Tuberose

Vampire Knight © Matsuri Hino

Main pair : Naoya Tadashi (OC) x Kaname Kuran

Slight : Kaname x All male vampires, Zero x Yuki

Genre : Romance & Supernatural

Warning! : Shounen ai, malexmale, Slash, bit Shoujo, Action, OC, OOC, AU, miss typo, dll.

.

.

.

.

Keadaan kota hari Minggu malam ini sangat sunyi. Jalanan yang biasanya ramai dilewati banyak orang, kini sepi melompong. Bangunan kuno yang berjajar rapi di sana nampak suram, ditambah penerangan lampu yang kurang memadai membuat suasana angker makin memuncak. Padahal masih jam 7, tetapi mengapa tempatnya senyap begini?

Di tengah keheningan itu, ada seorang gadis berambut coklat gelap sebahu berjalan melintasi jembatan kecil. Ia berdampingan dengan pemuda jangkung berambut perak. Keduanya hendak menuju minimarket yang terletak di seberang jembatan. Tetapi sepertinya mereka harus membatalkan niatnya karena toko tersebut sudah tutup.

Yuki Kurosu menghela nafas. "Haah, percuma kita datang kesini…" eluhnya memandangi toko di depannya yang tertutup rapat. Mulanya, ia ingin membeli kebutuhan rumah yang telah menipis. Termasuk belanja untuk makan malam nanti.

Zero Kiryu mendengus. "Dari awal aku sudah bilang, 'kan? Melihat situasi kota sekarang, mustahil jika ada toko atau restoran yang buka," katanya datar.

"Uh, bukannya menghibur malah mengolokku, jahat banget!" si gadis menggembungkan pipinya kesal.

"Memang siapa yang mau menghiburmu?" tanya lelaki yang memiliki tato salib di leher seraya mengangkat sebelah alis.

"Menyebalkan," Yuki membuang muka. Beralih menjauhi Zero di belakangnya.

"Kau mau kemana?" Zero mengikuti dengan santai. "Bukannya lebih baik kita pulang?"

Gadis berkemeja biru dongker, rok hitam mini, dan mantelkrem selutut itu melangkahkan kaki bersepatu boot-nya cepat. "Aku mau cari toko lain."

Pemuda berkaus kelabu, celana jeans hitam, dan jaket hijau tua ber-hoodie mendesau. "Tidak ada yang buka, Yuki…"

"Kau yakin sekali, sih! Kalau kau tidak mau menemaniku—ya pulang saja sana," usir Yuki menatap saudara angkatnya dengan mata delima yang berkilat tajam. "Mendingan, tadi aku minta ditemani Kaname saja."

Mendengar itu, perempatan jengkel muncul menghiasi pelipis Zero. "…Ck, baiklah. Ayo, kita pergi," ujarnya tidak iklas. Dia sangat tidak suka bila nama musuh abadinya disebut oleh Yuki. Mengapa dari sekian banyak orang, malah nama lelaki itu yang harus keluar dari mulut sang putri Kurosu? Ah, dia lupa. Yuki menganggap bahwa Kaname adalah penyelamat hidup dan pemuda yang disukainya. Dan itu menimbulkan perasaan aneh di dadanya. Rasa sebal dan… cemburu? 'Huh, Konyol,' batinnya cuek.

Keduanya menyusuri jalan berpaving yang terbentang di hadapannya tanpa bicara. Yuki memutar pandangannya, mencari bila ada toko atau restoran yang masih aktif berjualan. Namun, yang ditemukannya hanyalah kekosongan. Setelah berapa lama ia menyerah. Benar kata Zero, sebaiknya mereka pulang dan makan malam dengan bahan seadanya.

"Sudah menyerah?" kata Kiryu bosan ketika melihat Yuki berhenti bergerak.

Yuki menolehkan kepalanya dengan ekspresi cemberut. Orang ini, benar-benar mengejeknya. "Ukh—ayo pulang saja!" ketusnya berbalik arah dan berjalan cepat melalui Zero.

Manik Ametrisht Zero memandang geli ke arah teman baiknya yang bertingkah lucu. Menjahilinya memang selalu menyenangkan.

"Nanti kau yang buat makan malam, Zero," titah Yuki bernada kesal.

"Kenapa aku? Hari ini giliranmu, 'kan?"

