Disclaimer: Kuroko no Basket milik Fujimaki Tadatoshi. Sex Pistol milik Tarako Kotobuki. Kami tidak mendapatkan keuntungan materi/komersil apapun dari membuat fanfiksi ini.
Setting: Alternate Reality. Percampuran setting dari Kuroko no Basket, Sex Pistol, dan Alpha/Beta/Omega Dynamics Supernatural.
Warning: MALE X MALE, lime, lemon, smut, A/B/O Dynamics, Mating Cyles, mild-language, bully, in heat, in rut, OOC, OC, mention of kinky things and BDSM, angsty, established relationship, etc. (warning bertambah sesuai isi chapter)
Prompts: First Time and Sadistic X Masokis
Italic: Flashback
Special present for 44/12 Week and AkaFuri Day
.
.
.
.
.
GROWL
.
Collaboration by:
Hi Aidi & Light of Leviathan
Baunya seperti bubuk kayu manis yang menumpahi kue, tapi juga seperti adas yang pedas.
Furihata mengingat bau tersebut seperti saraf sensoriknya hanya bisa mengendusi harum ini. Seolah saat itu, indera penciumannya teradiksi—menolak melepas memori bau manis atraktif, namun di masa depan justru bau khas inilah yang selalu membuat lubang dalam hati Furihata mungkin sebesar genggaman.
Kala itu usianya masih 5 tahun.
Awalnya ia bingung ketika baru pertama kali melihat kakaknya konstan mengeluh sakit dan terus-terusan merintih. Aroma pedas yang menandas ruang penciumannya terkuar dari kakaknya.
Baik kakak dan orangtuanya tidak pernah menjawab ketika Furihata kecil bertanya—mencemaskan kondisi putra sulung keluarga mereka. Ia tidak mau sesuatu yang buruk terjadi pada kakaknya.
Hingga suatu ketika, kakaknya datang ke rumah dengan wajah pucat dan tubuh bergetar hebat.
Furihata yang berada di puncak usia balitanya teramat takut, terlebih tatkala seorang pemuda dengan aura menyeramkan menggendong kakaknya masuk ke kamar baru sang kakak yang kini dipisahkan darinya oleh orangtua mereka.
Furihata terpikat oleh bau itu yang menyerbak kuat—seakan seluruh oksigen di rumah telah terkontaminasi wangi ini, menusuk hidungnya dan ia mengikutinya hingga pintu coklat membatasi dirinya dari harum kayu manis menggoda.
Pemuda beraura menyeramkan itu ternyata menyadari kehadirannya. Kepalanya menyembul dari balik pintu. Furihata menggigil ketakutan, aura ini tak memiliki nuansa familiar seperti yang keluarganya miliki.
Ia mundur ketika melihat pemuda tersebut menatapnya sekilas—entah apa tafsir dari pendar sorot matanya—yang suatu hari nanti akan ia pahami ketika telah bertemu separuh jiwanya, Furihata menggigit bibir dan menahan gigil, berlari menjauh untuk mencari ibunya.
"Okaa-san … kenapa orang menyeramkan itu dibiarkan masuk? Bagaimana dengan Aniki? Aniki kelihatannya sangat kesakitan."
Furihata kecil bertanya dengan matanya yang mengerjap lucu—kontra dengan airmata yang berlinang karena mengkhawatirkan kakaknya. Sesungguhnya ia tampak menggemaskan.
Bunyi pisau yang beradu dengan talenan plastik berhenti.
Ibunya berbalik ke arahnya, mengeringkan tangan berleleh sari buah ke apron coklat muda yang dipakainya, ragu berkelebatan dalam gurat ekspresinya.
Sepersekian detik, saat ia menundukkan kepala putus asa—merasa ibunya pasti takkan menjawab pertanyaannya, barulah ibunya mengulas senyum pengertian seraya menyeka kerjapan airmata yang mengaliri lekuk pipi empuknya. Tangan yang selalu hangat dengan kelembutan dan kesahajaan seorang ibu, mengelus sayang helai-helai coklatnya.
"Onii-san yang tadi sedang menolong Aniki-mu, Kouki."
Furihata mengerjapkan mata lagi. Bertanya ragu, "Apa dia dokter?"
"Bukan."
Pikirannya berputar-putar, ada yang salah dengan jawaban ibunya. Tidak benar dan otak polosnya tak dapat jawaban ketika ia mencoba menggali jawaban sendiri.
"Lalu kenapa dia menolong Aniki? Seharusnya kalau Aniki sakit, Aniki harus ke rumah sakit supaya disembuhkan dokter."
Ibunya tersenyum lembut, geli dengan aksen kekanakan lugu putra mungilnya. Sekilas matanya mencuri pandang pada daun pintu coklat yang merembaskan lenguhan tertahan yang samar terdengar.
Dengan keraguan dan keputusasaan seorang anak kecil yang selama ini selalu bertanya tapi tidak pernah mendapat jawaban demi memuaskan bludakan penasaran, sang ibu memutuskan untuk menjawab sebatas yang mampu dinalar oleh anaknya.
''Kalau sudah besar, Kouki akan mengerti."
Furihata tidak mengerti ketika itu ibunya lekas tersenyum lebih riang padanya karena yang beliau katakan, bukan ujaran penghiburan semata.
"Lebih baik sekarang kau tidur siang dulu. Mungkin setelah kau bangun nanti, kondisi Aniki-mu akan membaik."
Perkataan ibu terdengar seperti janji. Surainya bergoyang lembut ketika mengangguk. Kaki-kaki kecilnya meloncat-loncat riang menuju kamar baru yang diberikan kedua orangtuanya khusus untuknya, baru ditempati sebulan lalu—tepat ketika bau itu pertama kali menginvasi indera penciumannya.
Balita itu merasa sedikit tenang setelah berbicara dengan ibunya. Mungkin kakaknya akan bermain lagi dengannya nanti jika kondisinya membaik—dan mudah-mudahan pemuda yang tengah menolong kakaknya itu tidak ikut bermain karena dia tampak menyeramkan bagi si belia Furihata.
"Aaahhn."
Furihata tersadar dari lamunannya tentang pertama kalinya mencium bau hampir serupa.
