Don't be Afraid to the Darkness

Disclaimer: Nope. Harry Potter masih kepunyaan Bunda Rowling:)

A/N: Setting tahun ketujuh, ada sedikit penggalan dari 'Relikui Kematian':D

Warnings: Darkfic. (Don't like? Don't read)

.

.

"Tapi apakah kau dengar apa yang Fred katakan?" Harry bertanya dengan bergairah: kini siaran itu telah usai, pikirannya kembali lagi pada obsesinya semula. "Dia sedang pergi! Dia masih mencari tongkat sihir itu, aku tahu!"

"Harry..."

"Ayolah Hermione, kenapa kau tak mau mengakuinya! Vol-"

"HARRY, TIDAK!"

"-demort tengah mencari Tongkat Elder."

"Nama itu tabu," Ron berbisik, melompat ketika mendengar suara berderik dari sesuatu yang patah di luar tenda. "Sudah kubilang, Harry, sudah kubilang kita tak boleh mengucapkan namanya lagi- kita harus membuat perlindungan lagi disekitar kita— cepat- itu adalah cara mereka menemukan-!" Tapi Ron berhenti bicara dan Harry mengetahui apa sebabnya. Teropong Pengintai telah menyala dan mulai berputar diatas meja; mereka mendengar suara-suara yang semakin dekat: kasar dan bersemangat, Ron menarik Deluminator dari sakunya dan mengkliknya, lampu di tenda mati semua.

"Keluarlah dari sana dan angkat tanganmu!" terdengar suara parau dari kegelapan. "Kami tahu kau ada di dalam! Ada setengah lusin tongkat sihir mengarah kepadamu dan kami tak peduli siapa yang akan kami kutuk!"

- Harry Potter dan Relikui Kematian

.

.

.

Hal pertama yang ia rasakan saat kesadarannya kembali adalah betapa dingin tanah tempatnya berbaring. Aroma daun-daun basah dan tanah yang lembab sehabis tersiram hujan sungguh menusuk penciumannya.

Hermione perlahan membuka matanya, melihat ke atas, ke pepohonan yang rapat. Tidak menyisakan sedikitpun celah untuk melihat langit malam yang gelap.

Gadis itu mencoba bangkit, beralih ke posisi duduk, dan melihat ke sekelilingnya.

"Demi Godric," Di sisi kanan kirinya ada tubuh-tubuh tergeletak tak bergerak, dada mereka tidak kembang kempis seperti saat paru-paru masih menghirup ataupun menghembuskan udara. Jelas terlihat bahwa mereka semua telah meninggal. Sebagian dalam posisi tertelungkup, namun ada pula yang telentang, dengan tatapan mata kosong seolah melihat kengerian yang luar biasa.

Mereka semua berjubah hitam malam, berperawakan tinggi besar. Sulit dipercaya ada orang yang mampu melumpuhkan gerombolan yang tampaknya tangguh itu.

Selusin.

Dua belas jenazah pria yang ia duga sebagai Pelahap Maut terbaring di segala penjuru, tak jauh dari tempatnya duduk. Hermione bergidik ngeri, mengingat peristiwa sebelum ia pingsan di tanah.

Harry, Ron, dan Hermione sedang mandengarkan siaran radio ketika Harry tidak sengaja menyebut nama Voldemort.

Kesalahan besar, karena secara langsung tenda mereka dikepung oleh anak buah setia Sang Pangeran Kegelapan. Trio Emas Gryffindor berusaha keras melarikan diri, menembus bagian belakang tenda tempat mereka bersembunyi, menerobos semak dan pepohonan hutan, mencoba menyelamatkan diri meski dari segi jumlah mereka kalah telak.

Beberapa Pelahap Maut bermunculan, membantu enam orang yang sebelumnya mengepung mereka. Hermione sempat menghitung cepat jumlah pengejarnya. Dua belas lawan tiga. Dua belas pasukan Voldemort lawan tiga remaja pelarian Hogwarts.

Harry, Ron, dan Hermione berlari serampangan ke segala arah. Mereka tetap terpisah meski sudah berusaha saling berdekatan.

Kutukan-kutukan berbahaya melintas di atas kepala, teriakan kasar dan marah terdengar mengancam nyawa.

