a/n: jadi ini semacam fic midoaka pertama saya yang sekali ketik langsung jadi...


an kuroko no basket fanfiction:

Merah

Kuroko no Basket © Fujimaki Tadatoshi

Saya tidak mengambil keuntungan materiil dengan ditulisnya fanfiksi ini


Midorima tidak paham mengapa dari sekian banyak warna ia harus memilih merah.

Dulu rasanya hidupnya baik-baik saja. Segalanya tampak normal. Segalanya tampak biasa saja. Dan ia juga yakin bahwa hidupnya tidak akan disisip serangkaian peristiwa mengesankan.

Sampai akhirnya ia benar memilih merah.

Midorima menghembuskan napas berat. Pikirannya kalut. Ritme hujan yang menyiram bumi dan melingkupinya dalam dingin membuatnya makin menggigil. Matanya juga perih terkena percikan tajam buliran hujan, yang rasanya memang sengaja mengenainya; berusaha meledek entah karena apa.

Melihat dirinya bergeming bak manekin pajangan rumahnya, pria itu menarik senyum. Senyum miring terluka yang tak mungkin dibuat-buat. Kedua matanya turut melukis senyum, menyiratkan kilatan pedih dari balik sapuan hujan di lembayung petang remang yang Midorima heran bagaimana bisa ia melihatnya mengingat matanya pun tak normal dan hujan sial ini menghalangi netranya.

Sosok itu maju selangkah, lalu dua, lalu tiga, dan seterusnya. Kakinya yang tegap mengikis jarak antar mereka. Membuat Midorima kembali menahan napasnya, juga membuat kedua lengannya menegang kaku.

Jujur, Midorima jadi tidak peduli dengan jalan begini. Ia ingin merah.

Midorima ingin coba mengungkung merah, menjelajahi lagi tiap lekak-lekuk tubuhnya, menelusup helai-helai rambut kilaunya, lalu diakhiri dengan memagut bibir lembutnya.

Ia lalu menengadah. Mengadu matanya dengan miliknya. Sosok merah itu sudah di depan mata. Seharusnya ia melompat, lalu menerjangnya, dan merengkuh kesayangannya hingga puas tanpa peduli dunia ingin berkata apa.

Tapi Midorima hanya duduk diam. Ia hanya menatap merah itu lekat. Mencoba mematri benar-benar bagaimana bentuk lekuk senyum manisnya, bagaimana rona merah muda itu menghias pipinya, bagaimana mancung hidung yang sering ia kecup dulunya.

Setidaknya ketika peluru itu menembus kepalanya dua kali, Midorima sudah mengabadikan figur Si Merah.

Agar dirinya tetap dapat merengkuh merah dalam kubur penuh sepi. Dan ia dapat menerima senang hati ketika dirinya pun pergi dilingkupi merahnya bercampur rintik air dingin.

"Maafkan aku, Shin."

Midorima tersenyum. Hidup begini tidak apa. Setidaknya pengiring kematiannya masih merah.


end.