Aku hanyalah seorang anak kecil yang kebingungan dengan lingkungan barunya. Semua rasa kesal, benci, takut, serta grogi berkumpul menjadi timbunan keputusasaan yang bersarang dalam rongga dadaku.

Aku tidak bisa menangkap apa yang sedari tadi orang-orang katakan padaku. Semua yang mereka ucapkan seolah menjadi dengungan tidak jelas dalam telingaku. Membuatku merasa sangat terpojok, meskipun kini aku berada di tengah-tengah lingkaran.

"M-maaf." Aku mulai mengeluarkan suara, dengan volume rendah. Satu kata yang sukses membungkam semua lawan bicara–sepihak–ku. "Aku tidak mengerti apa yang kalian bicarakan. Maaf."

Suasana hening sejenak. Seluruh pasang mata menatapku intens. Hanya lima detik berselang, keadaan kembali ricuh. Mereka kembali membuat tuli gendang telingaku dengan lengkingan bahasa antah berantah yang tidak kupahami sama sekali. Bahkan beberapa anak perempuan dari mereka mulai mendekatkan diri padaku, menatapku dengan rasa ingin tahu yang sangat besar.

Aku mulai ketakutan. Mulai tidak nyaman. Ingin menangis rasanya.

Ah, Jepang. Saat ini, mulai terbersit satu penyesalan besar dalam hatiku. Sebenarnya apa tujuan awalku datang ke negara yang penuh dengan orang-orang agresif seperti ini?


.

.

Hatsukoi

Kuroko no Basuke © Tadatoshi Fujimaki

Hatsukoi © miniReeto

Warning : Typo(s) and totally OOC! Dan mainstream. Abaikan judul yang tidak nyambung sama plotnya.

.

Nijimura x Reader/OC

.

Dedicated for xinoncchi~

.

Hope you'll enjoy!

.

.


Dia Nijimura Shuuzou, seorang pemuda bersurai kelam yang menjadi host-family-ku selama aku mengikuti program pertukaran pelajar. Aku dan dia tinggal berdua saja di rumahnya selama aku berada di Jepang. Jangan bertanya apapun padaku. Sampai sekarang pun aku tidak mengerti jalan pikiran orang-orang yang terlibat dalam program pertukaran pelajar itu menempatkan dua orang anak manusia yang jelas-jelas berbeda jenis kelamin di bawah naungan atap yang sama.

Untungnya, Nijimura mau menerima orang asing sepertiku yang bahkan dia sendiri belum tahu pasti asal-usulnya. Saat itu, ia hanya mengangguk mengiyakan dan mempersilakanku masuk ke rumahnya yang sederhana ketika kuperlihatkan surat jalanku untuk tinggal bersamanya.

Dan tak terasa, saat ini sudah tepat seminggu aku tinggal bersamanya. Sembari memasak dua porsi paella untuk makan malam (kami berdua membagi-bagi tugas selama aku menumpang di rumahnya), aku menghela napas lelah.

"Sudah terbiasa disini?" Dari meja makan tempatnya menunggu makanan dariku, Nijimura membuka pembicaraan.

Aku memicingkan mata sejenak ke arahnya, berusaha menangkap maksud dari pertanyaannya barusan. Seminggu berada disini sama sekali tidak meningkatkan kemampuan bahasa Jepang-ku, sungguh.

Seakan mengerti dengan kebingunganku, ia mengulang kembali pertanyaannya dengan lebih lambat. "Sudah terbiasa disini?"

Butuh waktu beberapa detik sampai aku bisa mencerna sepenuhnya. Oh, barangkali dia meminta penegasan dariku, betapa tidak nyamannya aku berada di lingkungan yang sama sekali berbeda dengan di negara asalku?