Wajahnya kosong tanpa ekspresi berarti dan luka membaluri hatinya yang meraung. Ia terpaku di kenyataan bahwa dirinya, dengan segala kebodohannya, terjebak dalam keadaan yang sama untuk kesekiankalinya.
Seorang omega yang mengalami heat dan mengeluarkan bau menggoda. Bergerak tak nyaman di sebelahnya serta mendesah kesah tertahan yang semakin lama, semakin keras volumenya.
"Kokusai-san, lebih baik izin ke UKS saja atau langsung pulang. '' Furihata berbisik padanya, mencemaskan orang yang duduk di sebelah bangkunya diliriki tajam. Ia sadar benar geraman para alfa tertuju pada temannya.
Pemuda di sebelahnya menggeleng cepat, rambutnya basah penuh dengan keringat dan wajahnya memerah karena suhu tubuh yang meningkat.
''Tapi di sini bahaya.'' Furihata membujuk, mencoba bernegosiasi dengan kekeraskepalaan temannya yang kini bahkan tak bisa menengadah—tertelungkup pasrah di meja.
''A-hh-ku .. ku-kua-hh-t.''
Lagi-lagi ditolak. Temannya benar-benar keras kepala. Furihata mendesah lelah, ia memutar otak mencari cara untuk memaksa temannya keluar dari keras dan mengurus sesi heat-nya.
Tahu-tahu gebrakan pintu tak tanggung disamarkan angin kencang yang membawa kelopak bunga-bunga sakura beterbangan. Sebagian menyentuh surai yang sama coklatnya dengan dirinya dan sebagian lagi berarak jatuh ke lantai serta buku pelajaran.
''KOKUSAI!''
Kejadiannya begitu cepat, cepat sekali sampai yang Furihata tahu ketika ia bisa melihat dengan jelas lagi adalah dua bibir yang saling bertaut dan teman sebangkunya melingkar bak anak kukang dalam pelukan alfanya.
Satu orang lagi bertemu dengan mate-nya, satu orang lagi mengalami first heat-nya di jenjang akhir usia batas normal in-heat.
Pintu kembali menggebrak kencang, geraman yang tadinya tak Furihata sadari dari alfa-alfa lainnya kini sunyi. Guru yang mengajar juga tak ribut. Ada dispensasi khusus ketika alfa dan omega melakukan mating. Hal ini sudah wajar dalam komunitas sosial bersistem hierarki mereka.
Bibir plumnya menurun ke bawah, membentuk senyum terbalik tanda kecewa.
Usianya saat itu empat belas tahun, dan dia bahkan tidak mengalami tanda blooming sama sekali. Tidak apa, Furihata berpikir positif; pasti sebentar lagi.
Sebentar lagi pasti ia juga mengalami first-bloom.
Tahun berlalu sunyi bagi Furihata yang bahkan tak mengharapkan adanya pergantian waktu.
Ia merajuk pada guguran kelopak Sakura yang kembali meranggas dan seolah mengoloknya yang pilu dengan tarian riang mengikuti arus angin. Ejekan kini sudah menjadi bagian hidupnya. Bukan semata sindiran hina di balik punggungnya, namun cemoohan yang publikatif dan mengelupas kepercayaan dirinya sedikit demi sedikit.
Usianya kini lima belas tahun, berarti setahun terlewat semenjak sisa waktu kesempatan terakhirnya mengalami heat dengan normal.
Tak ada tanda perubahan yang signifikan—kalau boleh dibilang memang tidak ada—bahkan pinggulnya tak berusaha beradaptasi untuk menjadi pembawa anaknya suatu hari nanti. Ia tertegun, kadang berpikir bahwa kenyataannya dia akan menjadi omega incomplete, tanpa heat apalagi mate.
"Kau."
Hingga hari itu tiba.
Tubuhnya bergetar hebat. Ketakutan yang sedari tadi sudah menumpuk kini menggunung. Menggelantungi seluruh lapisan kulitnya dengan beban yang tak sanggup ia pikul.
Tadinya Furihata bepikir akan membanggakan jika bisa bertemu dengan GoM, mungkin mendapat sedikit berkah atas seberapa besar ajaib tujuh orang remaja yang kini berada di puncak tertinggi dalam kemampuan mereka memanuver bola hitam jingga serta strata mereka sebagai strong-alfa dalam komunitas sosial.
Tapi yang ia dapatkan sekarang hanya tremor. Ketakutan yang sangat dan membuatnya terlihat konyol, pengecut yang bersembunyi di balik punggung Kuroko yang bahkan lebih pendek beberapa senti darinya—usaha yang sia-sia.
Di balik paras-paras rupawan dengan talenta mengintimidasi , menguar aura yang sama intimidatif.
Tak ada istilah kucing dalam karung. Jelaslah kini Furihata paham kenapa mereka disebut mengintimidasi selain karena kemampuan tapi juga kedudukan dalam dinamika alfa, beta, dan omega.
Kenyataannya mereka semua strong-alfa dengan aura mengintimidasi, menuntut kuasa yang bahkan dapat memaksa sesame alfa untuk patuh dalam dominansi mereka. Lebih-lebih omega seperti dirinya.
Apalagi pemuda yang terakhir datang itu. Mengintimidasinya sampai membuat tubuhnya melumer seperti jeli. Menatapnya sampai Furihata merasa ditelanjangi dan malu dan ingin lari.
Entitas tersebut tak melepaskan tautan pandang mereka seraya mendekatinya seolah menekan setiap saklar di tubuh Furihata agar organ tubuhnya bekerja overdosis dan malfungsi. Memaksa jantungnya bekerja melebihi kuda di medan pacu, menyuplai seluruh darah berlebih pada pipi, wajah dan telinga—sengaja.
"Kau mate-ku."
Kalimat itu menggema di ruang tengkorak kepala yang seolah otaknya sudah bermutasi ke bulan. Memantul-mantul seolah resonansi terjadi dalam gua atau lembah. Menyugesti alam bawah sadarnya untuk mengangguk patuh, tergugu lugu mendekati sang alfa dengan langkah yang tertatih.
"Kau, mate-ku, Furihata Kouki." Dagunya diangkat, bibirnya dikecup dan tubuhnya ditarik mendekat.
Dari mana pemuda yang berada di lini tertinggi dalam strata sosial dan penuh kuasa itu tahu namanya?
