For Mimong's #HeartBreakerChallenge
Owari no Seraph © Takaya Kagami & Yamato Yamamoto
.
[Fik ini bernonprofit, semata hanya untuk penuangan imajinasi, bukan demi mencari keuntungan finansial maupun materi].
.
Warning
AU, typo (s) misstypo (s), alur maju-mundur dan sengaja tidak saya jelaskan (semoga pembaca paham)
1st POV
Cover made by Ori91ri
.
Para pejalan kaki fokus menggerakkan tungkai secara beraturan. Mengejar kehidupan pribadi setelah menanggalkan profesi yang mereka lakoni selama seharian. Menyusuri jalan. Meninggalkan jejak-jejak sepatu di permukaan bumi yang sudah dilapisi bahan aspal. Mereka sibuk dengan masing-masing urusan dan pikiran.
Bahkan begitu prioritasnya mungkin tidak ada yang menyadari keberadaanku dengan notabene―terpekur seperti gembel. Hanya satu atau dua yang memberikan atensi. Memasang tatapan ambigu atau hanya sekadar melayangkan lamunan terhadapku ketika aku terlacak radar penglihatan.
Kubiarkan. Tidak ingin kupedulikan. Aku juga tidak butuh perhatian kalian.
Bahan padat terbuat dari semen, berukuran rendah, yang merupakan pembatas tanaman, kujadikan tempat pantatku menempel. Kesepuluh jemariku diberikan rangsangan oleh hawa dingin. Refleks bergerak, mendekap kedua lututku yang awalnya setia duduk mengangkang terhenyak dalam kekalutan.
Diriku bahkan menuntut datang satu jam lebih awal dari waktu yang ditentukan. Di depan restoran yang rutin aku kunjungi ketika minatku menguar untuk mencicipi makanan di luar bersama orang yang aku sukai dulu.
Dulu, definisinya menunjukkan bentuk lampau. Bukan berarti aku sudah tidak mencintainya Dan bukan berarti dia adalah bekas orang yang pernah kucinta. Perasaanku kepadanya masih sama.
Tidak, mungkin sudah bertambah berkali-kali lipat setelah aku memutuskan untuk mendepak diriku sendiri dari kehidupannya. Ya, ini adalah kata 'dulu' yang aku maksud. Dulu kami pernah bersama sekian lama. Tapi sekarang sudah tidak lagi.
Otak memberi perintah kepada leherku. Mengomando kepala untuk menoleh ke arah waktu. Kulesatkan pandangan ke arloji yang melingkar di pergelangan tangan. Terlalu kecil. Indera visualku tak bisa menangkap. Meski sudah menyipit atau melotot tetap tidak menghasilkan guna.
Kacamata yang aku rogoh dari saku baju juga tidak dapat memberikan bantuan. Bahkan jarum-jarum jam yang bergulir terlihat mengganda di balik kaca. Ah, seharusnya aku membeli jam digital yang angkanya tercetak cukup besar.
Cukup lama meringkuk, kuberikan perhatian kepada benda yang menunjukkan 'pukul' di seberang jalan. Jam raksasa yang tercantum di dinding bagian luar gereja terlihat samar. Bermata empat juga tak bisa menjangkaunya. Pilu, semua upaya serasa percuma.
Deraan ringkih mendadak bertandang tak diundang. Aku kembali memeluk tubuh. Menciptakan hawa panasku sendiri. Langit menyuram menjadi latar penantianku yang kembali terpekur dalam kegetiran. Barangkali sudah mau berganti malam. Atau hari akan hujan.
Diriku membatin. Bisu, tidak, melainkan menggumam pelan.
"Yuu-chan, cepatlah datang. Aku ingin melihatmu sekali ini saja. Sebelum hadiah kegelapan sepenuhnya aku dapatkan."
THE EXISTENCE OF A SMALL
Part I
Tak kenal makanya tak sayang. Tak sayang makanya tak cinta. Pepatah lama yang sampai sekarang masih terdengar layaknya sapaan berita di pagi hari. Namun, pepatah itu tidak akan sempurna tanpa unsur pengusung. Perkenalan saja tidak cukup, dibutuhkan tali yang bernama persahabatan untuk menumbuhkan perasaan sayang, terlebih lagi cinta.
Dari lahir sampai tumbuh menginjak usia lima tahun, kasih sayang, rasa cinta aku peroleh dari perhatian orang tua. Begitu polos dan tamaknya aku menikmati kebahagiaan, teguran dari Tuhan pun sampai tak bisa terdengar. Kereta yang aku tumpangi sepulang dari liburan mengalami kecelakaan. Kedua orang tuaku tercatat sebagai korban dari tujuh puluh enam penumpang yang tewas di tempat.
Berbekal luka memar yang masih senantiasa menghiasi permukaan tubuh, aku resmi menjadi anak yatim piatu. Beberapa hari kemudian dinas sosial memasukkanku ke dalam panti asuhan. Mengharuskanku untuk berbagi kehidupan bersama anak-anak yang mempunyai takdir yang sama denganku.
Perangaiku cengeng. Suaraku terlalu berisik. Banyak anak-anak panti yang terganggu dengan pecahan tangisanku. Saat itulah dia muncul. Sosok berambut legam yang sedikit pun tidak merasa bising oleh keributanku.
Mungkin dia tuli atau telinganya tersumbat karena kebal dengan jeritan dan amukan yang aku keluarkan. Yang aku tahu tunarungu juga pasti tunawicara. Namun kategori dia berbeda, makhluk ini fasih berbicara. Berarti dia normal sama sepertiku.
"Hai, jangan menangis. Sekarang kau sudah tidak sendirian lagi."
Anak paling pertama yang mengulurkan tangannya.
"Aku juga sama sepertimu. Kita akan menjadi sahabat."
Kata-kata itu sulit untuk membuatku percaya.
"Perkenalkan namaku Yuichiro."
Yuu-chan, begitulah aku memanggilnya.
Awalnya aku berpikir, mungkin dia pura-pura berkenalan denganku hanya untuk membungkam mulutku yang terlalu banyak bunyi. Atau para pengurus panti yang memberinya perintah agar suaraku yang teramat memekakkan telinga itu berhenti.
Dengan kata lain, dia kuanggap sebagai kiriman untuk membuatku tenang. Mulanya, ya, begitulah mulanya otakku mencerna. Sampai akhirnya ketulusan dan kepolosannya berhasil meluluhkan rasa pesimisku.
Tanpa kupinta, tanpa kuungkapkan, dia bersedia menjadi sumber kehangatan yang kerap kukecap setelah kedua orang tuaku mangkat.
Di mana ada Yuichiro pasti di sampingnya selalu bertengger Mikaela. Kami pasangan paling klop di seantero panti. Saling mengekor satu sama lain. Terlalu asyik sampai tak menyadari penampungan anak tak berorang tua ini menjadi sepi. Satu persatu penghuni panti pergi.
Tidak terkecuali Yuu-chan. Dia juga ikut diadopsi. Sementara aku, masih setia menjadi anak panti terlama. Wajahku yang non oriental menjadi nilai buruk. Para orang tua beranggapan anak bertampang bule pasti akan banyak tingkah dan membuat repot jika dirawat.
Yah, tidak apa. Aku juga tidak butuh orang tua asuh.
Takdir masih berpihak. Beda alam kediaman bukan berarti kami tidak bisa bersama. Yuu-chan masih sering mengunjungiku. Bahkan selama dua belas tahun, kami selalu bersanding di sekolah yang sama.
"Hei coba lihat, si usang sudah muncul."
Meski demikian ternyata ada satu hal yang terlambat untuk aku sadari.
"Aku tidak mengerti tentang kebijaksanaan di sekolah ini."
Suatu tembok cukup tinggi di antara kami berdua.
"Kalian melihatnya bukan? Sistem beasiswa membuat pemandangan kita rusak."
Tidak, itu bukan tembok pemisah, tapi posisi keberadaanku yang terlalu rendah.
"Coba kalian lihat saja, si usang ini contohnya."
Terlalu rendah sampai di dunia nyata harga diriku juga direndahkan.
"Ambil ini!"
Lembaran uang dilemparkan tepat mengenai wajahku, berterbangan, lalu berserakan di lantai.
"Aku rasa itu jauh dari cukup. Kyahahahahaha."
Kecerdasan saja tidak cukup untuk membuatku dipandang kedua belah mata.
