PERJUANGAN
Victoria Yuuki
Masashi Kishimoto
NejiTen
Angst and Romance
Warning: OOC, Typo, and many others.

Sedih?
Silahkan nilai sendiri

Summary

"Perang Dunia Shinnobi meninggalkan bekas luka mendalam bagi Tim Guy. Terutama bagi Tenten yang tengah mengandung benih dari Neji masalah terjadi, mulai dari penerimaan klan, perlakuan untuknya, dan nasib buah hatinya/"Neji apa yang harus aku lakukan?"/"Aku memang menyayangi keponakanku, tetapi aku harus melindungi nama baik klan"

.

.

Happy reading

.

.


Iris yang biasanya ceria kini terlihat kosong. Menatap hampa pemandangan indah Konoha. Seorang gadis manis—pemilik mata indah tersebut— duduk di atas batas jendela apartemennya sembari memeluk lutut.

Dua minggu telah berlalu setelah perang yang menentukan nasib Shinnobi. Entah apa yang dipikirkan oleh Uchiha Tobi hingga pria itu hendak menghancurkan perjuangan hidup manusia menjadi mimpi belaka.

Membuat seluruh Shinnobi bertarung untuk mempertahankan keyakinan mereka. Tetapi berkat itu pula dapat mengikis dendam dan keegoisan antar individu maupun desa untuk menyatukan kekuatan sehingga berhasil membentuk Aliansi Shinobi.

"Hah..." desahnya lelah. Matanya terpejam mencoba merilekskan tubuhnya yang terasa sangat berat.

Terbentuknya sebuah Aliansi merupakan suatu keberhasilan yang hebat di masanya. Karena dendam dan kebencian telah tumbuh dan berkembang ketika kekuatan Shinobi semakin sering dipergunakan.

Menimbulkan perang kekuatan. Lalu para pemimpin desa menciptakan aturan untuk menanggulanginya. Tetapi … sekalipun ada toleransi, tetap saja akan ada dendam bagi pihak yang ditinggalkan.

Pihak yang ditinggalkan ya?

Ia juga ditinggalkan, tetapi perbedaannya...

Kepada siapakah ia harus mendendam?

Uchiha Obito yang memulai perang? Atau Uchiha Madara dalang dibalik semuanya?

Raut wajah Tenten—nama kunnoichi tersebut— terlihat sangat terluka. Telapak tangan kanannya mengepal sekaligus bergetar hebat. Merasa sakit mendera hatinya. Rasa sesak yang tak pernah terbayangkan sehingga membuat tubuhnya seolah mati rasa.

Desa, Tim Guy, teman-teman seperjuangan, dan terutama dirinya ... telah kehilangan sosok yang amat berharga. Seorang lelaki rupawan yang sangat jenius dan selalu tenang dalam menghadapi persoalan sepelik apapun. Pria yang memiliki marga terpandang. Rekan se-Timnya yang sangat terkenal dan sudah mendapat kepercayaan dari seluruh warga desa.

Dialah Hyuga Neji, lelaki yang telah mencuri hatinya.

Dan kepergiannya, menjadi sebuah pukulan telak baginya dan Tim Guy. Membuat batinnya tersiksa karena merasa berbeda.

Semua orang tau, setiap pertemuan pasti ada perpisahan. Selama masih bernapas dibawah langit yang sama, pasti bisa menyapa.

Karena perpisahan di dunia adalah pertemuan yang tertunda.

Berbeda dengan kematian.

Kematian adalah pertemuan yang sangat lama dan terhalang.

Terhalang oleh batas dunia.

Batas yang tak bisa ditembus selama masih di dunia.

Kunnoichi spesialis pengguna senjata itu menggigit bibirnya, menimbulkan tekanan yang membuat bibir yang semula pink menjadi putih pucat. Matanya berkaca-kaca kala mengingat pembicaraan dua minggu lalu.