Yah, bagaimana tidak? Setiap hari aku harus menghadapi teman-teman sekelasku yang selalu menatapku bak hyena-hyena haus darah, menatapku bak alien dari galaksi lain yang sedang melakukan kunjungan perdamaian kesini. Hell, aku sama dengan mereka. Sesama murid sekolah, sesama butuh makan, dan yang paling penting, sesama Homo sapiens. Hanya berbeda kultur dan bahasa. Tapi nampaknya sampai sekarang aku tidak diperlakukan 'sesama' oleh mereka.

"Belum," jawabku singkat sambil menghela napas panjang. Sebenarnya aku tidak mau menjawab sesingkat itu untuk simpati yang diberikannya padaku–tidak seperti teman-teman sekelas baruku yang terus saja bertanya panjang lebar tanpa mau tahu kesusahanku memahami mereka, tapi mau kujawab apa lagi dengan kemampuan berbahasaku yang terbatas ini?

Ia tidak menjawab lagi, lebih memilih memperhatikan tiap gerak-gerikku mengobrak-abrik dapurnya. Kuharap ia tidak merasa tersinggung.

Selesai memasak paella, aku langsung menghidangkannya pada dua buah piring, satu untukku dan satu untuk Nijimura. Aku menaruh porsi untuk pemuda itu di meja di dekatnya sembari bergumam 'douzo' kecil, lalu duduk di hadapannya, mulai menyendokkan sesuap demi sesuap ke dalam mulutku.

Um, enak. Setidaknya jika aku masak sendiri, aku bisa menyesuaikan rasa masakan yang kumakan dengan yang biasa kumakan di negara asalku. Tentu saja tidak hanya bahasa yang menjadi kendalaku tinggal di Jepang, kau tahu?

"Aku… Selama ini heran denganmu." Ia tiba-tiba bersuara, membuatku refleks menghentikan kunyahanku. "Ah, kau mengerti apa yang kukatakan?"

Ragu-ragu aku mengangguk dengan mulut penuh makanan. Kali ini aku langsung mengerti dengan apa yang dikatakannya karena dia mengucapkannya lambat-lambat. Mungkin sudah terbiasa berbicara denganku. Dan aku sengaja tidak menjawab, toh aku pun kesulitan berbicara dengan bahasa Jepang.

"Kau selalu langsung melahap makananmu setelah duduk... Maksudku, apa tidak ada suatu kebiasaan sebelum makan? Berdoa, misalnya."

Aku menggeleng pelan, kemudian melanjutkan acara makanku.

"Kalau disini sudah dianggap tidak sopan. Setidaknya ucapkan dulu 'ittadakimasu' sebelum memulai makan."

Aku terdiam sejenak, kemudian meletakkan sendok dan garpuku ketika mendengar kalimat satir darinya. Kalau itu sih, aku juga sudah tahu. Aku bukannya tidak ingin menghormati kebiasaan disini, aku hanya tidak ingin mengucapkannya dengan aksen bahasa Jepangku yang aneh. Bisa-bisa aku ditertawakan, sama halnya ketika aku pertama kali memperkenalkan diri di depan kelas. Sungguh, sejak saat itu, aku langsung mencamkan dalam hatiku untuk tidak lagi banyak berbicara dengan bahasa asing itu.

Lagi, aku menggeleng sambil tersenyum, menolak secara halus apa yang ia beritahukan padaku. Toh aku bukan warga Jepang juga 'kan? Itu tidak wajib kulakukan.

Pletak!

"S-sakit!" Spontan aku berteriak menggunakan bahasa ibuku ketika merasakan perih pada keningku.

Kulihat Nijimura tengah menjulurkan tangannya melewati meja makan untuk menyentil keningku. Aku merengut kesal dengan tindakannya itu. Kalau di negara asalku, perbuatan seperti itu pasti setengah mati dianggap kurang ajar!

"Kubilang tidak sopan ya tidak sopan. Turuti aku atau kau kuusir dari sini."

Dalam hati aku merutuk tidak suka. Dialah yang tidak sopan, hei! Menyentil kening seseorang, apalagi perempuan, pasti di negaraku sudah dihujat habis-habisan!

