All Alone With You—chapter 1

(Sebelum aku benar-benar melupakanmu)

.

.

.

Tahun Pertama SMA

Siapa yang tidak kenal dengan lelaki tampan bersurai hitam yang memiliki minim emosi dan ekspresi, justru dengan sikapnya yang sangat dingin itu, ia terlihat cool. Tidak hanya wanita namun para pria juga banyak yang mengaguminya. Selain tampan ia juga pintar, aahhh lelaki yang sangat sempurna hanya saja sedikit muka tembok dan kurang tinggi.

Kali ini sepertinya Levi kedatangan Fangirlnya yang nomor satu. Bagaimana tidak, gadis cantik berambut pendek yang bernama Petra Ral, pujaan hati sekaligus primadona sekolah itu dibuat gila olehnya. Levi tidak melakukan pelet atau pun hal lainnya. Tapi gadis itu selalu saja perhatian dengannya.

Gadis itu murni menyukai Levi. Tidak, itu salah. Gadis itu mencintai Levi, bukan menyukai, titik. Perlu digaris bawahi, Petra Ral mencintai Levi. Sampai para lelaki mendengus kesal dengan Levi, karena Petra selalu saja mengkiblati Levi, apa-apa Levi. Semuanya Levi.

Tapi Levi sedikitpun tidak memiliki rasa dengan Petra. Entahlah, Levi pernah bertanya pada hatinya sendiri, mengapa ia tidak menyukai Petra? padahal Petra adalah gadis cantik, sekaligus manis. Pintar juga, walaupun masih kategori tiga besar dibanding dirinya yang selalu ranking satu dikelasnya. Ternyata ia salah bertanya, hatinya kan batu, sama seperti wajahnya. Datar... sedatar tembok.

Jam makan siang akhirnya datang. Petra mendekati orang yang sangat ia cintai itu. "Levi, ini bekal untukmu, makan ya." Petra menyodorkan bentonya khusus untuk lelaki minim ekspresi itu dengan malu-malu.

"Tidak." singkatnya hendak pergi ke kantin bersama tiga temannya, Erwin, Hanji, dan Mike.

Petra tidak mau menyerah. Ia malah mencegat Levi sambil melebarkan tangannya. "Tapi aku sudah buatkan untukmu. Please makan ya..." pintanya, kemudian mengulurkan bekal dengan kedua tangannya sambil menunduk. "Aku mohon..."

"Baiklah... kau puas, kan Petra?" Levi mengambil bekal itu dan pergi menuju bagian kelas paling belakang dan membuangnya ditempat sampah. Semua yang berada didalam kelas itu pura-pura terkejut lagi. Pasalnya, Levi sudah sering membuang bekal buatan Petra ke dalam tempat pembuangan. Kemudian tanpa rasa berdosa, Levi pergi meninggalkan Petra begitu saja. Dan diikuti oleh temannya.

Pemandangan seperti ini tidak asing lagi bagi Petra dan kelas 1-A untuk melihat perkara itu. Akankah Petra menangis karena hal seperti itu? Tidak, Justru Petra hanya tertawa renyah yang dipaksakan. Mungkin itu diluar, tapi tersayat didalam.

"Tidak apa-apa teman, aku baik-baik saja. Serius!" kata Petra mendapati tatapan prihatin dari teman sekelasnya.

Kemudian teman empat serangkainya menghampiri. Aurou mengerem kakinya setelah tergesa berlari dari luar. "Tuh kan Petra, apa sih yang ada didalam otakmu itu. Sudah jelas-jelas si Levi itu tidak menyukaimu. Ujung-ujungnya kau yang rugi, kan? Sakit, kan?"

Erd menyikut Aurou keras. "Kamu jangan nambahin kesedihan Petra dong."

"Hah... sepertinya Aurou tidak tahu pepatah, kalau cinta itu buta." Gunther menimpali.

"Tidak apa-apa teman. Aku sudah kebal." Kata Petra sambil tertawa.

.

.

.

Langit gelap hujan rintik lalu deras, anak-anak lain berlalu lalang pulang dibawah perlindungan payungnya. Siluet Levi hanya diam membisu melihat orang-orang mulai pergi dan semakin sepi, bukan karena apa-apa tapi karena ia menunggu hujan segera reda. ia tidak membawa payung.

Kemudian sisi matanya yang malas melihat payung yang bersandar manis di pojok dekat loker sepatu, sepertinya tidak ada orang yang memilikinya. Karena sekolah ini sudah sepi jadi sudah tidak ada orang lagi, akhirnya Levi mengambil payung itu, lalu pulang di bawah hujan yang masih deras.

Sedangkan gadis bersurai cokelat madu baru saja keluar dari toilet. Sekolah yang gelap dan sepi karena hujan membuatnya sedikit ketakutan. Ia berlari-lari kecil melewati lorong koridor menuju pintu keluar sekolah untuk pulang.