Flash Back On

Dua minggu setelah berakhirnya perang, entah mengapa tubuhnya menjadi semakin lemas tak bertenaga. Setiap pagi sering merasa mual dan pusing. Tak jarang pula makanan yang baru disantapnya keluar begitu saja tanpa dikomando. Tubuhnya pun menjadi semakin cepat lelah, itu dibuktikan karena ia hanya mampu membantu penduduk setengah hari, tidak seperti kekuatannya yang biasa.

Guy dan Lee yang selalu memperhatikan, memyuruh memeriksakan kondisi tubuhnya di rumah sakit. Awalnya Tenten menolak karena 'mungkin' itu hanya kondisi tubuhnya yang sedang drop. Kemudian hanya memberi kalimat penenangan untuk dua orang yang amat berharga dalam hidupnya.

"Aku baik-baik saja, arigatou sudah memperhatikanku."

Itu adalah kata-kata seminggu yang lalu, karena seminggu setelahnya, ia harus menelan kalimatnya bulat-bulat karena merasa kondisi tubuhnya semakin terasa aneh. Benar-benar membuatnya tidak bisa bertahan lagi.

Besoknya, dengan mantap Tenten melangkahkan kaki jenjangnya ke Rumah Sakit Konoha yang pasti sangat sibuk. Dan benar saja, baru melangkah masuk ke dalam lobby rumah sakit, sudah terlihat puluhan warga yang terluka ringan duduk di ruang tunggu dan di beri pengobattan karena tidak ada kamar kosong lagi.

Tenten menghela napas pasrah.

Ia tidak bisa ilmu medis karena itu bukan bidangnya, walau telah beratus kali mencoba belajar. Tetapi mengetahui beberapa ilmu umumnya sudah membuatnya merasa senang—disamping itu … tetap saja kan? Maka dari itu membantu penduduk memperbaiki desa adalah hal terbaik yang bisa dilakukan. Pekerjaan kasar untuk seorang kunnoichi bukanlah hal yang mengagetkan.

Semenjak masuk ke dalam lobby Rumah Sakit, mata kelabunya tidak berhenti barang sedetik karena mengikuti gerakan setiap perawat yang wara-wiri melayani pasiennya. Baik yang dirawat sudah tua atau masih anak-anak, tetap saja memiliki 'kerewelan' tersendiri bukan?

Tenten mendengus, 'Kalau begini siapa yang bisa aku mintai tolong?'

"Tenten-san!"

Tiba-tiba terdengar teriakan keras dari arah belakang. Suara yang memanggil namanya tadi sangat terasa familiar, maka dengan cepat gadis itu menoleh dan bersamaan itu pula seulas senyum tipis terbentuk.

"Hai Sakura," sapanya. Sakura tengah berlari kecil kearahnya dengan pakaian seperti biasa seraya mendekap buku di lengan kirinya.

"Apa yang kau lakukan disini Tenten-san? Mau membantu? Kebetulan kami kekurangan tenaga, kau tau sendirikan?" Sakura yang baru saja tiba di depannya langsung memberondongi pertanyaan-pertanyaan yang membuat kepala Tenten pusing. Tatapan gadis itu mengikuti arahan emelard yang seolah menunjuk kumpulan pasien yang tengah berteriak kesakitan saat diobati padahal luka cukup ringannya.

Rewel, ia baru saja memikirkannya.

Tenten menggaruk kepalanya yang tidak gatal dan pipinya sedikit merona, "Anoo … sebenarnya aku ke sini ingin meminta tolong kepada salah satu perawat. Sepertinya kondisiku akhir-akhir ini tidak begitu baik."

Bibir tipis Sakura membulat, "Kau ingin mengecek kondisi tubuh? Kenapa tidak mengatakannya dari tadi?", belum sempat lawannya menjawab, gadis itu kembali berkomentar, kini tatapan si pink seolah menilai, "Hmm .. Benar juga, cakramu tidak stabil. Kalau begitu ayo ke ruanganku."