"Pokoknya kau yang buat! Awas kalau tidak enak!"

"Baiklah…" desah Zero mengalah.

Mereka menuju gerbang kota untuk pergi ke daerah pinggiran yang merupakan tempat tinggal keduanya. Di sana terdapat bukit yang ditumbuhi pepohonan rindang layaknya hutan. Di tengah hutannya, dibangun sebuah perguruan swasta elit. Cross Academy. Sekolah berasrama luas yang memiliki tingkat pendidikan terbaik. Murid-murid berasal dari kalangan terpandang yang dibagi menjadi dua grup. Yaitu Day Class dan Night Class.

Sekolah itu menyimpan rahasia besar yang tidak boleh diketahui masyarakat umum. Yang mana identitas asli para murid yang mengikuti kuliah malam hari—Night Class— adalah bangsa Vampire. Mahkluk yang menguasai dunia malam, iblis penghisap darah berwujud manusia. Sementara siswa-siswi yang mengambil kuliah pagi—Day Class— ialah kaum manusia.

Yuki dan Zero, anak angkat kepala sekolah sekaligus pendiri perguruan—Kaien Kurosu, bertugas sebagai Guardians. Mereka anggota komite kedisiplinan yang ditunjuk untuk menertibkan dua grup tersebut agar tidak terjadi pertikaian. Sejarah menceritakan, bangsa Vampire dan kaum manusia selalu berperang. Perbedaan yang mencolok, membuat kedua kubu ini saling bertentangan. Predator dan mangsa, itulah hubungan juga alasan yang menyebabkan kedua belah pihak terus berselisih.

"Sudah jam segini. Tou-san pasti kelaparan sekarang," gumam Yuki menilik jam mungil yang melingkari pergelangan tangan kirinya. Pukul 8 malam.

"Biar saja orang tua itu mati," cuek Zero. Tidak peduli jika pria kekanakan yang membesarkannya hingga kini, pingsan karena belum makan.

"Haah, kau benar-benar kejam padanya," Yuki menggeleng maklum.

Sreek~

Suara gesekan ganjil memicu Yuki dan Zero menghentikan langkahnya. Pemuda berambut perak bergerak ke depan Yuki. Menatap tajam ke arah kumpulan semak belukar yang diduga asal bunyi tersebut muncul. Si gadis menyipitkan mata selidik pada tumbuhan lebat yang berjarak 2 meter dari tempat mereka berdiri. Tangannya bersiap mengambil Atremish, senjata andalannya yang tersimpan di balik mantelnya. Bersiaga apabila terjadi hal yang membahayakan.

Atmosfer di sekeliling mereka mendadak berubah berat. Seakan ada sesuatu yang meracuni udara sampai terasa menyesakkan.

"Zero…" bisik Yuki yang berlindung di balik punggung sahabatnya. Ia merapatkan diri sedikit gusar.

"Jangan jauh-jauh dariku, Yuki," peringat Zero bernada rendah. Mata ungu mudanya masih terpaku lurus pada objeknya. Cuping hidungnya mencium bau familiar yang membuatnya ingin muntah. Sungguh, dia sangat benci aroma busuk ini. "Itu Vampire, level E…"

Tiba-tiba sekelebat bayangan hitam keluar dari sarangnya, melesat kilat menuju Yuki dan Zero. Sang Hunter Kiryu, langsung menarik senjata Bloody Rose miliknya dari saku dalam jaket. Mengacungkan pucuknya ke mahkluk yang akan menyerangnya. Jarinya refleks menekan pelatuk pistol, menembak tepat ke bahu kanan vampire gila.

DOOR!

"GRAAHH—!" iblis level E mengerang kesakitan. Terjebam kasar ke tanah sembari memegangi lukanya yang menganga lebar. Mengucurkan darah segar akibat peluru perak panas yang diluncurkan Zero tadi.

Manik crimson Yuki membulat. Terkejut saat mengetahui bagaimana rupa si vampire gila. Adalah sesosok pria paruh baya berpenampilan lusuh, dengan mantel coklat dan celana putih yang kotor dipenuhi debu. Rambut hitamnya mencuat berantakan, wajahnya mengeras marah, tatapannya nyalang layaknya binatang buas yang kelaparan. Ditambah mulutnya yang terbuka menampakkan sepasang taring runcing berhias saliva. Menyebabkan Yuki bergidik ngeri.