"Aku khawatir kau tidak benar menggunakan uang yang kuberikan. Karena itu akan aku lakukan agar kau bisa menggunakannya dengan sangat bijak."
Aku dikeroyok, seragam yang kukenakan dirobek paksa.
Ternyata sulit sekali untuk mensejajarkan posisiku dengan posisimu, Yuu-chan.
"BRENGSEK! PENGECUT KALIAN SEMUA!"
Yuu-chan datang menghadiahkan pukulan, tendangan, tepat di saat aku hampir ditelanjangi.
Salah Yuu-chan, bukan mereka yang pengecut, tapi aku.
"Kenapa orang-orang seperti mereka masih dibiarkan hidup sih, argghhhh."
Yuu-chan mengerang ketika aku mengobati lukanya.
"Dengar, Mika, mereka hanya iri padamu."
Aku tidak terlalu yakin dengan ucapan Yuu-chan. Seorang anak panti yang bahkan hanya sanggup membeli dan mengenakkan seragam bekas karena terlalu miskin, membuat anak-anak orang kaya itu iri. Omong kosong yang terlalu dibuat-buat.
"Nah, Mika, ambilah! Aku punya dua seragam. Yah, meski ini pernah kupakai, tapi masih kelihatan baru kok."
Bahkan di saat takdirku begitu pedih, perhatian Yuu-chan bertindak sebagai obat pereda rasa nyeri.
"Jangan tersinggung, Mika, seragammu sudah tidak layak pakai. Jadi, besok kau harus pakai seragam ini."
Yang paling kuingat setelah itu adalah Yuu-chan yang menarik tanganku.
"Ayo, kita pulang sama-sama."
Sumpahku semakin abadi bahwa genggaman tangan Yuu-chan tidak akan pernah kulepaskan.
Perlu proses yang cukup panjang untuk mengetahui bahwa aku penikmat sesama jenis. Mungkin ini imbas aku terlalu banyak menerima asupan komik dan cuplikan tayangan Boys Love. Atau karena aku yang terlalu sering menempel di sisi Yuu-chan.
Meski kami sama-sama berikrar menjadi Fudanshi, tidak pernah terbesit sedikit pun untuk saling berpagut mulut. Ya, tapi itu sebelum delapan belas tahun menjadi angka umur.
"Seharusnya kau melihatnya, Mika. Dia begitu tampan."
Susunan kata itu menjelma menjadi tikaman. Menciptakan rasa sakit tak kasatmata di dalam organ yang umum disebut hati.
"Kadang cinta datang begitu saja, tak bisa dimengerti. Hei, sepertinya aku menyukai Guren, Mika."
Sempurna, kalimat susulan sukses membuat rohku terlepas. Konon katanya raga tanpa jiwa akan membuatmu gila atau hilang kesadaran. Ya, begitu nihilnya sampai sekrup syaraf otakku melonggar. Membuatku berakting totalitas.
"Selamat, Yuu-chan," senyumku tersungging maksimal. "Suatu saat perkenalkan padaku ya. Aku ingin melihat sosok seperti apa yang telah berhasil membuatmu jatuh cinta."
Mulai dari sini aku tersadar. Ada yang salah dengan diriku tatkala nama Guren selalu menjadi topik perbincangan Yuu-chan. Aku serasa bukan lagi satu-satunya makhluk penghibur di matanya.
Benar-benar tidak rela. Selama sebelas tahun Yuu-chan hanya mengenalku tapi sudah dipudarkan oleh sepupu angkatnya dalam waktu relatif singkat. Begitu mudah posisiku tergeser. Sakit, tercekat, sesak, dan aku hanya bisa menahan.
Namun, rasa terima kasih turut kusertakan. Jika tidak karena kejadian ini, mungkin sampai mati aku buta bahwa aku―
Mencintai Yuu-chan.
Pemuda dinyatakan akil baligh saat usianya menginjak delapan belas. Aku memutuskan keluar panti, dan mengontrak rumah sendiri. Berbagai pekerjaan paruh waktu kutekuni sambil manyambi menjadi mahasiswa di salah satu Universitas Swasta.
Yuu-chan? Tentu saja masih turut aku ikuti kalau perlu sampai ke ujung dunia sekalipun. Sekarang aku sudah sangat sakti dengan perasaannya terhadap Guren. Bukannya aku memilih mundur. Aku hanya mencoba bertahan dengan cinta sendiri.
Dewi fortuna berpihak kepada insan yang masih mempunyai gairah normal seperti Guren. Dia ternyata diberi ketetapan oleh Tuhan untuk merajut kehidupan berdampingan dengan seorang wanita bernama Mahiru.
Yuu-chan lantas langsung patah hati mengetahui mereka akan menggelar pernikahan. Berbeda dengan diriku yang menganggap ini sebagai sebuah aji mumpung.
Suatu ide gila terlintas.
Saat aku tahu Yuu-chan tidak akan pernah bersama dengan orang yang dia cinta. Aku mengambil kesempatan itu untuk kepuasanku. Semata-mata demi kepentinganku. Begitu egoisnya diriku sampai tak mau mempedulikan perasaannya. Keegoisan ini telah menjadi raja dan menguasai diriku sepenuhnya.
"Mi―Mika. Aku rasa ini salah."
Hatinya bimbang ketika aku goda.
"Tidak apa-apa Yuu-chan. Kau hanya perlu penutup mata."
Sebuah dasi aku raih. Kuikat melingkar menutupi mata Yuu-chan.
"Kau cukup membayangkan bahwa aku adalah Guren tercintamu."
Kupastikan bibirku perawan. Sengaja predikat itu aku pertahankan untuk menyambar bibir Yuu-chan kelak sebagai yang pertama.
Kudaratkan sebuah ciuman. Berlangsung dalam waktu hitungan detik. Tidak ada pagutan liar. Tidak ada tarian lidah. Tidak ada sedotan saliva. Hanya dua bibir yang saling menempel dengan sensasi kenikmatan yang belum terasa.
Hingga tiba-tiba tubuhku terdorong tanpa diduga. Punggungku hampir terantuk lantai jika saja tanganku tidak sigap menyangga. Yuu-chan mencerai bebatan mata. Iris bak batu emerald berkilat nyalang menyala-nyala.
"Mika! Kau gila!" punggung tangan Yuu-chan menyapu area bibirnya. "Sampai kapanpun kau tidak akan pernah bisa menjadi Guren!"
Aku bergeming. Kecerdasanku yang luar biasa lenyap begitu saja. Otakku tidak bisa memproses kalimat sanggahan.
"TIDAK AKAN PERNAH BISA! INGAT ITU!"
Yang aku ingat setelah itu bunyi pintu yang berdebam amat keras dibanting Yuu-chan karena murka.
Sungguh tidak kusangka. Kejadian itu memberikan efek fatal. Yuu-chan mulai menjaga jarak denganku. Dia selalu menghindariku. Menolak kuekori. Kalaupun tidak sengaja berpapasan di kampus, hanya kalimat-kalimat pendek yang terlontar. Suasana canggung yang menjadi penghias panjang.
Kami serasa seperti musuh bebuyutan yang dendamnya sudah mereda tapi kikuk untuk berbincang. Aneh memang, seharusnya aku yang bertindak demikian karena telah tega mengotori persahabatan kami yang telah terukir lama. Sepantasnya aku lah yang merasa malu karena begitu egois mencemari ikatan kami dengan sebuah ciuman.
Ini semua hanya karena satu―kenaifan.
Ini semua hanya karena satu―keegoisan.
Ini semua hanya karena satu―nafsuku yang tak bisa ditahan.
Hadiahnya―persahabatan kami yang rusak total.
Yang bisa kuratapi―penyesalan.
Terakhir aku melihat Yuu-chan di saat resepsi pernikahan Guren dan Mahiru. Ekor matanya satu kali pun tidak terpergok menoleh ke arahku. Mungkin dia tidak menyadari aku datang. Atau dia sadar tapi aku tidak menarik untuk dipandang.
Fokus perhatian Yuu-chan hanya sepasang pengantin di altar. Wajahnya tercetak sangat tidak suka. Bertepuk tangan pun nampak tak ikhlas. Selepasnya tak pernah kudapati lagi sosok Yuu-chan.