Tenten yang mulanya sedikit merasa kesal lansung tersentak mendengar ajakan Sakura, "Tapi Sakura-san banyak pasien yang membutuhkanmu."

Sakura menggenggam telapak tangan kanan Tenten dengan tangannya yang bebas, menariknya lembut menuju ruangannya, gadis cantik itu tersenyum manis, "Kau juga pasienku Tenten-san."

Jawaban singkat itu mampu membuat sudut bibir pucat Tenten tertarik ke atas.


Setibanya di ruangan, Sakura langsung meminta Tenten menceritakan keluhannya. Kemudian membalas dengan pertanyaan-pertanyaan untuk memperoleh kejelasan yang lebih.

Setelah itu, Sakura memintanya berbaring dan mengecek tubuh yang terlihat kurus itu dengan tangan kanan yang telah dialiri cakra.

Mata emelardnya membulat seketika saat merasakan sesuatu yang aneh di perut Tenten. Gadis itu merasakan sebuah cakra yang berbeda. Seperti ada sebuah kehidupan yang masih lemah didalamnya. Sontak mata itu menatap iris abu-abu yang tengah menatapnya balik. Lalu mencoba kembali utntuk fokus, tetapi hasilnya tetap sama.

Sakura reflek menutup bibirnya dengan kedua telapak tangan, "Tenten kau—", suaranya terkecat.

"... hamil?" tanyanya lirih.

Seketika itu pula mata Tenten membulat, menatap tak percaya gadis di depannya.

"Tidak mungkin," jawabnya bergetar setelah mengubah posisinya menjadi duduk. Mata itu terlihat kosong.

Jadi inikah alasan mengapa ia menjadi cepat lelah dan selalu mual di pagi hari?

Tenten segera memeluk kedua kakinya, merendam tangisan yang tidak dapat ia tahan.

Bayinya, ini bayinya bersama lelaki yang ia cintai.

"Neji ... aku tengah mengandung calon buah hati kita," bisik Tenten lirih sehingga tak terdengar siapapun.

Sakura menatap tidak percaya gadis di depannya. Sekalipun ia terkejut oleh hasil yang telah disampaikannya, tentu saja gadis—wanita lebih tepat—di depannya lebih terkejut. Maka dari itu ia membiarkan tangisan itu berhenti dengan sendirinya, membantu menenangkan tubuh yang bergetar itu dengan mengusap punggungnya.

Setelah tangisan Tenten mereda, Sakura menatapnya dengan serius, ia sudah duduk di atas ranjang yang sama.

"Tenten-san, maafkan pertanyaanku yang terkesan lancang tetapi tolong jawab jujur pertanyaanku."

Tenten hanya menatap kosong obyek di depannya, tetapi Sakura yakin murid dari Guy-sensei itu mendengarkan.

"Respons-mu tidak seperti wanita kebanyakan. Tentu saja kau tau maksudku bukan?" mata Sakura mengerling, tentu saja semua perempuan di dunia bahagia saat mengetahui mereka tengah mengandung buah hati dari orang yang mereka cintai.

"Entah apa ini karena kita tidak pernah bertemu atau memang benar, aku jarang melihatmu dengan seorang lelaki yang khusus—

"Ayahnya sudah meninggal." Potong Tenten.

Gadis bergaya China itu tau alur pembicaraan Sakura, basa-basi yang dilakukan tentu saja karena merasa tidak enak harus bertanya demikian. Maka dari itu ia langsung menjawabnya.

Mata Sakura membulat, meninggal? Ayah dari janin lemah itu meninggal? Tapi siapa? Begitu banyak korban berjatuhan saat perang berlangsung.

Murid kesayangan Tsunade menghela napas, 'Ini tidak mudah' pikirnya. Biarkan Tenten bercerita, terlalu banyak pertanyaan darinya malah akan membuat wanita itu tertekan.

Ia tau, Tenten membutuhkan sandaran.