Hermione nyaris menyerah saat dia rasakan tenaganya terkuras habis, oksigen di paru-parunya menipis. Pandangan matanya mendadak gelap, seolah ada bayangan yang tiba-tiba menyelubunginya. Saat itu, dia pikir salah satu mantra Pelahap Maut berhasil mengenainya.

Dia sangat beruntung karena kutukan yang mengenainya bukanlah Avadra Kedavra.

Tapi, apakah Harry dan Ron seberuntung dirinya?

"Harry! Ron!" Hermione berusaha berteriak, tapi suaranya begitu parau. Gadis itu mencoba berdiri, berpegangan pada batang pohon. Langkahnya tertatih, tubuhnya berusaha menahan dingin yang perlahan merambati kulit.

Kemana Harry dan Ron? Siapa yang mengalahkan para Pelahap Maut itu?

"Harry! Ron!"

Hermione berdoa, untuk keselamatan teman-temannya, berharap mereka baik-baik saja. Saat ini, hanya Harry dan Ron yang ia punya. Kedua orang tuanya hidup aman di Australia, sama sekali tidak mengingat bahwa Hermione ada. Jika gadis keturunan Muggle itu kehilangan kedua sahabatnya juga, entah dia bisa bertahan bertarung sendiri atau tidak…

Hermione baru berjalan seratus meter dari tempatnya semula ketika ia melihat sosok misterius di antara batang pepohonan. Sebuah siluet seorang pria yang berdiri dua ratus meter di depannya. Mereka berdiri berhadapan, satu menit berlalu sebelum akhirnya pria itu memutuskan untuk mengayunkan langkah, berjalan mendekati Hermione.

Secercah sinar bulan yang berhasil menembus rapatnya pohon, memberi pencahayaan yang cukup bagi Hermione untuk melihat wajah tirus di depannya.

Hermione tercekat, mengacungkan tongkatnya ke arah wajah yang sudah sangat dikenalnya. Wajah yang sebisa mungkin ia hindari selama lebih dari tujuh tahun.

"Kau!"

Tongkat dan kutukan siap, rasa dingin terlupakan saat seluruh tubuh Hermione terpicu adrenalin untuk melindungi diri.

"Paranoid sekali, Granger," Draco Malfoy berkata tenang, mengibaskan tangan kanannya malas-malasan. Tongkat yang digengam Hermione terjatuh begitu saja ke tanah, jauh dari jangkauannya.

"Kau tidak akan memerlukannya, bahaya sudah lewat," Seringai khas menghiasi bibir pucat Draco, sama sekali tidak memberi efek menenangkan.

Gadis bermata coklat di depan Draco masih tampak waspada, tidak mempercayai begitu saja pewaris Malfoy Manor itu.

"Mau apa kau, Malfoy? Mengejar kami untuk kau serahkan pada Tuanmu?" sindir Hermione tajam, tidak sedikitpun menampakkan ketakutan. "Dengan ataupun tanpa tongkat, aku masih bisa melawan!" Sejujurnya, Hermione tidak terlalu yakin, tapi darah Gryffindornya terus menuntut untuk bertindak dan berkata dengan berani.

"Granger, Granger, Granger…" Draco menggeleng-geleng prihatin, seolah ia adalah guru yang berhadapan dengan murid nakal, "Keras kepala dan galak. Kau tidak pernah berubah, ya?"

Hermione mendengus, Draco tersenyum kecil dan berkata pelan, "Tapi justru itulah yang membuatku suka padamu."

Mata coklat Nona-Tahu-Segala menyipit curiga, "Ap-apa?"

"Aku suka padamu, Granger. Kuharap kau tidak tuli, karena kalau ya, berarti aku harus mencari gadis lain."

Hermione tertawa hambar tanpa humor, "Kau gila, Draco Malfoy."

Draco Malfoy menyatakan perasaannya di tengah hutan yang gelap, dengan jenazah Pelahap Maut terbaring tak jauh dari tempat mereka berdiri dan saat dua sahabatnya menghilang?

Situasi sungguh gila dan sulit dipercaya.

"Ya, tertawa semaumu. Aku tahu perasaanmu juga sama."

"Tidak!" Aku tidak punya perasaan lain padamu selain benci!

"Ya!"

"Tidak!"

"Ya!"

"Tidak!" Tidak ada perasaan lain pada Ferret busuk ini kecuali benci! Ya, kan?

"Kau ingin kita bertengkar di tempat ini, Granger?" Draco menaikkan sebelah alisnya, "Sungguh?"

