Kami berjanji untuk bertemu di depan sekolah Yunho pukul 10. Aku membawa kendaraan sendiri, begitu juga dengan dirinya. Rencananya hari Minggu ini kami akan datang ke acara Japan festival di Anhim High School. Biasanya aku dan Yunho berangkat dengan satu kendaraan. Namun hari ini entah rasanya ingin membawa kendaraan sendiri.

Setelah sampai aku segera melihat layar hape, mengirim pesan singkat padanya,

'Yaa, kau dimana? I arrived'

10 menit...

Pesan darinya tak kunjung kudapatkan.

5 menit kemudian aku log in di salah satu jejaring sosial dan mengirim mention kepadanya.

15 menit kemudian kesabaranku habis dan tak ada toleransi. Kuputuskan untuk berangkat sendiri ke Anhim High School.

Aku sadar aku buta arah dan payah dalam urusan mengingat jalan-jalan, bahkan di kotaku sendiri. Berbekal percaya diri, aku bertanya pada salah satu pejalan kaki dimana letak Anhim School, tempat diselenggarakannya J-fest itu.

"Geu namja...hhh, michin nom! (laki-laki itu...manusia menyebalkan)", sambil terus memacu kendaraan, aku mengumpat Yunho. Hari Minggu di musim semi kali ini matahari bersinar sanagat terik. Hampir gila rasanya tersiram cahaya matahari yang panas ini.

Bodohnya aku yang sudah tahu payah akan jalanan, dan malah nekat untuk berkendara sendiri. Beginilah hasilnya, akhirnya aku berhenti di pinggir jalan, menunggu Yunho. Setidaknya dia akan lewat sini.

'Jinagabeorin eorin shijeoren

Punseoneul tago naraganeun yeppeun kkeumdo kkeuoetji

Narang pungseoni

Haneureul nalmyeon

Nae maeumedo

Areumdaeun gieokdeuri saenggakna'

Dengan tergesa kurogoh saku celana. Mungkin Yunho, batinku.

Dan benar saja,

"Yaaa! Kau dimana?", ujarku sewot mengusap peluh yang seskali mengaliri pelipisku.

"..."

"Ngg...?"

"..."

"Baiklah, kutunggu kau secepatnya! Baka!", sedikit bersalah, ternyata Yunho harus megantar eommanya dulu ke salon. Dasar anak berbakti! Umpatku dalam hati. Tidak, aku tidak membencinya, hanya saja mengingat betapa dia begitu berbakti kepada orang tua akau jadi malu sendiri. Aku tidak seberbakti dia.

Menunggu Yunho, aku menyandarkan daguku pada stang motor. Sesekali melirik pada cermin, mengawasi Yunho yang datang dari arah belakang.

Beberapa kendaraan lewat dan dia belum muncul. Aku yakin dia pakai jaket hitam, pikirku.

Dan...tebakanku benar.

"Jae-ah, gomen na",

"Heeung..."

"Jya~"

"Kau tunggu apa Yunho?", mesin motor kuhidupkan, dan ia tetap diam.

"Kau duluan saja Jae", ujarnya.

"Bakayo...kalau aku tahu jalannya aku tak mungkin janjian berangkat denganmu"

"Jadi selama ini kita berteman tugasku hanya sebagai penunjuk jalan?", Yunho melipat tangan di depan dadanya.

"He-eh...tidak...tapi kan kau master dalam hal ini...ayolah, cepat jalan, panas sekali di sini", ujarku memohon.

"Baiklah..."

.

.

.

.

.

.

.

.

"Sepedanya tidak usah dikunci setir, dan ini karcisnya", seorang ahjusshi yang memakai rompi kuning menghampiri kami yang tengah memarkirkan sepeda.

Kusambut uluran ahjusshi itu, mengambil dua karcis sekaligus. Untukku dan Yunho.

Kami berjalan berdampingan keluar dari tempat parkir hingga pintu masuk lapangan yang digunakan sebagai festival.

"Jae, kau punya tiket?", Yunho berbisik kepadaku. Kami berhenti sebentar mengamati sekeliling. Aku sama sekali tidak tahu bahwa kami harus punya tiket untuk masuk ke dalam are festival.

"Kau coba tanya saja pada agasshi di sana", menunjuk pada sebuah meja panjang yang dipayungi oleh terop berukuran sedang.

