MASK
"Semua orang memakai topeng untuk kau cintai.
Jika kupakai topeng burukrupa, akankah kau mencintaiku?"
.
.
CHAPTER 1
.
.
.
.
09.00 KST
"Kumpulkan laporan kalian! Cepat!" serunya. Aku bersama gadis cantik dari China bermata rusa melangkah maju ke depan kelas. Semua mata tertuju pada si gadis China. Aku tidak tau lagi bagaimana menggambarkan kecantikannya. Dia seperti putri-putri raja di dongeng China.
Ketika gadis China kembali ke bangkunya, aku masih berdiri disana. Lee Seonsaengnim menatapku tak suka. "Kembali ke tempatmu Nona Do!" pekiknya keras, aku berani taruhan dia pasti lahir dari keluarga yang kaku dan gila hormat.
"I'm sorry, Mrs. Lee. Sepertinya saya membuat kesalahan pada laporan saya" ucapku sopan, tapi semua orang dalam ruangan ini tahu diam-diam mataku yang tajam dan bibir hatiku membentuk kombinasi senyum mengerikan.
Lee Seonsaengnim mengambil laporan yang tertera namaku disana. Membacanya sepintas, mencari kesalahan yang kumaksud. "Tak ada yang salah dengan laporanmu Nona Do. Jangan mempermainkanku!"
"Ooh...benarkah? Coba kulihat!" tanganku terulur mengambil lembaran laporan yang ku kerjakan bersama Chanyeol tadi malam, tanpa tidur. Sayangnya namanya tak tercantum dalam laporanku. Karena dia bukan bagian dari mata kuliah ini.
Ke keluarkan spidol hitam dari kantong celana jeansku. Dengan gerakan pelan tinta berwarna hitam pekat berhasil menutupi satu nama. Dua nama. Tiga nama. Empat nama. Hingga hanya tersisa namaku disana. Lalu aku menambahkan nama 'Park Dobi".
"Rasakan ini, bitch! Kalian akan menemaniku mengulang kelas!" gumanku menyungingkan senyum kepuasan.
"APA YANG KAU LAKUKAN NONA DO YANG TERHORMAT!" bentakan nyaring di seluruh penjuru ruangan ini. Hampir saja aku ingin menancapkan spidol ke matanya. Oh maaf, apa aku seperti psikopat sekarang?
"Aku hanya tidak ingin teman-temanku satu kelompok menanggung kesalahan yang tidak mereka kerjakan. Maafkan aku teman-teman, aku mengerjakannya asal-asalan...aku tidak ingin kalian dianggap bodoh hanya karena laporan yang ku kerjakan" ucapku dengan nada di buat-buat sedih.
Seorang perempuan dengan rambut blonde bergelombang dengan pakaian trendy berdiri dari tempat duduknya. Memandangiku dengan tatapan seakan ingin menghabisi nyawaku dengan kuku-kuku cantiknya yang bercat merah mengkilap. "Yakk! Kyungsoo-ya...Kau sendiri kan yang menawarkan diri mengerjakannya. Tak kusangka kau selicik itu!" ucapnya seraya melipat tangannya di dada.
"Katakan itu pada seseorang yang mengatakan eommanya sedang di rawat di rumah sakit" sindriku. Dia pikir aku percaya apa?
"Eommaku memang sakit" sahutnya.
"Tsk...sebelum kau berkata begitu sebaiknya bersihkan dulu bercak merahmu atau setidaknya mandilah dengan bersih dan wangi. Baumu seperti habis di tiduri puluhan pria."
"Tutup mulut pedasmu itu! Kau juga seorang jalang!...aku tau benar itu!
"Maaf, Mrs. Lee..sepertinya saya sedang tidak enak badan. Saya mohon ijin." Lee Seonsaengnim belum mengiyakan namun aku sudah melangkah ke luar kelas. Samar-samar aku mendengar gadis tadi masih menyumpahiku.
"Yakk! Sini kau! Akan ku kirim kau ke neraka! DOO KYUNGSOOO!"
.
MASK
.
Sebatang rokok menemaniku menunggu Chanyeol. Berdiri memandangi para mahasiswa lain berlalu lalang. Asapnya mungkin membuat sebagian orang menjadi sesak nafas, namun bagiku ini sebuah obat.
"Sudah kubilang jangan merokok lagi, Kyung!" suara bass Chanyeol sangat jelas di telingaku. Ia merampas sisa rokok yang ada di tanganku, melemparnya ke lantai, dan menginjaknya dengan kesal. Diam-diam aku tertawa melihat tingkahnya.
