a seven deadly sins fanfiction:

tale

tale © Tsukkika Fleur

Seven Deadly Sins © Suzuki Nakaba

saya tidak mengambil keuntungan apapun dalam pembuatan fanfiksi ini


Pernah di suatu hari, Elaine membawakannya sebuah buku dari dunia peri.

Ia terbang ke dahan pohon yang disenderi oleh Ban, kemudian duduk ketika sulur-sulur pohon tersebut telah meraih dan melilit pinggangnya. Ban baru hampir ingin bicara namun Elaine mendahuluinya dengan meletakkan telunjuknya tepat di depan bibir Ban. Perempuan itu tersenyum, kemudian ia dengan tenang membacakan judulnya, membuka halaman pertama, dan mendongenginya di sisa hari itu—tidak membiarkan Ban protes dan memaksanya untuk mendengar hingga dirinya selesai.

Ketika buku di tangannya itu terlihat tersisa selembar dan matahari sudah ingin berpulang dan memanggil bulan, Elaine tersenyum dan membacakan penggalan kalimat terakhirnya:

"Pada akhirnya para pejuang itu memilih mati daripada menyerah. Walaupun mereka tinggal satu-satunya di dunia, walaupun mereka membawa ras mereka punah; mereka lebih baik mati daripada menyerah," katanya, masih tetap lembut walau sudah sekian puluh halaman ia bacakan. Kemudian perempuan itu menutup bukunya pelan, lalu terbang untuk duduk di sisi kanan Ban; menyenderkan tubuhnya pada lengan Ban yang secara refleks merengkuhnya.

"Bagaimana menurutmu, Ban?"

Tapi laki-laki itu menatapnya lamat lalu menutup matanya. Masih bersender pada pohon dan angin sore membuatnya ia semakin mengantuk.

"Naif. Mereka naif," ujarnya pendek.

Semilir angina menggelitik tengguk mereka dan Elaine mengerutkan kening. "Apanya?"

"Karena mereka sok-sok berkata kalau daripada menyerah lebih baik mereka mati—ha. Mati itu sama saja menyerah."

Hening. Ban sampai menilik wajah Elaine untuk mengetahui apakah dia masih di sana atau tidak.

" ... ini dongeng, Ban."

Ban tertawa ketika melihat bibir Elaine tertekuk; mungkin merasa sia-sia telah membacakannya satu buku penuh tapi malah ditanggapi seperti itu.

"Tapi tidak relevan dengan kenyataan, Elaine Sayang. Dunia kita itu penuh tragedi. Mati maupun menyerah tidak akan menyelesaikan apapun."

Setelah itu Ban tersenyum. Bayangan Elaine yang berangsur-angsur mengembalikan senyumnya kabur. Fairy King's meluntur dan semakin menjauh.

Laki-laki itu perlahan membuka kelopak matanya, kemudian menatap dahan-dahan yang bergoyang-goyang jauh di atas kepalanya; ada sekelebat bayangan bahwa ada Elaine di atas sana, dengan kaki terjulur ke bawah dan tersenyum manis seperti biasa.

Ban tersenyum miring.

"Hei, Elaine. Aku tidak bisa mati dan aku dipaksa menyerah. Itu bagaimana?"

Bisikkannya dibawa angin, tidak ada jawaban.


end


a/n: iya pendek, iya heu heu-btw, halo, salam kenal! mohon bimbingannya senphay eue