Baekhyun mengelus perutnya yang sudah terlampau kentara. Muntah-muntahnya memang sudah tak lagi, namun ngidamnya semakin parah, setidaknya ia bersyukur atas itu, namun dirinya harus rela menelan beberapa kecewa ketika Chanyeol sibuk sehingga ia tak dapat memenuhi keinginannya.
Ia sudah mengundurkan diri dari kantor Chanyeol, karyawan disana memang tak berkata apapun mungkin karena status dirinya membuat mereka takut untuk berkata. Kini tak sekalipun ia menegur Chanyeol ketika ia mulai meninggalkan makan siangnya, membiarkan Jiwon tidur sendiri di kamarnya dan tidur larut setelah menyelesaikan tugas kantornya yang ia bawa ke rumah. Ia harus cukup tahu diri siapa yang membuat perusahaan suaminya diambang kehancuran waktu lalu.
"Papa, cake stroberiku mana?" tanya Jiwon dari dapur, Baekhyun yang tengah bersantai di ruang tengah menegang sendiri mendengarnya. Dia menghabiskan cake stroberi Jiwon tadi pagi sebelum Jiwon bangun. Diam sejenak untuk mencari alasan yang memungkinkan, diselingi rutukan dalam hatinya karena ia begitu menginginkan cake itu di bangun tidurnya.
"Eo? Apa tak ada?" balas Baekhyun, Jiwon berlari menghampirinya dan menggeleng ketika ia sudah sampai di hadapan Baekhyun. Bibirnya mengerucut sebal, tangannya terlipat di dada.
"Eopseoyo" jawab Jiwon lesu. Baekhyun tersenyum, mengelus surai Jiwon dengan lembut.
"Ayo kita beli cake baru!" ajak Baekhyun, Jiwon tak lagi bertanya setelah mendengar itu, ia melompat senang dan memeluk Baekhyun.
"Pakai jaketmu, sayang" ucap Baekhyun, Jiwon memberi sikap hormat membuat Baekhyun terkekeh. Jiwon pergi ke kamarnya mengambil jaket setelah Baekhyun membalas hormatnya. Ia tertawa senang sepanjang jalan, menggenggam tangan Baekhyun dengan erat dan sesekali bicara pada adiknya yang masih betah di perut Baekhyun.
"Pa, mengapa lama sekali? Apa tak bisa lebih cepat?"
Pertanyaan Jiwon membuatnya tersadar, lengkahnya semakin lambat seiring beban di perutnya bertambah. Ia menggeleng seraya memberikan senyum lembutnya, meletakan sebelah tangannya di perut,
"Baby Wo berat, sayang." Jawab Baekhyun lembut, raut wajah Jiwon berubah melunak. Ia menyentuh perut Baekhyun dengan raut sedih, mengelusnya dengan pelan dan mengadah pada papanya itu.
"Jika berat, mengapa tak suruh Wo keluar saja?"
"Kkkk, dulu kau disini selama 9 bulan. Maka Wo juga akan berada disini selama itu, ini baru enam bulan Wo disini."
"Apa 9 bulan itu lama?"
"Ya, hampir selama ulang tahunmu menuju ulang tahunmu lagi tahun depan."
Jawaban Baekhyun membuat Jiwon ber'woahh' ria, kekehan kecil keluar dari pemilik bibir tipis yang kini tengah mengandung selama 6 bulan itu. Jiwon lebih melambat, ia tak mau Baekhyun lelah. Bahkan ia mengajak Baekhyun untuk duduk di halte untuk istirahat walau toko kue yang mereka tuju sudah sangat dekat.
"Papa pasti merasa baby Wo akan jatuh saking beratnya, jadi duduk disini untuk istirahat."
Dia merasa begitu bangga telah melahirkan Jiwon ke dunia, anaknya tumbuh dengan baik, tutur kalimat polosnya selalu mengandung sebuah kejujuran dan kekhawatirannya. Terkadang terdengar bijak dan mengalah, lebih memilih menelan kekecewaannya sendiri ketika Chanyeol sibuk bekerja. Pengertian yang Baekhyun berikan selalu diterima dengan baik walau ia masih merasa sedih.