Furihata tak bisa memikirkan atau memang otaknya sudah tak bisa digunakan berpikir. Hanya tubuhnya yang bergerak gemetar, submisif dengan batas leher yang terbuka lebar. Tak tahu apa yang merasukinya saat itu, instingnya meminta alfa meninggalkan tanda. Lidah basah membakar lehernya yang polos kemudian dan ia melenguh, merintih lirih dan mengalungkan tangan ke leher pemuda yang sepersekian detik barusan mengintimidasnya.
"Kouki." Matanya terpejam, bibir menitah suara-suara penuh desah keluar. "Kouki."
Kemudian bibirnya bergetar, rintihan pilu berkonten rindu yang Furihata sendiri tidak mengerti, mengganti segala desah. Intuisi berbisik membenarkan bahwa ada sesuatu dalam pemuda ini yang membuat sekujur tubuh dan seluruh jiwa Furihata menjerit ingin memosesinya; memilikinya; ingin dimiliki olehnya.
Mungkin itulah juga yang dirasakan oleh pemuda yang mendekap erat Furihata dan menghisap epidermis lunak yang meliputi nadi. Nadi yang sejak kini bersenandung hanya untuk secarik penyandang nama yang histeris diteriakkan pemuda-pemuda lain di sekitar mereka.
Akashi Seijuurou menjerumuskan Furihata Kouki pada dunia lain yang eksis dan mereka bangun hanya untuk keduanya sendiri.
Umurnya enam belas tahun.
Furihata menghayal lagi, tentang Akashi. Mate yang sudah menjalin kasih dengannya sejak pertama kali bertemu di hari pertama kompetisi Winter Cup dimulai. Mereka sepasang kekasih, tapi sama sekali tak memiliki ikatan berarti.
Furihata masih belum mengalami heat dan tentunya belum ada mating di antara mereka. Tak ada ikatan yang berarti selain status pacaran seperti manusia biasa.
"Akashi…"
Lelah mendesah berkeluh-kesah atas ketidakadilan nasib, ia mulai mengilustrasikan jika pemuda bersurai magenta itu akhirnya menjamahnya, memberinya mark dan mengikis habis semua aroma tubuhnya dan menumpahkan seluruh bau alfa yang menunjukkan kuasa dan kepemilikan sebagai gantinya.
Heat-nya tak kunjung datang sementara ia lihat tadi pagi dua teman sekelasnya mendapatkan dispensasi untuk heat yang kesekian.
Seandainya saja Furihata normal seperti mereka.
Bahkan Takao Kazunari saja yang kabarnya mengalami komplikasi heat berkepanjangan setiap berdekatan dengan alfanya, Midorima Shintaro, tidak begitu bermasalah. Tentu saja tidak masalah. Furihata bisa melihat ikatan transparan yang mengukuhkan relasi sepasang cahaya-bayangan Shutoku tersebut.
Furihata ingin Akashi menjadi miliknya seutuhnya, dan senyum penuh pikat itu hanya tertuju padanya. Dua buah kelopak ia katupkan, menyembunyikan biji pinus coklat kecil dengan kelembaban berlebihan.
Ketakutan terbesar dalam dirinya hanyalah Akashi pergi darinya karena ia adalah seorang omega immature.
Semua berkeriut ngeri di bangku.
Sia-sia memelototi soal bila kau tak mengalkulasinya dengan presisi yang benar.
Toh, guru mereka berdecak—paham seberapa jauh nalar mereka tak sampai untuk melawan monster pemerkosa nyali mereka menghadapi momok (yang bagi sebagian besar) termenyeramkan di kalangan pelajar.
Sang guru memosi seseorang yang ringan bertopang dagu. "Akashi-kun."
"Hai'?"
"Daerah yang dibatasi oleh garis-garis y = X1, y = 2x kuadrat, y = 1, y = 3, diputar sejauh 360 derajat mengelilingi sumbu Y. Hitunglah volume benda putar dai daerah antara dua kurva yang diputar terhadap sumbu Y!"
Akashi Seijuurou bangkit dari kursi, was-wes-wos menggembos di ruang pendengarannya.
Desah syukur, sedikit kalangan jenius minoritas yang kecewa—tak dinotis guru.
Meraih spidol yang diberikan oleh guru bertangan besi yang bengis mencetak baku edukasi operasi kalkulasi pada siswa-siswa pilihan terbaik di sekolah tersebut. Akashi mengabaikan puluhan tatapan yang mengebor punggungnya.
Tangan lincah menarikan spidol di atas lantai dansa putih, tidak lagi putih—dinoda rumus (dan siapapun orang sial pembuatnya jelas menyebabkan delapan puluh persen populasi manusia berlumur dosa karena memaki betapa sulitnya cabang ilmu ini), lalu meraih pengaris kayu lurus dari sekelompok penggaris yang terdapat di sudut atas papan tuliis untuk menggambar kurva dan menghitung limit.
"Berapa hasil akhirnya, Akashi-kun?"
"Volume benda putar yang terjadi sama dengan enam satu per dua phi." Akashi menuliskan perhitungan, ringan menjawab.
Guru bersurai keabuan—penuaan, mengulum senyum puas. Lantas mendelik sadis pada yang lain—berkasak-kusuk seiri orang tolol tak mampu melakukan apapun. "Catat! Jangan diam saja! Belajar yang benar, atau kalian tidak akan kubebaskan berlibur musim dingin!"
Sebelum "Hai'!" diserukan lantang—guntur ancaman menyambar nyali menyebabkan gentar, harum yang menyegarkan—harusnya, nyatanya menggairahkan membuat sekian banyak penghuni kelas menggeram rendah waspada.
Akashi berhenti menulis. Menatapi kurva limit, spidol terancam kering. Bau itu bagai nektar yang memerangkap para dominator dalam kasta tertinggi dinamisme sistem hierarki mereka, menjerat keserakahan—meraup wangi lewat celah gigi dan tarikan napas acak-acaan.
Desah gairah berderap di udara. Geram liar menderum angkasa berupa petak-petak langit ruangan—in-focus di sentral atap kelas sampai berguncang.
"Nnhh. Aghhn."
Embun mengecupi kaca di luar jendela kelas, tak mencacati gelora panas melonjaki adrenalin.
