BROKEN
Park EunRa JewELFishy
Dong Hae, Hyuk Jae
T+
Hurt/Comfort, Angst
Disclaimer :
"All casts belong to God, just borrow their name dan this story is MINE"
If you don't like it, just click [x] button or changed another story
Lil' note :
Yumi's appearance for support this story *Y : wink*
Happy Reading
.
.
.
.
.
.
.
.
Di suatu ruangan kosong dengan dua kursi yang saling berhadapan dengan meja sebagai pemisahnya, ada seorang wanita bersetelan rapi duduk di salah satu kursi tersebut. Jemari-nya berkutat dengan sebuah dokumen yang hari ini akan digunakannya. "...", ia tak bersuara enggan menghilangkan keheningan ruangan yang ia tempati... ia tengah menunggu seseorang.
Jam pada pergelangan tangannya menunjukkan angka 18:59, sebentar lagi...
"...", dokumen yang sedari tadi ia pegang kini tergeletak dengan rapi di atas meja. Ia menatap pintu karena merasakan ada yang datang kemari... dan kembali ia melirik jam tangannya, 19:00.
"silahkan masuk", sahutnya memenuhi ruangan tersebut yang disusul suara pintu terbuka dan tertutup, menampakkan seorang pemuda tampan yang menatapnya datar. "duduklah...", ucap wanita itu saat melihatnya hanya diam mematung di pintu. "...", pemuda itu mendekatinya kemudian duduk sesuai titahnya dan keheningan kembali berlanjut. "...", wanita itu menatapnya intens dari atas ke bawas sedangkan pemuda itu hanya menatapnya datar.
"baiklah, perkenalkan namaku Yumi Liu... kau bisa memanggilku Yumi-ssi", wanita itu bersua sekedar basa-basi. "...", pemuda itu hanya diam. "... kita langsung saja—", ia menatap gelagat pemuda yang terlihat waspada itu saat ia hendak mengambil sesuatu dalam tasnya. "tenang, aku hanya mengambil buku dan pulpen...", lanjutnya sambil menunjukkan buku note dan pulpen dari tas.
"ku dengar, kau membuat orang-orang yang sepertiku sebelumnya menyerah ya? Apa yang kau lakukan pada mereka?", tanya Yumi setelah merasa sudah siap untuk berbincang-bincang dengannya. "…", pemuda itu masih diam dan wanita itu menghela nafasnya. "emm… kau tidak bisu kan? Tak usah tegang seperti itu, kita hanya mengobrol santai… aku takkan berbuat apapun, hanya mengobrol saja…", jelasnya dan akhirnya pemuda merespon dengan anggukan kecil.
"jadi, apa yang kau lakukan pada mereka?", ulang Yumi.
"banyak…", jawab pemuda itu. "banyak…? Banyak seperti apa?",
"melempar, menendang, memukul, menusuk…", Yumi mengangguk pelan. "kenapa kau melakukannya?", dengan tenang wanita itu bertanya kembali. "mereka… memaksaku untuk minum itu… aku tak mau…", ia menjawabnya sedikit lirih. "kenapa tak mau? Jika kau minum itu kau akan baik-baik saja bukan?", pemuda itu menggeleng.
"aku tak mau…",
Yumi terlihat berpikir sebentar, ia sedikit melirik judul dokumen di sebelahnya. "baiklah, kita kesampingkan itu…", ia sedikit meregangkan tubuhnya menyamankan dirinya sesaat. "aku ingin mengenalmu… apa kau bisa menceritakan tentang dirimu?", ia kembali bertanya dengan santai agar pemuda di depannya ini bisa merasa lebih tenang walau sedikit.
"…baiklah…",
Melihat pemuda itu sedikit rileks, Yumi menyiapkan pulpennya sekedar mencatat hal penting nanti. "oke, ceritakanlah apa yang kau ingat… santai saja dan jangan terlalu tegang, aku tak menggigit kok…", Yumi tersenyum simpul. "…", ia hanya mengangguk. "baiklah, Dong Hae-ssi… coba ceritakan ingatan pertamamu…", pemuda itu berpikir sesaat.
"ingatan… pertama-ku…", Yumi mendengarkannya antusias.
"aku… mengingat… sebuah rumah sakit, para dokter… dan pemeriksaan…",
.
.
.
.
Saat itu…
Aku berusia tiga tahun…
.
.