Tapi yah, kuakui dia benar. Disini bukan wilayahku.

Maka dengan berat hati, aku menurutinya sambil menahan malu. "I-ittadakimasu…"

"Kau kaku sekali. Ternyata benar-benar belum terbiasa disini ya?"

Anggukan kecil dariku sebagai jawaban. Kembali kumasukan sesendok paella ke mulutku.

"Jangan hanya mengangguk atau menggeleng. Tidak bisu 'kan?"

Ah, dia ternyata laki-laki yang menyebalkan. Tentu saja aku tidak bisu! Kalau dia mengerti dengan bahasa ibuku, aku pasti sudah mengajaknya mengobrol lepas. Sayangnya, sekali lagi, bahasa Jepang bukanlah bahasa yang kukuasai. Aku hanya seorang sial yang terdampar disini tanpa 'bekal hidup' yang cukup karena dipaksa oleh suatu keadaan tidak mengenakan di tempat asalku.

Sial. Mengingat hal itu mendadak membuatku mual. Aku tidak boleh memikirkannya. Aku harus konsisten dengan keputusanku pergi ke Jepang.

"A-aku tidak mengerti! Aku tidak mengerti apa yang kau bicarakan! Maaf!" ucapku terbata, tentu dengan aksen yang aneh. Ah, entah sudah berapa kali kuucapkan kalimat itu. Bahasa memang kendala terbesarku semenjak menginjakkan kaki di Jepang.

Nijimura kemudian menghela napas berat sebelum kembali bersandar pada kursi yang didudukinya. "Kau gadis tidak tahu sopan santun. Jelas-jelas kau mengerti tapi pura-pura tidak mengerti." Setelah mengucapkan itu, ia bergumam 'ittadakimasu' lalu mulai melahap makanannya.

Oh, ayolah. Apa yang salah dengan itu? Aku hanya mempertahankan diriku saja 'kan? Siapapun tidak akan betah dengan pembicaraan yang tidak membuatnya nyaman, termasuk aku! Lagipula, dalam rangka apa ia mengejekku seperti ini? Di hari-hari sebelumnya bahkan ia tidak mempermasalahkanku yang minim berbicara ini, kenapa baru sekarang ia membahasnya? Baik, bahkan host-family-ku sendiri ikut-ikutan memojokanku di negeri matahari terbit ini. Malang sekali nasibku.

Menit-menit selanjutnya, kami makan dalam diam. Kami berdua sama-sama fokus menghabiskan makanan pada piring masing-masing.

Hingga tiba saatnya Nijimura berhasil menghabiskan makanannya duluan dariku, berucap 'gochisousama deshita', kemudian bergegas bangkit dari duduk untuk mencuci peralatan makan bekas makannya. Uh, untuk ukuran laki-laki, kuakui dia termasuk rajin.

"Na…" Di tengah kegiatan mencucinya, ia memanggilku. Aku hanya melirik dari ekor mataku sebagai respons. Ada apa lagi sih? Hari ini kurasa dia sedikit lebih cerewet dari biasanya.

"Memangnya kau betah jadi orang bisu seperti itu terus?"

Pertanyaan itu lagi. Hum! Aku mengangguk-angguk saja sambil terus menyantap sisa makananku, tidak peduli apa dia melihatnya atau tidak. Tapi sepertinya dia melihatnya, toh dia langsung menyambung kalimatnya.

"Aku sedikit khawatir. Jadwal kepulanganmu masih lama 'kan?"

Lagi-lagi aku mengangguk.

"Lagipula etikamu kurang. Kau tidak akan bisa bertahan di sekolah jika terus seperti itu."

Aku mendesah sejenak, kemudian menatapnya sengit. Ia balas menatapku, matanya terpicing menyiratkan emosi. Sungguh, hari ini aku merasa menjadi seorang adik bebal yang sedang dinasehati kakaknya yang cerewet luar biasa. Aku sudah tidak betah berada disini, dan sekarang malah diperparah dengan host-family yang bawel seperti Nijimura!