"Kau sajalah...kau kan punya rasa percaya diri yang tinggi", Yunho mendorongku mendekati meja panjang itu.

"Shirheo Yun! Kau kan lebih tua dariku, nan an ga! (aku tidak mau pergi)"

"Kalau begitu kita tidak jadi masuk"

"Wae?..."

"Tidak ada yang beli tiket"

"Kenapa bukan kau saja? Huh!"

"Aku malu..."

"Geurae geurae! (baiklah), jamkamman", sambil menghentak kaki aku berjalan ke meja panjang itu, memasang wajah dengan senyuman, berbeda ketika berdebat dengan Yunho tadi.

.

.

.

.

.

"Agasshi, dimana kami dpat membeli tiket?", tanyaku.

"Di sini...mau beli berapa?", tanya agasshi dengan yukata merah muda. Ah, dia lumayan manis.

"Dua"

"Hai, ini, semuanya 20.000 won", katanya sambil tersenyum.

"Mm...sebentar agasshi, ini 10.000 aku panggil temanku. Sebentar",

Kuhampiri Yunho yang berdiri tak jauh dariku.

"Yun, 10.000", kutadahkan tangan didepan wajahnya. Salah sendiri dia begitu tinggi, dasar gigantisme! Rutukku.

Banyak yang mengira kami kakak adik. Jarak ketinggian tubuhku dan tubuhnya memang agak jauh, padhal kami berada di tingkat sekolah yang sama.

"Kau seperti istri yang meminta uang belanja saja, ini". Selembaran 10.000 won berpindah tangan dari dompet Yunho ke genggamanku.

"Yang benar saja, kau yang akan menjadi istri!", sungkutku sebal.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Suasananya lumayan menyenangkan. Terdapat beberapa cosplay yang berseliweran. Sebenarnya aku membawa kamre digital di tas selempang. Namun entah, rasanya malas. Faktor cuaca yang tidak mendukung.

Kami berjalan dari satu ujung ke ujung yang lain. Area festival berbentuk memanjang dengan satu jalur. Di kanan kiri sepanjang jalan yang kami lewati terdapat banyak stan seperti foto yukata, japanese food, dan lain-lain.

Inginnya sih foto memakai pakaian tradisional Jepang, namun setelah kulihat-lihat tak ada display hakama (pakaian tradisional laki-laki jepang).

Aku dan Yunho sempat terhenti pada sebuah stan yang didekorasi seperti chanouyu (tempat upacara minum teh). Ingin mencoba, namun harus bayar.

Hah~ Jae baka! Dimana-mana kalau pergi ke festival harus membawa uang banyak. Dan kini di sakuku hanya tinggal 10.000 won. Aku tidak mnegira bahwa festival kali ini ada HTM-nya.

Kami terus berjalan beriringan, begitu dekat. Entah, aku tak menyadari kapan tangan kami saling bertautan. Aku sih adem-ayem saja.

Ini sudah biasa. Kami beteman sudah jalan hampir 5 tahun sejak di bangku junior high school. Senang saja rasanya digandeng seperti ini.

Berkali-kali kuayunkan tanganku sebagai tanda rasa senang. Berkali-kali pula tautan tangan kami terlepas. Namun secepat itu pula Yunho kembali menggenggam tanganku.

"Jaejoong! Bisa tidak tanganmu berhenti bergerak? Gunakan tangan kiri saja. Aku capek menangkap tanganmu terus", Yunho menghardikku pelan, dan sukses membuatku tertunduk.

"Wakarimasu...(mengerti)"

Yunho tidak seaktif diriku yang berkali-kali singgah di beberapa stan yang menarik. Ia hanya mengikuti kemana tanganku pergi. Salah sendiri menggenggam tanganku.

Tapi toh sebenarnya aku senang juga. Seperti mempunyai seorang kakak.

"Huh~ panas sekali udaranya", kami berhenti di salah satu stan yang menyediakan ocha (teh Jepang) dingin. Aku hanya membeli segelas ocha, dan Yunho membeli sebotol ocha berukuran tanggung.

Yeah~ Yunho memang anak orang kaya. Kemana-mana selalu dengan uang banyak di dompetnya. Jika tidak bawa uang berarti dia membawa kartu kredit. Dan isinya sama saja. Rekening bank yang berisi uang.