"Kenapa ada vampire di kota manusia yang dilindungi Hunter?!" Tanya putri Kurosu mengeluarkan tongkat ajaibnya. Seingatnya asosiasi menjaga wilayah ini dengan cermat.

"Entah. Mungkin ada rumor vampire gila yang muncul sembarangan. Makanya keadaan kota sepi karena penduduknya ketakutan keluar rumah," duga Zero mengokang pistol silver-nya.

Mahkluk rendahan itu perlahan bangkit dari jatuhnya. Berdiri lunglai seraya meggeram lirih. Kedua mata merahnya menyala terang, mulai bergerak maju menerjang lagi.

Kali ini Zero membidik dada musuhnya, letak jantung si vampire berada. Sewaktu lawannya mendekat, Zero segera melepas pelurunya. Menciptakan lubang di badan target hingga menewaskannya seketika. Berubah jadi debu yang terhembus angin. Namun belum sempat dia dan Yuki menghela nafas lega, mereka dikagetkan oleh kehadiran beberapa iblis gila lain yang keluar dari balik bayangan gelap pepohonan.

"Gggrrrhh—!"

Yuki berputar memunggungi Zero. "Banyak sekali…" gugupnya sambil mengeratkan genggaman tongkat di tangannya. Matanya menyorot waspada kala para vampire laknat tersebut mengepung keduanya.

"Ck, mereka berniat mengeroyok kita," decak Zero menautkan alis geram.

"Ada enam, kita bisa kewalahan kalau mereka lepas kendali," cemas Yuki menahan jantungnya berdegub kencang. Jujur, situasi ini membuatnya agak takut.

Zero melirik ke jalan setapak menuju bukit Cross Academy. Memperkirakan jarak yang harus ditempuh untuk sampai perguruan. Cukup jauh, kelihatannya akan sulit bagi mereka jika mau meloloskan diri tanpa terluka. Tetapi, itu lebih baik daripada mati dibunuh di sini. "Yuki, aku akan membuka celah. Kita lari secepatnya saat ada kesempatan," intruksinya seraya mengangkat senjata. Bermaksud menembak salah satu mahkluk di hadapannya yang nampak lemah.

"…Oke," Yuki mengangguk ragu.

Detik selanjutnya, sejumlah monster tersebut berlari menyerbu Yuki dan Zero bersamaan. Dengan gesit, Kiryu berhasil menumbangkan satu vampire level E. Tetapi usahanya belum cukup lantaran yang lain langsung menyergapnya.

"Urgh—" Yuki menahan mahkluk yang mendesaknya rapat. Ia mengayunkan tongkatnya selihai mungkin dan sukses memukul mundur musuhnya. Efeknya tidak lama, karena vampire itu kembali menyerang lagi.

Sambil menghindari sabetan cakar lawan, Zero memikirkan cara agar mereka bisa kabur. Namun kemampuan vampire yang handal malah membuatnya terpojok. "Sial—" desisnya seraya menembakkan peluru lebih cepat.

Yuki menendang sisi kepala monster di depannya hingga jatuh tersungkur. Sayangnya, ia tidak menyadari datangnya serangan lain yang berasal dari belakang. Zero yang mengetahuinya, segera berteriak. "Yuki! Awass!"

BRUAAKKK!

"AARGGGH—!"

Putri Kurosu memalingkan wajah begitu suara tubrukan keras tercipta sampai menggetarkan tanah yang dipijaknya. Kedua manik delimanya membelalak, mendapati tubuh vampire yang terbaring di belakangnya berubah jadi debu. 'Apa itu tadi?' herannya.

"Jangan bengong, nona manis. Nanti terluka, lho…"

Serentak, Yuki dan Zero menengok ke suatu arah ketika mendengar sapaan yang mengalun santai. Tak jauh dari lokasi mereka, berjalan sesosok pemuda jangkung bersurai pirang platina. Tubuh orang asing itu dibaluti kemeja putihselengan siku, celana jeans abu-abu, serta rompi magenta panjang yang berkibar ditiup angin. Syal krem melingkar longgar di lehernya, menambah nilai penampilan yang nampak berkelas. Mata Lavender gelap yang menahtahi wajah tampannya, memancarkan keramahan. Tetapi terkesan dingin.