"Apa? kau pikir ini lucu?" Chanyeol berucap dengan nada kesal setangah mati. Ia mulai berdiri bersandar pada pagar pembaatas balkon. "Mana tasmu?"
Kutepuk jidaku keras, semoga tidak ada lalat nyasar yang gepeng disana. "Ahh..aku lupa membawanya. Tenang. Paling Luhan sudah membawanya"
"Liat, benar bukan dia membawa tasku. Dia memang gadis yang baik" ucapku melihat Luhan si gadis China membawa dua tas sedang melintas bersama dua pria.
Chanyeol menengok mengikuti arah pandanganku. "Ya kurasa dia memang gadis baik, melihat dia berhasil berjalan bersama dua pria yang paling inginkan mahasiswi di kampus ini. Atau bahkan se-Korea"
Luhan memang cantik dan pintar. Kalau tidak pintar dia tidak akan mendapatkan beasiswa melanjutkan pendidikan disini. Menonjol di tempat-tempat yang tepat di badannya yang kecil. Sangat pas untuk di peluk. Keluarganya yang sederhana dan kebaikan hatinya (yang terkadang sering di manfaatkan orang, termasuk aku) membuatnya seperti drama Boys Before Flower versi nyata.
Bagi Luhan uang akan datang sendiri, walaupun dia hanya siswa beasiswa. Jangan salah beasiswa di kucurkan tidaklah sedikit bahkan bisa menyewa apartemen mewah namun ia malah menyewa apartemen sederhana bersamaku. Otomatis uang sisa beasiswanya sisa lumayan banyak. Di tambah barang-barang mewah hadiah dari penggemarnya, kurasa ia gadis paling beruntung abad ini.
"Kurasa aku bukan mahasiswi disini ataupun penduduk Korea. Aku tidak menginginkannya, " Aku menatap Chanyeol penuh pandangan menyelidik. "Jangan-jangan kau juga" tuduhku.
"Tidak. Mereka berdua straight ngomong-ngomong," ujar Chanyeol santai.
"Bagaimana kau tahu?" tanyaku penasaran. Bisa saja Chanyeol hanya menduga bukan.
"Hanya insting saja" balasnya sambil tersenyum simpul. "Kau mau kemana hari ini? Apa hari ini jadwalmu meminta ampun atas dosamu? Ke gereja tua?"
Aku tekekek pelan. "Ya, kecuali kau mengajakku bercinta sampai pagi. Aku kan membatalkannya."
"Jika aku bisa, aku langsung menelanjangimu disini, Kyung" balas Chanyeol malas.
"Yasudah ayok kita pergi. Aku tidak sabar mencekik anak-anak nakal disana!"
"Pantas saja mereka mengataimu penyihir jahat!" cibir Chanyeol
Aku langsung melayangkan geplakan keras ke kepala Chanyeol. Ia meringis kesakitan dan ingin mengumpat tapi ia tahan.
"Apa! Apa! Aku menyia-yiakan rokokku yang belum habis, kau mengataiku penyihir jahat, aku baru saja di caci maki karena mencoret nama anggota kelompokku. Aiishhh...kau tidak tau betapa menyebalkannya hari ini" semburku.
Raut wajah Chanyeol berubah menjadi melembut. "Ara..ara...maafkan aku. Tapi lain kali akan ku bakar semua rokokmu. Maafkan aku, ne! Akan ku belikan es krim!"
Aku menggeleng keras. "Beri aku peluk dan ciuman! Aku akan memaafkanmu" kurentangkan tanganku lebar-lebar bersiap menerima hadiah pelukan. Mungkin di luar aku tampak seperti wanita tangguh, licik, tak bisa di atur tapi jika di dekat Chanyeol aku akan berubah seperti kekasih yang manja. Dan semua orang memang menganggap kami sepasang kekasih, jadi sekalian saja.
Chanyeol berdecih sebentar seolah mengatakan tingkahku kenak-kanakan. Namun setelahnya ia memelukku dengan erat. Tangan besarnya mengusap-usap rambutku. Tak lupa memberikan kecupan di bibir dan sedikit lumatan tanpa nafsu sedikit pun. Aku menyukai tekstur bibirnya bawahnya yang tebal.
Pelataran gereja yang luas menyambut kedatangan kami. Beberapa anak menyapu daun-daun kering yang hampir menutupi jalan setapak menuju bangunan utama, gereja tua. Dua banguanan lain menjulang di sisi kanan kirinya. Berisikan anak-anak kurang beruntung yang meminta perlindungan. Sederhana dan luas.