Petra tersenyum ketika menoleh ke pojokan dekat loker, payungnya sudah tidak ada ditempat. Ia sengaja meninggalkan payung untuk Levi, karena ia tahu, Levi selalu lupa bahkan malas untuk membawa payung.

Gadis itu membuka tasnya, dan merogoh-rogoh untuk mengambil payung. Namun naas, payung yang disiapkan untuk dirinya sendiri malah terlupakan. Petra hanya perlu menunggu sampai hujan reda, kemudian pulang. Ia iseng menengadahkan tangannya untuk merasakan dinginnya air hujan yang masih sangat deras jatuh dari langit diatas sana.

Sudah hampir satu jam ia menunggu hujan reda, tapi sampai saat ini pelangi belum juga menunjukkan keindahannya, hingga akhirnya gadis berambut sebahu itu memutuskan untuk menerobos hujan yang masih sangat deras.

Esoknya.

Seperti biasa Keith sensei mengabsen sebelum memulai pelajarannya. Semua menyahut hadir, kecuali Petra Ral.

"Petra Ral" –hening

"Petra Ral" seru Keith sensei mengulangi.

Aurou buru-buru berdiri. "Petra sakit sensei."

0o0

Tiga hari berlalu. Seperti biasa Petra menunggu Levi didepan halte bus sekolah jurusan terakhir untuk pergi ke kelas bersama. Tapi, tidak ada yang berubah sedikit pun dari kebiasaan Levi yang selalu menganggap Petra tidak ada, ia hanya cuek. Mungkin sudah ratusan kali Levi menyuruh Petra agar tidak lagi menunggunya, membawakan bekal khusus untuknya, dan mengutamakan dirinya.

"Ohaeyo Levi" Petra menarik bibirnya ke atas saat Levi baru saja turun dari bus.

Levi melirik Petra sekilas lalu memastikan tasnya erat dibahunya kemudian melangkah tanpa kata mengabaikan Petra.

Petra tidak menyerah. Ia mengekori Levi dari belakang mencoba mensejajarkan ritme langkahnya.

Dalam langkahnya Levi membuka suara. "Kau..."

Petra sangat senang karena Levi mau berbicara padanya. "Iya Lev—"

Levi segera memotongnya. "Bisakah kau berjalan menjauh dariku?"

"Kenapa?" Petra keheranan.

"Aku tidak mau berjalan dengan gadis sepertimu. Dan jalan setidaknya 2 meter dariku" kata Levi dan Petra buru-buru menarik kakinya mundur untuk menjaga jarak dengan Levi.

0o0

Tahun kedua SMA

Sepuluh menit dari bel istirahat. Petra hanya termenung sendiri dikelas. Ia ingat kalau dirinya selalu membawa kamera saku. Hari ini Petra tidak membawa bekal, dan ia baru akan menyusul temannya ke kantin. Dan tentu saja sambil memburu, ya memburu foto candid Levi tentunya. Kemudian Petra berlari pelan sambil membawa kameranya menuju kantin.

Petra tidak begitu lapar, jadi ia hanya membeli sandwich dan sekotak susu rasa pisang. Visinya mencari siluet Levi. "Aah ketemu!" bisik Petra, lalu membidik kameranya menuju Levi.

Setelah dua kali memotret, kamera Petra memperingati bahwa kartu memorinya penuh. "Sepertinya aku harus membeli kartu memori baru..." kesahnya.

Petra baru akan berdiri untuk pergi ke kelas, namun dengan keajaiban kamisama, Levi melewati Petra. Seperti ada cahaya dibelakang Levi, sampai Petra terpesona. Dan ia nyaris ambruk dikursinya. "Levi benar-benar tampan..." bisiknya.

Esoknya.

Seperti biasa, Petra selalu menunggu Levi di halte bus pemberhentian terakhir sambil menggoreskan senyumnya yang paling manis. "Ohaeyo Levi"

Kali ini Levi sedikitpun tidak menoleh pada gadis yang setia menunggunya. Petra sudah bisa menebaknya, Levi tidak mau berjalan dengannya. Seperti yang dikatakan oleh Levi untuk menjaga jarak dengannya. Dan Petra menerimanya dengan lapang dada.

Bel istirahat berdengung. Saat Levi merogoh laci untuk mengambil dompetnya, ia merasakan sesuatu yang mengganjal. Kemudian Levi menariknya. Ia sungguh membencinya, lagi-lagi Petra menaruh bento warna pinknya. Levi melirik Petra dan bersamaan dengan itu, Petra melihat Levi. Dengan gerak cepat Petra menunduk sambil menggigit bibir bawahnya.

Levi berdiri mengambil bento dan pergi menuju bangku paling belakang untuk bertemu dengan Sasha. "Eh monster kentang, kau suka makan kan? Ini untukmu, makanlah. Aku tidak tahu rasanya enak apa tidak." Kemudian Levi segera pergi dari kelas.

