Aku Benci Sasuke

.

Sasuke Uchiha dan Naruto Uzumaki

Romance, Hurt/Comfort

Rate T

OOC, typo, pasaran, tidak jelas, alur maju-mundur cantik, dll

Alternative Universe – YAOI/BL

.

Aku benci Sasuke, pria yang selalu saja membayangi ku kemanapun aku pergi.


Bagian 1


Musim dingin—malam hari, Tokyo.

.

.

"Aku sudah membuang mu berkali-kali, bahkan aku sudah menyakiti mu berkali-kali! Mengapa kau tidak juga pergi, Uchiha sialan!" adalah Naruto yang melolong serak—mulutnya bercampur riak dan terdesak air mata. Tangannya mendorong-dorong bahu pria di depannya—pria yang memakai trench coat biru gelap dan memakai celana chino coklat muda—tanpa tenaga sama sekali.

Mereka ada di depan sebuah taman yang sepi—yang mungkin saja tidak ada orangnya.

"Kau tahu kan kalau aku sudah menyukai orang lain? Tidak cukupkah penolakan ku dulu? Kenapa kau tidak menyerah saja?" hidungnya penuh dengan lendir, nafasnya susah-susah. Pipinya basah. "Kau ini masokis atau apa sih?" pemuda pirang yang kini menunduk dalam-dalam berkata bingung. Semua perasaannya tumpah, bagai banjir bandang yang melanda desa saat hujan deras.

Ia marah, ia kesal, ia benci. Ia tidak suka situasi ini. Ia benci situasi ini. Benar-benar—

Ia benci Sasuke Uchiha.

Pria bermantel itu menghela nafas dan tertawa pelan. Ia tersenyum—sesuatu yang tak dapat Naruto percaya setelah ia melontarkan berbagai kalimat yang ia kira akan membuat pria itu paham kalau ia benar-benar tidak suka padanya.

"Mungkin kau benar, aku masokis—tetap menyukai mu meski kau menyakiti dan meninggalkan aku," balasnya dengan menggenggam kedua tangan Naruto yang menganggur. Untaian air mata Naruto berhenti sejenak. Ia memutuskan mendengarkan kalimat Sasuke.

"Tapi aku malah makin suka pada mu, makin sulit bagi ku untuk melupakan mu,".

Naruto melotot tak percaya. Alisnya bertautan. Ia terlalu sebal dengan omongan Sasuke. Sampai-sampai tangannya bergerak untuk menghempaskan tangan Sasuke dan menampar pipi pucat pria itu.

Sasuke tidak lagi termaafkan di mata si pirang.

"Enyah kau, brengsek!". Ia menyalak, lalu menggosok matanya kasar dengan lengan jaketnya, kemudian pergi meninggalkan Sasuke yang masih berdiri mematung, sambil memegang pipinya yang merah berdenyut nyeri akibat tamparan kencang orang yang sejak dulu selalu ia kejar.

.

Uzumaki Naruto.


10 tahun lalu, musim panas di Tokyo.

.

.

Cuacanya sangat gerah, sampai-sampai membuat mu ingin berlutut di depan kuil untuk meminta hujan turun dengan segera. Nyanyian jangkrik terdengar dari sela semak, jalanan meleleh dibakar matahari yang bertengger mulia di langit.

Setidaknya itu yang Naruto pikir saat ia berjalan menuju toko buku hari ini. Pukul sembilan lewat ia keluar dari rumah, namun ingin sekali Naruto mengindar dari sengatan sinar yang seolah-olah akan memanggangnya hidup-hidup. Layaknya jalanan di neraka sana.

Musim panas kali ini cukup ganas.

Berharap kaki akan membawanya cepat-cepat ke toko buku yang penuh dengan pendingin ruangan. Ah, mungkin ia akan santai di sana sejenak. Minum kopi dingin sambil baca komik yang baru saja ia beli. Nikmatnya dunia ini.

"Eh—Naruto?" ada sapaan yang menghampiri. Naruto menoleh ke kiri, ada seseorang yang ia kenal tengah melambai padanya. Rupanya Sasuke Uchiha, kawan satu sekolahnya menyapa dari pertigaan. Mau tak mau senyum Naruto mengembang. Bagaimana mungkin tidak begitu? Siapa tahu pemuda itu bisa ia seret bersamanya untuk pergi ke toko buku!

"Hai, Sasuke!" jawab Naruto cerah, ia juga melambaikan tangan pada pemuda tersebut. Sasuke pun mendekat. "Jadi, jangan bilang kau juga mau ke toko buku?" tebak Sasuke kemudian. Naruto terkikik. "Hah? Jangan bilang kau juga?" Naruto tak menyangka tanpa harus bertanya pada Sasuke pun ia sudah tahu kemana tujuan kawannya itu. Mereka menyusuri jalan yang sama. Bersisian di trotoar yang terik.