Aroma khas rumah sakit menusuk indera penciumanku, aku berada di suatu ruangan… yang entah sudah berapa kali ku tempati. Aku sendirian, duduk di atas ranjang rumah sakit seorang diri… tak ada siapapun. Ayah dan ibuku… mereka berada di luar ruangan ini… menunggu…
Suara pintu menggema, ku melihat dua-tiga dokter yang selalu menangani-ku sejak pertama kali aku ke sini. Ku hanya diam, melihat mereka yang bersiap-siap untuk memeriksaku… satu dari mereka menghampiriku.
"Donghae-ah, ini yang terakhir… kau siap?", aku hanya mengangguk samar dan mereka memulai pemeriksaannya.
Ayahku bilang kalau… aku 'rusak'… Dan dokter-dokter ini mencoba 'memperbaiku'…
Orang tua-ku mencoba untuk menjelaskan apa yang salah denganku, mereka menjelaskan apa yang membuatku berbeda dengan orang lain…
Aku sama sekali tidak mengerti.
Tiga puluh menit berlalu, pemeriksaan telah usai. Aku membenarkan pakaianku, dokter menyuruhku untuk tetap di ruangan. Mereka melangkah keluar, dan orang tua-ku melangkah masuk. Ibuku menghampiriku, ia duduk di sebelahku dan memelukku dengan kehangatannya. Ayahku hanya berdiri di ambang pintu, menunggu kehadiran dokter yang kini sedang berdiskusi untuk hasil akhirnya.
"kau akan baik-baik saja…", ibu menggumam pelan sembari mengusap pucuk kepalaku. Kami hanya diam tanpa mengeluarkan sepatah kata tiga puluh menit lainnya… hingga ayahku melangkah keluar saat ia melihat sosok dokter sudah kembali dan ibuku menyusul ayahku… aku tetap tak beranjak dari tempatku. Kedua orang tuaku di depan pintu bersama sang dokter, aku bisa mendengarnya dengan jelas apa yang mereka bicarakan.
"…", percakapan yang di akhiri desahan frustasi ayahku, dokter yang meminta maaf dan pamit mengundurkan diri, ibuku yang mencoba menenangkan ayahku sebisanya.
Aku mendengar…
Dokter mengaku bahwa…
Mereka tak bisa 'memperbaiki-ku'…
Mereka bilang aku takkan pernah bisa menjadi orang 'normal', atau hidup 'normal'.
.
.
.
.
"…", pulpen yang di pegang bergerak menggoreskan suatu kalimat. Yumi menuliskan sesuatu dalam buku miliknya setelah mendengarnya bercerita. "hmm… seperti itu ya…", ia bergumam tak jelas… kemudian melirik Donghae dengan wajah datar yang sama, tanpa perubahan sama sekali. 'agak serem juga sih… cerita tanpa ekspresi…', pikir Yumi.
"…?", ia mengernyit karena melihat pergerakan mata pemuda tersebut… yang mengarah pada buku miliknya. "ah, ini? Bukan apa-apa… aku hanya merasa sedikit bosan..", jelas wanita itu. "oke… bisa kau lanjutkan lagi…? Kisahmu?",
"…", Donghae memejamkan matanya sejenak.
.
.
.
.
Selama aku tumbuh, aku mulai mengerti apa yang salah denganku.
.
.
Kala itu, aku sendirian di sebuah taman. Duduk disebuah ayunan tua di sana seorang diri, sembari melihat kumpulan anak seusiaku yang bermain dengan riangnya. "…", ku merasa anak-anak itu melihatku sekilas yang kemudian mereka melanjutkan permainan mereka, menganggap aku tak ada di sini.
Kini umurku tujuh tahun, aku mulai memahami… bahwa aku berbeda dengan orang lain. Aku mencoba membandingkan diriku, dengan orang-orang di sekitarku. Beragam ekspresi yang terlihat jelas pada wajah mereka... mereka tertawa saat senang, mereka menangis saat sedih, mereka berteriak saat marah… namun tidak denganku… wajah datar tanpa ekspresi yang selalu ku lihat setiap aku memandangi cermin… karena, aku tak pernah merasakan apa yang mereka rasakan.
Aku hanya merasa… kosong, hampa, tak lengkap.
"Donghae-ah…", suara berat seseorang memanggilku, ku lihat ayahku melangkah menghampiriku dengan seragam kerjanya… kurasa ia baru pulang kerja. "kenapa di sini? Ayo, kita pulang…", tangah besar itu menggenggam tanganku. Aku dan ayah melangkah pulang dengan pembicaraan satu arah oleh ayahku, dan aku hanya menggumam kecil sebagai jawabannya.