"Aku tidak punya masalah bertengkar denganmu di mana saja, Ferret!" Tangan Hermione sudah terkepal, bersiap-siap meninju Draco jika pemuda itu tiba-tiba menyerangnya.

"Aku yang menyelamatkanmu! Kau harusnya berterima kasih, Darah-lumpur!"

Hermione langsung terpaku, bingung dengan informasi yang didapatnya, "Apa maksudmu?"

Apakah ia salah dengar? Draco Malfoy menyelamatkannya? Dari kejaran dua belas orang yang lebih kuat? Oh, yang benar saja!

"Mereka mengejarmu, berniat mencelakakanmu. Aku harus membunuh mereka," Tidak ada penyesalan dalam suaranya, ekspresinya melunak saat menatap mata Hermione, "Aku hanya ingin melindungimu."

"Kau pikir aku percaya begitu saja?" kata Hermione ketus, yakin bahwa semua hanya bualan Draco. "Kau salah satu dari mereka, Pelahap Maut setia seperti ayah dan bibi kesayanganmu."

Tidak akan pernah mudah bagi Hermione untuk mempercayai siapapun dengan latar belakang sekelam keluarga Malfoy. Mempercayai keluarga berdarah-murni itu sama saja dengan mengumpankan diri ke mulut naga.

Hermione menyadari kelancangan kata-katanya. Gadis itu mengira Draco akan berteriak atau menyerangnya, tapi di luar dugaan, pemuda bermata kelabu itu hanya tersenyum sedih, melipat kedua lengannya di dada. Tanda bahwa ia tidak akan lagi memancing debat.

"Aku mengerti, Granger. Tapi untuk pertama dan mungkin terakhir kalinya, tolong percaya padaku."

Draco Malfoy menyerah? Apakah ini semacam keajaiban?

Hermione melonggarkan pertahanannya, mencoba berusaha berpikiran dingin.

"Tapi… Bagaimana caranya?" Kalaupun memang Draco yang menyelamatkannya, mengkhianati 'teman-temannya' sendiri, bagaimana pemuda itu menghadapi mereka seorang diri?

"Aku tidak bisa mengatakannya."

Herminone menarik nafas berat dan tersenyum mengejek, "Berarti kau bohong."

"Tentu saja tidak," Draco berkata dingin, "Aku cuma khawatir kau akan ketakutan jika aku memberitahu kejadian yang sebenarnya."

"Coba saja." Hermione memberi tatapan menantang.

Helaan nafas Draco yang berkabut di udara dingin, menunjukkan bahwa ia menyerah pada sifat Hermione yang keras kepala, "Baik. Akan kutunjukkan," Draco mendekatkan diri, "Kau tidak akan memukul, jika aku mendekat, kan?" Pemuda itu mengatur suaranya sedikit bergetar, pura-pura takut Hermione akan memukulnya telak seperti saat mereka kelas tiga.

"Huh?" Hermione berniat mundur, tapi tidak mampu bergerak sedikitpun. Draco meraih tangan kanan Hermione dengan tangan kirinya yang sedingin es. Hermione nyaris menjerit terkejut saat tangan kanan Draco yang sama dinginnya, beralih ke bagian belakang leher gadis itu. Seluruh tubuh Hermione, dari ujung kaki hingga ujung kepala seolah ditusuk oleh jarum-jarum es yang dingin dan tajam.

Posisi mereka saat ini sangat berdekatan, Hermione yakin Draco bisa mendengar denyut jantungnya yang serasa menggedor tulang iga.

Perlahan dan dengan sangat lembut, Draco menunduk dan menempelkan dahinya di dahi Hermione.

"Jangan takut..." bisik pemuda berdarah murni itu.

Meski Hermione menggigil kedinginan, namun perasaannya menjadi lebih tenang ketika mendengar suara Draco, menghirup wangi parfumnya yang khas...

Saat dahi mereka bersentuhan, seketika Hermione melihat kilasan-kilasan yang mengerikan, kejadian saat mereka diserang. Draco menghadapi para pengejar dengan cara yang tidak akan pernah ia bayangkan sebelumnya.

Ketenangannya semula, berubah menjadi ketakutan.

.

.

.

Hermione seakan menggunakan Pemutar Waktu, kembali ke beberapa jam sebelumnya.