"Ya...memang sangat panas"

"Benar firasatku membawa topi", ujarnya sambil mengluarkan sebuah topi polos berwarna hitam. Meski polos tapi terlihat keren. Entah apa merknya, kuyakin berasal dari mall-mall mahal itu.

Bukan, aku bukan anak orang miskin. Hanya kami sederhana. Tidak kekurangan, sedikit kelebihan sih, tapi tidak sekelebihan Yunho.

Orang tuanya memang bekerja di bea cukai. Pantas saja gajinya besar. Sedang aku? Kedua orang tuaku adalah pegawai negeri dengan penghasilan standar. Tak ada yang kusesali, karena seringkali aku mendapat cipratan dari Yunho, hahahahaha.

"Jae, dou desuka? (bagaimana)"

"Ha?"

"Boushi (topi). Dou ka?", tanya Yunho.

"Hito wa...eeung! Boushi o kabutte imasu! Hansamu naa...(orang itu...ya! yang memakai topi! Tampan sekali ya?)", aku menoleh ke arah kanan. Mendapati beberapa onna (wanita) berpakaian yukata melirik pada Yunho. Mereka berjalan sambil berbisik dan tertawa kecil. Aku mendengus.

"Kau dengar sendiri. Hansamu naaa...", ujarku sewot. Menekankan kata 'hansamu' seperti para onna yang melintas tadi, bergaya sok imut.

"Haha. Jangan iri, kirei hito... (hito = orang)". Yunho tergelak puas, mengejekku dengan memakai kata 'kirei' yang artinya cantik.

"Yunho aho! (bodoh"

"Jaejoong! Aish~"

"Urusai...(cerewet)", ujarku meleletkan lidah dan segera beranjak dari stan ocha tersebut.

"Hei, tunggu...kau marah padaku?"

"Molla..."

"Jae..."

"Molla..."

"Mianhae..."

"Molla"

"Kim!"

"Molla molla mollaaaaaaaa"

Dasar menyebalkan! Aku memasukkan kedua tangan pada saku jaket yang kugunakan. Ah~ pabonya diriku. Dalaman yang kugunakan memang hanya kaos tipis, namun jaket ini begitu tebal. Maunya kulepas saja, namun,

"Jangan dilepas...kaosmu terlalu tipis". Yunho yang entah sejak kapan berdiri di sebelahku menaruh telapak tangan lebarnya di puncak kepalaku.

"Panas Yun..."

"Akan lebih panas jika kau lepas. Toh kaosmu lengan pendek"

'Pluk!'

Yunho menyampirkan topi yang ia gunakan di kepalaku.

"Pakai itu saja"

"Tidak usah, aku pasang hoodie saja". Kasihan juga melihat dia yang kepanasan. Jaketku yang memang ada hoodienya kini kukenakan. Ugh, tidak nyaman sekali berkeringat seperti ini.

"Lebih baik berkeringat daripada kulitmu terkena sinar matahari", Yunho mengenakan kembali topi yang kusodorkan.

.

.

.

.

.

"Hey, bukankah itu Taehun? Jya!". Yunho menarik tanganku kembali, aku pasrah. Sial, cuaca panas benar-benar membuatku kehilangan banyak energi.

Kami terus berjalan cepat menyibak kerumunan. Tangannya semain erat menggenggam pergelangan tanganku.

Deg...

Desiran itu begitu halus...hingga aku tak menyadarinya...

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Seorang lelaki dengan rambut merah menyala (tentunya hanya wig) dengan rompi hitam dan dalaman ber hoodie abu-abu tersenyum melihat kedatangan kami. Di tangan kanannya menenteng sebuah pistol mainan, pelengkap karakter yang ia cosplay-kan. Entah, aku tak paham soal begini.

"Yun-chan! Ohisashiburi desune...(lama tak berjumpa)", senyumnya ramah tak lepas dari wajah berkulit putih itu, ia menepuk-nepuk bahu Yunho kemudian memeluknya erat.

"Tae-kun! Hai! Ogenki desuka? (iya! Bagaimana kabarmu?)", jawab Yunho. Mereka mengobrol akrab sekali.

"Arigatou, genki desu. Anata mo? (terimakasih. Saya baik, kamu juga?)"