Setelah pemeriksaan terakhir di rumah sakit, Ayahku dengan putus asa ingin menolongku. Mencoba ke rumah sakit atau psikiater untuk menyembuhkanku walau hasilnya tetap sama. Tetapi, jika ayahku begitu putus asa dan cemas... berbeda dengan ibuku... ia tak seperti ayahku.
Kami pulang ke rumah seperti biasa, suara lelah ayahku sedikit menggema setelah memasuki rumah yang kemudian disahut oleh ibuku yang berkutat di dapur menyiapkan makan malam. Ayah menyuruhku ke ruang makan sedangkan dirinya ingin membersihkan diri.
Aku melangkah dengan tenang menuju dapur, dan langsung duduk di kursi... menunggu makan malam siap. "aah~ Donghae-ya, kau sudah pulang...?", sahut ibuku sambil membawa hidangan makan malam. "...", aku hanya diam. Ku terus melihat ibuku yang sibuk bolak-balik untuk persiapan makan malam.
Dibandingkan dengan ayah, ibu tak sepenuhnya mengkhawatirkanku. Ia pernah bilang kalau ia benar-benar seperti diriku saat ia kecil. Terpintas, perkataan ibuku... tiga hari setelah pemeriksaan.
Ia berkata, suatu hari, aku akan bertemu seseorang yang istimewa. Ia mengatakan aku akan bertemu seseorang yang akan membuatku merasa… 'lengkap'.
.
.
.
.
Wanita itu menyimak dengan khidmat sembari mencatat. Sesekali ia melirik pemuda tersebut yang kelihatannya masih rileks untuk bercerita. Ia tetap diam, membiarkan pemuda dihadapannya ini untuk bercerita sampai tuntas.
.
.
.
.
Satu minggu kemudian,
Ayah dan ibu bertengkar...
.
.
Mereka bertengkar karena ibuku berkata bahwa aku sama sepertinya, menjalani hidup kekosongan sampai aku bertemu seseorang. Ayahku tak mau mendengar kata-kata ibuku. Ia menginginkan anak normal lebih dari apapun di dunia ini.
Setelah pertengkaran itu, mereka menjadi diam satu sama lain. Ayahku yang sibuk bekerja dan terus mencari solusi untuk menyembuhkanku, sedangkan ibuku bersikap biasa saja dengan pekerjaan pribadi dan rumah tangga-nya. Aku melihat mereka berdua yang berjalan ke sana-sini tanpa tegur sapa, seolah mereka adalah orang asing.
Suatu hari, ayah membelikan ku mainan…
"Donghae-ah~ lihat apa yang ayah bawa…", kutatap ayahku yang menunjukkan sebuah mainan berupa figure gundam yang masih tersimpan rapi di dalam kotak kemasan. "…", aku menerimanya kemudian menatap ayahku yang tersenyum. Setiap satu bulan sekali, ayahku membelikanku beragam mainan ataupun boneka.
Ia mencoba segalanya untuk membuatku senang. Namun… tak berhasil.
"…", ku melirik tumpukan mainan di belakangku kemudian menatap mainan yang di pegang ayahku. "…", aku langsung meninggalkan ayahku yang hanya diam. Aku tak pernah merasa senang. Tapi aku merasa… kasihan.
Aku merasa kasihan dengan pria menyedihkan ini.
Suatu malam, ayahku pulang dengan raut wajah lelahnya. Ayah melangkah menuju dapur, membuka kulkas dan mengambil kaleng minum warna hijau kemudian duduk pada salah satu bangku di sana. "…", aku menatapnya dari balik dinding. Bisa ku lihat jelas raut wajahnya yang teramat sangat lelah seolah ia sudah putus asa dengan keadaanku.
Terlintas dalam pikiranku, aku ingin mencoba sesuatu. Aku tak ingin ayahku khawatir… maka, aku mulai bertingkah seperti anak lainnya.
Aku mencoba meniru dari televisi, entah itu acara film anak-anak ataupun lainnya. Ku mencoba menirukan beragam ekspresi… dan akhirnya berhasil.
Aku berpura-pura menjadi 'normal'.
Aku mempraktekannya saat ayahku membawa makanan dari luar karena ibuku sedang tak enak badan. Wajah kaku-ku, ku coba membuat sebuah senyuman yang tak pernah ku buat. Ayahku melihatnya, dan ia merasa senang, sangat senang hingga memelukku dengan erat.
Ayah menggendongku menuju ruang makan di mana ibuku menyiapkan minum untuk kami. Ibuku tersenyum melihatku, walau aku tak tahu apa maksud dari senyumannya itu.
kami akhirnya menjadi keluarga yang normal…
kami melakukan banyak hal yang tak sempat kami lakukan, seperti piknik, berbelanja, bermain ke taman ria, dan lain sebagainya… semuanya tampak normal dari luar...