Mereka kembali melangkah menuju toko kue, membeli beberapa kue stroberi dan cheese cake, tak lupa tiramisu untuk Chanyeol. Jiwon kembali mengajaknya untuk duduk di halte, kembali menyuruh Baekhyun istirahat walau papa nya itu belum merasa lelah.
"Eo? Baekhyun hyung?" seseorang mengenalinya dan mengulurkan tangan untuk berjabat. Baekhyun menerimanya dengan senyum, memekik ketika melihat siapa yang menyapanya.
"Yak! Sehunie, kau sudah besar, eo?" Baekhyun terdengar begitu akrab, Jiwon hanya diam kebingungan di tempatnya.
"Kau mengandung, huh? Anak keduamu?" tanya Sehun, Baekhyun mengangguk semangat dan memperkenalkan Jiwn pada Sehun dan Baby Wo yang masih dalam kandungan membuat Sehun terkekeh.
"Siapa yang menghamilimu, eoh?"
"Chanyeol, hehehe." Jawab Baekhyun, Sehun tidak terkejut dengan itu.
"Bisakah kita makan bersama? Aku sudah lama tak bertemu denganmu, hyung" ajak Sehun, namun Baekhyun menggeleng pelan.
"Anakku harus tidur siang, kita makan lain kali ya. Aku juga belum izin pada Chanyeol." Tolak Baekhyun halus, Sehun mengerti dengan baik, ia meminta kontak Baekhyun agar ia bisa menghubungi kakak kelasnya itu.
"Hyung masih harus berjalan sepuluh menit lagi untuk sampai di apartemenmu, bukan? Aku membawa mobil, biar kuantar." Sehun berjongkok di hadapan Jiwon dan mengelus rambutnya sayang, menatapnya dengan lembut.
"Jiwonie, jika kalian berjalan Papa mu akan kelelahan, bukan? Biar hyung antar dengan mobil, ya?" tawar Sehunpada Jiwon yang mengangguk semangat bahkan sebelum kalimatnya selesai.
"Tapi, Sehunie-"
"Aku memaksa, hyung" potong Sehun cepat, lelaki tinggi dengan bahu lebar itu menggendong Jiwon ke mobilnya membuat Baekhyun mau tak mau mengikutinya, ia merutuki Jiwon yang cepat sekali akrab dengan Sehun.
Entah apa yang Sehun katakan, namun Jiwon tergelak dalam gendongannya. Tak sekalipun anak sulungnya itu meminta diturunkan karena ia tak begitu mengenal siapa yang menggendongnya. Sehun sungguh ajaib, dia dapat menaklukan Jiwon dengan cepat.
Sehun membawakan apa yang Baekhyun dan Jiwon beli, mengantar Baekhyun dan Jiwon hingga sampai di depan pintu. Baekhyun menawarkan untuk sekedar minum, Sehun tak menolak untuk itu karena dia memang cukup haus. Perbincangan ringan diiringi dengan sesapan air perasan jeruk yang segar mengantar Jiwon tidur dalam pangkuan Sehun, adik kelasnya itu menolak untuk memberikan Jiwon pada pangkuan Baekhyun. Menyetujui adalah hal yang dapat Baekhyun lakukan, lagi pula Jiwon tak merengek atau menolak ketika Sehun menepuk-nepuk pantatnya.
'Apa Jiwon merindukan ayahnya?' tanya Baekhyun dalam hati.
"Jalan hidupmu mudah ditebak, omong-omong." Ujar Sehun, Baekhyun merenggut tak setuju.
"Heol, dari pada dirimu yang tak terbaca sama sekali."
"Itulah kelebihanku, hyung"
"Omong-omong, kau bekerja dimana sekarang?" tanya Baekhyun, Sehun tersenyum penuh arti.
"Ditanya malah senyum, apa nilai jelekmu semasa sekolah bermanfaat bagi kehidupanmu, tuan Sehun?"
"Jangan membuka kartu lama, aku membawahi Hoon sekarang dengan nilai burukku itu." Jawab Sehun datar, Baekhyun menganga, ia tahu betul perusahaan macam apa itu.
"Wow, perusahaan baru yang melejit. Kau merintisnya?" tanya Baekhyun, ia tambah takjub ketika Sehun menganggukkan kepalanya, meminum kembali air jeruk dengan tenang.