Zero bergerak mendekati Yuki. Menghujam tatapan tajam ke sang pendatang yang mengintruksi kegiatan mereka. "Siapa kau?" tanyanya datar mengandung kecurigaan.

Lelaki itu tersenyum kecil. "Hanya orang lewat," jawabnya menyipitkan mata sok innocent.

"Dia… bukan orang biasa," gumam Yuki memandang teliti sosok tak dikenal tersebut.

"Ya, baunya seperti vampire, tapi agak berbeda…" tegas Zero.

Pemuda pirang terkekeh. "Huhu, instingmu tajam sekali, tuan Hunter."

Zero tersentak, mengangkat pistolnya membidik tamu asing itu. "Apa maumu? Jangan-jangan kau yang mengendalikan para mahkluk busuk ini?!"

"Panggilanmu pada mereka sangat kejam. Berarti kau juga menganggapku busuk, ya?" kata remaja blonde dengan raut pura-pura sedih.

"Jawab saja!" sahut Zero kesal.

"Sayangnya bukan," ucap lelaki bermanik Lavender. "Makanya, kalian bebas menghabisi mereka sebelum menyerang lagi," sambungnya menggerling ke empat vampire level E yang tersisa.

Yuki mengerjap. "Ap—?!"

DRAAKK!

Sekejap, Zero menarik Yuki menjauh saat satu monster menyerang mereka tiba-tiba. 'Cih, bisa-bisanya aku lupa,' batinnya mendapati musuh bergerak menghampirinya. Siap melancarkan sabetan mematikan dari kuku-kuku panjangnya yang terbuka lebar.

"Aku akan membantu," tawar pemuda pirang seraya mengeluarkan kekuatan khusus miliknya.

Perlahan aura ungu kegelapan menguar dari tubuh sang vampire pendatang. Mengalirkan energi mistis yang membentuk percikan listrik di udara kosong. Kilatan itu berubah menjadi puluhan tongkat bercahaya yang ujungnya lancip bagai tombak tajam. Melayang mengitari lelaki asing yang berdiri tenang.

Kedua pasang mata Yuki dan Zero melebar. Keduanya melihat sosok tersebut mengendalikan kekuatannya untuk menyebar ke depan. Menyerbu empat mahkluk gila secepat kilat. Lalu menusukkan kumpulan tombak sihir ke sekujur badan lawan tanpa ampun. Para monster itu meraung kesakitan. Satu per satu jatuh tergeletak ke tanah dengan tubuh bersimbah darah. Kemudian berubah menjadi debu tak berguna. Merasa tugasnya selesai, tombak-tombak cahaya itu menghilang dengan sendirinya.

Putri Kurosu mengerjap takjub. Kagum akan kehebatan pemuda asing dalam membantai habis sekawanan Level E barusan. "Kakoi…"

"Jangan memuji musuh, baka," tegur Zero mengacak rambut Yuki sampai berantakan. Membuat empunya mengerang marah. Kiryu kembali memandang lurus sang vampire. "Kutanya lagi. Siapa kau? Apa tujuanmu membantu kami membasmi mereka?" desisnya.

"Namaku Naoya Tadashi," balas pemuda asing mengenalkan diri sambil mengulas senyum simpul. "Aku punya janji untuk bertemu kepala sekolah Cross Academy. Salam kenal, Yuki Kurosu dan Zero Kiryu."

"Bertemu Tou-san? Malam-malam begini?"kata Yuki memastikan pendengarannya tidak salah.

"Ya. Tenang saja, beliau menyetujui permintaanku," tambah Naoya.

Zero mengenyitkan kening makin curiga. Dia tidak tahu apa orang ini berbohong atau tidak. Tetapi melihat tindak-tanduknya, sepertinya yang diungkapkannya benar. Terserahlah, sekalipun vampire itu punya tujuan tertentu, bila dia melukai Yuki, maka Zero akan menghabisinya.

Sang Hunter muda memutar badan, mulai melangkah pergi ke perguruan. "Ikuti kami, dan jangan coba-coba menyerang kami dari belakang!" tukasnya menyorotkan mata nyalang.

"Baik," Naoya mengangguk santai. Sama sekali tidak mengindahkan ancaman tersembunyi Zero.

