A/N:
Hai, minna-san!
Miyuki balik lagi dengan fic kedua. Dan kali ini, didorong oleh rasa penasaran dan gemes, aku mencoba membuat sesuatu yang lebih menantang, fic dengan rated-M *tiba2 aku merasa sangat berdosa* :p
Mungkin ide cerita ini sudah banyak diangkat oleh author-author lain, tapi jujur aja, 99% unsur di dalam fic ini berasal dari imajinasi dan mimpiku sendiri. Ya, mimpi. Aku dapet mimpi itu waktu SMP, dan mimpinya berlanjut sampai 4 episode. Serius. Bingung kan? Sama aku juga. Mimpi itu bikin aku takut, tapi di saat yang bersamaan juga bikin aku penasaran dan excited. Jadi, secara nggak langsung disini aku juga pengen share tentang mimpiku itu, dalam bentuk fic dengan beberapa pengubahan disana-sini.
Oh ya. Sedikit banyak, aku juga mengambil beberapa unsur dari film horor "Insidious". Readers ada yang tau film itu? Pokoknya pas aku nonton film itu, entah kenapa aku jadi keinget lagi sama mimpiku. Apalagi yang bagian 'rumah setan'-nya. Yang ada lilin-lilinnya itu. Sesuai banget sama bayanganku.
Yah, kayaknya aku udah terlalu banyak ngelantur. Happy reading aja deh. Semoga readers semua suka. Dan, jangan lupa, aku sangat mengharap review dari readers semua. *nyodorin kotak sumbangan* ^o^
Summary:
Hinata bisa merasakan seseorang mengawasinya, menunggunya dari suatu tempat di balik dunia ini. Di sebuah dunia dimana eksistensi kehidupan tidak dizinkan untuk berada.
Disclaimer: Masashi Kishimoto-sensei. Kalo Naruto punyaku, mungkin bentuknya udah jadi komik serial cantik. :p
Pairing: Sasuke – Hinata (aku agak nggak rela ngasih bocoran kalo ini Sasuke *digetok karena sok misterius*)
Rate: M *gigit bibir*
Genre: Romance/Supernatural
Warning: OOC (mungkin), miss typo di suatu tempat, AU, dan walaupun fic ini kupajang di M, tapi mungkin "bagian yang readers cari" belum akan muncul di chapter2 awal. Mungkin nanti, suatu saat nanti. *wink* *wink* *disembur kuah ramen*
Fallen : Before Time
by. Kazahana Miyuki
Gadis kecil itu turun dari gendongan ibunya saat ia melihat sebuah tempat yang sangat familiar baginya. Kaki-kaki kecilnya berlari menuju seorang pria yang mirip dengan ayahnya, yang sudah menunggu di depan pintu sebuah rumah. Pria itu menyambut si gadis kecil dengan senang, menggendong dan mencubit pipinya serta mengatakan betapa gadis kecil itu sudah bertumbuh sangat cepat dari yang terakhir ia lihat dua tahun yang lalu. Sepasang suami istri, yang juga merupakan orangtua dari si gadis kecil, berjalan menghampiri reuni yang manis itu. Ayah si gadis kecil mengusap kepala seorang bocah laki-laki tampan yang berambut sehalus sutera.
"Halo, Neji. Apa kabarmu?" tanyanya.
"Baik, Paman Hiashi!" jawab bocah laki-laki itu dengan penuh semangat.
Pria bernama Hiashi Hyuuga itu tersenyum, lalu mengalihkan pandangannya pada pria yang tengah menggendong putri pertamanya itu.
"Kau sendiri bagaimana, Hizashi? Masih suka menyuruh anakmu memanah?" ledek Hiashi.
Hizashi Hyuuga tertawa, lalu menurunkan gadis kecil itu dari gendongannya.
"Itu bukan menyuruh, tapi berlatih. Hidup di desa kecil seperti ini, kau harus mahir berburu untuk bisa makan." jawabnya.
"Ya, tapi jangan sampai kalian yang diburu." sahut Hiashi.
Hizashi tertawa lagi, lalu tatapannya mendarat pada perut istri Hiashi yang tengah membuncit.
"Wah, kita akan punya anggota baru?" seru Hizashi senang.
"Ya, mungkin sekitar tiga atau empat minggu lagi." jawab Hiashi dengan kegembiraan yang sama.
"Perempuan atau laki-laki?" tanya Hizashi.
