaknai cinta dengan hati dan membahagiakan Chuuya tanpa memaksakan kehendak.

"Alasanmu seharusnya lebih tulus, Dazai." Rambut ikalnya dielus lembut. Eksekutif muda itu tersadarkan dari niat busuk yang semula menenggelamkannya.

"Contohnya? Entah kenapa aku tidak paham."

"Misalnya seperti mencintai karena kepribadian. Aku juga melakukannya pada anak-anak."

"Heee ...~ Tetapi Odasaku, rasanya contohmu kurang pas. Atau begini saja, kamu jawab pertanyaanku dengan jujur." Anggukan diberi sebagai jawaban. Senyum usil Dazai entah bagaimana memberi firasat buruk.

"Apa Odasaku sedang jatuh cinta? Dan apa alasanmu mencintainya?" Ah, mendadak sekali, ya? Bagaimana dia bereaksi atau menjawab tidaklah penting. Oda hanya perlu jujur dan menanamkan arti yang lebih baik.

"Aku jatuh cinta pada seseorang yang lebih muda. Kalau ditanya alasannya, seperti kataku tadi karena kepribadiannya. Dia orang yang baik, kuharap nanti aku bisa membawanya keluar dari kegelapan."

"Siapa sangka Odasaku suka yang lebih muda. Dengan alasan dan kebaikanmu tadi, aku yakin dia juga menyukaimu."

"Benarkah? Aku pasti senang jika demikian." Mendadak Dazai maju beberapa langkah. Oda berhenti melangkah sembari menatap heran kepada yang bersangkutan. Bulan tampak menyoroti tubuh jangkung itu. Mereka seakan bermain dramatisasi.

"Dia menyukai Odasaku sebagai sahabat dan ayah yang baik. Meski caranya buruk dalam mencintai orang lain, tetapi dia tahu untuk tulus hanya kepadamu."

"Sekarang juga aku yakin, dia pasti sedang tersenyum lebar kepadamu." Dan Dazai melakukannya di hadapan Oda. Mereka terdiam sampai bulan melangkah bersembunyi di balik awan.

Pukul berapa sekarang? Apa jarum jam masih berdetak dalam jantungnya yang mendadak berhenti? Penolakan itu nyata sementara kemampuannya diirasionalkan–masa depan dalam enam detik yang singkat tidak menyelamatkan nyawanya kali ini, Oda terpaksa 'mati' usai ditikam sebegitu keras namun tulus.

Mungkin, salahnya juga merajut asa dengan kaca dan bukan besi. Namun, jika harapan dipilin menggunakan besi, hati tidak mungkin tahu cara menjaganya agar tetap utuh–seluruh kemanisan itu akan hilang arti begitupun rasa. Meski pecah berkeping-keping seperti yang kini Oda rasai, karena keinginannya terbuat dari kaca maka ia bisa menyusunnya sekali lagi–menjadikannya lebih kuat untuk diterbangkan dengan ketegaran berlipat.

"Dan aku akan bahagia karena melihatnya tersenyum."

Sekaligus mati rasa karena berbohong.

OdaDaz,

Tamat.

A/N: Cerita ini terbagi jadi 3 chapter, yang pertama itu OdaDaz, kedua OdaAngo dan ketiga ChuuAku. Jadwal update-nya tiap minggu kalo enggak lupa. Thx buat yang udah baca, review, fav sama follow. Dan untuk seterusnya selama masih februari, aku bakal spam di fandom ini sebelum UNBK wkwkw. Mohon maaf bila nanti berasa spam~