Yuki bergeser ke sebelah saudara angkatnya. "Apa menurutmu dia ada hubungan dengan Kaname?" bisiknya di telinga Zero.

"Entah," gumam Kiryu tak peduli.

.

.

30 menit setelahnya, dua remaja ini tiba di depan gerbang raksasa yang tertutup rapat. Jalan masuk menuju ke kawasan Cross Academy. Zero membuka daun pintu pagar besi yang berlapis tebal itu. Dia melangkah ke dalam dikuti Yuki serta pemuda vampire di belakangnya.

Naoya memutar pandangannya ke sekitar area luas dimana mereka berada sekarang. Di kanan-kiri jalan yang dilaluinya, terdapat pepohonan rindang dan semak belukar yang tertata rapi. Di ujung jalur sana juga nampak beberapa gedung besar bergaya Victorian. Layaknya bangunan kuno di Inggris abad 19. Dikelilingi oleh taman bunga yang terawat baik. "Hebat sekali, tempat ini tetap menarik seperti pertama kali aku datang kemari," pujinya.

"Tadashi-san pernah ke sini?" Yuki menoleh kejut.

"Ya, sewaktu mengantar tuanku saat acara penerimaan murid baru. Tapi hanya sampai di gerbang utama tadi," jelas Naoya.

Zero melirik dari sudut matanya. "Tuan?"

Lelaki pirang tersenyum miring. "Kuyakin kalian sudah mengenalnya…"

Selanjutnya, ketiganya berjalan dalam hening. Masing masing tidak ada yang bersuara sampai menginjakkan kaki di rumah mungil belakang gedung asrama Matahari. Rumah pribadi sang Kepala Sekolah Kurosu. Yuki memutar handel pintu kayu besar di hadapan mereka. Mempersilahkan Zero dan tamu asing itu masuk.

"Tou-san, taidaima," kata Yuki sambil menyalakan lampu dan pergi ke ruang keluarga. Diiringi Zero dan Naoya setelah keduanya melepas sepatunya.

"Okaerinasaaaii~" ujar lunglai seorang pria paruh baya berambut coklat terang. dia duduk di sofa panjang dengan setengah badan terbujur ke atas meja. Raut wajahnya suram lantaran belum makan. "Aku kelaparan, Yuki-chan~"

"Mou, kelau begitu kenapa tidak masak duluan, sih? Restoran dan toko di kota sudah tutup jadi kami tidak bawa apa-apa," tutur Yuki berkacak pinggang.

"Jahaat~" raung sang pendiri perguruan, memunculkan air mata buaya.

"Gyaa~!"

Merasa jengah, Zero langsung menendang ayah angkatnya hingga menabrak lemari hias di pinggir ruangan. "Hentikan tingkah kekanakanmu, pak tua!"

"Zero-kun hidoi~" erang Kaien Kurosu memgangi punggungnya yang nyeri.

"Huhu, anda sama sekali tak berubah, ya, Kaien-sama…"

Kalimat bersuara familiar barusan membuat Kaien terperanggah. Seketika, dia berbalik memandang ke arah pintu yang terbuka. Naoya berdiri tegap di sana dengan senyum ramah. Menyapa kenalannya yang sudah lama tidak ditemuinya.

"Naoya-kun?" sepasang mata madu Kurosu senior mengerjap kaget. Mengamati tamunya dari ujung kepala hingga kaki. "Sejak kapan kau datang?" tanyanya agak nervous.

Reaksi tersebut menciptakan rasa heran untuk Yuki dan Zero yang mengamati interaksi keduanya.

"Baru saja," jawab sang vampire Tadashi. "Bolehkah aku duduk?"

Kaien sigap berdiri. "Aah, duduk saja," persilahnya. "Yuki, tolong buatkan kopi untuk tamu kita. Zero, bisakah kau memanggil Kaname kemari?" pintanya—yang seperti perintah— pada kedua anak kesayangannya.

Yuki membisu sebentar. 'Rupanya benar dia punya hubungan dengan Kaname,' inner-nya sebelum mengangguk kaku. "…Baik." sanggupnya sembari berlalu meninggalkan ayahnya berdua bersama Naoya.

Zero mengerling ke Naoya singkat, lalu menyusul Yuki keluar ruangan.

Selepas kepergian dua remaja tersebut, mantan Hunter professional memulai percakapan. "Kupikir kau akan tiba besok pagi," Kaien mengambil tempat di seberang Naoya berada.