Sasha tahu makanan itu dari Petra. ia berjalan kecil menuju Petra. "Ano, Petra... ini aku kembalikan. Aku tidak berhak untuk memakannya." Walaupun Sasha menunjukkan rasa ingin melahapnya.

Petra tersenyum ramah. "Makan saja Sasha. Itu kan sekarang menjadi milikmu jadi, makan saja. Oke?"

"Arigato Petra... aku akan memakannya dengan baik." Kata Sasha buru-buru dan senang.

Waktu berjalan begitu cepat. Sepertinya terlalu menikmati kehidupan didunia ini. Keith sensei menutup buku. "Baiklah anak-anak, kalian boleh pulang."

"Yeay yahhuuuuu akhirnya pulang juga haha." sahut Hanji bersemangat sambil menggendong tasnya.

Petra memberanikan diri mendekati Levi dan mengajaknya pulang bersama. "Ano... Levi-kun, apa kau keberatan jika pulang bersama denganku?"

Jawaban atas ajakan Petra adalah Levi menepuk bahu Hanji. "Tunggu mata empat! Mari kita pulang bersama."

"Wah wah tumben sekali kau mau mengajakku pulang, Levi." kata Hanji riang. "Kalau begitu, aku pulang dulu Petra. dah..." Hanji melambaikan tangan pada Petra.

Petra menggigit bibir bawahnya. "Dah... hati-hati dijalan Hanji, Levi." Petra melambaikan tangan balik.

Levi sengaja melakukannya untuk menghindari Petra. Dan gadis pemilik rambut sebahu coklat madu itu hanya memandangi kosong punggung Levi dan Hanji pulang bersama, ia benar-benar terluka.

Tiba-tiba saja ada sesuatu yang jatuh dari matanya. Jari rampingnya menyentuh pipinya. "Kenapa... kenapa aku menangis?"

Kemudian suara derap kaki sampai ke telinga Petra. ia membalikkan badan dan mendapati Erd, Aurou dan Gunther mendekat. Dengan suara serak Petra menyapa. "Mina..."

Erd, Aurou dan Gunther memeluk erat Petra bersama. "Jangan sedih, kami senantiasa ada untukmu."

Bibir Petra bergetar dan matanya berkaca-kaca. Ia berusaha menahan tangis agar tidak merepotkan teman-temannya. Petra sudah berusaha tegar, menahan mulutnya agar tidak menangis. Kendati lain, kendali Petra merosot juga. Ia tidak bisa menahan lagi tangisnya. Hanya teman-temannyalah yang menjadi tempat pelipur lara.

0o0

Petra menyesap minumannya pelan dan memandang ke arah luar jendela kafe. Memandangi hujan turun sangat deras.

"Hei Petra, apa yang kau lamunkan hujan begini?" tanya Gunther memecah keheningan.

"Apa kau masih memikirkan Levi?" Erd menimpali.

"Tidak, Gunther... Erd... Ngomong-ngomong si Aurou jadi kesini tidak?" Petra sengaja mengalihkan pembicaraan. Ia hanya ingin melupakan tentang masalah hidupnya bersama teman dekatnya.

Erd memeriksa ponselnya. "Sayang sekali, Aurou tidak bisa datang."

Petra menyesap minumannya lagi, dia ingat sesuatu. "Ah! Aku mau tanya... Apa kalian pernah tersesat dijalan yang sering dilalui?"

Erd mengerutkan kening. "Tidak, aku selalu mengingatnya. Kecuali kau mulai pikun"

"Benarkah? Kemarin aku membeli kartu memori baru, tapi aku malah lupa jalan pulang..."

Gunther dan Erd tertawa renyah. "Kau pasti bercanda Petra. Atau mungkin kau sudah terlalu lelah mengejar Levi"

Petra tersenyum. "Mungkin saja..."

Gunther mencondongkan tubuhnya ke depan menghadap Petra. "Kau tenang saja Petra, orang-orang selalu berubah pikiran. Jika ada orang hari ini yang membencimu, tapi... mungkin besok orang itu akan menyukaimu."

Petra meraih lengan Gunther. "Benarkah Gunther? Kalau begitu aku akan berusaha lebih keras lagi!" desisnya semangat.

"Yosha! Semangat!" kedua teman Petra memberi dukungan.

0o0

Dari dalam bus, Levi sudah melihat keberadaan Petra yang sudah menunggunya. Ia mendecih sangat kesal sambil mengantri turun dari bus. "Ohaeyo Levi-kun?"

"Tch..." dengan nada kesal.

Petra tidak mempedulikan jarak jalan mereka dan membuka percakapan. "Levi, apa kau menyukai games? Kalau suka, apa yang paling kau sukai?"

"..."

"Nee Levi..."