Melihat kehadiranku, anak-anak yang ku kenal menunduk lalu berlari menjauh bahkan ada yang memilih masuk ke bangunan. Well, ini sedikit berlebihan, apa aku sejahat itu? Oh mungkin gara-gara aku sering membentak dan menjewer mereka. Lha mau bagaimana lagi mereka berisik dan nakal.
Chanyeol berjalanan membuntutiku di belakang sambil sesekali melempar senyum lebarnya ke anak-anak yang tersisa. Pemuda berperawakan sedang dengan baju pendeta berwarna hitam melipat tangannya di dada dengan pandangan setengah kesal.
"Kau lagi! kau lagi! Ck...ck..ck..ck.." Suho, pendeta pembantu di gereja ini berdecak nyaring. "Ayo masuk!"
Suho membawa kami berdua masuk ke dalam gereja. Duduk di kursi panjang yang mulai lapuk termakan usia. Ketika diduduki menimbulkan decitan nyaring, yang sempat membuat Chanyeol terkena serangan jantung kecil. "Suho-ssi.."
"Kau tak mau memohon ampun dosamu dulu?" potong Suho yang sudah dalam mode siap memanjatkan doa.
"Percuma saja jika aku memohon ampun sekarang, besok pasti akan ku ulangi lagi," ucapku membuat Suho menarik nafasnya dengan berat. Seakan berusaha memaklumi tingkahku.
"Baiklah, Kyungsoo-ssi katakan apa maksud kedatanganmu kemari!"
Kuberikan amplop coklat panjang ke pangkuan Suho, lalu kutarik tanganku dengan sengaja menyentuh paha berbalut celana kain hitam itu. Memberikan gerakan elusan seolah-olah tak sengaja. Kulihat tiba-tiba tubuhnya menjadi kaku. Aku dapat mendengar Chanyeol mencoba menahan tawanya di sampingku.
"Ups..maafkan tangan gatalku ini Suho-ssi" ucapku dengan nada menyesal.
"Tolong jangan lakukan lagi. Aku menghormatimu karena kau teman Luhanie dan jabatan ayahmu." Ya, aku mengenal gereja dan panti asuhan ini berkat Luhan. Dia mengajakku kesini untuk menghibur anak-anak disini dengan membacakan dongeng ataupun bernyanyi. Seperti yang kalian tau aku tidak bisa melakukan kedua-nya. Disini banyak anak-anak nakal menjaili dan mengambil jatah makanan anak-anak yang lebih kecil dan lemah. Berbanding terbalik dengan Luhan yang berhati malaikat yang menegurnya secara halus, aku menggeplak, menjewer, mencubit, memarahi semua anak-anak nakal. Mereka harus di disiplinkan bukan.
Tapi belakangan aku malah lebih sering kemari dibanding Luhan. Entahlah mungkin dia sibuk urusan perkuliahan.
"Oke..oke..itu uang dari Luhan semoga dapat membantu anak-anak disini. Beri mereka makanan dan pakaian yang layak. Mereka terlihat lebih kurus dari kucing jalanan."
"Suho-ssi..."
"APAA?" benar-benar pemarah, pikirku. "Ohh...maaf, ada apa Nona Do?" segera ia mengubah suaranya menjadi lembut dan tenang kembali. Emosinya tak sejalan dengan wajah angelic-nya.
"Siapa anak yang bersembunyi di balik pintu itu? Kenapa kau mendandaninya seperti hantu?" tanyaku melirik gadis kecil yang berdiri di belakang pintu. Wajah pucat dan dress putih pendeknya membuatnya mirip hantu.
"Aku tidak mendandaninya begitu. Dia memang suka pakai baju, dress, apapun yang berwarna putih. Gadis itu namanya Sunny. "
.
.
.
.
"Aaaakkhhhh..."
"Sluuurpppp..."
Ku telan cairan putih itu sekali tegukan. Karena jika tak segera aku telan mulutku akan penuh. Dan aku tidak suka rasanya. Beberapa cairan menetes di sekitar mulutku. Segera ku seka denga tisu terdekat. Dari balik topeng setengah wajah yang kukenakan, diam-diam aku memperhatikan setiap pria yang duduk di hadapanku. Ia memasukan kejantanannya, membenarkan celananya, lalu mengambil dompet disakunya. Mengambil dua ratus ribu won dari dompetnya lalu memberikannya padaku.