Sakura tersenyum lembut, mencoba menenangkan calon ibu muda yang kembali terisak pelan, "Kalau tidak keberatan, aku siap mendengarkan ceritamu Tenten-san."

Wajah manis itu mendongak, menatap lekat iris teduh yang menatapnya. Beberapa detik terlewati, menimang apakah 'harus' atau tidak. Sedangkan Sakura menunggunya dengan sabar karena ia tau ini sulit.

Tenten menghela napas, ia telah membuat keputusan. Karena gadis itu yakin, masalah ini tak akan bisa ia tanggung seorang sendirian.

Menarik napas panjang pemilik iris berwarna abu-abu itu mencoba untuk tenang, tangan kanannya menyentuh perutnya yang masih rata, "Neji adalah ayah dari janin yang ku kandung."

Mata Sakura membulat, terkejut? Tentu saja! Tetapi ia tidak mencoba menyela.

"Saat itu, aku mengunjungi Neji yang berada di tenda perawat. Aku tidak mengerti mengapa malam itu aku begitu merindukannya. Maka aku menemuinya untuk mengatakan hal itu, hatiku membuncang penuh kebahagiaan karena perasaanku terbalaskan. Bahkan Neji yang mengatakan terlebih dulu bahwa ia merindukanku. Dan semua mengalir begitu saja."

Tenten meremas pelan rambut yang hari ini ia biarkan terturai, kembali terisak setelah bercerita.

"Kita harus mengatakan hal ini kepada Hokage-sama." Putus Sakura.

Wanita berambut coklat itu tidak mengangguk atau menggeleng, ia tau cepat atau lambat pasti hal itu akan terjadi. Kehamilan seorang kunnoichi tidak dapat disembunyikan.

"Tapi kumohon Sakura-san, jangan memberitahu siapapun setelah ini."

Flash Back Off


Tenten kembali mendesah, menyenderkan tubuh yang semakin hari semakin kurus saja. Bukannya tidak sayang si kecil, ia tidak dapat berbuat apa-apa karena selalu memuntahkan isi perutnya. Hal itu tentu secara langsung mengurangi asupan gizi yang seharusnya berlipat.

Matanya kembali memandang langit yang cerah. Biru dengan hiasan kapas putih yang menjadikan lukisan Tuhan begitu cantik. Punggungnya ia senderkan, tangan kanannya meremas lengan kiri, menahan segala emosi yang terpendam saat mendengar suara berisik celotehan anak kecil yang begitu antusias bermain bersama teman-temannya, membuat hatinya merasa ditusuk oleh ribuan jarum. Menyaksikan mereka tertawa dan bermain gembira membuatnya merasa iri dengan ibu anak-anak itu.

Pikirannya kembali berkelana.


Flash Back On

Setelah pembicaraannya dengan Sakura, Tenten kembali ke apartemennya. Terngiang akan perkataan kunnoichi medis itu bahwa usia kandungannya sekitar tiga minggu. Tetapi dua jam setelahnya ketukan pintu berbunyi, seorang anbu menyampaikan perintah panggilan langsung dari Hokage untuknya. Wanita itu mencoba mengumpulkan ketenangannya.

Tenten yakin setelah ini akan terkena amukan sang Hokage legendaris.

Tidak menunggu waktu lama, ia segera melesat melewati rumah penduduk desanya.

Rumah … betapa ia sangat menginginkan hal itu.

Tenten meneguk susah ludahnya. Dibalik pintu ini, terdapat cakra yang bermacam-macam. Sepertinya ada lima orang. Yang bisa ia tangkap adalah cakra Hokage, Shuzune, Guy, Sakura, dan satu cakra lagi tidak begitu kenalnya.

Tetapi itu terasa familiar.

Maka segera diketuknya pintu itu tiga kali— adatnya orang bertamu— setelah mendapat jawaban dari dalam ruangan, Tenten memutar kenop dan membuka pintu lalu menutupnya perlahan.

Matanya membulat. Saat mengetahui siapa pemilik cakra itu.