Sampai empat bulan ke depan tercium kabar. Orang yang masih kucinta itu terbaring di hamparan kain bernuansa putih dihinggapi berbagai macam peralatan penunjang.
Yuu-chan koma. Hampir meregang nyawa di sela-sela keberadaan pil narkotika dan spuit psikotropika.
Seratus dua puluh dua hari Yuu-chan tak tertangkap netra biruku. Selama itu dia menggantikan posisi 'teman' nya dengan obat-obatan candu. Fakta yang memberatkan keberadaanku menjadi nol. Dampak berjenjang besar dari musabab ciuman konyol.
Kutampik. Kurealistiskan pikiran. Mungkin hatinya terlalu kandas karena tak bisa memiliki orang yang dia cinta. Menjadikan takaran narkoba yang berlebihan sebagai pelarian. Jika itu memang benar terkutuklah Guren yang membelokan tujuan hidup Yuu-chan ke lubang berkubang.
Praktis luka kecil di hatiku menganga. Dan ada luka lain yang datang menemani luka lama. Atau luka awal itu yang semakin membesar.
Tersemat rasa iri.
Guren sungguh hebat. Bisa mempengaruhi kehidupan Yuu-chan layaknya perputaran garis busur derajat. Sanggup membuatnya mencinta sebegitu besarnya. Sementara aku, jangankan berharap dicintai Yuu-chan, dianggap teman sepertinya sudah tidak.
Rutinitas harianku bertambah. Mengunjungi Yuu-chan yang masih telentang tidak sadar. Menunggunya sambil bercerita sekalipun tidak pernah ditanggap. Terkadang aku bermalam, tertidur di tepi ranjang. Tidak pernah bosan. Tidak pernah berhenti berharap.
Suatu ketika aku terkaget ketika datang, ruangan Yuu-chan kosong. Lekas kuraih tangan perawat terdekat. Kuberikan pertanyaan bertubi-tubi. Cukup satu arahan petunjuk darinya membuatku tenang. Rupanya Yuu-chan hanya berpindah ruangan. Dia berada di ruang perawatan biasa karena telah sadar.
Garis bibir kutarik sederhana. Hatiku tidak sesimpul senyum yang kuulas. Aku senang, sangat girang. Yuu-chan ku akhirnya kembali. Wajahnya sudah tidak sepucat saat kritis di ranjang. Dia nampak sehat. Dia lepas tertawa. Dia mudah berbincang. Ingin rasanya kuterjang tubuh Yuu-chan sampai kepayahan. Harus kuberitahu bahwa aku sangat merindukannya.
Lututku melemas. Ototku mati rasa. Ada yang menyumbat pergerakan kakiku. Perhentian tungkaiku hanya sampai setengah meter dari pintu. Sepasang mataku menangkap dari kaca. Kehadiran Guren yang menyuapi Yuu-chan potongan buah apel.
Mendadak rasa sakit itu muncul lagi. Rasa sesak itu hadir kembali.
Guren yang katanya tengah super sibuk menggeluti pekerjaannya tidak pernah kudengar menyempatkan waktu untuk membesuk Yuu-chan ketika koma, kini malah datang ketika Yuu-chan telah membuka mata. Dan yang paling menyakitkan pria itu seperti mendapatkan porsi yang amat besar.
Sementara aku yang selama ini menanti, menunggu Yuu-chan untuk terbangun, hanya bisa memandang dari luar sambil tersenyum kecut. Tidak mendapatkan porsi apa-apa selain jadi penyimak tak bersuara.
Bukannya aku pamrih. Aku hanya ingin Yuu-chan tahu, bahwa aku lah yang selama ini menemaninya di sepanjang rumah sakit. Bukan Guren yang patut dia sambut. Bukan Guren yang layak dia sunggingkan senyuman.
Ini rasanya seperti aku yang susah payah menanam, Guren yang menuai hasilnya. Sekalipun aku paham virus juga bisa berubah menjadi vaksin dan mikroorgaisme itu berwujud makhluk bernama Guren, tetap saja aku sakit hati.
Lagi-lagi aku kalah beruntung. Lagi-lagi aku terlambat. Takdir seakan tak pernah memberikanku kesempatan untuk melangkah maju barang sejengkal. Yang kudapatkan selalu derita pilu yang berkepanjangan. Terurung niat untuk masuk, aku enggan menampakkan tubuh yang tidak berharga ini menjadi perusak suasana.
"Mikaela tunggu!"
Kalimat itu melenyapkan lamunanku di lorong rumah sakit. Menghentikan langkah lunglai karena terlelap kecewa. Kecewa atas perbuatan yang aku lakukan secuil pun tidak berbalas.
"Ada yang ingin aku bicarakan padamu."
Kutolehkan pandangan yang nampak kabur karena mataku sedikit berair.
"Iya, Amane-sama ada apa?"
"Ini mengenai Yuu."
Kuhadiahi sosok yang dipenuhi lekukan keriput di beberapa tempat itu sebuah senyum sumringah untuk menyembunyikan perasaanku yang sama sekali tidak baik-baik saja.
"Apa kau tahu, setelah Yuu benar-benar pulih, aku akan memasukkannya ke pusat rehabilitasi. Sebenarnya aku tidak ingin menanyakan ini, tapi menurut sudut pandangku, selama empat bulan belakangan, kau dan Yuu terlihat berjauhan. Boleh aku tahu kenapa?"
Sedikit tertegun. Bingung menyahuti beliau dengan kalimat apa. Mulut ini setia membisu, membutuhkan waktu setengah menit untuk memberikan jawaban. Dan itu pun kalimat ngambang.
"I―itu."
"Ah, seharusnya aku tidak menanyakan ini," beliau meneruskan, "sudahlah, lupakan saja. Tidak sepatutnya aku mengetahui privasi kalian berdua."
Satu jawaban merayap. Mungkin beliau mengira bahwa kami bertengkar karena telah berebut gadis.
"Maaf, Amane-sama, ano―"
"Kau tidak perlu meminta maaf. Seharusnya aku yang meminta maaf padamu karena sudah membuatmu kerepotan akibat ulah Yuu."
Beliau mempersilahkan untuk melanjutkan gerakan tungkai. Lalu, kami menghabiskan waktu menyusuri lorong sambil mengobrol.
"Aku tidak menyangka anak bodoh itu akan nekat melakukan hal yang sia-sia."
Terlalu tidak sopan bila aku memotong, "Tidak. Yuu-chan sama sekali tidak merepotkan kok. Memang ada yang terjadi di antara kami, dan saya tidak tahu harus mengatakannya bagaimana."
Belum siap untuk berkata jujur. Tidak mungkin aku akan mengatakannya dengan gamblang. Bahwa persahabatan kami terkontaminasi karena aku mencintai anak angkatnya dan orang yang bersangkutan berkeberatan untuk menerima kenyataan itu. Menjauhiku. Menjaga jarak.
"Aku paham," pundakku ditepuk, "sudah kubilang 'kan, kita lupakan saja pembahasan alasan kalian berjauhan."
Melirik sebentar. Terdiam. Aku tidak tahu harus menggulir pokok pembicaraan ini ke sebelah mana.
"Mungkin kau yang jauh lebih mengenal Yuu dari pada aku. Yang kutahu, watak anak itu sangat keras kepala. Aku sangat yakin selama proses rehabilitasi dia pasti akan mengamuk. Jadi, aku ingin kau berperan di sini."
"Hah?! Maksud anda?"
"Apakah kau pernah berpikir, mungkin saja Yuu salah arah karena kau tidak ada?"
Entah bagaimana rautku sekarang. Terlalu bingung untuk melumat.
"Aku rasa dia sangat menyayangimu lebih dari siapa pun di muka bumi ini."
Hampir bersemu. Seandainya saja Yuu-chan sendiri yang mengatakan kalimat itu, sungguh cemerlangnya hidupku. Namun sayangnya beliau keliru. Aku tahu pada siapa hati Yuu-chan tertambat.
"Lupakan permasalahan kalian. Sering-seringlah mengunjungi Yuu di pusat rehabilitasi. Berikan dia dukungan moril. Setelah ditanamkan paham untuk meninggalkan obat-obatan kejam, dia pasti akan bersikeras untuk tetap bertempat di apertemen sendirian. Itu terlalu riskan. Aku tidak ingin Yuu terjerumus untuk kedua kalinya. Tinggal lah di sisi Yuu di saat kami tidak bisa memantaunya."