"Aku suka mulutmu" ucapnya puas.
Jujur aku jijik mendengar pujiannya, atas dasar kesopanan aku berterima kasih kepadanya. "Thanks, kurasa mulut istri Anda lebih pintar memberikan service. Anda juga tidak perlu mengeluarkan uang. Kudoakan hubungan kalian segera membaik."
Setelah memberikan hormat, aku menghampiri meja bar. Chen, bartender senior disini tersenyum kearahku. Dia sudah tiga tahun lebih bekerja di club ini. Club berkonsep pesta topeng. Semua disini memakai topeng untuk menyamarkan identitas mereka. Untuk itulah aku memilih club ini sebagai penghasil uang tambahan untukku. Sebagai putri tunggal Kepala kepolisian wilayah seoul utara menyulitkanku jika identitasku sebagai 'jalang' terbongkar. Kabarnya banyak pejabat maupun orang terkenal yang kemari tanpa takut ketauan.
"Untukmu!" ujar Chen kepadaku menyondorkan minuman racikannya.
"Terima kasih, rasanya pait-pait. Dia terlalu banyak makan daging sepertinya. Aaahhh...mulutku jadi kram!" keluhku sambil menyesap minuman yang Chen buat.
Chen tertawa terbahak-bahak sambil membersihkan gelas-gelas. "Yasudah berhenti saja. Bukankah ayahmu kaya? Aku heran kemana uang jajanmu hingga kau harus bekerja kotor seperti ini?"
"Setengah dari uang jajanku dan penghasilanku ini aku sumbangkan. Sisanya untuk bertahan hidup" ucapku sambil menggoyang-goyangkan gelas yang isinya tinggal setengah.
"Aku baru tahu baik dan bodoh beda tipis" ejeknya. "Hari ini kau kenapa? Kau butuh uang? Wajahmu seperti jemuran belum disetrika"
"Apa sangat kelihatan?" dahiku mengernyit mendengar penuturan Chen.
"Sudah tercacar jelas dimukamu. Kali ini untuk apa? Mau membangun pusat rehabilitasi orang gila? Mau ku pinjami?"
"Tidak, terima kasih. Dan...ya awalnya aku ingin membangun sebuah pusat penampungan...tapi bukan orang gila, pliss. Penampungan bayi lebih tepatnya, agar tidak ada bayi yang di buang atau di aborsi. Dengan membiayai wanita-wanita hamil yang ingin aborsi. Mereka mempunyai nyawa jadi mereka juga berhak hidup. Tapi – "
"Jika masalahnya biaya, aku akan membantu. Sebisaku tentunya," potong Chen.
"Itu bisa di wujudkan nanti. Sekarang aku sedang ingin mengakhiri penderitaan seorang gadis. Dia salah satu anak di panti milik gereja tua yang sering kudatangi. Aku tidak bisa membayangkan anak sekecilnya setiap minggu setidaknya dua kali harus cuci darah. Bayangkan darahmu di ambil lalu di bersihkan lalu dimasukan lagi..."
"Stop, Kyung! Stop! Sebelum aku memecahkan botol-botol wine merah disini"
"Sorry...ku dengar jika ia dapat pendonor ginjal, dia tidak perlu cuci darah lagi. Ternyata biaya organ ginjal mahal sekali ya, hmm...sekarang aku tau kenapa banyak orang yang menjual organ di pasar gelap"
"Aww...aku seperti berbincang dengan seorang psikopat. Jadi kau akan menjual rumah ayahmu untuk membeli ginjal?"
"Tentu saja, tidak. Aku akan melepas keperawananku saja." ucapku lemah. Wajah Chen tercengang lucu, ingin sekali kulempar gelasku ke wajahnya. "Kenapa? Kau kaget aku masih perawan?"
"Uhh..pantas saja setiap kali pria memintamu menemaninya tidur kau selalu saja berkelit 'ini hanya sumpalan busa, payudaraku kecil..kau tidak akan puas jika meniduriku. Lebih baik kau sewa saja gadis bernomor 4 di sebelah sana, kau akan pulang dengan kembung karena susu' " Chen menirukan gayaku menolak pria sambil mengeluarkan serbet dari dadanya. Seolah-olah itu busa yang sering di kusumpalkan di dadaku agar kelihatan berisi. Ya, aku memang melakukan itu, menarik sumpalan busaku agar pria-pria yang kutolak percaya.