"Jangan bicara lagi, mood-ku sedang tidak bagus." Kata Levi dengan nada agak kesal. Kemudian Petra menutup mulutnya dengan kedua tangan.

Dikelas.

Erwin memanggil Levi yang duduk disampingnya. "Eh Lev, ada amanat dari Keith sensei. Dia menyuruhmu ke ruang guru di jam istirahat." Jujur saja Levi senang, jadi dia bisa menghindari Petra.

.

.

.

Setelah masuk jam istirahat, Levi buru-buru pergi ke ruang guru. Menemui Keith sensei. "Ano... Keith sensei memanggil saya?" nada suara Levi resmi saat menghadap gurunya.

"Benar... jadi begini, akan ada study tour kelas. Jadi sensei ingin kau mengurus semuanya."

"Baik sensei..."

"Oh ya satu lagi, jangan lupa selalu awasi anak-anak yang lain terutama Petra" ujar Keith sensei.

"Kenapa harus Petra sensei?!" tanya Levi tidak habis pikir.

"Ada suatu alasan, aku tidak bisa memberitahumu" jawab Keith.

"Baik sensei." Levi membungkuk lalu pamit undur diri.

Levi tidak habis pikir, kenapa dihidupnya selalu ada Petra, Petra dan Petra. ia benar-benar kesal dan tidak memiliki mood bagus hari ini. Akhirnya Levi menghela napas panjang, kemudian menuruni anak tangga.

Suara derap kaki yang tergesa-gesa sampai ke telinga Levi. Ternyata siluet Petra. "Levi, kau kenapa dipanggil ke ruang guru? Apa ada masalah?" tanya Petra khawatir.

Levi menyipitkan matanya. "Kau... ikut aku sekarang juga!" Levi menarik paksa tangan Petra menuju atap sekolah.

Setelah sampai di atap sekolah. Levi melepaskan cengkeraman tangannya pada Petra. "Kau bersekutu kan dengan Keith sensei?!" wajah Levi memerah dan matanya membulat.

"Apa maksudmu Levi? Aku tidak mengerti."

"Kesabaranku sudah habis Petra. Jangan pura-pura bodoh! Kau sengaja mengatakan kepada Keith sensei agar aku mengutamakan untuk menjagamu saat study tour nanti, kan?" ucap Levi memarahi.

"A-aku tidak tahu. Aku bahkan baru tahu jika ada study tour... aku mohon Lev, percaya padaku" Petra memeluk tangannya sendiri yang gemetaran.

"Tapi sayangnya, aku tidak bisa percaya dengan-mu!" kata Levi sambil menunjuk Petra. Petra menunduk dan tidak berani menatap matanya yang tajam.

"Mumpung kau disini. Aku tidak akan mengulangi kata-kataku. Jadi dengarkan baik-baik. Berhenti menungguku! Berhenti membawakan bento untukku! Urusi saja dirimu sendiri! Kau tidak tahu betapa aku sangat membencinya!" pekik Levi dengan nada tinggi.

Petra baru saja akan bicara, namun Levi memotong kata-katanya tanpa sedikitpun memberinya cela. "Kau tahu tidak? Karena-mu, aku jadi malas sekolah karena setiap pagi aku harus selalu melihat wajahmu, dan aku juga membenci melihat kotak bekal pink-mu itu!" kata Levi menusuk.

Petra tersentak dan sebutir air mata jatuh bergulir dipipinya. "T-tapi…" suaranya habis.

"Dan satu hal lagi, aku ingin kau tidak pernah muncul lagi dihadapanku." Levi muak.

"M-maksudmu... kau ingin aku benar-benar menghilang? Tapi aku harus bagaimana..." katanya lemah.

"Terserahlah kau mau pergi kemana saja. Mau pindah kelas atau sekolah, aku tak peduli. Hadirnya dirimu hanya mengacaukan hidupku. Anggap saja kita tidak pernah saling kenal, dan jangan bicara lagi padaku." Desis Levi murka, kemudian meninggalkan Petra sendirian di atap sekolah.

Petra bahkan tidak sadar kalau Levi sudah pergi. Kemudian Petra berjalan mundur ke belakang, sampai menghantam tembok lalu merosot ambruk. Napasnya tertahan, ia menggigit bibirnya keras-keras. Berusaha menahan air mata yang mulai menggenang di matanya dan mengaburkan pandangan. Setelah Petra mencerna dan mengingat kembali ucapan Levi tadi, barulah Petra membiarkan air matanya tumpah, bersamaan dengan rasa sakitnya.

0o0

Bel makan siang.

Mungkin sudah lama dan juga terbiasa, Petra selalu menawarkan bento pada Levi. Petra hampir saja keceplosan untuk menawarkan makan bersama. Ia ingat perkataan Levi kemarin, jadi ia urungkan niatnya untuk menyapa dan mengajaknya makan bersama. Toh Levi juga sepertinya sudah membeli roti di kantin.