Naruto mengibaskan kaus jingganya yang kini nyaris lepek karena keringat. Padahal ia sudah mengambil baju tertipis yang ia punya, juga celana pendek model cargo warna hitam yang akan membuat kakinya adem. Tapi gerahnya cuaca memang belum bisa ia tandingi. "Omong-omong Sasuke mau beli apa?" Naruto membuka percakapan mereka sebelum tiba di toko. Sasuke melirik Naruto. "Hmm… buku biologi?" jawabnya tidak yakin. Ia sempat mengelus dagu tanpa janggut miliknya.

Naruto tertawa keras. "Di liburan musim panas seperti ini? Dasar maniak belajar!" heran kalau Sasuke masih memikirkan pelajaran sekolah dimana semua anak malah membuang waktu dan uang mereka untuk hepi-hepi.

"Aku kehabisan materi untuk essay biologi ku. Kau mengerti kan? PR liburan," balasnya tak acuh. Saat Sasuke selesai bicara, mereka tiba di pintu geser otomatis milik toko buku. Boleh dibilang toko ini adalah toko paling berjaya di distrik ini—jadi lumayan besar dan lengkap.

Mereka disambut hembusan sejuk pendingin udara yang tertanam di tiap plafon. Ekspresi nikmat tergambar jelas di wajah Naruto. Ia langsung jelalatan menatap tiap rak buku yang ada. Rasanya ia ingin membeli semuanya, andai saja ia seorang miliader yang tidak memiliki tanggungan apa-apa.

"Mau ikut cari buku biologi?" tawar Sasuke memecah hening. Naruto menggeleng, "Tidak mau! Bisa-bisa aku sakit kepala! Kalau kau mencari ku, aku ada di lantai dua," berharap Sasuke paham mengapa ia ada di sana. Tapi sayang, Sasuke tidak bertanya lebih lanjut mengenai pernyataan Naruto. "Baiklah," sahutnya. Mereka berpisah di tangga, Naruto naik sementara Sasuke mengelilingi lantai dasar, mencari rak buku pelajaran SMA.

Melihat komik spesial musim panas membuat Naruto panas-dingin sendiri. Ia bisa saja teriak-teriak melihat tumpukan dan deretan komik tersegel rapi pada raknya. Ia harap bisa ada di timbunan komik-komik itu, ia rela sekali. Tapi karena keterbatasan anggaran, mau tak mau ia harus menyusun skala prioritas.

"Hmmm…." Ia sibuk memelototi manga yang tengah menjadi viral. Yang bercerita soal gadis SMA yang mendadak dikejar banyak laki-laki setelah ia kurus. Atau haruskah ia memilih komik bertema pemuda malas yang selalu mengandalkan teman besarnya tiap hari? Keduanya sudah terbit dengan beberapa volume baru dan Naruto ketinggalan lumayan banyak. Padahal ia berharap kalau cerita serial mengenai butler dan masternya itu update. Sayang volume barunya belum muncul hingga sekarang.

Naruto kemudian memutuskan, dari pada bingung-bingung hingga pusing kepala—akhirnya ia membeli semuanya. Gagal rencananya untuk menyusun priority scale apalagi hemat-hemat budget. Ia punya niat terselubung, balas dendam pada waktunya yang terpakai untuk hal lain (belajar, misalnya?).

Ia menenteng kantung belanja toko yang sudah terisi lumayan banyak. Naruto masih lihat-lihat—siapa tahu ada yang terlewat lagi.

"Gila juga belanjaan mu," ada Sasuke yang tiba-tiba muncul di belakang sambil melirik kantung belanja Naruto. Pemuda pirang itu terlonjak kaget, ia sampai mengelus dada. "Duh—jantung ku!" keluh Naruto kesal. Ia kemudian memeluk kantung belanjanya. "Tidak usah protes soal komik ku, aku tidak pakai duit mu, kan?". Sasuke menghela nafas mengalah, "Ya…".

"Aku sudah menemukan buku ku, apa kau sudah selesai?" tanya Sasuke. Naruto melirik tangan pemuda pucat itu, di sebelah kirinya ada dua buah buku—tebal juga kalau dilihat-lihat. "Pasti mahal," ucap Naruto sinis. "Heh—tolong berkaca," ia menunjuk hina komik-komik dalam tas belanja. Naruto manyun.

Jumlah uang yang Sasuke dan Naruto habiskan nyaris sama. Tapi kalau soal kuantitas, Naruto lebih banyak mendapat buku. Perbedaan besar kantung plastik mereka juga terlihat. "Kau mau minum?" Sasuke kemudian berhenti disalah satu mesin minuman saat mereka selesai melakukan transaksi di kasir.