Seseorang menggelinjang gelisah, tangan mencabik serat-serat kertas, mematahkan pulpen yang semula gemetar dipegang. Mengerang tak tahan—karena ia memaksa untuk tetap ada di kelas kalkulus sinting yang satu materi atau sebiji angka pun takkan memuati otaknya saat ini.
Seorang murid mengangkat tangan. "Se-Sensei, Akihiko-kun sedang-"
Akashi memejamkan mata, menahan napas. Mengimaji wangi murni tak ternoda milik kekasihnya. Ia takkan hilang kendali karena hal sesepele ini.
"—heh. Bisa-bisanya in heat di saat seperti ini." Sang guru menggelengkan kepala. Diraihnya penggaris besi, menggebrakkan ke meja guru sehingga semua tersentak ketakutan. "Siapa tahu mate-nya? Cepat panggil alfanya—"
SRAK.
"HIROKIII!"
Guru Matematika mendengus ketika alfa dari omega sialan yang menghancurkan sesi materinya itu langsung memanggul mate-nya, mencuri ciuman panas karena omeganya mengerang berang—tidak tahan dengan kebutuhannya, menabrak pintu kelas.
Datang tak diundang, pergi tak diantar, bonus ciuman yang meneteskan saliva dan likuid putih kental—harusnya hitam karena kenikmatannya semenggoda dosa—memerawani lantai suci.
Hilang minat mengajar, guru itu memberikan nilai plus untuk murid kesayangannya yang mengangguk formal dan lekas duduk di tempat—distan menerawangi bentangan panorama di luar jendela. Menyerahkan tugas tak tanggung banyaknya, menggerundel di sela ketak-ketuk kilat langkahnya dan omelan bagi petugas piket untuk membersihkan lantai.
Murid-murid di kelas tersebut berkumpul membaur ketika guru Matematika sialan itu lenyap dari pandangan.
"Sialan. Tugas banyak, susah, APA MAU ITU GURU?!"
"Heh, tidak sopan!"
"Ungh, ini sudah kusemprotkan pakai cairan pembersih lantai, baunya tidak hilang juga, ya."
"Kaujilat saja. Kucuran pertama adalah tetesan semanis ASI pertama Ibu."
"TIDAK MAU!"
"Baunya menggoda sekali. Aku persis di belakangnya, hampir tidak tahan menyerangnya."
"Kau bukannya sudah mating?"
"Kau juga, tapi hampir semua alfa gelap mata ingin menyerangnya."
"Dasar kalian semua alfa mesum. Sudah punya mate lupa diri. Tidak setia, huh."
"Enak saja! Kau hanya perempuan beta. Mana mengerti lezatnya omega in heat—"
"—diam, Mesum! Eh, eh, Akashi-kun kelihatannya tidak tergoda."
"Iya, ya. Padahal dia tidak punya mate."
"HEI, JANGAN BICARA KERAS-KERAS. SHOO, SHOOH. IDIOT."
"Bicaramu yang keras, Tolol!"
"Dia punya mate, sepertinya."
"Line di lini tertinggi strong-alfa masa tidak punya mate? Pffth. Menyedihkan."
"Aku tidak pernah lihat dia menempel pada siapapun."
"Mungkin mate-nya tidak di sini."
"Atau dia lebih suka mengekslusifkan atau mengisolir diri sendiri. Atau … jangan-jangan dia aseksual?"
"Kudengar dari senior di tim basket, dia punya mate seumuran kita. Tapi late bloomer."
"Aku pernah dengar. Bukan late-bloomer, tahu! Lebih parah lagi, seumuran kita tapi belum first-bloom sama sekali. Itu bukan late lagi, SUPER LATE BLOOMER. Omega immature."
"E-EEEEH?!"
"Siapa mau dengan super late bloomer? Apa benar itu terjadi pada mate Akashi-kun?"
" Tunggu, iya kalau dia akan mengalami first-bloom. Bagaimana jika dia omega immature permanen? Pa-parah, ma-masa, sih—"
"Kalian."
"GYAAAAAA!"
Jeritan ketakutan. Speak of the devil.
"Bicarakan aku lagi dan mate-ku, kita duel di luar sana sekarang juga, atau kalian pilih mengepel lantai ini dengan lidah?" Bara amarah tercangkang di ceruk mata heterokromik. "Tetesan omega in heat semanis ASI pertama Ibu, bukankah begitu? Jilat saja."
Merinding ngeri, mereka mengucapkan maaf dan berlalu membabu—membersihkan lantai yang dengan semena-mena Akashi lewat menginjakinya lagi dan wajah memapar roman arogansi serta segala kilasan dalam dirinya merefleksi perfeksi.
Semuanya bungkam, dalam hati mendapatkan jawaban. Itu bukan gosip semata, desas-desus kenyataan itu benar. Ah, ternyata … meski sesempurna apapun hidup dan entitas sang emperor, tetap saja error dalam hidup sempurnanya.
Koridor lenggang, desis angin di dinding membisikkan dingin. Bertiup menelusup tulang, ngilu, dingin beresonansi ke hati.
Akashi mendengar gema tapak langkahnya menelusuri koridor kosong. Tangannya kasar mencengkeram kantung dalam jas—kuku menyayat telapak tangan, sakit—panas merinai merah amis rasa karat besi. Gema ditingkahi bunyi rintik tipis salju di wajah bumi.
Sunyi, ia sendiri. Ada feromon menguar, sial hormonnya terpaut—Akashi memejamkan mata, nyaris memecahkan jendela koridor. Sumpah, dirinya benci sedikit saja hidungnya menghirup wangi yang tidak seharusnya diraupnya—mengulik gairah yang ditunggangi adrenalinnya.
Angin mengais-ngais kaca. Keriyap dingin kaca jendela membekukan bingkai kayu berderit diganggu angin. Cerminan diri menyirat dingin, lagi, dan bening memvisualisasi senyum hangat separuh jiwanya. Omeganya tersenyum memenuhi visi terlingkupi sepi.
Akashi mengarungi koridor sekolah. Peluh tipis tersauh di tubuh. Ulu hati menggemelutuk rindu untuk Furihata.
/"Maaf … nhhh … tapi, a-ah-aku tidak bisa ikut nonton ke bioskop. Akh!"/
Meski dengan segala upaya dia tahu bahwa getaran di dalam suara itu ada akibat sesuatu hal yang Furihata Kouki, akhirnya menapaki tujuh belas tahun, benar-benar dambakan.