"Menurut dokter, sepertinya perempuan lagi. Tapi, apapun jenis kelaminnya, kami sama sekali tidak mempermasalahkannya. Yang penting dia lahir sehat."
Sementara kedua orangtuanya asyik mengobrol, gadis kecil tadi, setelah mendaratkan kakinya di tanah, dengan antusias langsung menghampiri sepupunya.
"Neji!" seru gadis kecil itu.
"Hei, Hinata! Kau mau bermain dengan ayunan baruku?" tanya Neji Hyuuga pada gadis kecil itu.
"Kau punya ayunan?" tanya gadis kecil bernama Hinata Hyuuga itu.
"Tentu saja! Aku sendiri yang membuatnya loh! Tapi Ayah yang membantuku memasangkannya di pohon. Aku belum sampai." jawab Neji.
Mereka berdua berjalan menuju sebuah pohon besar yang tak jauh letaknya di pekarangan depan rumah Neji. Di salah satu dahan pohon yang menjorok ke luar, ada sebuah ayunan yang digantung dengan tali tambang. Ayunan itu tidak terlalu besar, malah sebenarnya hanya bisa dimainkan oleh satu orang. Potongan kayu untuk tempat duduknya pun tidak terlalu rata. Tapi Hinata sangat senang melihat mainan itu. Karena di kota, Hinata tidak pernah mempunyai waktu untuk bermain. Ia lebih sering menggunakan sebagian besar waktunya untuk belajar dan les disana-sini.
Kedua bocah itu bergantian memainkan ayunan kayu sederhana tersebut. Keceriaan terpancar jelas di wajah mereka berdua. Sampai kemudian, sebuah suara memanggil mereka.
"Neji! Hinata! Sudah senja! Ayo kita masuk!" panggil Hizashi.
Kedua bocah itu langsung mematuhi panggilan pria itu. Mereka bergegas berlari menuju rumah, bahkan mereka sempat membuat perlombaan kecil saat berlari. Hizashi kemudian menyambut kedua anak itu lalu menggandeng mereka di masing-masing tangannya. Ia menuntun keduanya ke dalam rumah, bersiap menyambut malam.
oOo
Setelah makan malam berupa daging panggang yang lezat, dan sedikit menonton acara kuis dari TV tua milik Hizashi, serta dongeng pengantar tidur tentang seorang gadis kecil yang sangat suka mengenakan jubah merah, kini sudah waktunya bagi Hinata untuk tidur.
Hiashi menarik selimut untuk menutupi tubuh mungil Hinata sampai sebatas bahu. Ia mengecup kening halus Hinata, lalu mengucapkan selamat tidur padanya.
Segera setelah ayahnya mematikan lampu dan keluar sambil menutup pintu, Hinata merasa mendadak ruangan itu terasa lebih dingin dari sebelumnya. Mata ungu pucat gadis kecil itu tetap terbuka selama beberapa jam. Tidak biasanya ia seperti ini. Ia sudah beberapa kali menginap di rumah pamannya, tapi baru kali ini ia merasa tidak nyaman. Hinata melirik jam dinding dan waktu telah menunjukkan pukul 2 malam. Hinata yakin semua orang pasti sudah terlelap di kamar mereka masing-masing. Paman Hizashi dengan Neji di kamar di lantai bawah dan orangtua Hinata di kamar di sampingnya. Hinata bahkan samar-samar dapat mendengar suara dengkuran halus ayahnya dari balik dinding.
Namun, entahlah...
Hinata merasa ada seseorang yang tidak tidur di rumah itu.
Didorong oleh rasa penasaran dan ketidaknyamanannya, Hinata mendorong selimut agar menjauh dari tubuhnya. Ia mengangkat tubuhnya sampai terduduk, lalu menatap pintu kamar. Entah kenapa, Hinata merasa di luar kamarnya, sudah ada seseorang yang menunggu. Gadis kecil berkulit pucat itu kemudian menyeret kakinya untuk turun dari tempat tidur. Perlahan, ia berjalan ke arah pintu. Tangan mungilnya terangkat, menggenggam kenop pintu. Hinata memutar kenop tersebut, kemudian membuka pintu itu sedikit. Pintu kayu itu berderit pelan saat Hinata menariknya. Hinata mengintip dari celah yang ia buat. Koridor di depan kamarnya kosong melompong dan gelap. Satu-satunya penerang hanyalah cahaya bulan yang menerobos masuk dari sebuah jendela di ujung koridor sana, di dekat tangga.