Hiashi Hyuga, ayah Hinata yang merupakan paman Neji. Karena ayah pemuda itu telah meninggal.

Matanya menatap takut-takut lelaki dewasa yang menggunakan (hakama) biru gelap di depannya, lavender itu terlihat begitu menusuk membuat tubuhnya bergetar dan berkeringat dingin. Rasanya ia benar-benar ingin pulang saat merasa dirinya seperti penjahat yang akan dijatuhi hukuman mati.

Ah ... apakah setelah ini ia akan mati?

Bukankah itu bagus? Ia akan menyusul Neji dan membesarkan buah cintanya di sana bersama.

"Ehem!"

Suara Tsunade membuat pikiran Tenten yang sedang melayang kembali ketempatnya. Irisnya menatap Hokage yang menatapnya serius, sama seperti tatapan setiga orang dewasa lainnya.

Bukan empat mengapa? Sakura sudah mengetahuinya dari awal. Jadi untuk apa menatapnya seserius itu?

"Kau benar Sakura." Mata Tsunade terpejam. Bagi seorang yang memiliki ilmu medis yang hebat, mengetahui cakra yang berbeda dalam tubuh seseorang adalah hal yang mudah.

"Jadi itu benar Tenten-chaaan?! Oh my floweeeerr!" jerit Guy dan langsung menangis tersedu. Lelaki itu telah menganggap Tenten anaknya sendiri. Mengetahui murid cantiknya mengandung tanpa ayah membuat jiwa 'kebapakannya' menjerit perih.

Tenten menatap sensei-nya dengan pandangan bersalah. Menundukkan kepalanya, memohon kepada kami-sama agar tidak terjadi hal yang buruk.

'Neji, kuatkanlah aku.'

"Hn. Aku juga merasakannya. Itu benar-benar cakra Neji." Sebuah suara ikut mengintrupsi.

Memaksa kembali calon ibu muda itu mendongakkan kepalanya. Ia mulai lemas, tetapi untunglah Sakura mendekat ke arahnya dan merangkul tubuhnya. Memberi sebuah kehangatan untuk berpijak.

"Jadi bagaimana Hiashi-san?" tanya Tsunade.

"Seperti yang tadi kita bicarakan Hokage-sama."

Tenten menoleh cepat, bingung dengan apa yang terjadi. Mencoba meminta penjelasan kepada Sakura disebelahnya, tetapi gadis itu menggeleng, tidak mengetahui apapun. Pandangannya beralih ke gurunya, Guy sedang menangis tersedu.

Memang apa keputusannya?

Seolah mengerti tatapan menuntut Tenten, Tsunade menghela napas. Ia tau berita ini sangatlah berat. Dan pilihan yang disampaikan Hizashi walau cukup masuk akal tapi sangat menyiksa. Sebagai Hokage tentu saja ia tidak membiarkan begitu saja dan telah mencoba berdiskusi dengan Pemimpin klan Hyuuga tersebut. Bahkan Guy yang terkenal akan kekonyolannya menjadi begitu serius menyangkut murid perempuan satu-satunya.

Mereka tau, ini adalah hal sulit. Dan Tsunade tidak bisa menolak permintaan Hiashi.

"Tenten, kau tau apa yang sudah kau lakukan dengan Neji bukan?" tanya Tsunade di awal pembuka.

"Ya Tsunade-sama," jawab Tenten lirih. Detakan jantungnya menggila tak bisa tenang, sekalipun ia merasakan usapan lembut di punggungnya.

"Dengar, aku tidak ingin mengatakan hal ini. Tapi ini adalah hasil keputusanku dengan Hiashi-san, selaku Pemimpin Hyuuga."

Sontak ia langsung menatap Hiashi yang balik menatapnya tajam. Tenten tentu mengerti mengapa ayah temannya berada di sini. Kepala klan sangat berpengaruh bukan?