Ia terlalu sensitif dengan bagaimana nada bicara dan tindak-tanduk yang dihasilkan ketika seorang omega sedang mengalami heat.
Ironis sekali memang, dia bisa mengidentifikasi dengan mudah saat dia sendiri tidak pernah mengalaminya. Yang lebih mengenaskannya, ia juga bisa mengetahui bahwa kawan omeganya di seberang telpon tengah dicumbui oleh alfanya dari caranya mengerang dan suara-suara sugestif di seberang sambungan telepon.
"Tidak masalah. Aku juga sepertinya hari ini tidak jadi ke sana." Furihata tertawa canggung, menyembunyikan getir yang menambat kerongkongannya untuk berbicara lebih panjang.
Ia menutup telpon, menangkup kedua wajahnya dengan tangan dan mencoba menguatkan hati meski kini benda spiritual bernama positive thinking tak ia ketahui apa masih ada dalam dirinya.
Dua tahun semenjak pertemuannya dengan Akashi, dua tahun tanpa perubahan yang berarti, dua tahun lagi ia lewati menelan bulat-bulat segala caci-maki dengan kesabaran yang hampir terkikis seutuhnya.
"Hee! Ka-ka-kau membelikan aku vibrator?!" Suara seorang omega terbata, tanpa melihat pun dapat dipastikan mukanya pasti merah luar biasa.
Bunyi kursi digeser, Furihata bisa mendengar dengan jelas karena dua orang itu ada di belakangnya.
" Ya, untuk variasi."
Ada suara lenguhan manja dengan nada diliukkan.
Furihata masih mencoba mengartikan apa itu yang disebut vibrator. Jujur saja ia awam dengan masalah yang begitu. Jangankan tentang itu, perihal mating saja menjadi hal tabu yang canggung diusung sebagai topic konversasi bilamana ada Furihata Kouki di tengah peserta percakapan.
Tentang mating saja ia tidak tahu apa-apa. Keluarga, teman-teman, dan bahkan mate-nya sendiri selalu saja tahu cara mengelak ketika ia bertanya. Apa? Kenapa Vibrator itu sepertinya menambah seksualitas hubungan mate berdasarkan kehebohan pembicaraan teman-teman sekelasnya?
"Aku juga membeli ball gag, borgol, dan tali."
"Bo-bohong. A-apa jangan-jangan kau mau ma-main sado-maso?"
"Heh, itu masih kurang. Aku membeli semua benda untuk BDSM sekaligus, cambuk terutama. Aku tidak sabar membayangkan bagaimana omegaku—WOY, KAU! JANGAN MENGUPING!"
Furihata tersentak kaku, melarikan pandangan pada benda apapun selain tatapan membunuh dari orang-orang di sekelilingnya.
BRAAAK!
"Aargh!"
Ia terjatuh karena kursinya ditendang kuat. Segala pandangan menghakiminya, menghinanya, melecehkannya, merendahkannya. Furihata beringsut keluar dari kolong mejanya dan mencoba merayap kabar.
GRAB.
"A-a-a-kh—sa-sakit!"
"Omega Cacat! Beraninya kau menguping pembicaraan kami. Apa gunanya untukmu hah?! Tidak ada gunanya, bodoh!"
Tubuhnya terhuyung lemah, disentak kasar hingga menggoler di lantai kelas dan Furihata tidak bisa melawan. Meski ia berusaha melawan pun sia-sia saja, instinya menolak. Apa yang bisa kau lakukan jika kau seorang omega yang sedang diintimidasi oleh sekumpulan alfa?
"Dasar perjaka tua, omega incomplete, virgin sampai mati."
Inginnya Furihata membentak, menampar muka sengak yang menghamparkan pandangan pencemooh paling menjijikkan. Ia muak, muak, MUAK.
"Kutebak bahkan kau sampai sekarang tidak memiliki alfa."
'Kukatakan padamu, alfaku bahkan jauh lebih mendominasi dari kalian. Kalian hanya seujung kukunya, Bodoh!' Kalimat itu ditelannya lagi menjauhi kerongkongan, kembali ke dalam perutnya, mengendap dalam hatinya. Pada kenyataannya memang benar, orang sepertinya … lebih baik tidak punya alfa.
"Ahhhhh."
Semua atensi berlari pergi dari Furihata, mengerumun pada sepasang alfa dan omega yang sedang melakukan mating di pojok kelas pada jam istirahat.
Mata dengan biji kuaci kecil berwarna almond itu terbelalak, double kaget karena bukan hanya melihat pemandangan itu pertama kali tapi kepalanya didongakkan, rambutnya dijambak, dan kedua kelopak matanya ditarik agar tetap terbuka melihat sajian yang Furihata imajinasikan ia lakukan bersama Akashi.
Tidak.
Ia tidak mau melihat orang lain melakukan itu. Ia tidak perlu melihat prosesi itu. Ia tidak berharap menjadi saksi atas percumbuan itu. Karena Furihata sangsi pada diri sendiri, apakah ia bisa melakukannya suatu hari nanti dengan Akashi.
Asanya sudah pupus, doanya tak kunjung terkabul. Furihata tidak mau lebih sakit. Ia menjerit, berusaha melepaskan diri dari orang-orang dengan tenaga besar yang memegangnya disana-sini.
Sayang sekali, ada alasan kenapa dinamika Alfa/Beta/Omega itu ada. Ada fakta bahwa omega memang tak sekuat alfa—bahkan mereka berada di posisi paling bawah—dan alfa menjadi yang terkuat untuk melindungi omeganya.
"Kau lihat, hm? Lihat bagaimana mereka melakukan ikatan? Lihat hal yang tidak bisa kaulakukan itu? LIHAT ITU, TOLOL!"
Furihata mendelik letih, matanya memendar dendam yang lama terdekam.
"Jangan menatap kami dengan tatapan begitu! Gara-gara kau, kelas kita dicap buruk oleh guru-guru dan kelas lainnya. Kau juga pembawa sial yang membuat kelas kita tidak mendapatkan penghargaan dari sekolah dan membuat nama kelas kita jadi begitu buruk!"