"Kau lebih hebat dari Chanyeol, dia kaya karena meneruskan perusahaan ayahnya. Dan kau! Damn Oh Sehun! Bahkan nilaimu paling buruk dari yang terburuk, mengapa sesukses ini? Game macam apa yang kau buat sampai menjadi seperti ini, little Hunie?"
"Hyung, singkirkan panggilan itu. Menggelikan, aku sudah dewasa tahu. Dan aku bersyukur kau sadar bahwa aku lebih hebat dari si telinga caplang itu." Sehun merajuk.
Suara pintu terbuka mengalihkan atensi mereka, Chanyeol masuk dengan jas yang ia sampirkan pada pundak kirinya, tampan sekali. Baekhyun segera bangun menghampiri suaminya itu, mengambil jas dan melepaskan dasinya dengan telaten.
"Kau pulang cepat, ini baru pukul lima" ujar Baekhyun, Chanyeol mengangkat wajahnya, menatapnya dengan datar. Sungguh, Baekhyun menyesali kalimatnya.
"Jadi kau tak menyukai aku pulang cepat?" tanya Chanyeol datar, Baekhyun tegang di tempatnya matanya mencari jawaban untuk ini. Tak sengaja, ia bersitatap dengan Sehun yang tampak kikuk.
"Kita memiliki tamu, omong-omong." Cicit Baekhyun pelan, memberi kode agar Chanyeol lebih menjaga sikapnya. Namun apa yang Chanyeol lakukan seolah kalimat Baekhyun hanya angin lalu, dengan ia menatap Sehun dengan tatapan tak suka cukup membuktikan ia tak mau mendengar apapun.
'Mungkin dia terlalu lelah' ucap Baekhyun tanpa suara yang ditangkap baik oleh Sehun. Chanyeol menghampirinya dan menyalaminya, terlalu kentara bahwa itu dilakukan untuk formalitas. Adik kelas sewaktu sekolah seniornya itu tampak salah tingkah di tempatnya. Berada di tengah keluarga yang tak baik membuatnya tak nyaman, jadi ia menurunkan Jiwon dan pamit pada mereka untuk pulang.
"Hyungie, janji akan kemari lagi, ya?" tanya Jiwon yang langsung membuka matanya.
Kalimat yang terucap polos di tengah ketegangan orang dewasa itu menghentikan tarikan kenop pintu utama, Sehun memberikan senyum serta jempolnya sesaat sebelum ia benar-benar menutup pintu. Chanyeol mendekat pada Baekhyun, mencium keningnya dan mengelus perutnya dengan lembut.
"Aku menyelesaikan pekerjaanku lebih cepat hari ini." Ujar Chanyeol, Baekhyun hanya membalasnya dengan senyum. Ia tak mengerti dengan sikap Chanyeol yang kini lebih banyak berubah. Sejak ia pulang dari Hongkong kelembutan dan kepeduliannya terhadap keluarganya tak bertahan lama sejak saat itu, Ia mulai menjadi workaholic dan tak pernah sekalipun membicarakan pekerjaan pada Baekhyun.
Kesepakatan yang mereka setujui di awal pernikahan seolah memiliki tanggal kadaluarsa. Dan sekarang sudah sangat terlewat dari tanggalnya.
"Jiwonie, papa akan menyiapkan untuk mandi Appa mu ya. Kau kembalilah tidur." Ujar Baekhyun lembut, Jiwon mengangguk dengan patuh dan pergi ke kamarnya. Pada dasarnya dia memang mengantuk, jadi tidur dengan cepat di ranjanganya tanpa harus Chanyeol atau Baekhyun bersamanya.
Chanyeol terlihat memijit pelipisnya seraya duduk di pinggiran ranjang, yang tengah mengandung itu menghampirinya dan mengelus punggung suaminya itu dengan lembut.
"Jangan terlalu keras bekerja jika kau sudah lelah." Tutur Baekhyun, yang lebih tinggi mengangguk dan bergumam terimakasih lalu pergi ke kamar mandi untuk membersihkan dirinya.
Baekhyun menghela nafas, rumah tangganya kini terasa hambar. Tak ada hal yang mengesankan untuk diceritakan pada ibunya ketika beliau menelepon, yang ada dirinya berbohong soal ini itu agar terdengar baik-baik saja.