"M-maaf, t-tapi itu tidak apa-apa bagiku, Nijimura-san." Terbata aku menjawabnya, kemudian bangkit sambil membawa peralatan makanku ke tempat cuci piring, mendekatinya yang masih berdiri disitu setelah selesai dengan cuciannya.

"Bahasa Jepang dan etikamu benar-benar parah," ucapnya frustasi seraya menggaruk-garuk tengkuknya.

Aku mendecih. Ada masalah dengan itu? Selama aku tidak mengganggunya maka seharusnya tidak apa-apa 'kan?

"Baiklah, sebagai host-family-mu, mulai sekarang aku akan membantumu berbahasa dan beretika dengan baik."

Mataku langsung membulat sempurna. Cepat-cepat kupikirkan kata yang tepat untuk menolak niatnya itu. Aku sudah muak dengan situasi ini, dan aku tidak mau lagi dicekoki dengan apapun yang berbau Jepang darinya! "T-tidak… I-itu… Tidak perlu… Aku…"

"Lihat, kau bahkan tidak bisa berbicara dengan benar sekarang." Satu jitakan pelan–namun sukses membuatku meringis kesakitan–mendarat di kepalaku. Hei, apakah menyentil dan menjitak kepala orang lain adalah hal yang lumrah di Jepang? Negeri macam apa ini? Baiklah, aku bisa menerima jika ia berniat mengajariku bahasa Jepang, namun dimana etika yang hendak ia ajarkan padaku itu jika ia saja masih senang menganiaya? Oke, maaf, aku kelepasan. Ini bukan di negaraku, sekali lagi.

"Turuti saja aku, oke?"

Blush.

Wajahku seketika memerah padam ketika ia mengacak-acak suraiku sayang. Tidak ada lagi raut kesal pada paras tampannya. Ia tersenyum penuh arti padaku. Senyum yang terlihat sadis dan lembut secara bersamaan… Oh god, dia mendadak keren di mataku. Dan… Dan… Apa ini? Ada seberkas rasa bahagia di tengah keputusasaan pada dadaku ketika ia melakukan ini padaku.

"A-aku p-permisi dulu. T-terimakasih untuk hari ini, Nijimura-san," ujarku malu-malu, buru-buru kusudahi cucianku lalu bergegas berlari kecil ke kamarku. Aku tidak boleh berlama-lama di dekatnya sebelum perasaan tersakiti itu kembali menggerayangiku…

"Jangan sungkan untuk memanggilku ketika kau merasa kesulitan. Aku akan menjagamu mulai dari sekarang."

Deg!

Aku sontak menghentikan langkahku untuk menoleh lagi kepadanya, mendapatinya tengah tersenyum lembut padaku. Ah, senyum itu…

Tak kusadari, senyum itu pun perlahan menular padaku. Kuanggukan kembali kepalaku tanpa berkata-kata, lalu cepat-cepat masuk kamar dan mengunci pintu. Segera setelahnya, tubuhku berangsur-angsur melemas, kusandarkan punggungku pada pintu. Wajahku mulai memanas lagi. Bulir-bulir likuid bening mulai berkumpul di pelupuk mataku, meluncur satu per satu membasahi pipiku.

Ah, yang tadi itu. Ya, yang barusan terjadi. Nijimura mirip sekali dengan dirinya…

.

.

TBC

.

.


[A/N]

Ini ga nyambung sih, tapi saya nulis fic ini setelah namatin Homeward (VN 18+, yang belum cukup umur jangan nekat ya :D). Jadi mungkin situasi charanya sedikit terinspirasi dari salah satu arc disitu hehe, dan judul fic ini pun kuambil dari opening theme-nya ^w^

Ini juga ga akan panjang-panjang. Mungkin cuman 3-5 chapter aja. Hehe.

Saa, terimakasih sudah mampir!