"Urrgh." Furihata dibanting lagi ke lantai. Ia meringkuk dengan tubuh lunglai kesakitan di lantai yang dingin melengkapi hatinya yang ngilu. Telinganya dipenuhi dengan tawa bangsat yang meringkik dan membuat pikirannya kosong melompong.
Butiran-butiran asin menyerbu turun lebih deras dibandingkan sungai yang mengalir dari pegunungan, air matanya tumpah ruah membanjir pipinya yang sedari tadi sudah basah. Ia melihat mereka berdua berciuman, ia melihat mereka berdua berdua melakukan mating, ia bisa melihat ikatan yang terjadi antara dua orang mate itu.
Sakit.
Rasanya seperti ada panah beracun yang mengenai hatinya bertubi-tubi. Menyebarkan pukat yang membuat aliran darahnya terasa berhenti, jantungnya hilang fungsi. Harapannya yang lapar akan mating itu kini mati, menjadi bangkai yang dimakan bakteri lalu mengabur seiring waktu yang turut menggerogoti.
Akashi.
Akashi.
Akashi, tolong—!
Masih mengerang kesakitan, Furihata ditarik berdiri lagi. Dihempas menubruk lemari loker dalam kelas.
Seorang lelaki berambut Mohawk mengambil tisu milik seorang gadis berkepang dua, menghapus kucuran saliva dan likuid putih dari sepasang teman sekelas yang sudah pergi dari pojokan kelas untuk melanjutkan sesi mating di tempat lebih privasi.
"Uhk." Furihata terbatuk. Mulutnya disumpal gumpalan tisu, rasa aneh yang tak pernah ia rasakan memenuhi indera pengecapnya. Ia tersedak, mengambil nafas yang tersendat-sendat karena kain itu masih saja memenuhi mulutnya.
"Bisa kaurasakan? Rasa mating?"
Dagunya diangkat—mengingatkannya ketika pertemuan pertamanya dengan Akashi, bedanya kali ini ia diperlakukan terlampau kasar—dan rahangnya dicengkeram." Ini rasa yang tidak penah bisa kaurasakan, Omega tidak berguna. Rasakan!"
Furihata merangkak sekuat tenaga berusaha lari. Lari, lari dari dirinya yang ingin bunuh diri.
Pintu menjeblak terbuka.
"Woy, pergi sana cari ruangan lain!" bentak sang ketua kelas emosional. "Cepat bersihkan semua itu!"
Lagi-lagi petugas piket hari ini tergopoh-gopoh menyambangi lemari berisi peralatan kebersihan, mengobrak-abrik, menarik tongkat pel, kain, cairan karbol, dan pewangi ruangan.
Pemuda berambut tak ubahnya tersambar petir itu merampas paksa kain pel. Membuangnya ke lantai, memakai kaki mengelap asal-asalan. Mengernyit jijik, hidung mengendus aroma berbanjur gairah kental mating. Kesal mengingat dia belum punya mate untuk rut time-nya nanti, ia mencari pelampiasan.
Diliriknya seorang omega yang dijejali buntalan tisu—dibuli tiada henti.
Si omega cacat itu.
Sudah tampangnya biasa-biasa saja, kemampuannya biasa-biasa saja, otaknya lebih biasa saja, tidak ada keistimewaan dalam dirinya—tidak kendati dia tergabung dalam tim basket yang memenangkan kompetisi bergengsi Winter Cup senasional, sok semuci-suci seperti perawan belum pernah digagahi.
Menyeringai keji, ia mendekati omega yang membuat kelas mereka tergredasi dalam perspektif publik. Menyeruduk para maniak buli yang lain, ia gagah menyeruak. Mencemooh dalam makian ketika omega cacat itu melepeh tisu, likuid kental keputihan meleleh dari sudut bibirnya. Hih, prostitur saja tidak menjijikkan seperti omega ini—manifestasi aksi mating itu beleleran di sekitar mulut awam yang tak kuasa menelan.
Mata coklat terbeliak diterror ngeri. "Ma-mau a-apa lagi—ughguh!"
Orang itu beringas menjejalkan bekas lap pel ke mulut si omega cacat tersebut. Mencekik lehernya untuk membuatnya mencecap rasa anomali dan asing baginya.
Teman-teman sekelasnya yang tadi bergegas membantu, mengambil borgol untuk memborgol paksa omega sialan ini, ada pula yang menyambar cambuk untuk merajam kaki-kaki terbalut celana hitam yang berdiri gentar.
Tawa berderai ke awang-awang—dan tangan-tangan yang kasar memberontak karena napasnya tersumbat lap laknat itu. Lidahnya pahit, asam, mencecap rasa asing berbau pesing yang memuakkan, menyebabkannya mual—dan sungguh ingin muntah. Mata memedas karena lehernya tercekik, sistem respirasi tersendat.
"Ak-errgh!"
"Diam, Idiot!"
Tamparan keras di pipi bokongnya, lalu diremas-remas kasar, Furihata makin beringas berontak karena tubuhnya dilecehkan oleh mereka.
"Kau tahu, tidak? Mate yang punya mate omega cacat sepertimu pasti menderita jiwa-raga."
Ia berjuang melawan, kendati hampir tiada hasil. Matanya memeras gerimis, panas, gejolak amarah, gelegak kesedihan, defensi diri terkoyak. Menghina dina nasib kenapa harus dirinya mengalami semua ini.
"Dia bisa-bisa mati karena kau tidak akan bisa mating dengannya." Seorang pemuda lain menimpali dengan tawa keji. "Ah, itupun kalau kau ditakdirkan punya mate. Atau ada yang sebegitu idiotnya mau jadi mate-mu."
Akashi—
Akashi, to—!
—tapi, Furihata juga tidak mau konstan begini dan menyaksikan dirinya tidak bisa apa-apa untuk mate-nya sendiri yang terpercik nasib buruknya—tidak, ini untuk dirinya sendiri.
Tubuhnya bergetar keras, setiap ruas bulu kuduknya merinding, matanya membulat lebar dan insting buasnya bangkit.
Furihata menggeram ganas, membiarkan jiwa sejatinya bereaksi dan mengambil alih diri yang sudah tak sanggup menanggung sakit hati. Suhu tubuh meningkat seolah dia dibakar, beberapa orang yang sedari memerangkapnya lekas menghindar.