Chen rajanya joke, aku tertawa sambil bertepuk tangan heboh saking lucunya Chen menirukan diriku. "Hahahah...wajahmu lucu sekali! Tapi serius, Chen... aku kemarin melakukannya karena Minjii sedang butuh uang untuk membayar bayinya yang sakit. Apalagi dia masih baru, tentu dia tak punya pelanggan"
"Kau yakin menjual keperawananmu? Keponakanku saja masih umur belasan sudah tidak perawan. Kurasa sedikit disayangkan dengan umurmu segini, kalau kau bersabar sedikit lagi kau bisa memberikannya ke suamimu. Itu pun kalau kau menikah dalam waktu dekat sih"
"Ya, aku akan menjualnya dengan harga tinggi. Toh, orang tak akan peduli."
"Ya...ya...ya...terserah kau saja nona keras kepala." Tiba-tiba pandangan Chen terpaku menatap ke arah belakangku. "Kita lihat, apakah pria tua bangka atau pangeran berkuda yang menghabiskan malam denganmu" ucap Chen terdengar misterius.
"Siapa pun itu. Yang menerimaku tanpa sumpalan ini. Kau lihat kan semua pria mundur ketika kuperlihatkan busaku?"
Chen malah tersenyum penuh arti, dagunya menunjuk ke arah belakangku. "Apa?" tanyaku bingung.
Seorang pria bertopeng (semua orang disini memang bertopeng ngomong-ngomong) berdiri cangung di belakangku. Kenapa tak ada yang memberitahuku? Ohh Chen...kau menghancurkan misiku.
Pria itu duduk di kursi bar sebelahku. Otakku mendadak blank, haruskah aku menolaknya ? bukahkah aku akan menjual keperawananku? Tapi aku baru memikirkannya hari ini, apa tidak terlalu cepat? Apa aku harus melakukan aksi mengeluarkan sumpalan busa lagi?
"Maaf, kudengar kau mau melepas keperawananmu, nona dua belas" Reflek ku pegang topengku yang berukir angka 12 di bagian tengah. Oh iya nomorku dua belas ya, kenapa aku tiba-tiba lupa?
"Mmm...sebenarnya, ini.." Shit. Kenapa aku jadi gagap begini? Kenapa aku malah memegang bongkahan montok payudaraku bukan mengeluarkan sumpalannya?
Dari balik topengnya aku bisa melihat matanya menatap payudaraku bingung. "Ah aku tau, itu hanya sumpalan bukan? Maaf aku mendengar pembicaraanmu tadi. Benarkah payudaramu kecil?"
Aku mengangguk sambil bersiap mengeluarkan sumpalan busaku seperti biasanya. Rasa penasaran apakah ia akan mundur seperti pria lain mulai memenuhi isi kepalaku. Saat tanganku masuk ke dalam dress hitamku, tiba-tiba tanganku di cekal.
"Biar ku periksa sendiri," ucapnya seakan meminta permisi tapi tangannya sudah masuk ke dalam dressku, berhasil mengobok-obok isi bra yang ku kenakan. Ia membuang busa andalanku, tidak sampai disitu. Tanganya masih meraba-raba di dalam bra. Mengelus pelan pangkal payudaraku dan memilin putingku hingga menjadi tegang karena sentuhannya.
Jangan tanya keadaanku atas pelecehan ini. Sungguh aku ingin menghentikannya tapi shock dan rasa kenikmatan yang perlahan-lahan kurasakan malah membuatku berpegangan pada pinggian meja bar. Lalu bagaimana keadaan Chen sekarang? Aku sempat meliriknya tadi, dia menata gelasnya yang sudah ia bersihkan dengan santai seperti tidak terjadi apa-apa. Chen, sialan.
Pria itu menghentikan aksinya dengan wajah tenang, malah salah satu ujung bibirnya terangkat sedikit. Hell, dia pasti senang bisa meraba-rabaku. "Temani aku malam ini." ujarnya dengan suara terdengar berat. Dapat kuperkirakan usianya pertengahan dua puluhan atau hampir menyentuh kepala tiga.
"Jangan tergesa-gesa, pikirkan dulu baik-baik" Aku tak akan menyerahkan diriku semudah itu.
"Kau takut?"
"Tidak, tapi maaf Tuan aku menjualnya dengan harga sangat mahal. Mungkin dapat menguras tabungan Tuan" Ucapku sesopan mungkin. Sebenarnya ini hanya alasan saja karena aku belum benar-benar siap. Terlebih aku hanya ingin melakukannya sekali namun bisa membiayai Sunny dan sisanya bisa menambah tabunganku membangun tempat yang bisa menampung bayi-bayi malang.