"Ne, haha. Taehun-ah, berhenti memanggilku Yun-chan...kita sudah remaja sekarang"

"Haha, baiklah...lalu siapa kirei hito ini? Anata no uke ka?", Taehun mengalihkan pandangan pada Jaejoong yang malah asyik memperhatikan band yang sedang tampil membawakan lagu dari Hey! Say! Jump!.

"Iie, hito wa...boku no tomodachi (bukan, orang ini...temanku)", jawab Yunho.

"Hey, anata no namae wa nan desuka? (siapa namamu?)", Jae menolehkan pandangannya pada Taehun. Jadi ia sudah disadari kehadirannya?.

"Jaejoong. Kim Jaejoong desu", ujarku sambil membungkukkan badan sedikit, tata krama.

"Ah sou (oh begitu). Hey, anata wa Yunho-kun no uke ka?", Taehun menatapku penuh selidik. Apa yang ia bicarakan?

"Gomen...aku tidak selancar Yunho dalam Nihon-go (bahasa Jepang)", Jaejoong membungkukkan badannya sekali lagi. Ia menatap Yunho dengan pandangan 'Apa yang ia bicarakan?'

"Apa kau uke ku? Itu yang ia tanyakan", Yunho membisikkan kata-kata itu di telinga Jaejoong. Jaejoong otomatis melotot.

"Yaaaa! What do you mean? Jerk"

"J-Jae! Kau mau kemana? Aish...Tae-kun, kau membuatnya kesal", menghela nafas, Yunho menyenderkan punggungnya pada salah satu tiang di dekatnya. Ia yakin sebentar lagi Jaejoong akan kembali. Dilihat manusia berpostur lebih pendek darinya dengan jaket biru itu menjauh ke arah stan pin.

"Gomen (maaf). Lagipula kalian bergandengan tangan seperti itu...siapa yang tidak menyangka kalian pasangan? Haha, romantika di tengah cuaca panas", Tae-kun tergelak puas melihat raut wajah Yunho yang memerah.

"Tidak, kami bersahabat sejak lama...sejak di bangku junior high school. Dia sudah kuanggap sebagai saudara sendiri. Lagipula aku masih menyukai wanita. Ah, kau pasti belum tahu...sekarang ini aku sedang pendekatan dengan kakak kelas di klub teater sekolah. Doakan saja...", jelas Yunho panjang lebar.

"Jaejoongie juga normal. Dia menyukai anak kelas percepatan di sekolahnya. Kasihan sekali...anak itu akan lulus tahun ini, padahal kami masih ada satu tahun lagi di high school. Haha", tambah Yunho.

"Jadi kalian beda sekolah?", tanya Taehun.

"Yeah"

"Begitu..."

"Dia di Seoul High School, aku di Kyunghee"

"Jya Yunho-kun, aku masih ingin berkeliling. Salam untuk Jaejoong-san. Ohya, by the way, nihon-go mu lumayan", Taehun menjabat erat tangan Yunho.

"Sebenrnya aku sedang mengejar beasiswa ke universitas Jepang memang, jadi yaa beginilah. Tapi kemampuanku belum ada apa-apanya di bandingkan dirimu. Baiklah, jya!". Yunho melambai singkat pada Taehun yang menjauh.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

"Maafkan dia Jae..."

"Ya..."

"Ayolah Jae..."

"Aku sudah memaafkannya. It's not a big deal Jung. Tenang sajalah. Aku sudah kebal dikira gay oleh mereka-mereka. Tak tahu saja aku sudah punya yeojachingu". Jelas Jaejoong tenang.

"Mwo? Nugu?"

"Harin. Kau lupa? Anak kelas percepatan itu. Dia menyatakan perasaannya padaku 2 hari yang lalu. Aku sangat kaget waktu itu. Ternyata kita memliki perasaan yang sama. Harusnya ini hari kencan kami. Namun ditunda karena cuaca panas ini...dia tidak menyukainya"

"Ohh... chukhaeyo"

"Ya...hey Yun, kau juga harus cepat menyusulku. Kau kan namja, nyatakanlah secepatnya perasaanmu itu pada Yoohyun noona", Jaejoong berkata santai sambil meneguk ocha milik Yunho.

"Baiklah...akan kulakukan minggu depan. Minggu ini aku sibuk persiapan lomba teater"

"Eeung...", Jae menangguk singkat.