Empat serangkai ini benar-benar lengkap. Pasalnya Aoruo, Erd dan Gunther duduk untuk makan bersama dengan Petra. Mereka adalah teman dekat bagai kepompong. Tiga lelaki itu sudah seperti kakak bagi Petra, dan Petra seperti adik bagi mereka.

"Mari makan..." sahut mereka berempat serempak.

"Petra, kau melupakan lauknya?!" seru Auruo saat Petra membuka bekalnya.

"Aah benar, aku lupa memasukkan lauknya... akhir-akhir ini aku sering pusing jadi sedikit pelupa haha" ucapan Petra membuat ketiga temannya menatapnya aneh.

"Baiklah... karena semua sudah terjadi, ini untukmu" Erd, Gunther dan Auruo memberikan setengah lauknya untuk Petra.

"Whaa... arigato minna" ujar Petra senang.

"Itulah gunanya teman."

0o0

Erwin menepuk bahu Levi setelah turun dari bus menuju sekolah. "Hei Levi, kau jangan melamun. Kau merasa kehilangannya setelah sebulan ini Petra tidak lagi perhatian padamu?"

"Cih, sama sekali tidak! Justru dengan begitu, aku bersyukur karena tidak ada lagi yang akan menggangguku. Ia seperti kucing merengek pada majikannya."

"Souka..." Erwin menghentikan langkahnya tiba-tiba.

"Ada apa alis tebal! Cepat, sebentar lagi bel masuk akan segera berbunyi."

"Eh, bukannya itu Petra? Kenapa dia pergi ke sekolah sebelah?" Erwin tidak sengaja melihat Petra pergi menuju sekolah menengah Shigansina, yang jaraknya hanya di batasi oleh jalan raya.

Levi agak terkejut. "Apa dia ingin pindah sekolah setelah waktu yang lalu aku bilang padanya agar dia tidak lagi muncul di hadapanku" guman Levi dalam hati.

"Biarkan saja, mungkin dia mau pindah sekolah. Ayo pergi sebentar lagi kita akan terlambat, pirang."

Sementara itu.

"Hei nona, ada keperluan apa datang kemari?" sahut satpam sekolah Shigansina menghentikan Petra.

Petra berhenti berjalan. "Eh... eto... tentu saja aku mau sekolah. Memangnya kenapa?" gerutu Petra agak heran.

"Apa kau yakin? Lihatlah seragammu itu. Seragammu menunjukkan kalau kau bersekolah disana" satpam itu menunjuk sekolah Trost. "Cepatlah pergi sebelum kau terlambat." satpam itu menasehati.

"Ah benar..." Petra memperhatikan seragam yang ia kenakan mirip dengan beberapa murid yang berlarian menuju gerbang sekolah Trost takut terlambat.

.

.

.

Tok tok tok

"Maaf, aku terlambat hahh... hahh... hahh..." Petra memasuki kelas dengan napas yang tersengal-sengal.

"Kau ini, yasudah... kerjakan soal yang ada di papan tulis." Omel Keith sensei.

"Baik, sensei." Petra menjawab soal kimia setelah meletakan tasnya.

Petra menggigit bibir bawahnya, berusaha berpikir. "Mengapa aku tidak ingat sama sekali, ayo berpikir Petra ayo..." gumannya dalam hati.

"Petra kau lama sekali menjawabnya, ini sangat mudah... bukannya kau sangat ahli dalam bidang ini" timpal Keith sensei.

Tiba-tiba Petra mendengar sebuah bisikan. "Pst pst Petra! Jawabannya adala-"

Plak! Keith sensei menjitak Gunther yang mencoba memberi jawaban soal itu, sedangkan Petra berkeringat dingin karena berusaha berpikir, kali ini ini dia benar-benar buntu.

"Sensei... aku tidak bisa berpikir lagi, maaf." Petra menyeringai.

"Ckckck... yasudah duduk kembali ke bangkumu."

"Arigato sensei." Petra membungkuk dan tak sampai ke mejanya ia tumbang.

Kepalanya membentur meja Levi dan lantai didekatnya. Levi agak terkejut kemudian segera mengangkatnya. Tangan Levi memegang kepala Petra dan ia merasakan cairan kental membasahi tangannya, kepala petra yang terbentur sangat keras itu bocor walaupun tidak parah.

"Cepat! Bawa dia ke UKS! " Keith menyuruh Levi untuk membawanya.

Di sela-sela Levi membawa Petra ke UKS, Levi menatap wajah lemah Petra dengan pandangan tanpa ekspresi. "Kenapa kau melakukan ini petra, kau selalu saja merepotkanku."