Dengan menopang perut buncitnya, ia mengambil pakaian suaminya dan menaruhnya di kasur. Menjelang malam, ia mulai memasak makan malam, sedikit kerepotan ketika Jiwon menempelinya terus. Anaknya ituu terus mengecupi perut buncit ibunya dan selalu mengatakan agar adiknya segera keluar untuk menemaninya bermain.
"Makan yang banyak, sayang. Kau harus menjaga kesehatanmu untuk pentas minggu depan" ujar Baekhyun, anaknya itu merenggut tak mau, menaruh sumpit dan sendoknya lal bersedekap.
"Apa Papa akan datang bersama Appa minggu depan?" tanya Jiwon, nadanya mengancam kedua orang tuanya.
"Apa Jiwonie akan makan banyak jika Appa datang bersama Papa?" kali ini Chanyeol yang bicara, tak sehangat dulu. Tapi setidaknya ia masih mau berbicara dengan mereka.
"Ya"
"Baiklah, Appa akan datang." Ucap Chanyeol final dengan pekikan senang Jiwon setelahnya. Anak itu menyambar kembali alat makannya dan menghabiskan semangkuk nasi penuh dan lauknya dengan cepat.
Waktu-waktu sebelum tidur diisi dengan Jiwon yang bermain dengan Chanyeol di ruang tengah dan Baekhyun yang menetap di dapur untuk membuat camilan. Gelak tawa kedua lelaki yang menjadi separuh hidup Baekhyun itu menggelegar memenuhi setiap ruangan membuat Baekhyun ikut tersenyum dalam kegiatannya.
"Salad sebelum tidur?" tanya Baekhyun dengan semangkuk salad di tangannya. Jiwon menyambar mangkuk itu dengan cepat diikuti dengan tawa Chanyeol.
Suaminya banyak tertawa jika bersama Jiwon, nada bicaranya begitu lembut ketika mereka hanya berdua. Dan akan menjadi kaku ketika dia berada ditengahnya. Maka Baekhyun putuskan untuk melangkah menjauh, kembali ke dapur dan duduk disana dengan tenang. Hatinya teriris ketika Chanyeol tak sekalipun menyuruhnya untuk bergabung.
"Kau lebih diam belakangan ini."
Chanyeol telah menidurkan Jiwon di kamarnya, ia berucap seraya menyentuh bahu Baekhyun yang tidur membelakanginya. Tak ada respon dari lelaki kecil itu, namun tangannya bergerak untuk mengelus perutnya.
"Baek, kau marah padaku?"
Pertanyaannya seolah dirinya yang salah disini, dirinya yang kekanakan dan menjadi pihak yang diuntungkan, dan Chanyeol seolah menderita hanya karena diamnya Baekhyun hari ini. Sesak bergerumul memenuhi dadanya, tangisnya sudah ada di pangkal tenggorokan membuatnya sesak bukan kepalang.
"Baby, jangan diam seperti ini. Kau membuatku bingung"
Baekhyun semakin dilanda emosi, mengapa Chanyeol begitu tak tahu diri berkata demikian. Tangan yang semula mengelus perutnya berubah menjadi sebuah kepalan, meremat piyamanya dengan kesal. Ini bukan hormon kehamilan yang membuatnya mudah emosi. Sudah berbulan-bulan Chanyeol bersikap dingin namun hangat kemudian, dingin dan tak pedulinya lebih mendominasi membuat Baekhyun kesal bukan main. Tak mau memperburuk keadaan dengan ucapannya yang mungkin tak dapat dikontrol, maka ia diam.
"Sayang, aku tahu beberapa waktu kebelakang aku semakin jarang memperhatikan kalian dan kerap meninggalkan rumah dalam waktu yang lama. Tapi kumohon mengertilah, perusahaan sedang membangun cabang di 3 negara dan itu mengharuskanku bekerja lebih lagi." Chanyeol menjelaskan, namun bukan itu yang ingin Baekhyun dengar.