Namun, kupikir ayah tahu… jauh di lubuk hatinya, aku hanya berpura-pura.
.
.
.
.
"…", wanita itu berhenti menulis sesaat. Mendengar kisah kecilnya mengingatkan dirinya pada sosok ayahnya yang kini berada di luar negeri karena urusan pekerjaan… yang sangat melelahkan untuk seorang pria berkepala 4… dan ia menghela nafasnya pelan.
"baiklah… lalu, bagaimana dengan masa sekolahmu?", Yumi bersahut melanjutkan tulisannya. "…", dan pemuda itu kembali bercerita.
.
.
.
.
Masa sekolah…
Sangat tidak nyaman…
.
.
BRUUK
"lihat-lihat donk! Anak aneh!",
Di luar rumah, aku tidak berpura-pura menjadi normal. Aku kembali seperti biasanya…
Sudah satu tahun, aku bersekolah di sini. Sekolah dasar dekat dengan rumah memudahkanku untuk pulang pergi sendiri. Kini, aku jatuh terduduk karena seseorang dengan sengaja menyenggolku. Kedua lututku sedikit lecet karena tergesek pada permukaan yang kasar.
Ku tepuk-tepuk sesaat untuk membersihkan debu menempel, kemudian bangkit dan melanjutkan langkah menuju ruang kelas.
Selama bersekolah, anak-anak lainnya menganiaya-ku…
Entah itu mendorongku, mengacak-ngacak tasku, menumpahkan minumnya padaku, atau pun melempariku batu sepulang sekolah. Mereka membully-ku karena aku sangat aneh oleh mereka… dan para guru tak ada yang menyadarinya dan seolah ini semua karena kecerobohanku.
Dan Itu sangat… tidak nyaman.
Ku lewati masa sekolah dasarku dengan pembully-an terus berlanjut, aku tak memperdulikan mereka sama sekali. Membiarkan mereka melakukan semaunya sampai mereka bosan sendiri. Setiap pulang ke rumah ku sembunyikan luka-ku dengan baik agar ayah dan ibu tak mengkhawatirkanku.
Kemudian, masa Junior High…
Aku kembali di bully pada hari pertamaku. Di perlakukan sama seperti saat aku sekolah dasar. Aku menyadari jika aku ingin diperlakukan dengan baik, aku harus bertingkah seperti yang lain… dan aku sama sekali tak terpikirkan akan hal itu…
Ku menghela nafas…
Aku mulai berpura-pura menjadi 'normal', menyapa dengan ramah setiap siswa yang berpapasan denganku. Berkenalan dengan mereka sambil membicarakan hal menarik bagi mereka…
dan pembully-an pun berhenti...
orang-orang yang membully-ku, kini menjadi temanku. Mereka meminta maaf padaku, karena tak tahu kalau aku adalah anak yang sangat pemalu dan susah berkomunikasi dengan baik –tentu saja itu kebohongan belaka—
menjalani masa-masa Junior High dengan tenang. Aku di sebut-sebut sebagai idola sekolah karena ketampananku oleh para siswi, hampir setiap waktu di sapa dengan kebisingan… benar-benar tak nyaman. Namun walau begitu, aku memahami-nya dengan mudah jika aku memaksakan diriku untuk bertingkah menjadi orang 'normal'... menjalaninya dengan lancar.
Akhirnya, aku berpura-pura menjadi 'normal' hampir setiap jam… setiap hari.
Aku berpura-pura menjadi teman dengan orang-orang…
Aku berpura-pura memiliki hobi…
Aku berpura-pura peduli saat tragedi melanda…
Semua itu adalah kepalsuan, aku tak merasakan apapun…
satu-satunya yang kurasakan hanyalah kekosongan…
.
.
.
.
"…", Yumi sedikit mengernyit. Orang seperti dia ternyata begitu populer pada masa sekolahnya dulu… yaaah, ia akui pemuda ini begitu tampan..
Dan ia berdehem sesaat setelah menyadari pemikiran bodohnya.
.
.
.
.
Seiring bertambahnya usia, aku menjadi kesal dengan kondisiku.
.
.
Melihat orang-orang yang berlalu-lalang dengan beragam ekspresi, membuatku kesal. Aku ingin mengalami kehidupan seperti orang lain. Aku ingin merasakan kebahagiaan… aku ingin merasakan kesedihan. Kedua tanganku yang membawa barang belanjaan, ku kepal dengan erat… tak peduli dengan rasa kebas yang sedikit kurasakan.