Setelah Levi menaruh Petra ke UKS. Ia membersihkan tangannya yang merah oleh darah Petra. Darah yang tersiram air keran membaur di westafel. Levi tiba-tiba mengingat kembali saat-saat Petra selalu menegurnya, membawakan bento untuknya, dan mengajak pulang bersama serta hal lainnya.

"Sebaiknya kau tetap seperti dulu, dari pada menjadi seonggok daging tak berguna seperti tadi" batin Levi.

0o0

Tiga hari berlalu.

Petra masih tetap semangat sekolah. Ia duduk di bangkunya dengan rapih walaupun kepalanya masih di perban. Ia berangkat sekolah terlalu pagi, jadi kelas masih terlalu sepi belum ada murid yang datang. Lama-lama akhirnya satu persatu murid kelas itu datang.

"Eh... mengapa semua orang berbeda? Apa ada banyak anak baru di kelas ini" Petra berbisik kecil.

"Hei, kau siapa?" seru gadis agak tomboy.

"Aku? Aku Petra... Ral"

"Aku tidak butuh namamu, sedang apa kau disini?" tanyanya galak.

"Aku mau belajar" timpal Petra.

Tidak lama datang seorang siswa dengan tubuh agak kekar. "Hei ymir, kau sedang apa, berteriak pagi-pagi begini? Eh sedang apa gadis ini duduk di bangkumu."

"Ne Reiner, gadis ini mencoba mengambil bangku-ku" Ymir mendesis.

"Tidak! Aku biasa duduk disini, aku tidak bohong!" Petra meyakinkan.

Reiner mencoba menengahi. "Sebentar, sepertinya kau bukan anak kelas ini, lihatlah semua orang yang ada di kelas ini bukan orang yang kau kenalkan?"

Petra memandangi semua orang dalam kelas itu, begitu juga sebaliknya anak kelas itu menatap Petra dengan pandangan aneh. "Apa aku salah tempat lagi..." bisiknya pelan.

"Kalau begitu, kau kelas berapa?" tanya Reiner ramah.

"Kelas 2..."

"Kalau begitu sama, tapi kelas 2 apa?" Reiner bertanya lagi.

"2... 2..." Petra bingung. "Ah tidak apa-apa, aku akan keluar dari sini" Petra mengambil tasnya lalu pergi.

"Hah, gadis macam apa yang lupa identitas kelasnya" sahut Ymir heran.

"Mungkin dia sedang linglung, kau tidak lihat kepalanya di perban, tadi."

"Benar juga!" Ymir baru menyadarinya.

.

.

.

Levi yang sedang tergopoh-gopoh membawa buku dari ruangan sensei, tidak sengaja melihat Petra didalam ruang seni sendirian. Ia terlihat sedang melamun sambil membaringkan kepalanya di meja.

"Oi! Kau tidak masuk kelas? Sebentar lagi pelajaran akan dimulai!" Levi menegur Petra mau tidak mau, karena memilki tanggung jawab terhadap anggota kelasnya selaku Levi sebagai ketua kelas. Tapi Petra malah tak menggubrisnya. Ia melanjutkan jari-jarinya memainkan penanya.

"Huh terserah kau saja! Aku tidak mau membuang waktu-ku untuk menegurmu" kemudian Levi bergegas pergi mengabaikan Petra.

"Siapa dia, kasar sekali... aku tidak suka dengannya." bisik Petra kecil.

Sekitar 10 menit kemudian.

"Petra? Sedang apa kau disini. Kau tidak masuk kelas?" tanya Keith sensei, sedangkan lawan bicaranya memandangnya dengan tatapan tanpa ekspresi.

Keith sensei mengajak Petra untuk pergi ke kelas. "Ayo ikut denganku ke kelas, ayahmu menitipkanmu padaku."

Ditengah tarikan senseinya, Petra bergumam. "Kenapa ayah menitipkanku padamu sensei?"

"Itu karena kau anak nakal!"

0o0

Di Museum Titan.

"Baik, aku harap kalian jangan sampai lengah, apalagi sampai hilang" sahut Levi selaku ketua. Sahutan kata iya dari para siswa mengisi udara.

Kemudian seluruh sisiwa membaur dengan kesibukkannya masing-masing untuk melihat-lihat karya seni. Mereka hanya diberi waktu tiga jam untuk keliling museum.

Dua jam berlalu. Petra terlihat sangat bosan. Ia hanya mengekori ketiga temannya yang antusias lihat-lihat karya seni. Petra cukup sabar untuk menunggu satu jam lagi untuk pulang.

Petra menepuk bahu Erd, kemudian laki-laki itu menoleh. "Erd, aku bosan. Aku mau keluar untuk membeli sesuatu."

"Apa kau mau aku antar?" Erd menawarkan diri.

Petra menggeleng. "Tidak perlu, terima kasih."

Setelah Petra keluar untuk membeli ice cream, ia berjalan untuk kembali. Tapi, mendadak pandangannya begitu kabur ditengah keramaian. Langkahnya menjadi tersendat kemudian menjatuhkan ice creamnya. Ia menatap langit yang terik dengan menyipitkan matanya.