Baekhyun menarik selimutnya hingga sebatas dada dan memejamkan matanya tanpa berniat untuk merespon Chanyeol atas penjelasan yang tak ingin ia dengar. Suaminya itu menahannya, menarik bahunya paksa agar menghadap padannya. Tidak keras, namun cukup untuk membuat air mata itu terguncang dan keluar dari apa yang menahannya.
"Baek, kau menangis? Maakan aku, sayang. Jelaskan apa yang mengganggumu." Nadanya terdengar panik, raut wajah yang juga terlihat was was karena air mata itu tak juga membuat Baekhyun luluh. Badannya bergerak membelakangi Chanyeol kembali, isakan tertahan terdengar sesak.
"Sayang, jangan seperti ini." Nadanya makin melembut, Baekhyun semakin mengepalkan tangannya. Ia tak suka jika Chanyeol bersikap lembut seperti ini. Seolah dia hanya akan bersikap seperti ini untuk mengambil hatinya yang sayangnya mudah luluh itu. Sisanya ia akan terlihat tak peduli, sikap tak konsistennya membuat Baekhyun muak.
"Sa-"
"Tak ada masalah denganku, masalah itu ada padamu. Seluruhnya." Ucap Baekhyun cepat tanpa menoleh.
"Baiklah, maafkan-"
"Tidurlah, selamat malam." Potong Baekhyun, membenahi selimutnya dan memejamkan matanya. Chanyeol tahu, bahu yang bergetar itu menahan seluruh kesedihan yang ia rasakan beberapa bulan kebelakang. Sadar betul bahwa ia kerap bersikap dingin pada Baekhyun, namun ia tak dapat menampik bahwa dirinya sepenuhnya salah.
Baekhyun menanti ungkapan cinta suaminya yang sudah tak pernah lagi ia dengar semenjak sebulan kebelakang.
Namun kalimat itu tak juga ia dengar hingga ia datang menjemput pulasnya.
.
.
.
.
"Berapa bulan, hyung?"
Pertanyaan Sehun seolah menjadi tombak untuknya, menyadari betapa buruknya ia sebagai ibu. Ia terlalu larut dengan kesedihannya, Chanyeol yang semakin tak menganggapnya di rumah membuatnya bahkan lupa walau hanya untuk menghitung berapa usia janin yang ada diperutnya itu.
Keterdiaman Baekhyun dengan raut sedih menjadi tanda tanya bagi Sehun, mengingat terakhir kali ia berkunjung kesini keadaan mereka sedang 'tidak baik' Sehun menyimpulkan bahwa masalah kemarin belum selesai.
Namun ini sudah cukup lama untuk bermasalah, pikir Sehun.
"Ah, kau tahu? Aku menyukai seseorang, hyung." Sehun mengalihkan pembicaraan, tanggapannya tak seperti ekspetasinya. Baekhyun menanggapinya dengan 'wah', 'haha', 'ya' dan 'tidak', dan itu bernada sama, datar.
Ia pamit setelah cupcake yang Baekhyun buat habis, bersamaan dengan Baekhyun yang akan menyiapkan makan siang karena ini dekat dengan kepulangan Jiwon dan Chanyeol yang memang selalu makan siang di rumah.
"Jiwonie hoooomeee~~~"
Pekikan anak sulungnya menarik bibir Baekhyun terangkat ke atas, ia meninggalkan sup iga yang mendidih dan segera memberi sambutan pada kedua lelakinya.
"Waahh, Papa membuat sup iga. Ganti bajumu dan makan!" ujar Baekhyun ceria, ia mengambil alih tas Jiwon, anak itu langsung berlari ke kamarnya.
Matanya melihat kebawah ketika ia mengambil alih tas kerja Chanyeol, ia masih tak mau berkomunikasi dengan lelaki yang tak menganggapnya sama sekali beberapa waktu lalu.
"Baek, maafkan aku. Aku-"
"Sup nya mendidih, aku harus bergegas." Potong Baekhyun cepat, sesaknya kembali lagi membuatnya cepat-cepat berbalik agar air mata sialannya tak terlihat siapapun.
Mereka bersikap seolah tak ada masalah ketika Jiwon berada diantara keduanya, dapat dikatakan mereka adalah orang tua terhebat dalam menyembunyikan masalah untuk saat ini.