Tentu saja Naruto mau. Ia sudah membayangkan meneguk dinginnya kopi susu manis untuk melawan dahaga akibat panasnya cuaca. Ia menggali koin receh dari dompetnya. Tapi sebelum ia melakukannya, Sasuke sudah bertanya, "Kau mau kopi atau teh?" jarinya sudah ada di depan mesin siap memencet. "Eh—kopi susu," jawab Naruto refleks.

Dan menggelundunglah dua kaleng kopi beda rasa. Latte dan black. "Untukmu," Sasuke melemparnya dan untung saja Naruto sigap menangkapnya dengan tangan yang kosong. Dinginnya kaleng membuatnya ingin segera meneguk cairan itu tanpa sisa.

Masih di toko buku, mereka mencari tempat duduk untuk minum kopi bersama. "Haah…" Naruto mendesah lega saat merasakan segarnya kopi susu mengalir di kerongkongannya. Di sebelahnya duduklah Sasuke yang masih meneguk kopi black yang tadi ia beli. "Apa ini traktiran mu?" tanya Naruto. Ia berhutang 100 yen untuk sekaleng kopi ini. Salahkan Sasuke yang seenaknya bertanya lalu membelikannya.

Jakun Sasuke naik turun saat ia menelan minuman itu. Ia kemudian mengelap bibir dan bicara. "Hanya 100 yen tidak masalah bagi ku," balasnya. Naruto tersenyum, "Kalau begitu makasih ya, Sasuke," katanya puas.


Musim panas yang indah. Aku begitu beruntung bisa bertemu Naruto di pertigaan. Hari ini Kami-sama berpihak pada ku. Mungkin aku akan ke kuil untuk berterimakasih—oh ya, sekalian minta hujan juga deh. Gerah.


Tahun pertama di SMA adalah saat pertama kali Sasuke tahu akan keberadaan Naruto. Berawal dari hal paling klise di dunia. Baik dunia maya maupun dunia nyata, bahkan dunia shoujo manga sekalipun.

Ketabrak.

Ada pemuda pirang yang melesat turun dari tangga lantai tiga, dan Sasuke waktu itu baru saja selesai membantu membereskan laboratorium kimia bekas praktek pada sesi pertama. Saat berbelok di antara tangga—tentu aja si pirang kaget dan tak dapat mengendalikan kecepatannya saat mengetahui ada orang yang berjalan di sisi tangga yang berlawanan dengannya. Walhasil—

Terjadi bentrokan di belokan.

Badan mereka beradu. Sasuke nyaris membentur tembok kalau keseimbangannya tidak ia kendalikan. Sementara pemuda itu, ia juga nyaris terjerembab ke belakang—tapi entah kenapa hal itu tidak terjadi. "Kau tidak apa-apa kan? Maaf aku dipanggil guru—sudah ya—maafkan aku!" ucapnya tanpa titik koma. Setelah dirasa tak ada keluhan dari Sasuke, pemuda itu melesat lagi tanpa peduli dengan cedera yang mungkin ia dapat saat berbenturan dengan pemuda berambut hitam itu.

Heran melanda Sasuke saat itu. Orang aneh, batinnya berkata. Bahunya cenat-cenut ringan. Tapi Sasuke membiarkannya karena ia tahu rasa itu akan hilang kurang dari satu jam. Dan bayangan akan pemuda pirang itu juga hilang tak lama kemudian. Memang benar itu terjadi.

Tapi besok ia muncul lagi.

"Oh, kau yang kemarin itu ya?" tiba-tiba ia menyapa Sasuke yang sedang diskusi belajar dengan Neji. Tadinya hanya berdua di bangku kantin ini, tapi bertambah dua orang lagi. Ada Gaara—temannya Neji, dan kemudian

"Aku Naruto Uzumaki, salam kenal!".

Dia, yang kemarin menabrak pemuda pucat berambut raven itu. "Aku Sasuke Uchiha, teman sekelas Neji,". "O~oh… inikah orang yang Neji ceritakan pada ku?" katanya senang. Ia kemudian mengambil bangku duduk di sebelah Neji, sementara Gaara yang masih diam saja duduk di samping Sasuke. "Aku dengar kau teman kecil Neji ya?". Sasuke merengut bingung, "Hanya satu TK saja," katanya. Naruto tertawa lepas, sementara Gaara tersenyum kecil.

"Hentikan Naruto, aku memanggil mu bukan untuk membicarakan aku dengan Sasuke. Tolong jelaskan tentang sejarah Jepang!" kata Neji sambil memberikan buku materi ujian sejarah besok. "Sejarah merepotkan…" setelah mengoper buku pada temannya, Neji mengeluh.

Kemudian ia kena getok Naruto. "Kau itu bodoh atau apa? Sejarah itu penting. Ada kutipan terkenal dari negara tetangga kita, JAS MERAH! Jangan sekali-kali melupakan sejarah!" kata Naruto berapi-api. "Hee, dari mana kau dapat kutipan itu?" Gaara membalas ingin tahu. Naruto memasang pose sombong. "Tidak perlu tahu dari mana. Sekarang perhatikan baik-baik penjelasan ku," katanya.