Pandangannya sekarang menuju jalanan. Ia tidak ingat kenapa ia ada ditengah-tengah keramaian. Kemudian Petra merogoh tasnya dan mengambil ponselnya buru-buru. Ia hanya menatap kekosongan pada ponselnya. Ia lupa bagaimana menggunakannya.

Akhirnya Petra menepi. Memilih untuk jongkok sambil membenamkan wajahnya diantara kedua lututnya.

Sementara itu.

"Auruo, dimana Petra?" tanya Gunther. "Kita sebentar lagi akan pulang."

"Hee... bukannya tadi dia ada disini?" timpal Auruo.

"Tadi dia bilang padaku, kalau dia bosan dan ingin membeli sesuatu. Tapi ini sudah lama sekali." ujar Erd tiba-tiba.

Levi mengintruksi kepada para siswa. "Baiklah teman-teman. Tiga jam sudah berlalu. saatnya kita untuk pulang."

"Tunggu! Petra hilang!" tukas Aurou.

"Jangan bercanda, dia sudah besar. Kenapa seperti bocah hilang segala, kalau begini aku yang kerepotan dan bertanggung jawab" kata batin Levi. "Semuanya, tolong bantuannya untuk mencari Petra Ral" Levi mengintruksi lagi. Kemudian semua murid akhirnya menyebar untuk mencari Petra.

"Sial! kau dimana Petra Ral?!" Levi kesal. Mata tajamnya mengenali perawakan Petra di keramaian. "Ah, itu dia awas saja!" Levi mendekati gadis itu.

"Oi omae! Ayo pulang!" Levi menarik gadis itu.

"Sumimasen sepertinya kau salah orang." Kata orang itu. Ternyata Levi salah orang, bukan Petra.

Levi menelusuri kembali ke semua bagian, sisi matanya seperti mengenali seseorang yang ia cari, rambut coklat karamel khas Petra. Levi melihatnya sedang jongkok sambil membenamkan wajahnya diantara kedua lututnya.

"Oi Petra!" sahut Levi, kemudian Petra mendongak dengan matanya di penuhi oleh air mata.

"Jangan mendekat! Siapa kau?!" tanya Petra agresif.

"Kau jangan pura-pura bodoh! Ayo pulang! Masih baik aku mencarimu." Levi menarik tangan Petra untuk berdiri.

Petra menarik kembali tangannya. "Tidak! Tidak akan. Kau penculik!" tegas Petra.

Akhirnya Levi mencengkeram erat tangan Petra sampai ia ikut berdiri. Mata kelamnya menangkap sekawanan teman dekat Petra. "Oi Erd, Auruo, Gunther. Temanmu ada disini!" teriak Levi memanggil, lalu yang di panggil mendekat.

"Apa maksudmu memanggil rekanmu hah?! Lepaskan aku dasar brengsek!" Petra bersi keras melepas cengkeraman tangan Levi di lengannya. Sedangkan Levi malah mengeratkan cengkeramannya setelah di panggil brengsek oleh orang yang ia benci.

"Oi Levi, lepaskan tangannya! Dia kesakitan" desis Auruo yang baru saja datang.

"Jika ku lepaskan, ia akan kabur" jelas Levi.

"Kabur?" Erd dan Gunther menimpali.

"Petra ayo kita pulang." ajak Erd.

"Tidak! Kau siapa? Dan kalian..." Petra meremas kepalanya lalu pingsan, dan Levi membawanya menuju mobil bus.

"Kau kenapa Petra, ada apa... akhir-akhir ini kau seperti kehilangan identitasmu, apa kau sengaja melakukan ini agar aku peduli padamu?" Levi bergumam dalam hati.

0o0

Seminggu. 2 minggu. 1 minggu berikutnya.

Di kelas.

"Sensei. Boleh aku bertanya?" tanya Erd.

"Silahkan, Erd." Keith mempersilahkan.

"Sebulan ini, Petra kemana sesnsei? Saya tidak pernah melihat Petra. Di rumahnya juga terlihat sepi."

Levi memasang telinga untuk mendengar jawaban senseinya. "Terima kasih Erd, kau telah menanyakan Petra. Sebenarnya aku ingin bertanya keberadaan gadis itu, tapi aku terlalu gengsi untuk menanyakannya. Entah sejak kapan aku merasa kehilangannya, kehilangan perhatiannya, tapi... bahkan teman dekatnya saja tidak tahu." guman hati Levi.

"Ya, Petra Ral. Dia mengundurkan diri dari sekolah ini." ujar Keith sensei.

"Apa?"

"Kenapa bisa?"

"Dia jahat tidak pamit" beberapa murid sibuk sendiri membicarakan Petra.