Baekhyun berfikir, jika benar sikap Chanyeol karena pekerjaan, ia akan sangat bersyukur karena suaminya itu tak melampiaskannya pada Jiwon seperti waktu lalu. Sedikit banyak ia bersyukur mendapat perlindungan dari Chanyeol, perjuangannya untuk perusahaan dan dirinya sungguh membuatnya terharu. Namun ia mengorbankan Jiwon untuk menjadi wadah amarah Chanyeol.
Sadar betul ia hampir menghancurkan apa yang keluarga Chanyeol bangun dengan tetes keringatnya, mungkin Chanyeol tak dapat lagi menyembunyikan kekecewaannya pada Baekhyun walau itu murni kesalahannya sendiri. Baekhyun tak pernah meminta untuk mendapat promosi besar-besaran, omong-omong.
"Baek, makan makananmu." Peringat Chanyeol, nadanya terdengar tak seperti biasanya membuat pikiran buruk kian menghampiri benaknya. Ia tersentak dan mengangguk kecil, memakan makanan yang ia buat dengan tenang di tempatnya.
Baekhyun selesai dengan makannya, baru setengah namun ia sudah berdiri untuk membuang makanan dan mencuci piringnya.
DUG
Suara pecahan piring menghentikan Chanyeol dan Jiwon menyantap makanannya, Baekhyun terlihat memegangi perutnya dengan raut wajah menyiratkan kesakitan. Bibir yang digigit itu terangkat membentuk sebuah senyum sedetik kemudian.
"Kau tak apa?" masih saja, nadanya terdengar seperti formalitas.
"Tidak, selesaikan makan kalian. Maaf mengganggu" jawab Baekhyun dengan nada yang sama. Jujur saja, tendangan pertama buah hatinya membuatnya ngilu bukan main, namun rasa senang membuncah sedetik kemudian.
Bibirnya terangkat, ingin memberitahu Chanyeol soal tendangan pertama ini. Tapi tak jadi, Chanyeol mungkin tak memberinya respon yang ia ekspetasikan. Ia hanya menggumamkan maaf pada perut buncitnya, betapa malangnya calon bayi ini harus ada dalam perutnya dalam segala tekanan batin dan beban sang ibu.
"Biar aku saja" Chanyeol mengambil alih pekerjaannya ketika ia membenahi pecahan piring itu. Tak ingin berinteraksi lebih lama, ia hanya mengangguk kemudian pergi.
Jiwon akan tidur bersama Chanyeol, jadi ia memilih untuk tak mengganggu dan berbaring di kamarnya dengan memeluk perutnya. Senyumnya tak juga luntur dengan ponsel di genggaman.
"Eomma." Sapa Baekhyun pada orang yang meneleponnya, ibu Chanyeol.
Ibu Chanyeol memintanya untuk panggilan video, ia ingin melihat perut Baekhyun katanya. Jadi Baekhyun menurutinya dan menyingsing pakaiannya ke atas, ibunya berpesan banyak untuk kehamilannya kali ini. Baekhyun sedikit menyesal ia telah bicara soal kehamilannya yang muntah dan ngidamnya lebih parah dari Jiwon. Ibunya menceramahinya panjang lebar membuat Baekhyun pegal untuk sekedar bertahan memegangi ponselnya.
"Ah, apa jenis kelamin Baby Wo?" pertanyaan itu seolah menjadi bom waktu. Chanyeol sama mematungnya dengan Baekhyun.
"Aku-umm, kami-"
"Aishh, kalian belum memeriksanya? Bukankah ini sudah memasuki bulan ke delapan?"
Bahkan Baekhyun tak tahu berapa bulan bayinya, ia menunduk sejenak.
"Kami ingin kejutan saja bu, ah, Jiwon harus tidur. Maafkan aku, bu. Aku tutup teleponnya" jawab Baekhyun asal, ia mematikan sambungannya segera dan menutup seluruh badannya dengan selimut. Kesedihannya kembali, ia hanya dapat terisak pelan dalam balutan selimut. Merutuki ia mudah sekali menangis saat ini.
Chanyeol yang berubah dan dirinya yang terselimuti gelapnya rasa kecewa dan sedih, seolah tak ada waktu untuk memikirkan jabang bayi yang seharusnya menjadi poros utama perhatian mereka. Hanya seharusnya, kata itu tersimpan dengan baik dalam benaknya. Tanpa realisasi yang nyata, karena hatinya separuh tersisa.