Gadis itu melihat dirinya sendiri berlari kencang, sesekali hampir terjatuh karena tersandung batu dan akar pohon.

Di belakang Hermione, terlihat beberapa orang mengejarnya, diantara para pengejar ada yang melancarkan kutukan, tepat mengenai Hermione yang kemudian terjerembab ke tanah.

Seorang pria dengan wajah dipenuhi bulu dan kumis abu-abu gelap, serta bekas luka di sudut mulutnya, bergegas menghampiri Hermione yang lemah tak bergerak. Seringai gigi kecoklatan menambah seram wajah Fenrir Greyback yang buruk lupa.

"Oh, daging yang lembut untuk malam ini sepertinya..." geramnya penuh kemenangan, menyentuh pipi Hermione dengan telunjuk berkuku kuning panjang.

Greyback terlalu senang berhasil mendapatkan buruannya, hingga tidak menyadari situasi hutan saat itu.

Tidak merasakan perubahan yang terjadi begitu cepat.

Tiba-tiba keheningan merasuk. Terlalu hening, seolah seseorang menghentikan waktu hingga tidak terdengar aktifitas apapun seperti gemerisik dedaunan yang tertiup angin. Bahkan tidak terdengar suara jangkrik atau hewan malam lain yang biasanya ramai, seperti sebuah orkestra alam.

Suhu udara secara drastis berubah, dingin menyeruak begitu cepat. Jubah malam mereka tidak mampu menahan temperatur yang hampir mencapai titik nol.

Kabut tipis keluar dari mulut mereka saat mereka menghela nafas.

Greyback dan teman-temannya kedinginan, memeluk tubuh mereka sendiri agar lebih hangat. Namun tentu saja tidak berhasil.

"Apa yang-" Suara Greyback menghilang saat tiba-tiba tubuhnya terlempar ke tanah, seolah ada tangan tak kasat mata yang mengangkat dan menghempaskannya begitu saja.

Gerombolan Greyback mengalami hal yang sama. Tubuh-tubuh mereka terlempar ke segala arah, tak dapat bangkit membela diri karena tidak bisa melihat siapa penyerang sesungguhnya.

Teriakan Greyback dan sekutunya terdengar keras saat tubuh mereka seolah dicabik bayangan-bayangan hitam yang secara cepat menyelubungi sempurna, seperti halnya kepompong yang membungkus ulat.

Bayangan-bayangan hitam itu tidak berhenti saat korbannya melawan.

Suasana hutan mencekam karena dipenuhi suara teriakan ketakutan.

Tetapi suara-suara teriakan itu akhirnya terhenti saat gerombolan Greyback berhenti melawan, berhenti bernafas.

Bayangan hitam menghilang seperti asap, memperlihatkan tubuh tak berdaya dan wajah yang penuh kengerian.

Menatap kosong pada pepohonan. Mereka jelas telah mati meski tidak ada satupun luka yang terlihat.

Tak jauh dari lokasi 'pembunuhan', Draco Malfoy terlihat berdiri tenang. Kulit pucatnya masih sama seperti biasanya, tapi kedua matanya...

Hitam total, baik iris maupun bagian mata yang seharusnya putih, telah berubah seluruhnya. Menjadi sewarna jubah malamnya.

Mata Draco bukanlah mata manusia.

Matanya seperti iblis, begitupun senyum puas di bibirnya, ketika ia melangkah perlahan untuk memastikan korban-korbannya telah tewas.

.

.

.

Hermione bernafas berat saat Draco melepaskan koneksinya, mencoba mengatur denyut jantungnya yang terlampau cepat.

"Sungguh-" Hermione kesulitan mengungkapkan kata di ujung lidahnya.

"Menakutkan? Yeah…"

Hermione mengangguk gugup, mencoba berhenti mengingat mata hitam total dan senyum licik Draco, "Siapa kau sebenarnya?" Siapa atau lebih tepatnya, apa sebenarnya pria ini.

"Aku Draco Lucius Malfoy, Pangeran Slytherin yang digilai banyak gadis-"

"Kau tahu maksud pertanyaanku, jangan bercanda," kata Hermione serius.

"Ah, Granger... Selalu menuntut detail."

"Malfoy."

"Baiklah, akan aku jelaskan," Draco mengangkat tangan, menyerah. "Pernahkah kau membaca Sejarah Keluarga Malfoy?"