Campur aduk. Hatiku tidak karuan rasa. Nano-nano mengaliri.
"Menetaplah satu atap dengan Yuu nanti."
Diriku terlambung maksimal. Rasanya seperti aku direstui menikah dengan Yuu-chan saja. Petuah yang akan aku manfaatkan untuk menebus kesalahan fatal yang telah kuperbuat.
Sama sekali tidak tersebat sedikit pun di benakku bahwa ajakan itu nantinya akan menjadi salah satu faktor yang mengakibatkan ragaku teronggok di pinggiran jalanan ini.
Yuu-chan hanya bisa berkata 'Oh' tatkala aku menggeret koper besar menyesaki apartemen pribadinya. Bernada datar, sedatar kata sambutan yang dia lontarkan ketika aku perdana datang menjumpainya di pusat rehabilitasi narkoba. Sorot matanya seolah mencerca : 'Kemana saja kau, baru mengunjungiku?'.
Nampaknya tidak ada yang bercerita bahwa aku orang ketiga yang paling sering menjenguk Yuu-chan di rumah sakit setelah kedua orang tua angkatnya. Kuabaikan. Tidak ingin kupersoalkan. Lagipula kejadian itu sudah lewat. Sudah lain serial.
Hubungan kami masih kaku. Rupanya ciuman tempo dulu merupakan dosa besar yang sulit untuk Yuu-chan maafkan. Bujukan sarapan pagi yang selalu aku siapkan setiap hari belum juga mempan. Berbenah, memasak, semua pekerjaan rumah, dan hal apa pun yang telah aku lakukan belum bisa membuat Yuu-chan bersudi untuk menghilangkan kesalahpahaman.
Sebenarnya itu bukan kesalahpahaman tapi memang fakta yang ingin kupendam bahwa aku begitu dalam mencintai Yuu-chan.
Aku juga tidak pernah menyerah mengajak Yuu-chan berbincang di waktu senggang, di waktu acara makan atau di waktu sedang malas-malasan menghadapi tontonan. Mencoba terus untuk menciptakan suasana persahabatan yang nyaris hilang. Meski selalu disahuti dengan jawaban sekenanya, singkat, ketus, dingin maupun datar.
Waktu berotasi. Lima tahun ditempuhi. Harga mahal yang bisa aku tukar dari sebuah penantian. Kesabaranku bertelur matang. Kehangatan Yuu-chan lambat laun mulai terasa. Sifat dingin esnya mencair. Mengembalikan hawa ramah yang sudah lama sirna. Yuu-chan kini bekerja di bagian pemasaran Home Televisi Shopping. Sementara aku menggeluti pekerjaan di sebuah perusahaan swasta.
Penciptaan waktu yang kami gunakan untuk bersama terbilang cukup sedikit. Namun, itu yang memicuku agar membuat hubungan kami menjadi dekat. Memanfaatkan menit-menit yang bisa dihitung jari selain waktu beristirahat untuk membuat persahabatan kembali mengerat.
Kadang kami juga saling bantu membantu tatkala memiliki pekerjaan rumah dari perusahaan wadah kami bekerja. Di bagian itu momen-momen berharganya, saling bertukar ide, saling menyortir berkas-berkas.
Dan aku yang tidak ingin kesalahan lama terulang, tidak berani bersentuhan kulit Yuu-chan barang sejari. Takut kalap kalau-kalau iblis membobol berahi. Tetap menetralkan perasaanku yang semakin meluap hari kian hari. Menjaga binaan yang sudah susah payah terengkuh lagi.
Sayangnya, hal itu tampaknya akan terbuang percuma. Bukannya aku berujung dikalahkan oleh syahwat dan kembali berniat untuk melakukan hal yang jauh lebih parah dari sekadar ciuman. Namun karena cobaan demi cobaan kembali datang.
"Kedua korneamu mengalami kerusakan."
Cukup tersentak meski rautku terpatri datar.
"Kerusakan terjadi akibat cedera yang dibiarkan terlalu lama."
Semakin kalimat itu diteruskan semakin susah ludah tertelan.
"Itulah yang menyebabkan kepalamu sering pusing dan penglihatanmu mengabur."
Rupanya sensasi berputar yang menjalar liar tadi malam bukan karena hipotensi. Dan daya tangkap inderaku mengalami penurunan mendadak karena memang beralasan.
"Apa kau pernah mengalami kecelakaan sebelumnya?"
Di saat dokter melontarkan pertanyaan, batinku malah bertanya rawan, 'Apakah itu buruk?'
Gelengan kulayangkan lemah. Ekspresi dokter sepertinya meragukan jawabanku. Lantas aku kembali mengingat tentang penyebab kedua orang tuaku meninggal. "Waktu kecil aku pernah mengalami kecelakaan kereta. Kedua orang tuaku tewas di tempat. Apakah itu masuk hitungan?"
"Kapanpun kecelakaannya terjadi, yang jelas cedera itu telah melemahkan korneamu. Terkadang memang tidak menimbulkan gejala pada awal mendapatkannya."
"Tapi, jedanya cukup jauh, Dokter."
"Justru jarak interval yang sangat panjang itu yang memberikan masa infeksi berkembang. Biasanya dampak buruknya akan terasa beberapa tahun yang akan datang. Semua itu tergantung dari tingkat keparahan. Seperti kasusmu, kau baru mengalami gejalanya sekarang."
"Apakah itu buruk?" akhirnya pertanyaan sekelebat yang tadi menghiasi hati terucap dengan penuh kerisauan.
"Tentu saja ini masalah serius. Kornea yang mengalami kerusakan berakibat hilangnya fungsi kebeningan dan kornea akan menjadi buram. Pada situasi yang parah kornea akan menjadi bekas luka. Dan itu memungkinkan terjadinya kekeruhan kornea atau biasa disebut dengan Opacity kornea."
"Apakah itu berarti," kali ini kemungkinan terburuk yang melintas, menghantui pikiranku yang masih linu karena efek korneaku yang rusak, "aku akan kehilangan penglihatan?"
"Itu akan terjadi secara bertahap dan bisa menjadi lebih buruk."
Sensasi tersengat menghunjam seluruh tubuh. Bergeming. Kaku. Mengosongkan pikiranku yang semula banyak ekpektasi berlarian. Realita penuturan dari seorang pakar medis cukup membuatku shock. Lidah ini mendapatkan dampaknya, bergerak otomatis, membantu mulut melontarkan pernyataan pengharapan. "Tidak ada solusi ya, Dokter?"
"Operasi katarak dapat dilakukan segera, tetapi karena kornea telah rusak kepadatan sel tidak baik dan pemulihan akan sulit. Satu-satunya pilihan adalah dengan cara melakukan transplantasi kornea. Namun kenyataannya sulit untuk menemukan donor mata."
"Maksud anda, aku akan tetap," begitu sulit untuk melanjutkan, kata terakhir membuat nada suaraku begetar, "buta?"
"Kau harus menjalani serangkaian pemeriksaan dulu. Untuk lebih detailnya mari kita lakukan MRI yang pertama."
Perjalananku menuju ruang pemeriksaan kuhabiskan untuk berpikiran baik. Ya, vonis ini kuanggap sebagai hadiah di hari lahirku.
Kejutan pertama masih menjadi bala bencana di relung otak. Belum enyah sepenuhnya menggerogoti akal pikiran. Kejutan lainnya sudah menunggu di sepetak bangunan yang kuanggap sebagai rumah.
Kesaksian di visi manikku mulai berlagak. Kadang-kadang menyamar kadang-kadang jelas. Tapi sungguh, ingin sekali aku tunanetra saat itu juga. Tontonan memilukan yang menusuk sampai ke sum-sum tulang.
Sosok pria berkaki jenjang yang menarikan ke sepuluh jemarinya di bagian atas tubuh Yuu-chan. Berposisi di belakang badan pemuda berambut legam yang terjeda menyiapkan sarapan. Setengah membungkuk, berkesan seperti memeluknya dari belakang. Dan orang yang dipeluk menggelinjang kegelian.
Meski sebenarnya mereka hanya bercanda—saling gelitik menggelitik, namun sempurna menorehkan luka.
Lima tahun aku bersanding satu atap dengan Yuu-chan, seujung kuku pun aku tak berani menyentuhnya. Sementara Guren yang hampir tak pernah lagi bertatap, dengan bebasnya mengumal baju kaos Yuu-chan sampai sedikit tersibak, menggilik-gilikan jarinya.