.
.
.
.
.
Paginya Baekhyun benar-benar seperti orang bisu. Pergi mandi dan menyiapkan sarapan, menyiapkan pakaian Jiwon dan Chanyeol, membetulkan dasi suaminya dan sepatu beserta kaus kaki dan ikat pinggang tak ia lewatkan. Kecupan 'selamat bekerja' sudah lama ia tinggalkan, jadi itu tak terasa asing.
Chanyeol tahu, Baekhyun bicara hanya pada Jiwon. Nadanya begitu pelan dan lembut, dan akan menutup mulutnya rapat ketika Chanyeol datang menghampiri.
Ibu Baekhyun merasa ada hal buruk, Baekhyun menitipkan Jiwon untuk waktu yang tak ditentukan adalah sebuah sirine nyaring baginya. Namun ini bukan lagi ranahnya, rumah tangga anaknya bukan untuk campur tangannya. Ia hanya dapat berdoa untuk segala kebaikan pernikahan yang sudah lama dijalani itu.
"Maaf merepotkan ibu, aku-"
"Tidak, Hyunee. Selesaikanlah, jangan terlalu lama" ibunya berucap lembut, cukup untuk membuatnya merintikan air mata. Menjadi lemah, terisak keras di hadapan ibunya membuat Jiwon ikut menangis. Penolakan anaknya untuk dititipkan di neneknya itu sedikit membuat repot, segala bujukan dengan sisa tangis akhirnya membuat Jiwon mengangguk mau tak mau.
Ia menangis keras meremat stirnya ketika sampai di basement apartemennya, memukul benda lingkaran itu beberapa kali. Bingung dengan apa yang ia tangisi karena suaminya pun membuat dirinya tak mengerti situasi. Tak ada pembicaraan yang meluruskan, hanya diam dan terus seperti ini hingga ia merasa muak.
Air matanya terus keluar, beberapa kali ia usap kasar dengan tangannya. Bibir yang gemetar itu terus mengeluarkan isakan, dadanya yang terasa sesak dengan tenggorokan bagai dicekik oleh apa yang ia pendam selama ini.
Tangannya meremat perut, menyayangkan bayi yang kini di perutnya. Begitu malang harus ada dalam perutnya ketika orang tuanya bahkan tak menghitung usianya, tak memeriksakannya ke dokter dan bahkan harus merasakan bagaimana frustasinya sang ibu ketika hamil besarnya. Ia hanya ingat usia janinnya enam bulan ketika awal bertemu Sehun, dan sungguh keterlaluan ketika kunjungan kedua Sehun dia sudah lupa usia janinnya sendiri.
Masih tiga puluh menit ke jam makan siang, Chanyeol mungkin menunggu Jiwon di sekolahnya karena ia membawa pulang Jiwon lebih awal. Namun ia tidak peduli, ia ingin menenangkan dirinya dengan segelas teh hijau.
Ya, Teh hijau.
Baekhyun menyalakan mesin mobilnya, menelusuri jalan untuk mencari tempat yang menjual teh hijau. Kesedihannya terobati sejenak ketika ia mendapat segelas teh hijau, mendapat bonus teh bubuk untuk ia seduh di rumah dengan gratis karena pemilik kedai melihat matanya bengkak dengan hidung memerah dan sisa lelehan air mata yang mengering di wajahnya, jangan lupakan perut besarnya yang tak lagi dapat ditutupi dengan pakaian apapun.
"Ya, sir. Saya akan mengatur ulang jadwal anda untuk pertemuan anda dengan Choi Yunha."
.
.
TBC
.
Ini dibuat disela-sela liburan. Maaf kalau kurang 'greget'.
.
Terimakasih untuk Eris yang udah nge vote, bikin akun banyak, minta email sana sini. Juga buat IKONIC, REVELUV, VIP, SONE, CARAT, SHAWOL, ONCE,etc yang udah mau bantuin EXO L nge vote. Kalian sudah bekerja keras.
Sekali lagi, TERIMAKASIH ATAS KERJA KERAS KALIAN! *bow