"Aku mahkluk kegelapan, berkeliaran malam-malam begini adalah sifat alamiku," balas Naoya menyamankan punggungnya di sandaran sofa.

"Kau sudah menghubungi Kaname sebelum kesini?"

"Tanpa dilakukan pun, dia pasti sudah tahu."

Kaien terdiam sejenak. "Syukurlah kau sehat. Kau tidak pernah mengabariku, makanya terkadang aku cemas," ucapnya menarik senyum lega. Menunjukkan rasa senang dapat berjumpa kembali dengan remaja ini setelah 5 tahun silam.

"Anda juga, tetap awet muda," Naoya tersenyum jenaka.

"Kau mengejekku?"

"Aku memujimu," Tadashi terkekeh. "Maaf, jika sikapku tidak sopan karena tidak pernah menghubungimu."

"Jangan merendahkan diri padaku, Naoya-kun. Aku bukan tuanmu," elak Kaien.

"Tetapi anda adalah sahabat baik tuanku."

"Dasar," desau sang pria Kurosu mengalah. "Bagaimana keadaan di tempatmu?" tanyanya mengalihkan topik.

"Seperti dahulu, tetap tenang dan sunyi. Kadang membuatku bosan," terang vampire muda. "Aku sangat menantikan bertemu tuanku setelah sekian lama. Makanya aku bersyukur dipanggil kemari," lanjutnya.

Mata Kaien menyorot sendu. "…Aku terkesan dengan rasa setiamu yang teguh itu," kagumnya.

"Biasa saja," sanggah Naoya. "Mungkin anda akan kecewa setelah mengetahui bagaimana diriku sekarang," lirihnya ambigu.

"Huh?" ayah dua anak ini mengerjap bingung. "Apa maksud—"

"Maaf menganggu," Yuki mengintruksi. Ia masuk membawa nampan berisi dua cangkir kopi hitam. Kemudian meletakkannya di atas meja untuk keduanya.

"Arigato,Yuki-sama," kata Naoya tersenyum kecil.

"sa—sama?! Jangan berlebihan, panggil saja aku Yuki," gagap Yuki tidak enak hati.

"Baiklah, Yuki-san."

"Uum, itu lebih baik."

"Arigato, Yuki. Apa Kaname belum sampai?" timbrung Kaien.

"Belum, mungkin sebentar la—"

"Dia sudah disini," potong Zero begitu dia bergabung ke dalam ruangan. Menyebabkan ketiganya serentak berpaling kepadanya. "Aku belum menghubunginya, tapi kelihatannya dia sudah tahu kehadiran orang ini," jelasnya merujuk pada Naoya.

"Karena sejak awal, aku yang meyuruhnya datang kemari."

Ungkapan bersuara baritone tersebut, mengalihkan perhatian empat orang ini. Di pintu masuk, nampak sesosok pemuda jangkung bersurai coklat kelam. Wajah putih tampan bermata Scarlet-nya dibingkai poni rambutyang sedikit memanjang. Mantel merah marun membungkus tubuhnya yang dilapisi kemeja krem dan celana putih. Kaname Kuran, memandang datar ke arah Naoya. Secara tidak langsung mengabaikan keberadaan Kaien, Yuki, dan Zero di situ.

"Kaname," sapa Yuki berbinar senang.

"Jika begitu, mengapa kau tidak kesini lebih awal, Kaname-kun?" desah Kaien.

Sang vampire Pureblood menggerling. "…ada hal yang harus kuurus lebih dulu."

Zero meringsut ke belakang Yuki. Menjauh dari Kaname walau mata Ametrish-nya tidak lepas mengamati lelaki itu.

Naoya bangkit dari duduknya. "Kaname-sama…"

"…Aku mendapat bisikan, kalau kau telah membunuh seorang vampire level D di tengah perjalananmu kemari," tutur Kaname tenang.

'Level D? Bukannya Tadashi-san menghabisi para level E dan menyelamatkan kami?' batin Yuki tercengang. Melirik ke Naoya yang berdiri menghadap Kaname.

"Ya, maafkan atas kelancanganku karena melanggar aturan," Naoya memejamkan mata merendahkan diri. Sadar akan kesalahan yang dilakukannya dalam peristiwa sebelum menolong Yuki dan Zero.