Perasaan iri plus cemburu menjalar. Rasanya sangat pahit, sampai-sampai aku amnesia mengucapkan kalimat 'Aku pulang'.
"Oh, Mika, baru pulang," sapaan Guren membeberkan keberadaanku yang telah disadari.
Buru-buru kulepas plester pereket dengan secuil kapas tertindih menyembul di tengah, menutupi bekas tusukan jarum infus di punggung tangan kanan. Lekas kugenggam bendanya di tangan yang lain.
"Selamat pagi. Lama tidak bertemu Guren-san," setengah membungkuk, balik menyapanya ramah dengan topeng kepalsuan yang telah lihai aku mainkan.
"Selamat pagi."
Menghentikan aksi senda gurau di pagi hari, posisi Guren dan Yuu-chan kini terpisah jarak. Guren beringsut mengenyakkan tubuhnya di salah satu kursi. Sementara Yuu-chan bergiliran mengambil sajian demi sajian dari konter, mentransfernya ke meja makan.
"Sebaiknya kau hentikan kegiatanmu menginap di tempat kerja. Sekalipun lembur, sempatkanlah diri untuk pulang."
Pernyataan Yuu-chan membuatku senang sekaligus nanar. Senangnya, karena aku serasa sedikit diperhatikan, meskipun mungkin dia hanya membuka tajuk sederhana untukku yang baru datang.
Nanarnya, karena Yuu-chan salah menduga. Wajar bila dia keliru, karena aku memang enggan memberitahukan bahwa sebenarnya bukan tempat kerja yang kujadikan ranjang bermalam, melainkan rumah sakit.
"Yah, mau bagaimana lagi," kedua bahuku terangkat sesambil menyusupkan tangan ke kantong bawah jas panjang, menyembunyikan plester yang tertempeli secuil kapas, "laporan-laporan menggunung Yuu-chan, kau tahu 'kan ini akhir bulan."
"Alasan apa pun itu, jangan sampai kau jatuh sakit, Mika. Coba kau bercermin, wajahmu tampak pucat."
Bercitanya aku mendengar. Perhatian sederhana Yuu-chan sudah cukup membuatku bahagia. Sebenarnya aku sedang sakit. Satu botol cairan nutrisi infus sudah berbaur dalam alirah darahku akibat aku pingsan di jalan tadi malam. Dan dokter bilang, penglihatanku bermasalah sangat serius.
Tidak menanggapi. Aku menatapnya sendu.
"Kau ada mengirimkan email, Mika? Kalau ada maaf ya tidak terbaca. Ponsel kurusak, gara-gara dia," dengusan ditunjukkan ke arah Guren.
Baru sesaat terlena kini kuterpaku.
Rasanya seperti dipencundangi. Begitu percumanya aku mengirimkan surel selepas pulang kerja tadi malam. Memintanya datang menyusul ke restoran favorit. Lebih dulu menunggunya di salah satu bangku. Menenteng kotak berisi penganan penuh gula dihiasi lapisan mentega putih bergradasi cokelat. Menghamparkannya ke salah satu meja.
Menantinya berjam-jam, ditemani lima orderan likuid varian rasa. Hingga dirutuk pramusaji yang terkendala pulangnya hanya karena aku pengunjung paling terakhir hengkang karena betah mendaratkan pantat berlama-lama. Namun Yuu-chan tak kunjung muncul juga karena ternyata pesan elektronikku tertunda di satelit.
Memang lebih baiknya aku berpikiran demikian. Menganggap ponsel Yuu-chan yang rusak adalah alasan. Menampik realita yang menyakitkan, bahwasanya Yuu-chan memang lupa dengan hari lahirku. Lupa dengan agenda perayaan rutin tiap tahun. Lupa karena sosok pujaannya mengetuk pintu depan apartemen. Memilih menghabiskan waktu menemani Guren yang bertandang malam-malam.
Meski faktor pertama sama pedihnya dengan faktor kedua, namun aku ingin menyangkal kebenaran. Kebenaran yang mengarah bahwa Guren lebih diprioritaskan daripada aku.
Guren hanya bisa tertawa. Rambut Yuu-chan diacak-acaknya. Sungguh membuatku dengki.
"Nanti kugantikan dengan ponsel jenis terbaru."
"Hah! Bukankah kau sudah jadi pengangguran?"
"Jangan seperti itu, Yuu, begini-begini aku punya banyak pengalaman bekerja."
"Kau pikir mudah mencari pekerjaan di Tokyo. Seharusnya kau tetap bertahan di perusahaan Hiragi. Jabatanmu 'kan sudah tinggi di sana."
"Kau ini tidak peka ya," tangan terlipat di dada. "Bukannya aku sudah bilang. Aku muak dengan orang-orang yang mengataiku nanahikari di belakang. Aku keluar bukan karena tidak beralasan, Yuu. Akan aku buktikan bahwa aku juga bisa mendapatkan jabatan yang tinggi di perusahaan lain, tanpa harus mendapatkan koneksi dari mertua maupun keluarga. Aku ingin mengikuti jejakmu."
Terlihat Yuu-chan mencibir. Padahal mungkin di dalam hatinya dia sangat senang.
"Aku cukup kaget ketika kau menolak bekerja di perusahaannya paman. Dan malah melamar kerja di pusat Home Shopping. Merintis karir mulai dari nol."
"Makanya mandirilah!"
Senyum jahil dipasang, "Yah, aku memang tidak mandiri tuan muda. Lagipula―" kedua tangannya beralih, melipat ke belakang, menjadikannya sandaran kepala, "aku sudah memantapkan hati untuk bercerai dengan Mahiru. Bisa kau bayangkan, mukaku sudah rata untuk bekerja di perusahaan ayahnya."
Keakraban mereka membuat keberadaanku serasa terabaikan. Tapi, tunggu sebentar! Apa aku tidak salah mendengar? Guren akan menggugat cerai Mahiru?
"Hah?! Aku pikir dia cinta matimu." Ekspresi Yuu-chan juga sama kagetnya. Berarti dia juga baru tahu.
"Ada masa di mana satu pasangan sudah tidak mendapatkan kecocokan lagi, Yuu."
Memang sering-sering ini Yuu-chan selalu mendapatkan telepon dari Guren. Yang mengatakan bahwa hubungan mereka sedang tersandung masalah.
Meski kutahu Yuu-chan masih memendam cinta, namun dia tidak pernah mengutuk hubungan Guren dan Mahiru di ambang kehancuran. Yuu-chan sedikit pun tidak berharap status pernikahan mereka berubah jadi pisah ranjang selamanya, sekalipun itu sedikit menguntungkan di pihaknya.
"Jadi, kau jangan berkeberatan ya aku menumpang di sini untuk sementara waktu."
Terpaku lagi. Kali ini disertai pandanganku yang semakin memblur. Jika memang benar Guren akan menjadi penghuni ketiga di rumah ini. Berarti penghalangku untuk meraih Yuu-chan tidak bisa dilawan.
"Enak saja," ketus Yuu-chan. "Menumpang di sini tidak gratis tahu. Mika saja berbagi uang iuran bulanan. Dari mana kau bisa mendapatkan uang, sementara kau sudah tidak mempunyai pekerjaan."
Yuu-chan pastilah berbohong. Guren bisa saja terkelabui, tapi aku tidak. Tentunya Yuu-chan akan menerima kehadiran Guren secara suka rela dan cuma-cuma. Sebab Guren masih menjadi orang yang paling dicintainya sampai detik ini.
Lima tahun memang telah berselang tapi Yuu-chan sangat gagal move on. Dan aku sangat yakin, cinta Yuu-chan akan semakin bertumbuh seiring berbaginya tempat dan kebersamaan dengan Guren.
"Hei, kau pikir aku pulang kampung tidak membawa uang sepeser pun. Dasar bodoh kau, ya."
Keberadaanku yang masih berdiri setia di ruang tamu, mendadak pusing hebat. Penglihatanku yang tadinya mengabur parah kini mulai menyuram. Pemandangan yang sebenarnya membuatku sesak―kemunculan Guren yang mendadak, kenyataan dia yang akan bercerai dengan istrinya dan permintaannya untuk menetap di apertemen Yuu-chan, membuat penyakit sakit kepalaku kumat.