Furihata kembali jatuh ke lantai, kali ini dengan kedua tangan yang menompang tubuhnya. Giginya bergemelutuk—ngilu. Borgol terlepas begitu saja ketika tubuh manusianya bertranformasi, meninggalkan sesosok fauna buas degan tubuh khas omega berselubung bulu halus coklat muda, liar penuh dengan ancaman.
Matanya membeliak, sekejap mata berhasil menggigit lengan salah seorang beta yang bahkan tak ia ketahui siapa. Ia hanya ingin melawan, memberikan pembalasan dan menunjukkan jika ia bukan omega yang patut jadi bahan bully.
Rasa anyir menyertai salivanya yang ia teguk dalam, bergerak lambat mengintai kerumunan orang-orang layaknya seorang predator. Furihata mengaum, bersiap melompat lagi namun kali ini ia digagalkan oleh badan besar yang menindihnya—seorang alfa turut bertransformasi.
Sigap ia berontak, mencakar kaki depan berbulu hitam pekat selayak malam namun alfa tersebut tak bergeming—menggeram padanya dengan mata yang menyorot tajam.
"Kau sialan, takkan kumaafkan karena melukai mate-ku!"
Kaki depan lain menekan lehernya dan menekan lehernya keras sementara mulut dengan dua pasang taring besar yang tajam bersiap mengoyak bahunya. Kesadaran mengetuk Furihata tiba-tiba, ia akan mati, akan mati, akan mati.
BRUGH.
"DASAR BAJINGAN!"
Berat badan di atasnya menghilang, seseorang meninju kuat alfa yang nyaris melukai Furihata, lalu memanggul Furihata lari dari kelasnya.
Furihata terdiam, tubuhnya dibawa pergi dengan kecepatan tinggi dan ia masih terdiam, memproses apa yang terjadi namun tak juga mengerti. Mungkin menyesali diri karena beraninya bertranformasi yang berarti menebarkan konfrontasi di saat yang berada di sekelilingnya adalah kumpulan alfa.
Namun tidak, Furihata tidak menyesal.
Jika mereka hanya menyakitinya, Furihata bisa menerimanya. Selama ini ia mampu bertahan hidup dengan bulian konstan mereka yang repetitif. Tapi kali ini mereka telah melecehkan separuh jiwanya, orang yang tidak sepantasnya direndahkan.
Mungkin ini salahnya sebagai omega immature ataupun kesialan Akashi yang memiliki mate sepertinya. Kendati demikian, Furihata tidak akan memaafkan mereka yang menghina kekasihnya.
Pintu gimnastik terbuka, lalu dibanting tertutup. Penampakan dua pebasket muda dalam transformasi mereka masing-masing mengejutkan semua yang berada dalam gim.
Kecemasan meninggi di vibrasi suara Fukuda. "Apa yang sebenarnya terjadi, Furi, Kagami?!"
Sang alfa menaruh kawannya di bangku panjang dalam lapangan indoor basket. Teman-teman mereka berhamburan menghampiri. Kuroko tenang meminta Kawahara untuk mengambilkan obat bagi Furihata.
Hawa emosional membumbungi seluruh penjuru, semua merinding digulung hempasan gelombang penguasa strata tertinggi dalam kasta komunitas sosial mereka.
Kuroko terkejut karena mate-nya telah bertransformasi kembali jadi sosok manusia. Mata merah menajam, krimson dengan lelehan serupa darah berkilat-kilat elektris. Bila dikonklusikan sebagai sekadar amarah itu berarti menyepelekan, mate-nya bergelora angkara murka tak terkira.
"Tadi aku mencari Furihata untuk mengajaknya bersama ke gim basket karena kelas kami berdekatan. Tapi—" Kagami mendengus geram, "—aku menemukannya diperlakukan biadab lagi! Bajingan mereka semua!"
"Ya Tuhan, Furi ... kenapa kau tidak memanggil kami?" Kawahara datang membawakan peralatan medis seadanya. Dia mengambil handuk kecil dan membasahinya dengan air dingin, halus mengusapkan pada luka-luka terbuka di lengan sahabatnya.
Furihata mengatupkan bibir rapat-rapat.
"Tolong urus Furi, aku akan menghabisi mereka!" Kagami balik kanan, langkahnya menderap lantai, decitan. Tikaman menyambar rusuknya. "KUROKO, HEI!"
"Jangan membuat rusuh di sekolah. Kau bisa kena detensi." Sang pemain bayangan tenang menegurnya. "Kalau kena detensi, akan bermasalah untuk tim kita. Kau tidak akan diizinkan ikut turnamen."
Kagami membuka mulut, matanya meruncingkan intimidasi ia tidak suka dihalang-halangi dalam membela temannya. Tapi mate-nya benar. Frustrasi karena geram dan marah dan ingin melampiaskan semuanya, ia memilih menjatuhkan Nigou yang menyabotese bola untuk tidur-tiduran di atasnya.
Nigou menggonggong karena terpelanting jatuh, Kagami lari dikejar olehnya-terlihat seakan keduanya tengah bermain basket.
"Kau mencoba melawan mereka?" tanya Fukuda yang memijati bahu temannya—saraf sensorik permukaan telapak tangannya mendeteksi tremor tensi yang melingkupi tubuh Furihata. "Kenapa?"
"..."
Kuroko menepuk punggung lengan Furihata. Sekali, dua kali, berkali-kali, menenangkan. Ia tak punya kata-kata untuk menghibur kawannya yang dibuli frekuentif, kata-kata bertabur gula dan untaian nada sekausi saus coklat manis takkan mempan pada Furihata—degradasi efek karena konstan dianiaya oleh publik, terlebih Furihata tidaklah begitu naif.
Nada dering ponsel berdering nyaring. Furihata merogoh saku gakuran hitam Seirin. Semua bungkam mengamati romannya menyendu.
Pik.
"Akashi."
/"...kau baik-baik saja, Kouki?"/
Lengkung rindu bermetamorfosis jadi senyum pilu. "Maksudmu?"
/"Aku mendapat firasat buruk. Kurasa sesuatu terjadi padamu."/
Ponsel dicengkeram, lebih erat. Bibir bergetar, digigit keras-keras hingga mengucur darah.
Kuroko mengernyitkan alis, berempati dengan mengelapnya dan berusaha tak terlalu terlihat mencuri dengar percakapan mereka.