Kaien menautkan alis. Belum mengerti maksud pembicaraan dua vampire itu.

Manik merah Kaname menghujam dingin. "Wilayah ini ada dalam naunganku dan asosiasi Hunter. Seburuk apapun perbuatan level D itu, jangan membunuhnya sebelum kuperintah. Ketahuilah tempatmu," tegurnya mengintimidasi. Mengundang atmosfer berat meracuni udara dalam ruang berukuran 4x5 meter ini.

"Perbuatanku mungkin menimbulkan masalah, tapi aku memiliki alasan sendiri melakukannya," balas Naoya tenang dan sopan. Tidak merasa gentar dengan cara bicara Kaname yang bernada rendah.

Tadashi melangkah maju, mempersempit jarak antara dirinya dan Kaname. Kemudian dia membungkuk, berlutut pada satu kaki sementara yang lain dirapatkan ke dada. Lengan kanan Naoya terulur, meraih tangan kiri Kaname perlahan dan membawanya ke depan bibirnya. Dia mencium punggung jemari milik sang Pangeran Kuran lembut. Tanda penghormatan pada yang berderajat tinggi.

"Saya tidak bisa membiarkan orang yang menjelekkan nama baik Tuan Muda saya hidup," jelasnya seraya menatap Kaname lewat manik Lavender gelapnya yang memancar lekat. Melukiskan kejujuran yang tidak bisa dibantah.

Yuki dan Zero melebarkan mata bersamaan. Mereka terkejut dengan pernyataan Naoya. Kaname Kuran adalah Tuannya?

Kaien mencoba mencermati situasi kini. 'Kelihatannya mulai sekarang bakal rumit…' pikirnya.

Sang Pureblood terbisu. Diam-diam, Kaname menahan gugup akibat merasakan aura yang menguar dari tubuh lelaki pirang itu. Energi mistis yang sanggup meremangkan kulitnya walau sudah 5 tahun tidak bertemu muka. Padahal Naoya hanya seorang pelayan, vampire level C biasa. Namun, keistimewaan yang dimiliknya mampu menarik perhatian Kaname.

"Saya siap melayani anda, ouji-sama..." Naoya mengembangkan senyum ganjil

.

.

.

.

Tsuzuku

.

.

.

Aloha mina-sama, aku membawa fic baru yang mungkin kurang memuaskan. XD

Jujur saja, ya. Ini pertama kalinya aku bikin di fandom VK. Tema/setting-nya tetap dunia vampire, tapi berbeda banget dari cerita asli buatan Matsuri Hino-sama, makanya agak ganjal kalo belum membaca lanjutannya. Tenang ya, aku akan secepatnya update chapter kedua, dan menjelaskan alur cerita lebih detail.

Sedikit pencerahan :D

1. Kaname disini tetap ketua asrama Bulan, vampire pureblood yang disegani. Bahkan oleh senat dan asosiasi Hunter.

2. Yuki adalah manusia yang diselamatkan Kaname waktu kecil. Dia pernah menghabiskan beberapa tahun bersama Kaname dan Naoya. Tapi karena suatu kejadian, ingatannya terpaksa dihapus oleh Kaname dan dia dibesarkan oleh Kaien.

3. Sementara Zero adalah manusia setengah vampire atau disebut dhampire. Dia bekerja untuk asosiasi Hunter. Lahir dari wanita selingkuhan ayahnya yang seorang vampire. Lantaran keberadaannya sangat dibenci penduduk desanya dulu, dia melarikan diri dan bertemu Kaien. Lalu diangkat menjadi putranya. Sangat benci pada vampire, mungkin juga pada dirinya sendiri? (masih terpikir)

4. Jalan cerita fic ini berbeda dengan yang original. Jadi tunggu kejutannya ;)

5. Naoya Tadashi, adalah OC imajinasiku, kurang lebih wajahnya seperti yang cover (nyemil dari google). Dia vampire level C, tapi mempunyai kekuatan khusus layaknya para vampire bangsawan-Level B atau pureblood. Aku berniat menjadikannya seme *mata blink-blink* buat Kaname-kun, tapi masih belum ditetapkan.

Itu dia singkatnya. Tertarik? Ikuti kisahnya ya! ^_^

Tolong tinggalkan review untuk author amatiran ini.