"Untuk apa aku membaca buku seperti itu?" Hermione berbohong. Dia pernah membaca buku seribu halaman itu. Gadis itu hanya ingin tahu asal usul Draco Malfoy dan keluarga Darah-murninya. Tidak lebih.

Sungguh.

Tapi tentu dia tidak akan membiarkan Draco berpuas diri.

"Apa kau tahu Legenda Brutus Malfoy?"

Hermione memutar otak, mencoba mengingat nama itu.

Brutus Malfoy, hidup di abad ke 17. Penggagas 'Warlock at War'. Dia kehilangan istri dan anak bungsunya yang meninggal secara mendadak, mengurung diri di ruang bawah tanah kediamannya yang mewah hingga ajal menjemput. Sebelum meninggal, dia pernah bersumpah akan mencari cara agar penerusnya dapat terus melindungi orang-orang yang mereka cintai. Keturunannya tidak boleh mengalami kehilangan yang sama seperti yang ia rasakan. Terbukti atau tidak sumpahnya, tidak ada seorang pun yang tahu. Ceritanya menjadi legenda patah hati seorang suami dan ayah yang kehilangan orang-orang yang dicintainya.

"Aku tahu legenda itu, tapi apa hubungannya dengan semua ini?"

"Brutus Malfoy berhasil, Granger. Dia berhasil menemukan ritual sihir rumit yang mewujudkan cita-citanya. Cucunya yang pertama terbukti memiliki kekuatan melebihi manusia biasa, begitupun generasi setelahnya. Mereka teranugerahi kemampuan sebagai Penguasa Bayangan, demi menolong orang-orang yang paling berarti dalam hidup mereka..."

"Kenapa kau menolongku, Malfoy? Bukankah dari dulu kau membenciku?"

"Aku pikir aku membencimu, Granger. Tapi, kehadiranku di tempat ini, menolongmu dari bahaya... Bukankah hal itu adalah bukti bahwa selama ini aku salah?"

"Kau benar-benar menyukaiku?"

"Ya. Aku menyukaimu... Tapi mungkin kau akan melupakan apa yang terjadi hari ini, begitu kau kembali pada Potter dan Weasley."

Mendengar nama Harry dan Ron membuat Hermione kembali teringat dua temannya itu, "Dimana teman-temanku? Kau tidak-" Hermione sesaat kembali merasa ngeri dengan pemuda di depannya. 'Merlin, benarkah dia Draco Malfoy yang selama ini aku kenal?'

"Tentu saja tidak. Mereka selamat, menunggumu untuk kembali." Draco tersenyum menenangkan, tampak berharap Hermione tidak takut padanya. Pada kekuatan Draco yang sebenarnya.

"Kembali?"

"Sekarang bangunlah, Hermione Granger, teman-temanmu menunggumu."

Hermione berjengit heran, "Tapi aku sudah bangun."

Draco menyeringai nakal, tampak menikmati kebingungan gadis di depannya, "Bangunlah, kembali ke duniamu dan teman-teman yang menyayangimu. Aku akan menjagamu, melindungi meski harus tinggal dalam bayangan."

"Aku tidak mengerti. Apa maksudmu, Malfoy?"

Draco mengacak rambut keriting Hermione, "Suatu saat nanti pasti kau akan paham."

Pemuda itu mundur beberapa langkah, "Jika kita bertemu lagi, tolong jangan ungkit hal ini, Granger. Janji?"

Hermione mengangguk singkat, namun masih tidak mengerti dengan apa yang baru saja ia alami.

Tiba-tiba sepasang sayap hitam besar merobek bagian pungung jubah hitam Draco Malfoy. Kedua sayap itu menyerupai sayap burung, terentang lebar, dan tampak kokoh di kedua sisi tubuh Seeker Slytherin itu.

"Trims," Draco berkata lirih, tersenyum untuk terakhir kali.

Hermione memandang takjub, tidak sempat berkata apapun saat Draco menjejak tanah dan kedua sayap hitamnya membawa pemuda itu terbang tinggi menembus pepohonan pinus, menghembuskan angin dan membuat daun-daun kering beterbangan.

Bersamaan dengan hilangnya Draco dari pandangan, Hermione merasakan ada yang menggenggam erat lengannya, mendengar ada yang memanggil namanya.