Aku sangat ingin merasakan apa yang orang lain miliki…
Aku mencoba melakukan apapun yang mungkin membuatku merasakan sesuatu.
Rasa bersalah, malu, menyesal…
.
.
Guk~! Guk~!
"…!", ku menoleh ke bawah, menemukan sosok anjing kecil yang menatapku dengan polosnya. Ku melihat sekeliling… tak ada siapapun, hewan ini hanyalah anjing liar. Ku meraih ranting yang tak jauh dari tempatku… kugunakan untuk mengajak ia bermain.
"…", dalam diam aku berpikir… apa yang harus ku lakukan… dan terlintas dalam benakku sesaat.
Ku angkat anjing mungil itu, yang menatap wajah datarku dengan gonggongan riangnya, berpikir kalau ia akan bermain sesuatu denganku.
Aku ingin merasakan sesuatu, apapun itu...
Aku mengangkat tinggi-tinggi hewan kecil di tanganku... dan...
CRAAATT
.
.
Aku menatapnya datar...
Kutatap bergantian kedua tanganku yang berlumuran warna merah, dengan tubuh anjing mungil yang berlumuran warna merah juga... hewan itu sudahtak bergerak, dengan kepala bocor serta tusukan di perutnya. Tak ada yang berhasil. Tak peduli apa yang ku lakukan, betapa pun ekstrem-ya, aku tak bisa merasakan apapun.
Aku berbalik meninggalkan jasad itu... pulang ke rumah dengan darah yang sudah mengering di kedua tanganku. Tak ada yang menyadarinya karena aku mengenakan lengan panjang.
Aku merasa, untuk apa aku hidup jika hanya kekosongan yang kurasakan selama ini. Namun aku teringat dengan nasehat ibuku saat aku kecil… dan hingga sekarang nasehat ibuku selalu sama.
"suatu hari, kau akan menemukan seseorang yang istimewa. Suatu hari, seseorang akan membuatmu merasa lengkap",
aku memikirkan kata-kata itu setiap waktu…
Itu adalah satu-satunya yang bisa kuharapkan. Satu-satunya alasan aku hidup.
Bertemu seseorang yang akan menyelamatkanku… memperbaikiku… melengkapiku.
.
.
.
.
"…", Yumi memejamkan matanya sesaat, ia adalah pecinta hewan. Mendengar Donghae membunuh makhluk polos tersebut membuatnya ingin sekali melakukan hal yang sama padanya. Ia menghela nafasnya sesaat untuk menenangkan diri, dan menatap pemuda tersebut yang kini menatapnya.
"ah… maaf, tolong lanjutkan…",
.
.
.
.
Suatu hari…
Pada akhirnya, aku menemukannya…
.
.
Hari itu, adalah masa kuliah, ku jalani dengan kepalsuanku. Mereka menganggap aku adalah Donghae yang populer di kampus, Donghae yang jenius dan lain sebagainya... aku tak peduli sama sekali. Kaki-ku melangkah sehabis dari perpustakaan untuk mengembalikan buku atas permintaan dosen. Lorong kampus lumayan sepi karena mahasiswa lainnya ada kelas masing-masing.
Aku hanya berjalan santai, tak menyadari suara langkah kaki cepat dari arah berlawanan dan...
BRUGH
Kami bertabrakan, aku tetap berdiri dengan tegap...
Sedangkan yang menabrakku, ia jatuh terduduk sambil meringis...
"kau tak apa?", tanyaku sembari mengulurkan tanganku, ia mendongakkan kepalanya... dan aku diam membeku...
"ah~ tak apa...", ia menerima uluranku dan langsung bangkit berdiri sesekali menepuk-nepuk bokongnya yang nyeri karena berciuman dengan lantai yang keras. "ah! Mianhae, kau baik-baik saja? Ada yang terluka?", pemuda di hadapanku bertanya panik sembari mengecek keadaanku. "gwaenchana, aku tak terluka...", ku paksa senyumku untuk menyakinkannya... dan ia bernafas lega.
"Jeongmal Mianhae, Ah! Aku harus pergi, sampai jumpa...!", pemuda itu membungkuk minta maaf dan langsung pergi... kurasa ia telat masuk.
Aku mematung tetap memandangi punggungnya yang kian menjauh. "...", aku merasakan sesuatu bergejolak dalam diriku. Perasaan asing yang membuatku berpikir bahwa... aku telah menemukannya...
Menemukan seseorang yang bisa melengkapi diriku...
.
.