"Ah aku tidak bisa mengatakannya! Hiashi-san maafkan aku, lebih baik anda saja yang mengatakannya. Kuharap anda mengerti mengingat posisiku." Kata Hokage awet muda itu. Matanya terpejam dengan telunjuk yang memijit keningnya.

Posisinya? Posisi seorang Hokage?

Apa hubungannya?

Kembalilah perkataan itu terngiang-ngiang dikepalanya. Tetapi tak satupun yang dikeluarkan.

"Baiklah kalau itu keinginan anda Hokage-sama."

Mata berbeda iris itu saling menatap. Kelabu dan lavender. Keheningan terjadi, semakin membuat hawa di dalam ruangan mendingin.

"Langsung pada intinya saja," Hiashi membuka suara setelah sekian lama.

"Kau", tunjukknya ke arah Tenten, "Mengandung janin, buah dari perbuatanmu dengan keponakanku bukan?" tanyanya.

"I-iya Hiashi-sama." Jawab Tenten takut-takut.

"Seperti yang dikatakan, aku telah membuat kesepakatan dengan Hokage. Dengarkan baik-baik. Aku hanya mengatakan sekali dan jangan menyela," titahnya.

Tenten mengangguk pasrah. Ia menatap Tsunade yang kini menutup wajah dengan kedua telapak tangan yang sikunya menumpu meja, disebelahnya terdapat Shizune yang tengah menggendong Tonton dengan kepala menunduk, dan Guy yang masih sama, terisak sedaritadi tetapi tangan kanan pria dewasa itu mengepal dan bergetar.

Gadis itu meneguk ludahnya susah payah. Hanya ia dan Sakura yang tidak mengerti di sini.

Dan hal ini membuat firasatnya tidak enak.

"Pertama, kau akan tinggal di kediaman Hyuuga sampai waktu melahiran—Hokage-sama yang akan mengurusnya." Hizashi menjelaskan sembari bersedekap, wajahnya sedikit menunjukkan guratan kesal.

"Kedua, kau dilarang memberitahukan siapapun tentang keadaanmu. Selama berada di kediaman kami, statusmu di desa akan menjadi rahasia."

Tenten mengangguk patuh, kalau ini ia sangat mengerti.

"Gadis itu," tunjuk Hizashi ke arah Sakura, membuatnya sedikit berjingkat kaget, "Akan menjadi dokter pribadi untukmu."

Kini Sakura yang mengangguk patuh. Jadi ini alasan mengapa kehadirannya dibutuhkan, dikiranya hanya untuk ditanya. Ia tau ini adalah sebuah rahasia besar. Bahkan untuk dokter pribadi keluarga Hyuuga.

Karena ia yang mengetahui pertama, tentu saja ia akan ikut mengambil bagian.

"Dan yang ketiga," pria berumur itu menarik napasnya dalam, "Rawatlah anak itu. Tapi … bila anak ia mewarisi mata Byakugan, kami akan mengambilnya."

"APA?!" teriak Tenten tidak terima.

Mengambil anaknya?! Jangan membuatnya tertawa!

Mengetahui kondisinya sekarang saja sudah sangat menyakitkan.

Bagaimana ia sanggup akan dipisahkan oleh sang anak?

"Tidaaak! Tidak jangaan kumohooon!" jeritnya. Air mata itu seperti anak sungai yang mengalir deras. Di sampingnya ada Sakura yang memeluknya prihatin.

Hiashi menggeram, ia juga tidak menyukai hal ini.

"Kau tau apa yang kau lakukan?" Hiashi mentap tajam Tenten yang tengah menjerit, "Apa yang kau lakukan dengan keponakanku adalah sebuah pelanggaran norma yang sangat berat. Ditambah kau mengandung dan Neji telah meninggal. Apa kau mengerti posisimu?"

"Tetapi itu tidak adil! Aku yang mengandung dan melahirkannya, bagaimana mungkin kau tega melakukan ini?!" tuntut Tenten tak peduli dengan siapa ia sedang berbicara.