Dampak kerusakan kornea tenyata sebegini menyiksanya. Kerjapan kedua kelopak yang mencoba menetralisir tidak berpengaruh. Tubuhku bergoyang. Sensasi melayang kurasakan. Untungnya Guren dan Yuu-chan tengah asyik bercakap tidak menyadari diriku yang nyaris pingsan.
Harga diriku yang terlampau tinggi menegaskan bahwa aku tidak boleh terlihat ringkih terlebih lagi tidak boleh tampak sedang sakit di hadapan Yuu-chan. Sisa tenaga sebiji kerikil kumanfaatkan untuk menggerakkan tungkai menuju kamar.
Alasan logis kuberikan, sekaligus kalimat itu memberikan makna pelarian diri dari situasi. "Maaf, aku mau istirahat sebentar, kemarin malam kurang tidur."
Entahlah, aku tidak bisa mendengar Yuu-chan menyahut apa di belakang sana. Nyeri di kepala meredamkan penghantar suara, menggelapkan mata, dan mengalahkan segalanya. Tubuh kubanting sesudahnya sampai di ranjang. Hilang kesadaran tidak tahu sampai jam berapa.
Kenyataan semakin menonjok keras. Dua hari setelah divonis menderita Opacity Kornea, aku dihubungi pihak rumah sakit membeberkan seputar hasil pemeriksaan lanjutan.
"Kami menemukan tumor di kedua matamu."
Kekecewaan dan rasa takut sudah tidak bisa terimaginer. Kuberikan sentuhan lama di kening, wujud bahwa aku frustasi.
Wajah dokter kupandang. Gelagatnya sedang menggerakkan pulpen ke hasil scan MRI, memberikan gerakan melingkar ke bagian gambar yang dideteksi sebagai sumber penyakit.
"Tampak tumor mendorong terhadap lensa matamu, menyebabkan katarak dan Opacity Kornea."
Jemari yang bergetar masih memijit pelipis. Keterpurukan mulai mendarah daging. Napas kuhela. Lengosan lelah terkesan pasrah kuhembuskan. Masih memandangi, lawan bicara di hadapanku mulai berkata tegas.
"Kau harus segera memulai pengobatan."
"Lalu, apa itu dapat menyembuhkan, Dokter?" suaraku nyaris hilang, tenggelam dalam kekalutan.
"Jika matamu diekstrak sebelum menyebar."
"Selain itu, ap―apakah operasi tetap harus kula―lakukan?" kegentaran menyerempet, membuatku terbata dalam berkata.
"Dalam kasusmu, bahkan tanpa mengeluarkan mata yaitu dengan cara pembedahan, kehilangan penglihatan tetap tidak bisa dicegah. Dan mungkin yang akan terjadi lebih cepat karena kerusakan kornea sudah terlalu dalam yang mulanya disebabkan oleh kecelakaan."
"Itu artinya meski aku tetap menjalani operasi, aku akan tetap buta, iya 'kan, Dokter?" nada suaraku tiba-tiba meninggi satu oktaf. "Aku rasa, aku tidak perlu menjalaninya, karena itu percuma."
Pandanganku semakin mengabur, bercampur cairan bening yang memaksa keluar. Harus kutahan. Tidak boleh sampai ruah.
Sang dokter rupanya maklum menghadapi pasien yang ketenangannya labil sepertiku. Beliau memberikan pengandaian padaku yang sudah tersulut oleh kata pasrah dan menyerah. "Jika dioperasi, kau hanya akan kehilangan penglihatan. Tapi bila tidak, tumormu akan menyebar menjadi ganas. Bukan penglihatanmu saja yang nantinya akan hilang, tapi nyawamu juga."
Seluruh ototku melemas. Gemetar semakin tersinyalir. Energi serasa tersedot habis. Tak punya daya yang cukup untuk merespon balik perkataan dokter.
Benar, ini adalah hadiah susulan pasca hari ulang tahunku.
Takdir begitu gemar mempermainkan hidupku. Belum lagi fakta berkisar tentang kerusakan kornea dan tumor kemunculan Guren juga ikut andil menyerap keberuntunganku yang semakin terkikis.
Setiap hari aku harus melihat dia dan Yuu-chan bercanda. Lepas tertawa. Berbincang akrab. Seolah semesta tercipta hanya untuk mereka saja, dan aku kebagian mengontrak, figuran tak berbayar, tetangga yang tak dianggap, dan istilah apa pun yang patut aku sandang sebagai 'keberadaan kecil' di tengah mereka.
De javu. Ya, aku pernah mengalami ini sebelumnya. Ketika Yuu-chan pertama kali sadar di rumah sakit, dan Guren lah orang pertama yang memanjakannya. Linu-linu kepala yang kerap bergerilya membuatku seolah tak punya ruang untuk berperan memasuki hubungan Guren dan Yuu-chan. Terlalu fokus menahan rasa kesakitan. Kehadiranku nyaris tersingkirkan.
"Mika, apa Yuu sudah memberitahumu?"
Rasa-rasanya tak perlu lah aku menenggak obat secara diam-diam. Tak perlu harus main kucing-kucingan hanya untuk mendatangi rumah sakit. Semuanya patut aku lakukan terang-terangan. Toh, aku juga tidak yakin mereka mau memedulikan. Karena mereka tidak akan menyimak aktivitas apa pun yang aku lakukan.
Hanya saja, aku belum siap untuk menghadapi sudut pandang. Bahwa aku terkesan dibiarkan mengasing pelan-pelan.
"Memberitahu apa?"
Tidak bisa dipungkiri, kemampuan kekeruhan korneaku semakin menghebat. Kekuatan tumor juga semakin melaknat. Daya visualku semakin menurun. Pernah aku menjadi korban amukan Yuu-chan karena aku sudah tidak bisa membedakan beberapa warna.
Pakaian seragam Guren yang akan dikenakan di hari pertama bekerja, cacat gara-gara terkena lunturan ketika aku mencucikannya. Padahal orang yang bersangkutan tidak mempersoalkan. Tapi, Yuu-chan yang malah mencercaku. Sukses memprakarsai diriku sendiri sebagai orang yang tak berguna.
"Sewa apartemen akan berakhir bulan ini. Aku dan Yuu sepakat untuk pindah. Dan aku sudah mendapatkan lokasi yang jaraknya cukup dekat dengan tempat bekerjaku dan perusahaan Home shopping Yuu bekerja. Yuu benar-benar tidak ada memberitahumu, ya? Ah, padahal sudah cukup lama sekali kami telah merencanakannya."
Sekejam apa pun Yuu-chan memarahiku, seharmonis apa pun dia dengan Guren, setersisih apa pun keberadaanku, dan selama apa pun aku harus menjadi penyimak, pemerhati yang terabaikan, cukup mengabdi dan senantiasa selalu ada di sisi Yuu-chan membuat hatiku sudah terpuaskan.
Tapi sepertinya untuk kali ini aku harus menyerah. Menyerah pada sesuatu yang bernama kebutaan. Aku tidak ingin kekurangan yang kusandang nanti menjadi biang masalah. Menjadi penyebab yang bisa merepotkan orang-orang. Dan dengan sangat terpaksa aku harus melanggar sumpah. Melepaskan genggaman tangan Yuu-chan demi kebaikannya.
Aku menggeleng pelan sambil tersenyum, "tidak ada."
Dan sepertinya aku sudah mendapatkan celah untuk bisa menyingkir dari tempat ini.
Koper besar kugeret. Tapi kali ini bukan untuk berjejal masuk. Melainkan tertarik keluar, memberikan sedikit ruang kosong di sepetak bangunan yang sudah lima tahun aku tinggali.
Meski bernada rendah, suara Guren bisa kudengar. "Hei Yuu, kau tidak ingin mencegahnya?"
Tanpa kutoleh, aku bisa merasakan Yuu-chan hanya bisa mematung. Dia malah beranjak memunggungiku.
Persiapan terakhir sudah beres. Tas besar kujinjing. Koper juga telah terletak di dekat pintu depan. "Baiklah, sepertinya taksi sudah menunggu di bawah. Guren-san, Yuu-chan, aku pergi ya. Terima kasih atas bantuannya selama ini. Maaf telah merepotkan."