"Mengundurkan diri? Apa lagi-lagi ini karena ucapanku waktu itu" batin Levi.

.

.

.

"Ayah, aku sebenarnya sakit apa? Kenapa ayah membawaku ke rumah sakit? Aku tidak sakit kok dan kenapa aku harus berhenti sekolah?!" Petra merengek pada ayahnya di koridor menuju dokter.

"Tidak apa-apa, kau hanya pelupa saja. Kau di bawa kesini agar kau bisa selalu mengingat."

"Aku selalu ingat kok yah..." Petra mendengus.

"Anak nakal, waktu itu kau sempat lupa pada ayahmu sendiri"

"Benarkah? Kalau begitu maafkan aku yah..." Petra menunduk muram.

"Maka dari itu, kau di bawa kesini. Kau harus mengikuti terapi dan pengobatan ini kalau kau ingin di maafkan oleh ayah"

"Baik, ayah..."

.

.

.

Petra duduk di ruang dokter yang bernama dr. Ness.

dr. Ness menyiapkan alat rekaman dan berhasil membuat Petra keheranan. "Apa mesti menggunakan alat rekam?"

"Ya, ini akan membantu. Kalau begitu, apa aku bisa bertanya padamu?" tanya dr. Ness.

"Iya" Petra mengangguk.

"Apa kau sering pingsan akhir-akhir ini? Karena tekanan atau emosi yang tidak stabil?"

"Aku pingsan mungkin karena anemia. Lalu tekanan... Aku mencintai seseorang, tapi sekeras apapun aku berusaha, dia selalu menganggapku tidak pernah ada."

"Baik kalau begitu. Sekarang hari apa? Kau tahu?"

Petra hanya tersenyum. "Aku tidak begitu mengingat tentang hari dokter."

Dokter Ness melanjutkan pertanyaan. "Kau bilang, ada seseorang yang kau sukai. Apa hobinya?"

"Dia hobi bermain games action... bukan, dia suka bermain bola mungkin..." Petra ragu dengan jawabannya sendiri.

Dokter Ness terus memburu Petra dengan beberapa pertanyaan. "Apa warna lampu untuk pejalan kaki?"

"Pertanyaan macam apa itu, dokter?" Petra merasa diremehkan.

"Sudah jawab saja pertanyaannya."

"Ngomong-ngomong, tadi pertanyaannya apa?" tanya Petra.

"Petra, apa kau rajin minum obat?" tanya dr. Ness.

"Tentu saja, walaupun aku tidak tahu obat apa yang aku minum. Aku hanya mengikuti apa kata ayah."

Petra menatap intens dokter Ness dihadapannya dengan muram. "Dokter aku ingin bertanya, memangnya aku sakit apa? Hingga aku harus berhenti sekolah."

"Ayahmu melarang memberitahumu Petra..."

"Aku mohon, jika aku tahu penyakitku maka aku akan lebih bersemangat menjalani terapi dan meminum obat, ku mohon..." Petra memohon agar dokternya memberitahunya.

"Baiklah jika ini baik untukmu, aku harap kau tidak menyesali setelah mendengarnya." dr. Ness menghela napas berat. "Kau punya penyakit Alzheimer."

"Alzheimer? aku belum pernah mendengarnya... bisa kau jelaskan dokter" pinta Petra.

"Penyakit Alzheimer ini sebenarnya penyakit langka yang membuat seseorang yang mengalaminya akan sering lupa, lebih tepatnya lupa akut. Dimana semakin lama kau lupa siapa temanmu, keluargamu, orang-orang penting bagimu, bahkan kau akan lupa dirimu sendiri, kau akan melupakan identitas dirimu. Pada akhirnya organ-organ tubuhmu tidak kuat lagi bekerja karena otak penyakit Alzheimer ini akan menyusut hingga otakmu tak sanggup lagi mengontrol. Kelumpuhan mental akan terjadi sebelum kelumpuhan fisik. Itu sebabnya kau harus berhenti sekolah, karena lambat laun kau tidak bisa menulis bahkan memegang pena." mata Petra mengembun.

"L-lalu... apa aku bisa disembuhkan?" tanya Petra putus asa.

"Maaf, Tidak bisa, karena sampai saat ini alat canggih pun belum menemukan obatnya. Obat yang kau minum saat ini hanya akan memperlambat. Hanya ada satu cara yaitu kemoterapi, tapi berefek negatif karena pada akhirnya dengan satu cara ini kau akan mengalami radang otak. Kau sudah mengikuti kemoterapinya, dan hasil MRI dan CT scan kemarin kau positif terkena radang otak." kata dr. Ness prihatin.

"Itu artinya... kurang lebih, aku ini... sudah seperti mayat hidup." Kata Petra serak dan menangis. Dokter Ness tidak bisa berbuat apa-apa. Tapi beginilah kenyataannya.


Next to chapter 2