Namanya Lee Hyuk Jae, Mahasiswa satu angkatan denganku dengan jurusan yang berbeda. Tinggi kurang lebih 176 cm, golongan darah O, rambut silver yang terlihat cocok untuknya, wajahnya... menurutku manis. Dia adalah salah satu anggota dance club di kampusku. Banyak yang mengenal dirinya karena sifatnya yang ramah dan lembut.
Sejak kejadian tabrakan itu, aku mulai mengikutinya... mungkin kata orang stalking. Selesai dengan jadwal kuliah, aku langsung mengikutinya... menatapnya dari kejauhan.
Aku tak boleh kehilangan dia…
Suatu hari, kami berpapasan. "ah! Kau yang waktu itu...", ia menunjukku, mengingat diriku tempo hari. Pertemuan kedua, kami saling kenalan... mengobrol sedikit sebelum ia pamit karena ada kegiatan.
Dadaku terasa aneh... sangat aneh sekali. Aku merasakan debaran aneh, jantungku berdetak tak biasanya...
Kemudian, kami bertemu lagi untuk ketiga kalinya... perlahan, kami mulai akrab dan berbicara santai dan canda tawa dari Hyukjae. Dan untuk pertama kalinya, aku tersenyum... bukan senyum palsu yang selalu ku gunakan.
Hyukjae, adalah orang yang baik. Terkadang ia bertingkah layaknya anak kecil, ia begitu memukau saat mengikuti irama musik, ia begitu lugu saat melakukan kesalahan kecil...
Aku harus melindunginya…
Suatu waktu, aku melihat dirinya tengah duduk di bawah pohon rindang sembari membaca buku. Aku berniat menghampirinya, namun ku urungkan saat melihat seorang gadis yang berlari kecil menujunya. Gadis itu langsung memeluk Hyukjae, yang terlihat kaget dengan kehadirannya... melihat hal itu, kedua tanganku terkepal kuat... aku merasa marah.
Aku harus membuatnya menjadi milikku…
Ku lihat ia bersama beberapa orang, berkumpul di taman kampus, membahas sesuatu. Mereka tertawa bersama dan salah satu dari mereka meninju lengan Hyukjae sengaja. Aku tak boleh membiarkan orang lain mengambilnya…
Aku… butuh… dia…
Dia adalah segalanya…
.
.
Suatu malam, aku menatap langit malam yang kelam dari bukit yang dekat dari kampusku. Malam yang dingin sehingga aku bisa melihat hembusan nafasku. Aku kemari untuk membuang 'sampah', ku seret dua kantong plastik hitam besar yang tak jauh dari tempatku. Ku melangkah memasuki area hutan, untuk mengubur 'sampah' ini.
bercak kemerahan bertebaran di sana-sini, tertutup dengan rapinya oleh dedaunan kering berjatuhan dari pohon. Kini, aku berada lumayan jauh di dalam hutan... menemukan sebuah pohon besar dengan lubang besar pula di bawahnya. "...", ku langsung melempar kedua kantong itu ke dalam lubang, kemudian melepas sarung tangan yang kugunakan yang kini tertutupi warna merah.
Aku menyalakan api, tak jauh dari pohon tadi. Kobaran api yang panas langsung menghangatkan tubuhku. sarung tangan itu ku lempar ke dalam kobaran api, terbakar hingga berubah menjadi abu. Semua ini, ku lakukan... demi Hyukjae...
Dia… layak pengorbanan apapun… tidak ada hal lain yang penting.
Setelah memadamkan apinya, aku langsung kembali pulang. Ponselku bergetar pertanda pesan masuk... dari Hyukjae. "...", senyumku muncul begitu saja saat melihat pesan Hyukjae yang hanya menanyakan masalah kuliah. Ku kembali pulang dengan senyuman kecil masih terpasang pada wajahku, karena aku memikirkan Hyukjae...
Tidak ada yang penting… Hyukjae adalah segalanya untukku, mulai sekarang... Dia… akan… menjadi… milikku…
Dia tak ada pilihan lain...
.
.
.
.
"…", Yumi menatap pemuda di depannya dengan intens. Ia menutup bukunya setelah mencatat beberapa hal penting yang ia dapat dari kisah pemuda tersebut. "lalu apa yang kau lakukan pada mereka yang dekat dengan Hyukkie itu?", Yumi bertanya. Kini lebih serius saat ia melihat gelagat Donghae yang mulai aneh.
