SaIno;—jika ada yang lebih penting dari karya seni lukis ataupun rapat kantoran, maka bagi Sai itu adalah Ino.
[ Melebihi Itu ]
Sejak kecil, Sai tertarik pada warna. Lelaki itu senang mengombinasikan suatu warna dengan warna lainnya, hingga menciptakan sebuah warna baru (tetapi jika kau kurang beruntung, maka yang akan kau dapatkan adalah salah satu dari kumpulan mejikuhibiniu).
Didasari hal tersebut, Sai mulai mencoba-coba melukis. Ia mengikuti kompetisi dan berbagai macam pergelaran seni lainnya. Hingga kini, melukis adalah hidupnya—kebutuhan pokok, yang tentu saja harus selalu ia kerjakan jika ada waktu senggang.
Akhir pekan, pameran akan dilangsungkan tak jauh dari taman kota. Dan sebuah kehormatan tersendiri bagi seorang seniman—bagi Sai, ia diundang untuk memamerkan hasil karyanya disana.
Sai meletakkan kuas pada tempatnya. Sudah beres. Lelaki berusia dua puluh tujuh tahun itu menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi. Helaan napas yang disertai segaris kurva yang menunjukkan kepuasan menutup kegiatan melukisnya.
Lelah—sekaligus menyenangkan. Sai ingin segera mandi dan beristirahat.
Ponsel di atas meja berdering. Sai mengulurkan tangan untuk mengambilnya. Siapa gerangan yang menelpon malam-malam begini?
Sebuah senyum lebar tersungging di bibirnya begitu mendapati panggilan tersebut ternyata adalah dari Yamanaka Ino.
Ia menjawabnya. "Halo?"
'Hai. Kau sibuk?" suara di seberang membalas.
Sai menggeleng, meskipun Ino tak dapat menyadarinya. "Tidak. Ada apa? Kenapa belum tidur? Ini sudah hampir tengah malam."
Ino bergumam. 'Tidak bisa tidur. Aku minum empat cangkir kopi sore ini.'
Lelaki berambut klimis itu tak mampu menutupi keterkejutannya—baik dalam ekspresi maupun suara. "Apa? Sebanyak itu? Kupikir kau bukan seorang pecandu kopi, Ino."
'Memang bukan. Tapi Sakura, iya.'
"Apa hubungannya ini dengan Sakura?" Sai menegakkan punggungnya. Sebelah tangannya bertumpu pada meja, sementara yang satunya lagi memomosikan ponsel di telinga.
'Sebenarnya aku dan Sakura mampir ke caffee sore ini. Dan, ya, kau tahu—Sakura adalah penikmat kopi sejati. Melihatnya ekspresi puasnya begitu, aku jadi penasaran,' ungkap Ino. Sepertinya berusaha menjelaskan dengan sesingkat mungkin.
"Tapi, sampai empat cangkir?"
Kekasih pirangnya terkekeh (Sai bisa membayangkan bagaimana ekspresi Ino saat ini). 'Ugh. Aku ketagihan.'
Sai menepuk dahinya. "Hah. Lalu, sekarang apa?"
Tak ada jawaban dari seberang. Percakapan mereka didominasi keheningan.
'Bisakah kau temani aku, berbicara seperti ini saja... hingga aku mengantuk?'
Sai menghela napas. Kalau sudah begini, mana bisa ia menolak Ino. Ah, siapa yang peduli dengan rapat kantor esok hari? Istirahatnya juga bisa ditunda dulu.
—karena Ino lebih penting, melebihi semua itu.
[ fin ]
.
.
Tiba-tiba kepengen nulis pair SaIno, hehe ;;D. Terima kasih telah meluangkan waktu untuk membaca!