Hinata menarik pintu sehingga membuat ruang yang lebih lebar agar dia bisa lewat. Hinata berdiri di tengah koridor. Gadis kecil berambut lurus itu berjalan menyusuri koridor menuju tangga. Sesampainya disana, Hinata mengintip ke bawah. Di bawah sana begitu gelap. Hinata ragu sejenak. Apa dia benar-benar yakin mau turun ke bawah sana?
Sebuah suara terdengar di telinganya. Hinata sempat terkejut sejenak, lalu menoleh kesana kemari hanya untuk menemukan bahwa dirinya masih sendirian. Suara itu terdengar samar-samar dan begitu jauh, tapi anehnya Hinata bisa merasa suara itu seperti memanggil-manggilnya. Memintanya untuk menuruni tangga. Setelah menelan ludahnya untuk menyingkirkan rasa gugup, gadis kecil itu melangkahkan kakinya ke anak tangga pertama.
Begitu sampai di lantai bawah, Hinata tetap bertemu dengan kegelapan. Walaupun cahaya bulan terasa sedikit lebih banyak di sana.
Mendadak, tanpa Hinata sadari, seolah ada semacam kekuatan yang menariknya, Hinata berjalan perlahan ke dapur. Di salah satu sudut ruangan dapur, ada sebuah koridor sempit yang menuju ke gudang. Paman Hizashi selalu melarangnya bermain kesana, karena katanya disanalah tempat pamannya biasa menyimpan benda-benda tajam dan berbahaya. Hinata merasa ketakutan dan bersalah karena sekarang ia tengah melanggar larangan itu.
Setelah melewati koridor sempit yang hanya bisa dilewati oleh satu orang dewasa itu, Hinata langsung menemukan sebuah pintu. Hinata membuka pintu kayu yang sudah lapuk tersebut, kemudian takjub setelah melihat apa yang ada di baliknya.
Walaupun masih anak-anak, Hinata yakin seratus persen kalau tempat ini bukanlah gudang. Ruangan itu memang tidak terlalu besar, malah sebenarnya tidak lebih luas dari kamar yang ia tempati di rumah ini. Tapi ruangan itu kosong. Tidak ada jendela—hanya ada ventilasi kecil di salah satu sudut sebagai penerangan, tidak ada barang usang atau rongsokan lain yang tersimpan seperti yang seharusnya ditemukan di dalam gudang pada umumnya.
Namun di salah satu sisi ruangan, ada sebuah lemari kayu besar. Lemari itu memiliki ukiran yang aneh, dan terkesan sedikit menyeramkan. Di kanan dan kiri lemari itu, masing-masing ada sebuah lilin yang menyala, jadi cukup terang bagi Hinata untuk melihat bahwa pintu lemari itu tengah berderit terbuka.
Ya, lemari itu terbuka.
Jantung Hinata berdegup kencang. Ada apa ini sebenarnya? Ada siapa di dalam sana? Apakah Neji? Atau Paman Hizashi?
Hinata dapat merasakan nafasnya terhenti sejenak saat jari-jemari yang panjang dan pucat muncul dari balik kegelapan di belakang lemari itu. Hinata hampir menjerit saat tiba-tiba...
"Hinata?" sebuah suara yang familiar bagi Hinata memanggil namanya.
Hinata menoleh dan mendapati pamannya tengah berdiri di ambang pintu 'gudang' sambil membawa senter. Wajah pria itu terlihat khawatir. Namun kekhawatiran itu terlihat terlalu berlebihan untuk ukuran seseorang yang menemukan keponakannya tengah bermain di ruangan terlarang di rumahnya pada tengah malam seperti itu. Tidak. Kekhawatiran itu terlihat seperti seseorang yang menemukan keponakannya tengah berhadapan dengan seekor singa dan hampir diterkam olehnya.
"Apa yang kau lakukan disini?" tanya Hizashi.
Hinata mengalihkan pandangannya dari pamannya dan menoleh kembali ke arah lemari itu. Hinata tercekat saat mengetahui bahwa lemari besar itu sudah tidak ada, begitupun dengan kedua lilin di samping lemari tersebut. Kemana perginya?
"Ta-tadi.." Hinata mencoba bersuara, namun ia sendiri bingung pada apa yang harus dikatakan.