Dengan gaya bak dosen ilmu sejarah paling tersohor, Naruto menjelaskan sejarah Jepang dengan lancar tanpa macet sedikit pun. Neji mengakui kalau kawannya ini memang paling jago dalam hal mengingat masa lalu—selain Gaara yang ia tahu kemampuannya sebelas-duabelas dengan Naruto.

Sasuke sibuk memperhatikan materi yang Naruto sampaikan, sesekali ia juga bertanya perihal yang ia tidak mengerti sama sekali. Menurutnya, pelajaran sejarah sangat memusingkan. Kronologi waktunya tidak jelas, siapa yang melakukan tidak tahu, alasan terjadinya suatu peristiwa juga membingungkan. Sasuke lebih suka hal-hal yang sudah pasti saja seperti matematika dan fisika.

Tapi penjelasan Naruto membuatnya senang. Sejarah Jepang sedikit demi sedikit bisa ia pahami. Bagaimana dahulu hak kekuasaan memerintah dikuasai secara monopoli oleh keluarga Yamato. Bagimana dahulu Jepang bukanlah negara maju seperti sekarang, melainkan negara yang menutup mata akan perkembangan dunia yang sudah jauh ada di depannya.

Naruto menceritakannya seperti dongeng yang sangat disukai anak-anak. Sasuke paham dengan mudah dan tertarik untuk mendengar lebih.

"Hari ini cukup sampai di sini saja," Neji memotong cerita Naruto. Memori otaknya penuh dengan kata-kata bushido, Tenno, feodalisme. Ya ampun, kepalanya panas! "Neji, kau benar-benar benci sejarah ya?" Gaara tiba-tiba menyahut. Neji menghela nafas panjang. "Kita pulang saja, sudah sore juga," balasnya tanpa menjawab pertanyaan Gaara. Kesal karena tidak diacuhkan tergambar di wajah Gaara yang datar itu.

Jingganya matahari sudah menyinari gedung sekolah. Sepinya sore juga sudah terasa, suasana yang pas untuk kembali ke rumah setelah berjihad di sekolah seharian. Gaara pulang jalan kaki, rumahnya hanya berjarak beberapa meter saja dari gerbang. Neji dijemput supirnya, sementara Naruto dan Sasuke ternyata sama-sama naik sepeda.

"Aku baru tahu kalau kau juga menggunakan sepeda!" pekik Naruto senang. Ia melepas kunci sepedanya dan menariknya keluar dari barisan parkir. Sepedanya sejingga matahari sore, memiliki keranjang sama seperti Sasuke. "Aku tidak pernah melihat sepeda itu sebelumnya," kata Sasuke, melepas kunci sepeda birunya. Ia menaruh tas di keranjang depan dan kemudian menaiki sepedanya.

Naruto duduk di sadel sepedanya, mengayuhnya perlahan sambil menjawab Sasuke, "Tadinya berwarna putih, karena membosankan jadi aku cat orange!". Sasuke mengangguk mengerti. Mereka kemudian beriringan dengan sepeda di trotoar.

Angin sore menemani mereka yang memandang langit terbenam. Kayuhan mereka tidak terasa hingga suatu pertigaan yang ternyata memisahkan mereka. "Sasuke ke arah sana ya? Kalau begitu kita berpisah disini!" Naruto lalu mengambil arah ke kanan, sementara Sasuke ke kiri. Ia melambaikan tangan dan membunyikan bel sepedanya. "Sampai jumpa besok, Sasuke!". Hanya punggung berbalut kemeja putih polos yang kini dapat Sasuke lihat.

Belum beranjak dari sana, Sasuke tersenyum tiba-tiba.

.

Ternyata Naruto orangnya sangat menyenangkan. Cukup menarik juga. 'Sampai besok?'. Apa artinya besok aku boleh menemuinya lagi?

Hm, senangnya.


Bersambung...


Haloo, kembali lagi dengan saya, AkaiLoveAoi~! Ada yang rindu? Ehehehe. Kali ini Ao bawain romance SasuNaru dengan bumbu sedikit berbeda (dan sebenernya nggak jelas juga). Nggak tau kenapa Ao pengen publish ini, yaudahlah ya!

Kritik dan saran mohon disampaikan melalui review, atau PM it's okay. Ao menyadari di sini banyak kekurangan, kalau respon positifnya sedikit mungkin Ao akan membatalkan seri ini dan menghapusnya.

Tapi kalo nggak, Ao bakal tetep ngelanjutin juga sih, ehehe~

Sekian dan, jangan lupa review~

Sankyuu

AkaiLoveAoi