"mereka… menempel dengannya... mereka begitu dekat dengannya..", suara Donghae mulai memberat. "Hyukkie adalah milikku... MILIKKU... tak boleh siapapun merebutnya dariku...", ia mulai meracau tak jelas. "AKAN KUHABISI MEREKA YANG DEKAT DENGAN MILIKKU...! HYUKKIE ADALAH MILIKKU!", ia berteriak namun Yumi tetap tenang.
"Donghae-ssi, apa yang kau lakukan pada mereka?", wanita itu mengulangi pertanyaannya.
"...", Donghae terdiam, kemudian menatap Yumi begitu dingin dan tajam. "kau ingin tahu...?", untuk pertama kalinya Yumi melihat raut wajah pemuda itu berubah... dengan sebuah seringaian yang menyeramkan. "ingin detailnya, atau secara singkat...?",
"singkat...", jawab Yumi datar.
"aku. Hanya. 'Menghilangkan'. Mereka...", empat kata dengan penekan itu sudah menjelaskannya. Ia membunuh mereka hanya karena sangat dekat dengan Hyukjae, menyakiti Hyukjae, membuat Hyukjae menangis. Yumi merasa bulu kuduknya sedikit merinding, namun ia tetap menatap Donghae dengan datar dan kembali ia bertanya...
"kau mencintai Hyukjae...? lalu, apa yang kau lakukan pada Hyukjae...?",
Dan raut wajah Donghae berubah serius.
"Hyukkie...", pemuda itu bangkit tiba-tiba hingga kursi yang ia duduki terjatuh. Ia langsung mencengkram kerah Yumi, tatapannya semakin tajam dan dingin. "kau tahu Hyukkie? Siapa kau? Di mana Hyukkie...? DIMANA DIA!", wanita itu sedikit meringis karena terangkat seperti itu. Di genggamannya ia memegang sebuah tombol panggilan...
"ukh!", ia langsung menekan tombol tersebut saat Donghae hendak mencekiknya. Selang beberapa detik kemudian, pintu dibuka paksa dan menampakkan beberapa pria berseragam kepolisian yang langsung memisahkan dirinya dan Donghae.
"HYUKKIE! KEMANA, HYUKKIE-KU?!", Donghae terus meracau sembari memberontak, melepaskan diri dari mereka. "TOLONG TAHAN DIA!", empat orang berseragam kepolisian menahan Donghae yang kian menggila. Mereka bersusah payah untuk menahan gerakannya, menunggu rekan lainnya yang menyiapkan obat bius. Yumi merapikan barang-barangnya saat ia melihat pria berjas putih yang datang sambil membawa sebuah suntikan. "...!", ia menyuntikkan obat bius tersebut dan beberapa saat kemudian Donghae kehilangan kesadarannya.
Salah satu polisi menyuruh rekannya untuk menggotong pemuda tersebut kembali ke 'kamar'-nya. Melihat kejadian tersebut Yumi menghela nafasnya, merasa lelah. "kukira tempat ini hanya rumah sakit jiwa pada umumnya, kenapa sampai ada polisi elit di sini...?", cicit Yumi yang pikirannya sedikit kacau. "bukankah sudah diberitahu kalau tempat ini khusus untuk narapidana yang abnormal...?", wanita itu menepuk jidatnya. "bagaimana?", pria berjas putih bersahut setelah keadaan menjadi tenang.
"entah lah, aku belum bisa menyimpulkannya... ah! apa di keluarga-nya mengalami hal serupa?",
"ku dengar, ibunya juga mengalami hal yang sama... namun beliau sudah meninggal karena sakit dua tahun yang lalu...", jelas pria tersebut. "faktor keturunan ya...?", gumam Yumi dan mereka melangkah keluar karena urusan wanita tersebut telah selesai. "sudah enam bulan dia di sini... kau tau Donghae mengidap sesuatu... sampai membunuh orang-orang tak bersalah itu?", kembali pria itu bertanya.
"hmm... gangguan mental genetika, tak memiliki emosi sama sekali... hhhh... untuk sementara ini ku sebut demikian karena aku harus mencocok 'kan kasus ini dengan yang lainnya... tapi aku kepikiran satu hal...", celetuk Yumi
"apa itu...?",
"kau tahu istilah Yandere?", kembali ia bersahut.
"gangguan mental atau jiwa. Orang-orang tersebut biasanya terlihat sangat baik, lembut, penuh kasih sayang di awal, sebelum pada akhirnya perasaannya itu menghancurkan semua... biasanya melalui kekerasan. Mereka sebenarnya sangat mencintai pujaan hatinya, namun rasa cintanya yang dibarengi dengan ketidakstabilan mental di dirinya membuatnya menyalurkan perasaannya melalui kekerasan, entah itu kepada orang yang di sukainya ataupun orang lain yang dekat dengan orang di sukainya...", jelas pria tersebut panjang lebar.