Pegangan pintu kutarik. Hamparan lantai koridor luar tertampil. Marmernya mengkilat putih di retinaku yang kabur permanen. Seolah mempersilahkan diriku yang memilih enyah dari dunia ini. Dunia di mana hanya ada Yuu-chan di dalamnya. Tapi sekarang dunia itu sudah tidak bisa lagi kudiami. Penyakitku menghendakinya agar aku pergi.
"Biar kubantu. Kopermu biar aku yang bawa turun." Guren menyeret koper besar. Melewati batas pintu utama apartemen Yuu-chan.
Sedikit berharap. Aku ingin Yuu-chan mencegah. Walaupun keputusanku tetap tidak akan berubah. Setidaknya itu bisa membuatku senang di menit-menit terakhir perjumpaanku dengan Yuu-chan.
"Mika," suara itu membekukan aktivitas tungkaiku. Refleks tubuhku menegang. "Aku sama sekali tidak mengusirmu. Tapi kenapa kesannya kau malah terusir begini."
Aku menyahutinya dengan sedikit menoleh. "Ah, tidak kok, hanya perasaanmu saja. Waktu aku tahu kalian sudah mendapatkan apartemen yang dekat dengan tempat kerja. Lantas aku juga langsung berpikir untuk melakukan hal yang sama."
Hatiku tersenyum. Tuhan, baru kali ini kau mengabulkan harapanku.
"Oh, baiklah."
Tercekat. Ternyata tidak sesuai dengan ekspektasi. Harapanku terlalu besar rupanya.
Tertunduk. Kupalingkan wajah. Kusadari Guren sudah tidak ada. Mungkin sekarang dia sudah memasuki kotak besi yang berjalan turun naik.
"Sebenarnya aku memang sengaja tidak mengabari tentang perpindahan kami."
Iya, aku tahu, Yuu-chan memang ingin aku pergi. Yuu-chan ingin aku jangan mengacau, karena aku penganggu. Betul, aku memang pengganggu.
"Lebih tepatnya aku belum ingin memberitahumu."
Sudahlah, aku tidak ingin berpikiran yang macam-macam. Terlalu berat rupanya pengharapanku sampai-sampai tak pernah terwujud satu kali pun.
Tungkai kuayun.
"Aku ingin kau sendiri yang meminta untuk ikut pindah dengan kami."
Langkahku terhenti lagi.
"Rencananya aku akan memberitahumu nanti satu hari sebelum kontrak apartemen ini berakhir. Jadi, kau tidak punya pilihan selain ikut dengan kami."
Mata ini seperti buta. Genangan air mengganggunya.
"Kau bersedia tinggal denganku karena ayahku yang menyuruhmu. Lalu aku berpikir, ah, jika ayahku tidak memintamu apakah kau tetap mau tinggal denganku. Maka dari itu aku sengaja melakukannya. Karena aku ingin kau tetap tinggal bersamaku atas kemauanmu sendiri."
Yuu-chan bodoh. Tanpa disuruh siapa pun, kau akan tetap kuekori sampai mati.
"Tapi kalau kau memang ingin pergi. Aku hargai keputusanmu."
Bisu. Aku tidak ingin Yuu-chan mendengar suaraku yang bergetar karena menahan tangis.
"Terima kasih, Mika, atas apa yang telah kau lakukan selama ini. Maaf bila aku hanya bisa merepotkanmu. Selamat jalan."
Kubalikkan badan, bertepatan itu Yuu-chan memunggungiku. Pergi menjauh memasuki kamarnya. Bulir air merembes keluar dari netra yang sudah tidak punya fungsi utuh lagi. Menghujani permukaan kulit pipi. Ikut menjejal masuk ke lubang hidung pernapasan. Menyebabkan rasa haus udara di bagian dada.
Perpisahan yang menyakitkan. Yuu-chan bahkan enggan mengantarkan kepergianku, bagaimana aku bisa percaya dengan perkataannya barusan.
...*...
Tidak tahu raut orang itu persisnya seperti apa. Seorang pejalan kaki yang aku paksakan untuk bertanya perihal tentang angka waktu yang tidak bisa kulihat. Mungkin sekarang dia memasang tampang bingung. Mengamati arloji yang tersemat di pergelangan tanganku. Kuberikan alasan bahwa jamku mati sambil menutupinya.
"Sudah jam sepuluh lewat lima."
Aku tertegun sejenak, "Oh, terima kasih."
Selesai bertanya orang itu pergi.
Empat jam sudah aku memboros waktu hanya untuk memutar kenangan. Selama itu juga tidak kurasakan tanda-tanda kemunculan Yuu-chan. Sejak aku memutuskan keluar dari ruang lingkup hidupnya, semenjak itu pula kami tidak pernah lagi saling berhubungan. Bertemu pun sudah jauh dari kata jarang.
Pun terlibat komunikasi terakhir secara langsung pada saat aku hengkang kaki dari rumahnya. Selepas kejadian itu, kucoba bertahan hidup sendirian, tanpa mengetahui kondisi dan keadaan Yuu-chan. Rasa rindu kerap menyerang. Tapi mau bagaimana lagi kondisi penglihatan yang kian menyuram adalah kendalanya.
Pada akhirnya aku tersadar. Sisa-sisa kemampuan mata yang sangat teramat lemah menangkap cahaya ini harus dimanfaatkan untuk melihat sosok Yuu-chan untuk terakhir kalinya. Harus kupuaskan memandangi wajah Yuu-chan berlama-lama. Kemudian menyimpannya di kotak arsip kenangan di bagian utama otak dengan judul 'Wajah orang yang sangat aku cintai selamanya.'
Harus kulakukan itu sebelum kebutaan total dan kegelapan selamanya aku dapatkan. Lantas kukumpulkan keberanian, menyapa Yuu-chan yang sudah cukup lama tidak bersua melalui media elektronik penghantar suara. Memintanya bertemu selepas dia pulang kerja.
Dan disinilah kini aku berada. Rela datang lebih awal, menyambutnya, agar pertemuan nanti terlihat sedikit sempurna.
Kutekan lama tombol paling ujung kiri nomor dua dari atas di ponsel pintar. Panggilan terlayangkan. Tapi kerap tersandung pesan suara operator. Pikiran baik tetap kupertahankan. Sebab siang tadi Yuu-chan memastikan akan datang.
Ya, setidaknya begitulah aku beranggapan. Mengesampingkan ingatan tentang nada suara Yuu-chan ketika berbicara lewat sambungan telepon yang masih aktif tadi siang―terdengar datar dan seperti tidak berminat. Namun aku tetap meneguhkan hati.
Tetes-tetes air berguguran pelan. Berjamak menjadi milyaran. Mulai menambah kecepatan. Menyerang dan menghantam semua benda yang mendarat di permukaan. Aku turut serta terguyur di tengah jalan. Tanpa payung, tanpa penghalang, hanya bermodalkan sweater tipis sebagai penghangat yang kini juga telah kuyup ditempa hujan.
Kutarik sekali lagi seorang pengguna jalan yang dipayungi benda penghalang hujan berwarna hitam. Kutanyakan dengan penuh kegamblangan. "Maaf sudah jam berapa? Jam tanganku rusak."
"Jam dua belas lewat dua puluh lima."
Tertunduk dalam. "Oh, terima kasih."
Terhitung enam jam lebih aku melakukan hal sia-sia. Terpekur layaknya orang bodoh. Menunggu tanpa kepastian. Berharap tanpa wujud nyatanya. Kadang terlalu berpikiran baik bisa membuat seseorang tenggelam dalam kesengsaraan. Sengsara karena tidak sesuai dengan realita. Sengsara karena tidak sesuai dengan harapan.
Ya, hal ini memang sudah biasa terjadi setiap saat. Saking seringnya tidak pernah bosan untuk kuperankan. Dengan anggapan semua yang kubayangkan menjadi kenyataan. Namun, pada akhirnya takdirlah yang memberikan jawaban.
Gontai tungkaiku terayun. Sebelah tangan mencoba menekan kembali panggilan. Tak bereaksi, juga tak ada bunyi. Sepertinya ponselku rusak tercemar guyuran hujan. Kulipat, kubuang begitu saja ketika aku menjauh dari tempat awal. Pandanganku semakin berkabut. Diselaputi dengan air hujan dan air asin yang bersumber dari dalam mataku sendiri.
Pikiranku juga berkecamuk dengan satu ekpsektasi, bahwa sekarang Yuu-chan pasti sedang bersama dengan Guren. Dan aku dengan bodoh dan percayanya, menanti Yuu-chan sampai tengah malam buta.