"Mione!" Hermione terbangun kaget, memandang ke arah Harry dan Ron yang tampak cemas.

"Kau tidak apa-apa? Kau terluka?" Ron berkata cepat, nafasnya terengah-engah seperti habis berlari.

"Aku tidak apa-apa. Apa yang terjadi?" Hermione memegangi pelipisnya, merasa tiba-tiba pusing. Ia masih bingung dengan hal yang baru saja terjadi, realita dan mimpi seperti hanya dipisahkan garis yang tipis.

"Pelahap maut dan beberapa anak buah Fenrir Greyback mengejar, kita terpisah. Semuanya tiba-tiba menjadi gelap, lalu saat kami terbangun, mereka sudah tewas." Harry menjelaskan, mengedikkan kepala ke tubuh-tubuh di sekitar mereka. Tangan Harry mengusap lembut bahu Hermione. "Maaf, aku menyebut nama kau-tahu-siapa, Mione." Ekspresi Seeker Gryffindor itu tampak penuh penyesalan.

"Tidak apa-apa, Harry. Kau tidak sengaja." Hermione berusaha menenangkan sahabatnya, mengalihkan rasa bersalah Harry.

Pandangan Hermione kemudian beralih ke jenazah di sekitarnya. Hermione menahan keinginan berteriak kaget karena hal yang semula ia anggap mimpi ternyata benar-benar terjadi. Pemandangan di depan Hermione sama persis seperti yang ia bayangkan, kecuali satu hal…

"Dimana Draco Malfoy?"

Harry dan Ron bertukar pandang bingung, "Hermione, kau benar tidak apa-apa?" Ron tiba-tiba menempelkan punggung tangannya di dahi Hermione. "Harry, sepertinya Hermione sedikit demam."

"Aku tidak demam atau berhalusinasi, Ronald," Hermione memutar bola matanya, jengkel.

"Mione, Draco Malfoy mungkin sedang berada di Malfoy Manor saat ini, berkumpul bersama teman-teman Pelahap Mautnya," kata Harry dengan suara pelan, terdengar sangat khawatir.

Gadis berambut coklat itu menggeleng, "Aku sungguh melihatnya tadi. Dia yang menolong kita malam ini."

"Mungkin kau hanya bermimpi, Hermione. Siapapun yang menolong kita malam ini, pasti bukan dia orangnya." kata Ron yakin.

"Tapi-"

"Mione, sudahlah. Yang terpenting kita pergi dari tempat ini sekarang juga, sebelum kita bertemu Pelahap Maut lain." Harry tampak waspada pada keadaan di sekitarnya, mempersiapkan diri jika ada bahaya lain.

Hermione ingin mendebat, yakin dengan apa yang dilihatnya tadi. Draco Malfoy dengan sayap merentang lebar, terbang menembus kegelapan malam…

Tapi dia terlampau lelah. Gadis itu hanya mengangguk dan menerima uluran tangan teman-temannya untuk berdiri.

Harry, Ron, dan Hermione berjalan cepat menuju tenda yang tadi mereka tinggalkan secara terburu-buru. Trio Emas Gryffindor itu bekerja sama membereskan tenda dan perlengkapan mereka untuk melanjutkan pelarian.

Hermione bekerja sambil melamun, membayangkan kilasan peristiwa yang ia alami. Dia sadar belum sempat mengucapkan terima kasih pada penolongnya yang misterius.

Harry dan Ron masih sibuk dengan pekerjaannya masing-masing, tidak menyadari bahwa Hermione telah pergi keluar tenda, kembali ke udara terbuka.

Gadis itu menutup matanya perlahan, membiarkan angin membelai lembut tubuhnya, dan berbisik lirih pada hutan yang sepi

"Terima kasih."

.

.

.

Ratusan mil dari hutan tempat Hermione dan teman-temannya membereskan tenda, Draco Malfoy terbangun di tempat tidurnya yang hangat di Malfoy Manor. Keringat dingin membasahi dahinya, seluruh tubuhnya gemetaran tak terkendali, dan nafasnya cepat seperti sedang berlari marathon.

.

.

.

To be continued...

.

A/N: Trims untuk Resha atas saran-sarannya:D (Ayo publish fic kamu juga, Sist:P)

Trims untuk Readers dan Reviewers (No flame, please:D)

Btw, FMN dan Runaway tetep bakal saia lanjut koq, hehe... Peace.