"singkatnya, mereka rela membunuh demi cinta...", dan mereka terdiam sesaat.
"aku tak yakin ia mengidap apa... hanya merasa, kalau Donghae itu bagaikan sebuah kotak yang indah di luar namun kosong di dalam... tak ada apapun. Orang-orang Yandere seperti yang kau jelaskan tadi... seharusnya Donghae punya emosi meskipun sedikit...",
Dan kembali terdiam dengan pikiran yang melayang entah kemana dan mereka terhenti saat mereka sudah berada di luar bangunan tersebut. "ah, kalau begitu terima kasih sudah menyempatkan diri untuk kemari...", pria itu membungkuk salam, yang dibalas pula dengan Yumi.
"tak masalah, untuk kasus ini akan ku usahakan untuk menelitinya... dan maaf, karena aku sebenarnya belum berpengalaman banyak...", ucap Yumi sedikit merasa bersalah. "tak masalah... dan tak usah terburu-buru, kau salah satu teman psikolog terbaikku jadi ku tunggu hasilnya... bukankah kau khawatir dengan sepupumu yang sekarang di rawat inap?", nada bicara pria tersebut berubah menjadi santai dengan tersirat khawatir teramat sangat.
"kau benar... sekarang aku harus menjenguknya, kalau aku sudah mendapatkan hasilnya akan langsung ku laporkan...", keduanya melihat sebuah mobil sedan mewah terhenti di depan mereka. "oke, kau jaga kesehatanmu... kau terlihat sangat lelah sejak datang kemari...",
"Arasseo Oppa... kalau begitu aku pamit...",
Ia menaiki mobil tersebut, melambai sesaat pada pria berjas putih dan kendaraan itu melaju menjauhi rumah sakit jiwa tersebut. "…", sepeninggal wanita tersebut pria itu menghela nafasnya pelan. "Sungmin Hyung, ada waktu?", sahut seseorang membuatnya menoleh. "tentu, kenapa?", dan ia kembali masuk ke dalam bangunan tersebut.
.
.
.
Skip time, Seoul Hospital
Jam sudah menunjukkan pukul setengah sepuluh malam. Rumah sakit perlahan sepi karena pengunjung keluarga bagi pasien di sana sudah kembali pulang, walau ada beberapa yang memilih menginap untuk menemani orang terkasih mereka.
Di salah satu ruangan pasien, seorang wanita yang tak lain ada Yumi duduk di sebelah ranjang yang di tempati seseorang yang terbaring tak sadarkan diri, dengan beberapa perban yang melilit di sana-sini serta alat bantu nafas terpasang hampir menutupi wajahnya.
"…", ia menggenggam pelan tangan orang itu, mengusapnya dengan sayang dan berdoa dalam hati semoga ia baik-baik saja dan… membuka kedua matanya.
"… ya, Dongsaeng… kenapa kau jadi seperti ini hm?", gumamnya lirih.
Ia melepas genggamannya, beralih menuju sofa yang sudah di sediakan di sana. Mengambil kembali dokumen yang tersimpan di dalam tasnya, dan menatap sang pasien yang tak lain adalah sepupunya.
'orang yang kau maksud waktu itu… adalah Donghae ini kan?', batinnya dan membuka dokumen yang dipegangnya sedari tadi.
"Homicides : Lee Dong Hae, the Blank Man",
Banyak hal yang ia belum pahami mengenai kasus pembunuhan. Meskipun ia sudah menangani para pelaku pembunuhan dengan lancar, namun kali ini terasa sulit… entahlah ia merasa sulit pada bagian mananya…
Dan entah kesekian kalinya ia menghela nafasnya.
"kau tahu, mendengar kisah hidupnya... sebenarnya Donghae anak yang spesial... ia sangat pintar, pendengarannya sangat tajamnya, di lihat dari segi fisik kurasa ia sangat kuat...", ia bermonolog sembari menyandarkan tubuhnya pada sofa. "sayang sekali, karena masalah pada mentalnya membuatnya seperti itu... aku, jadi merasa kasihan...", lanjutnya pelan dan karena rasa lelah masih terasa membuatnya merasa mengantuk... dan beberapa menit kemudian ia tertidur...
.
.
.
.
.
.
"kau pasti juga merasa begitu 'kan sampai ingin menolongnya walau akhirnya kau jadi seperti ini, Hyukkie...?",
.
.
.
.
.
END
