HEARTBREAKER
.
Hinata pergi dari hidupku. Sudah lama sekali, sudah lama sekali. Ia tak pernah lagi menghubungiku, memberiku kabar, membagi informasi tentangnya... secuil pun tidak. Begitukah? Sesakit itukah hatimu saat aku mengkhianatimu dulu, hei Hinata?
Tak pernah kusangka aku akan hancur hingga berkeping-keping. Hanya karena kehilangan Hinata, aku tidak sanggup lagi menjalani hariku sebagai manusia normal. Aku bagaikan mayat hidup sekarang. Gadis yang katanya mencintaiku, kini pergi entah ke mana. Brengsek. Aku brengsek karena mengkhianatinya, namun dia juga brengsek karena meninggalkanku.
Aku tanpanya, bukan apa-apa...
Aku hanya abu.
"You talk me to be careful with your heart... your heart..."
Kusambar sebatang rokok yang menganggur di atas nakas, menyalakannya, lalu menyesapnya nikmat. Mataku memandang ke luar jendela, mengamati birunya langit hari ini yang rupanya didukung juga dengan awan tipis. Bagus. Bahkan cuaca pun turut mengejekku yang semenjak kepergian Hinata... aku tidak bisa lagi melakukan apa-apa.
Hinata itu kakiku. Tanpanya aku lumpuh.
Kasur yang aku duduki saat ini adalah kasur tempat aku dan Hinata bercinta. Tiap hari, aku senantiasa membisikkan kata cinta untuknya. Menggodanya dengan rayuan maut. Mendesahkan namanya mesra. Mencumbunya...
Memang salahku, memalingkan hasratku darinya dan memilih wanita lain. Tapi semua itu kurasa karena aku bosan. Aku pikir akan menyenangkan bermain-main dengan perempuan selain Hinata, namun ternyata aku salah. Hinata mengetahui pengkhianatanku sekali, dan langsung memutuskan untuk meninggalkanku.
Pengkhianatan yang pertama dan terakhir...
Asap rokok mengepul di depan wajahku. Terasa perih ketika akhirnya gumpalan kabut tipis itu menyusup ke sela-sela mataku. Tidak tahu berapa kali sudah aku menangisi kepergian Hinata. Wanita itu benar-benar membuatku kacau. Sedikit lagi rasa frustasi datang, maka aku akan gila.
Erangan-erangan erotisnya masih mengiang indah di kedua telingaku. Mimiknya kala ia mencapai puncak, lengkungan punggungnya yang menggairahkan, oh! Aku juga masih bisa mendengar suara halusnya saat menyebut namaku.
Memori mengenai Hinata tak pernah bisa lepas dari benakku. Kekasihku, yang aku temui ketika kami sama-sama masih mengenakan seragam putih abu-abu... Gadis dengan sejuta penggemar pria yang menjatuhkan hati dan raganya kepadaku, si bodoh onar, badut sekolah.
Uzumaki Naruto, si pembuat ulah.
"That girl my heartbreaker..."
Hinata begitu polos dulu. Pipinya yang kemerah-merahan membuat banyak orang iri, terutama perempuan karena tanpa blush-on pun, Hinata sudah tampak cantik. Ya, aku ingat jelas. Pertama kali aku memandangnya, serasa ada beribu-ribu bunga yang tumbuh di sekelilingku. Aroma tubuhnya sangat menentramkan hati. Kalau tidak salah dia pernah bilang itu wangi lavender.
Kami memulai hubungan ketika sudah duduk di bangku kelas duabelas. Aku sering mengajak Hinata membolos, menularkan hal-hal tak baik yang kau-tahu seorang Hinata tak akan tampak akan melakukannya. Ciuman pertama kami tercipta di balik rindangnya pohon stroberi di taman sekolah. Di sana, aku benar-benar menikmati bibirnya, kalian tahu.
Aku ingat saat kupetikkan sebuah stroberi untuknya. Sebelum memberikannya, aku sempatkan mengulum buah itu penuh -membasahinya dengan liur- lalu memaksa Hinata menelannya sekali hingga habis.
Di lain waktu, aku pernah melumuri muka Hinata menggunakan telur mentah. Hal itu membuatku punya kesempatan untuk menjilat mukanya secara puas, sebab kombinasi cairan putih dan kuning telur mengakibatkan wajahnya licin. Sangat menyenangkan.
Ketika kami lulus SMA, aku mulai berani menggaulinya. Kejadian ini terus berlanjut hingga sekarang. Maksudku, sekarang... sebelum dia pergi meninggalkanku. Adalah lebih buruk daripada kotoran ayam kondisiku saat ini setelah Hinata pergi.
Bahkan cicak mati pun lebih baik.
Tak 'kan ada lagi yang bisa memperbaiki hidupku. Dari kecil tidak punya orang tua, sudah besar pun dicampakkan kekasih. Apa yang harus aku lakukan?
"Hinata, aku sangat mencintaimu. Sangat mencintaimu..."
Ya, benar. Aku sangat mencintainya. Tanpanya, mungkin aku hanya harus menunggu mati...