"Berapa yang kau minta?"
"Lima ratus juta won. Bagaimana? Masih berminat? Jika tidak Tuan bisa memilih yang lain kurasa masih ada juga yang masih perawan. Aku tidak akan memaksa," Ucapku sambil meminta Chen mengisi kembali gelasku. "Dasar nona do gila," guman Chen geleng-geleng kepala melihat tingkahku seraya mengisi kembali gelasku.
"Beri aku alasan kenapa aku harus membayar sebanyak itu? Apa servicemu memuaskan?" tantangnya.
"Sudah ku bilang aku perawan, belum ada yang pernah mencobaku...jadi mana ku tau aku memuaskan atau tidak" balasku acuh. Sepertinya ia akan mundur, Tsk..dia sama saja rupanya.
"Maaf jika ini terdengar tidak sopan. Aku hanya heran saja, kau disini dan kau masih perawan..maksudku - "
Aku dapat menangkap maksudnya sangat jelas. Biar ku tebak lagi, dia pria terhormat mengingat bicaranya sangat sopan."Maksud Tuan bagaimana jalang sepertiku masih perawan. Lalu apa yang ku jual begitu kan? Aku menjual mulut dan tanganku, jika Tuan ingin tau."
"Lalu kenapa – "
"Uang." selaku. "Semua orang mencintai uang. Memang uang tidak bisa membeli kebahagiaan. Tapi beberapa kebahagiaan membutuhkan uang. Kurasa Tuan paham maksudku"
"Apa sumber kebahagianmu rumah mewah? Barang-barang mewah?"
"Tuan belum benar-benar paham rupanya. Tuan pasti sangat kaya sampai bisa menanyakan seperti itu."
Ia mengernyit bingung di balik topengnya. "Biar kujelaskan diriku. Aku tidak cantik, payudaraku kecil, Tuan sudah merabanya tadi dan aku bisa menuntut akan hal itu..."
"Oh, maaf" pintanya dengan suara datar, tapi aku tak mendengar rasa penyesalan dalam ucapannya. Jadi fix dia pria kaya terhormat berumur pertengahan dua puluhan dan menyebalkan.
"Umurku duapuluhan, badanku juga biasa saja, mulutku aset utamaku selain pandai memuaskan juga pandai melontarkan kata-kata pedas. Aku bukan tipe jalang yang lemah lembut dan bersikap halus pada pelanggan, aku lebih suka memaki orang. Jadi pikirkan kembali apakah itu sebanding dengan uang yang akan Tuan keluarkan"
"Menarik. Kemana aku harus mengirim?"
"Chen, tolong tulis nomor rekeningmu!" pintaku pada Chen. Chen bengong beberapa detik lalu menulis nomor rekeningnya di kertas kosong. "Kau yakin?" bisik Chen.
Aku tak menanggapinya, aku malah menyerahkan kertas tersebut ke pria tadi. "Maaf tapi aku harus melindungi privasiku. Kau bisa mengirimnya kesini besok pagi. Sekarang aku hanya butuh jaminan kau membayarku"
Ia mengeluarkan dompetnya lalu menaruhnya di meja bar. "Minta temanmu menyimpan ini selama kita bercinta. Yang paling penting disana ada kartu identitasku. "
"Bisa saja kartu identitas Tuan palsu"
"Aku jamin itu asli. Jika aku berbohong, kau bisa mengutukku jadi gay"
Aku tertawa pelan lalu meminta persetujuan Chen. "Bagaimana?"
Chen membuka dompet itu dan melihat isinya. "Kurasa dia terlalu nekat sampai menyerahkan dompetnya jadi jaminan. Aku jamin dia tidak akan lari. Kau bisa mengambil dompet ini kembali jika aku sudah menerima pemberitahuan transfer-an uang , aku sekarang merasa persis seperti seorang penyalur wanita" keluhnya. "Oke silahkan nikmati malam kalian. Semoga sukses"
"Ayo, akan ku pilihkan kamar paling nyaman." Kakiku melangkah menaiki tangga menuju deretan kamar yang kubenci. Dimana para wanita sepertiku berjuang mendapatkan uang dengan lubang surga yang mereka tawarkan. Sekali terperosok tak satu pun yang bisa keluar. Dalam hati aku berdoa semoga aku tak menyesali keputusanku ini. Maafkan aku, Chan!
TBC