Jujur aku sudah tidak terlalu sayang lagi dengan nyawa. Sebab hidupku terjal, curam, selalu berlangganan dengan yang namanya kesedihan dan kekecewaan. Hanya saja aku enggan mengakali kematian.
Jika memang vonisnya aku akan tetap meninggal. Biarlah maut itu yang datang dengan sendirinya. Tanpa aku yang bertindak bodoh mengakhirinya. Jadi, tetap kujalani kehidupan ini seperlunya, sebagaimana mestinya. Dan kekecewaan yang tak habis-habisnya ini membuatku harus memanjatkan do'a : Tuhan cabut nyawaku segera.
Sisa-sisa daya visual hanya bisa kugunakan untuk meniti trotoar jalan sambil membayangkan wajah Yuu-chan yang kini hanya tinggal sebait kenangan. Semakin lunglai. Lambat laun aku merasa kakiku sudah tidak berpijak lagi di atas tanah. Bayangan Yuu-chan juga telah tertepis oleh serangkaian warna hitam.
"Mikaela!"
Suara sayup menelisik telinga.
"Mikaela!"
Terdengar lagi, tapi sudah tidak sayup, melainkan terdengar cukup jauh.
"Mikaela!"
Kini suaranya terdengar semakin mendekat.
"Mikaela! Kau bisa mendengarku!"
Cukup jelas sekarang. Dan aku merasa terganggu. Menarik kesadaranku yang tadinya tidak tahu jatuh di mana.
Kedua kelopak kusibak pelan. Mengerjap lemah untuk mencapai kapasitas sudut pandang yang sesuai. Tak berguna, visualku senantiasa dihiasi tampilan samar.
"Yuu. . . chan," suaraku lirih.
"Ini aku Mikaela."
Kucoba meningkatkan daya fungsi telinga, sebab kemampuan mataku sudah tidak bisa lagi mengenali.
"Dok. . ter. . Bathory. . . apa itu kau?" lanjutku dengan pengucapan yang begitu lemah.
"Iya Mikaela ini aku."
Tampak sesosok buram tengah membungkuk di sebelah kiriku.
"Syukurlah kau sudah siuman."
Kukumpulkan kesadaran sepenuhnya. Tubuhku lemas. Tidak, sepertinya mati rasa atau bisa jadi lumpuh. Yang nyata terasa hanyalah terjangan udara konstan yang memaksa masuk lewat dua celah kecil di organ yang sering kugunakan untuk bernapas. Dan rasa nyeri yang berdenyut di salah satu permukaan kulit di punggung tangan.
"Kau sudah tidak sadarkan diri selama lima hari."
Mata berkedip sayu. Korneaku yang sudah tidak sehat bergerak mengamati sekitar yang hasilnya sama saja―kabur.
"Dengar Mikaela, tumormu sudah mulai menyebar. Kau harus segera menjalani operasi sebelum menjadi ganas."
Mendadak dadaku serasa terhimpit benda berat. Berasa sesak.
"Harus ada walimu yang bertanggung jawab agar kau bisa segera di operasi."
"Aku hi . . dup sen . . di . . rian dokter," suaraku terdengar parau dan sengau di akhiri tarikan nafas yang dalam.
"Kerabatmu?"
Satu-satunya sejawat yang aku punya hanya Yuu-chan. Tapi tidak mungkin aku mengabarinya. Kepala kugelengkan pelan.
"Kenapa kau tidak bilang dari awal pemeriksaan? Seandainya aku tahu, langsung segera kulakukan tindakan operasi dari hari pertama kau dirawat. Tidak perlu aku menunggumu sampai sadar. Baiklah aku yang akan bertanggung jawab. Aku akan jadi walimu. Kau tidak keberatan, bukan?"
Penekanan di dada semakin menjadi. Oksigen murni di lubang hidung tidak banyak membantu. Spontan mulut kubuka lebar, gerakan alamiah untuk menghirup udara bebas sebanyak-banyaknya.
"Mikaela?"
Gerakan dadaku yang tidak wajar nampaknya membuat dia cemas.
"Dokter tingkat saturasinya menurun."
"Siapkan masker! Akan kulepas nasal kanulnya!"
Begitu menyesakkan. Baru pertama kali ini aku merasa dunia kedap udara. Sekalipun dadaku memompa keras, mulut memengap-mengap, mencari-cari gas penghasil energi, tapi semua upaya percuma. Tidak ada apa-apa yang kudapatkan kecuali rasa menyiksa.
Selang dilepas. Dokter mulai hendak memasang sungkup. Susah payah tangan kuayun. Kutepis. Dokter tetap memaksa untuk memasangnya. Kutepis lagi.
"Mikaela, kau mau mati!"
Sumpah, pemikiranku sudah buntu. Aku sudah hilang akal. Aku sudah bosan hidup. Ya, benar aku ingin mati.
Ferid Bathory tetap bersikeras. Kutahan pergerakan tangannya di udara menggunakan tanganku yang lemah. Dia membiarkannya sebentar, mungkin iba karena aku meneteskan air mata akibat kepedihan teramat dalam.
"Biar . . . kan hhhhh aku . . . hhhhh mati . . ."
Tanganku lunglai, menghunjam permukaan ranjang. Pergerakan semua anggota badanku terhenti. Begitu juga aktivitas organ bagian dalam. Terutama paru-paruku berhenti fungsi. Sudah tidak mempunyai kemampuan untuk melakukan pertukaran udara sekalipun mulutku sudah menganga selebar apa pun.
Tapi kesadaranku masih bersemayam, belum melepas di raga yang telah mati total. Aku layaknya jiwa yang terperangkap dalam sebuah boneka. Masih bisa melihat meski pupil membeku. Masih mendengar meski tak bisa menanggapi. Dan anehnya penglihatanku jelas setelah sekian lama buram.
Dokter yang memasangkan sungkup muka ke wajahku tertampang jelas di hadapan. Baru kali ini kuketahui rupanya. Wajah tirus dengan rambut keperakan.
Perintahnya agarku bernapas, suara ribut monitoring yang berbunyi tak berirama, paramedis yang mencetuskan istilah-istilah asing, dan mulai gelagapan memasang berbagai macam benda di tubuhku, semuanya berbaur, terpatri, membahana, masih tertangkap gendang telinga maupun mata.
Bayangan Yuu-chan menari-menari di ingatan. Kenangan masa kecil, kenangan proses menuju remaja, kenangan masa-masa mengenyam bangku mahasiswa, sampai yang paling terkini, kenangan tumbuh menjadi seorang pria dewasa, dan semua kenangan-kenanganku bersama Yuu-chan bergulir layaknya cuplikan film yang diputar ulang.
Jadi begini proses akan mati. Dibuat bermanja sebentar sebelum jiwa sepenuhnya ditarik pergi.
Sebulir cairan bening keluar dari ekor mata, mengalir segaris, merembes mengenai helaian pirang, kujadikan sebagai persembahan terakhir sebelum kedua mata ini berganti warna biru kelam lalu disembunyikan oleh kelopak yang mengatup otomatis.
Bersambung
Trivias :
MRI : Magnetic Resonance Imaging adalah piranti diagnostik untuk mendeteksi kelainan fungsi tubuh terutama untuk melihat pencitraan bentuk anatomi jaringan lunak dalam tubuh, seperti otak, susunan syaraf, sum-sum tulang belakang dan lain-lain. Kualitas gambar resolusi yang dihasilkan jauh lebih baik dari hasil CT Scan dan X-Ray.
Nanahikari : istilah di Jepang untuk anak yang mengandalkan jabatan orang tua untuk mendapatkan sesuatu.
Saturasi : Saturasi yang dimaksud di sini adalah saturasi oksigen. Biasanya termasuk dalam salah satu dari lima parameter monitoring pasien. Gunanya untuk mengetahui kandungan oksigen yang terlarut dalam darah. Kadar oksigen yang normal dalam kisaran 95-100%. Jika kurang dari 92% ada kemungkinan pasien mengalami gangguan pernapasan. Jika semakin turun bahkan kurang dari 80% maka semakin rendah tingkat oksigen.
Nasal kanul : selang bantu pernapasan yang di letakkan pada lubang hidung.
Sungkup muka : nama lain dari masker oksigen.
-Snaw-