Hizashi mencoba menyingkirkan ekspresi ketakutannya, lalu tanpa berkata apapun ia meraih Hinata ke dalam gendongannya. Pria itu membawa Hinata kembali ke kamarnya dan merebahkan Hinata kembali ke atas tempat tidur. Hizashi mengusap kening Hinata.
Sebelum Hizashi sempat mengucapkan sesuatu, Hinata sudah lebih dulu bersuara, "Maaf ya, Paman."
Hizashi tersenyum. "Tidak apa-apa. Tapi untuk selanjutnya, kau harus berjanji padaku untuk tidak mengulanginya."
Hinata mengangguk. Setelah pamannya meninggalkannya, Hinata kembali berbaring dengan mata terbuka. Namun tidak lama, Hinata memutuskan untuk memejamkan matanya dan tertidur.
oOo
"Jangan dia, Pangeran. Saya mohon."
Pria itu berlutut di depan sebuah singgasana yang besar dan mewah, yang terbuat dari beludru berwarna merah darah dengan tepian berukir yang terbuat dari kayu dan berwarna hitam. Seorang pria lain yang lebih muda duduk di atas singgasana itu, menatap angkuh dengan matanya yang sekelam malam. Wajahnya yang setampan dewa tampak tidak suka dengan permohonan pria yang tengah menundukkan kepalanya di bawah kakinya itu.
"Kenapa?" tanya pria tampan itu. Tangannya mengepal erat karena kesal. Ia memang mudah marah.
"Karena dia masih sedarah dengan saya, Pangeran. Bukankah Anda sendiri yang mengutuk seluruh keturunan perempuan saya?" sahut pria itu dengan suara yang gemetar.
Alis sang pangeran mengkerut. Diam-diam ia setuju dengan perkataan pria itu. Ia hampir saja menuruti permohonan pria tua itu, tapi kemudian sebuah gambaran di kepalanya membuat senyuman tipis hadir di wajahnya.
"Apa kau sudah tahu, jika seseorang meminum darahku, maka ia akan mencapai keabadian?" tanya sang pangeran.
Pria itu mengangkat kepalanya sejenak dan menatap sang pangeran dengan tatapan bingung. Ia lalu mengangguk dan kembali merendahkan kepalanya.
"Aku akan membuat dia meminum darahku." Pangeran itu melanjutkan perkataannya, disambut dengan mata terbelalak dari pria di hadapannya.
Sebelum pria itu sempat mengucapkan sesuatu, pangeran itu meneruskan, "Aku akan memberinya kesempatan untuk menghabiskan waktunya di dunia itu. Aku tidak akan mengambilnya sekarang. Tapi nanti, setahun sebelum hari kematiannya. Dan di hari itu, kau tidak akan bisa mencegahku. Tak seorang pun bisa.
"Dan perlu kau ketahui juga, aku tidak berencana untuk membawa jiwanya saja." Mata sang pangeran tampak berkilat-kilat penuh arti. "Tapi juga tubuhnya."
"J-jangan, Pangeran. Sa.."
"Keputusanku sudah bulat." Sang pangeran memotong perkataan pria itu. "Sudah kubilang, kau tidak akan bisa mencegahku. Bukankah aku sudah cukup berbaik hati memberikan waktu untuk keluarganya selama sepuluh tahun ke depan?"
Pria itu tidak menjawab. Sang pangeran tampak sangat puas melihat tubuh pria itu gemetar karena ketakutan dan kekhawatiran.
"Aku menginginkannya, Hizashi." Sang pangeran berkata dengan ekspresi wajah yang tidak dapat ditebak. "Itu artinya, dia milikku."
To Be Continued..
A/N:
Nah kan? Nah kan? Belum ada apa-apanya kan?
Sabar ya, readers. Aku juga pengen cepet2 sampe bagian itu. *ketawa mesum* *digaruk*
Jadi gimana? Udah ketebak belum jalan ceritanya kayak apa? Pasti udah. Aku nggak jago bikin orang penasaran sih. *pundung*
Maaf banget ya, soalnya chapter ini pendek banget. Maklumlah, masih awal2. Tapi aku usahain chapter depan bakal lebih panjang. Doakan aku ya! *benteng takeshi style*
Yosh, kayaknya readers bakal capek juga ngebaca cas cis cus dariku, jadi kalo nggak keberatan, setelah baca, tolong tepok balon bertuliskan 'review' di bawah itu ya, readers. Oke? Oke?
Akhir kata, arigatou gozaimaaaaaaaaaasu! ^o^