"Ini ku lakukan untuk menghormati Neji dan Klanku."

Ini kejam! Tidak adil!

Seandainya menghormati Neji, kenapa anaknya harus dibedakan?!

"Lalu … lalu mengapa kau menyuruhku merawat anak ini bila ia tidak memiliki Byakugan?! Tetapi akan mengambilnya bisa ia mewarisi?! Kenapa kenapa KENAPA?!" jeritnya Histeris.

Dipisahkan dengan sang anak yang berusia bahkan belum satu bulan.

Brukh

Tubuh Tenten merosot ke lantai membuat semua tersentak kecuali Hiashi yang masih menatapnya tajam seraya bersedekap.

Tsunade semakin menarik rambutnya frustasi, ia benci keadaan ini. Sedangkan Guy yang daritadi menangis sudah menahan mati-matian untuk tidak menyerang lelaki di hadapannya. Tangan kekar itu di hantamkan keras ke dinding ruangan.

"Bukankah … hiks bukankah … Dia adalah darah daging Neji juga? Mengapa kalian memperlakukannya berbeda? Jika seperti itu, biarkan aku saja yang merawatnya, kumohon."

"Kau pikir itu mudah?" tanya Hizashi dengan nada remeh.

"Tidakkah kau pikir perbuatanmu sudah kelewat batas anak muda? Dengan mengambilnya yang mewarisi byakugan akan menyelamatkannya dari gunjingan karena Konoha masih dalam proses penyembuhan." Tenten meneguk ludahnya.

Tenten mengerti, maksud dari 'menyelamatkannya dari gunjingan karena Konoha masih dalam proses penyembuhan' adalah karena penduduk yang sedang sibuk mengurusi keadaan desa mereka, tidak akan memperhatikan lahirnya anggota baru. Kecuali Klan Hyuuga itu sendiri. Dan itu akan menjadi rahasia yang tak akan pernah bocor.

Telapak tangan Hiashi mengepal, "Kau pikir aku sebagai kakek tidak memikirkan calon cucuku, heh? Dengan membiarkanmu mengandung, itu sudah sangat menunjukkan kepedulianku."

"Bayangkan bila seorang Hyuuga lahir tanpa adanya ikatan pernikahan, ditambah usia kelahiran yang pasti membuat orang mengerti 'kapan' janin itu terbentuk. Tidakkah kau pikirkan hal itu? Lalu bagaimana menurutmu posisiku saat ini."

Hizashi berbalik, memunggungi semua mata yang menatapnya, lavender itu menatap warga desa yang sedang sibuk dengan segala kegiatan, "Aku memang menyayangi keponakanku, tetapi aku harus melindungi nama baik klan," lelaki itu mendesah, kemudian kembali menatap Tenten, "Anggap saja … bila anak itu terlahir dengan byakugan adalah karma untuk kalian."

Berakhirnya kalimat itu, berakhir pula kesadaran Tenten. Membuat semua orang—kecuali Hizashi yang sudah memperkirakannya—berteriak kaget.

Flash Back Off


Disinilah dia sekarang. Tidak beranjak sedikitpun dari posisinya. Menatap hampa segala objek di depannya.

Setelah pembicaraan seminggu yang lalu, Tenten meminta waktu untuk mempersiapkan dirinya. Dan langsung disetujui oleh Tsunade. Karena Hokage sangat mengerti keadaan calon ibu muda.

Tok tok tok

Suara ketukan pintu menghentikan kegiatan monoton Tenten, ia memejamkan matanya karena sudah mengetaui siapa yang mengetuk pintu apartemennya.

Itu Hinata, siapa lagi?

Gadis anggun Hyuuga itu pasti sudah tau ceritanya, tentu saja karena status marga dan Tenten akan tinggal di kediamannya.

Tenten menghela napas saat mendengar panggilan lirih dari luar kamarnya. Tidak berniat membuat tamunya menunggu lama, wanita ramping itu berdiri lalu mengambil tas yang berisi segala perlengkapan miliknya.