/"Aku merindukanmu."/
Terdengar seperti rintihan di seberang telepon. Bisikan, pengakuan, kesungguhan.
Mereka berpaling ketika denting bening menggema di gim. Pertama kalinya melihat Furihata demikian depresif menyeka luruhan dari matanya, kasar, berusaha keras untuk tegar meski bergetar.
Lirih, terlumur perih. "Aku juga."
Erangan, hampir tak tahan. Tarikan napas berantakan.
Kerjapan mata. Furihata menajamkan pendengaran, khawatir karena Akashi tidak juga meresponsnya. "A… -kashi—?"
Detik itu juga Furihata tahu, seperti keahlian yang tidak diinginkan namun dimilikinya, mengidentifikasi seseorang yang berada dalam periode tensi seksual. Akashi sedang mengalaminya dan ini pertama kalinya Furihata mengetahuinya—karena biasanya dalam periode ini Akashi akan menjauhinya secara halus.
/"Jangan lupa besok kita bertemu."/ Terlalu cepat. Akashi mengomposisikan ketenangan dan kendali dirinya. /"Aku akan menjemputmu, dan seharian kita akan bersama." /
Sebelum Furihata merespon, sambungan telepon diputus.
Furihata menatap display ponselnya. Putus asa manakala jari-jemarinya yang tidak menggenggam ponsel dan nyaris meremukannya menghunjam lututnya.
"Kuroko … aku … aku tidak bisa melakukan apa-apa." Sang bayangan terkesiap ketika Furihata serak, tangisnya seperti tercekik—tertahan yang sia-sia saja. "… menyesakkan. Mengecewakan …" Tubuhnya bergetar hebat, airmata bergulir jatuh pada kepalan keras tangannya. "…sangat. Sangat. Aku … aku tidak ingin jadi seperti ini terus. Aku ingin sama dan bersama yang lainnya."
Seluruh anggota tim basket Seirin membisu, sesak turut melesak dalam dada mereka.
Kuroko mengerling Furihata, ekspresi datarnya menyayup menjelma penyesalan. Mungkin hanya ia yang bisa memahami pernyataan Furihata; yang tidak ingin menjadi berbeda dan muak dengan late-bloom tak kunjung datang.
Ia tidak bisa menghibur kawannya karena itu sama saja dengan menyodorkan umbul-umbul harapan palsu. Bukan pula kuasanya menghibur Furihata dengan gestur afektif.
"Iya, Furihata-kun." Kuroko berinhalasi perlahan, menepuk-nepuk lembut kepalan tangan agar tidak lagi kuku mengoyak lapisan kulit karena darah merembas dari cengkeraman Furihata. "Aku mengerti."
Nun jauh dari suatu gimnastik sekolah semuda kuncup bunga musim semi, sang alfa meninju dinding kamar mandi sekolah—petak-petak dinding berlapis ubin retak-retak.
Monster dalam dirinya meraung membahana, nyaris menginvasi kendali dirinya, Akashi Seijuurou ingin mendengar suara omega-nya yang setulus bumi berevolusi mengitari matahari.
Bukan hanya seseorang yang merindu.
Glosarium
Late-bloomer: werepeople yang terlambat bersemi masa pubertasnya.
In rut: kondisi alfa yang tengah bergairah.
In heat: kondisi beta yang sedang panas bergairah.
Hormone Suppressants: penekan hormon agar berkurang atau hilang sama sekali.
Mating: ketika pasangan alfa/beta/omega melakukan aktifitas seksual, bisa dengan mate-nya ataupun sekedar partner in-heat/in-rut-nya saja.
Bonding: prosesi yang lebih intim dari mating. Ketika alfa/beta/omega melakukan mating, maka alfa akan resmi menandai beta atau omeganya dengan meninggalkan "tanda"/kiss-mark yang kentara terlihat saat aktifitas seksual sedang berlangsung dalam wujud weremanity mereka. Bonding dianggap lebih sakral dari mating—karena bukan sekadar gairah karnal semata, tapi juga romansa afeksi. Alfa menandai omega/beta sebagai miliknya, sementara omega/beta akan keras berbau seperti alfanya.
A/N:
Dalam fanfiksi ini, setting Kuroko no Basket tetap ada. Kecuali bagian dari sejak pertama kali bertemu, Akashi tahu bahwa Furihata adalah mate-nya. Bagian yang diambil dari manga Sex Pistol adalah werepeople di sini bukan hanya werewolf, tapi bisa jadi berbagai macam rupa.
Namun setting usianya disesuaikan dengan A/B/O Dynamics original. Batas usia first-bloom itu mulai 12 tahun hingga 14 tahun. Mereka yang late-bloomer pun wajarnya hanya mengalami keterlambatan puber setahun, yaitu berusia lima belas tahun.
Dalam fanfiksi ini, Furihata pertama kali bertemu Akashi saat berusia lima belas tahun.
Maka Furihata di fanfiksi ini yang sudah berusia 17 tahun (present time), melewati tiga tahun batas usia normal first-bloom, itu dianggap sebagai omega immature (belum dewasa) dan super late bloomer karena tidak juga mengalami masa pubertasnya werepeople.
Dalam sistem hiearki werepeople, super late bloomer dianggap tidak wajar, anomali, dan tercela. Karena omega immature tidak diperkenankan melakukan aktifitas mating apalagi bonding—meski jika ia sudah menemukan soul-mate-nya.
Jika ketahuan melakukan aktifitas mating atau bonding pada omega immature, ini melanggar konstitusi dari hukum dan norma yang berlaku. Meski usia dewasanya secara legalitas Negara sudah mencukupi, tapi dari sisi weremanity-nya tidak diperkenankan disebabkan begitu intensnya aktifitas mating atau bonding werepeople.
LoL: "Yosh, Hi-Light balik lagi dengan RP coretnistacoret. Ini baru chapter satu, kok. Nggak sesado-maso kelihatannya, ya, 'kan, Di?" *nyengir melirik partner in-crime*
HA: *kelirik* ''Hmm, kayaknya begitu. Gak akan sejauh yang kalian pikikan /nyengir inosen/ soalnya kami belum siap sejauh itu.'' #geplaked
Terima kasih sudah membaca. Mind to give us your feedbacks? ;D