Hinata menatap ragu-ragu wanita di depannya yang tengah membuka pintu rumahnya. Rekan kakak sepupunya terlihat sangat pucat dan begitu kurus. Ia sudah mengetahui semuanya dari sang ayah.

Maka gadis berambut indigo itu tidak akan menyinggung hal itu.

"A-anoo ... Apakah semuanya sudah siap Tenten-san?" tanyanya kaku.

Tenten tersenyum, ia tau gadis di depannya memiliki masalah kepercayaan diri, "Seperti yang kau lihat Hinata, ingin mampir sebentar?" tawarnya.

Hinata menggeleng, "Mung-mungkin la-lain kali Tenten-san." Jarinya di ketuk-ketukkan di depan dada, kebiasaan saat sedang gugup.

Tenten tertawa, "Apakah mungkin setelah ini aku kembali?"

Mendengar pertanyaan putus asa dari lawan bicaranya membuat Hinata membungkam. Jantungnya berdebar kencang saat memikirkan perkataannya yang ternyata membuat Tenten tersinggung.

Melihat reaksi Hinata membuat Tenten tertawa, tangan kanannya menepuk pelan pucuk kepala gadis itu.

"Daijoubu Hinata, aku bercanda. Tentu saja aku akan kembalikan, bukan?"

Hinata tersenyum malu mendengar dan mendapat perlakuan dari wanita cantik di hadapannya. Mata lembut itu menoleh ke bawah mendapati tangan kiri Tenten membawa tas yang cukup besar.

Hinata mencoba mengambil tas itu, tetapi dihalangi oleh sang pemilik.

"Tidak perlu Hinata, biar aku saja. Dengan menjemputku saja sudah sangat membantu."

Awalnya ingin memprotes, karena wanita didepannya tidak boleh kelelahan, tetapi mendengar perkataan Tenten membuatnya diam dan mengangguk patuh.

Lalu mulailah keduanya berjalan menuju kediaman Hinata yang tidak begitu jauh.


Glek

Tenten meneguk susah salivanya, seolah ada penghalang di kerongkongan. Irisnya tidak berhenti bergerak meneliti bangunan dengan gaya tradisional kental yang khas di depannya. Tanpa sadar keringat dingin telah terjatuh dengan mulus dari pelipis kunnoichi tersebut.

Hinata menoleh ke kiri, mendapati wanita di sebelahnya begitu tegang. Maka ditariknya lembut tangan Tenten yang bebas dan tersenyum tulus mencoba menguatkan.

Tenten menoleh ke arah Hinata yang berusaha membuatnya tenang. Ia sudah berusaha keras untuk tersenyum. Tapi wajahnya kini seperti tembok, tidak bisa digerakkan sama sekali.

Ya, dia merasa tegang tingkat internasional.

Tenten menarik dalam-dalam udara yang mengisi paru-parunya. Mencoba untuk tenang.

Satu langkah kakinya melewati gerbang kediaman Hyuuga.

Satu langkah yang membuat hidupnya akan berbeda.

TBC


~(^_^)~ Area Curhat Author

Halo minna-san, Yuuki kembali lagi dengan fic yang baru gwewehehehe

Kali ini kembali ke fandom Naruto tercinta*peluk neji*

Ini adalah sah satu pair favorit akyuuu*kedipkedip*

Dapet idenya sebenrnya udah lama. Yuuki mikir, kalau misalnya Neji nggak meninggal terus nikah sama siapa. Jadi yah begitulah deh

Untuk Tenten yang bilang nemuin Neji di tenda perawat, iyaiyain aja ya*plak*

Kurang sedih? OOC? Typo?

Bisa di sampaikan di review

Saran, kritik, dan flame yang membangun author terima dengan senang hati, jadi jangan sungkan-sungkan, ne minna!

Demi bertambahnya kemampuan menulis author …

Victoria Yuuki

Review Please?