Levi duduk di atas tanah berumput yang masih terasa basah karena embun. Matanya melebar manakala Hanji, orang yang baru saja memberi selamat atas kenaikan dirinya mengatakan sesuatu yang membuat hatinya seakan terangkat.
Rasanya tidak mungkin, tapi jika itu yang terjadi…. Mau bagaimana lagi?
..
Black Ponytail
..
Sorot mata Levi yang tajam belum bisa hilang hingga detik ini. Bukan karena sengatan panas matahari siang itu matanya kian menajam, tapi karena kejadian kemarin yang masih membekas di ingatannya.
Sesekali ia memperhatikan raut wajah pasrah Farlan dan Isabel yang duduk di hadapannya. Sudah jelas betul padahal kemana arah kereta kuda ini membawa mereka bertiga, tapi raut wajah kedua temannya tersebut masih saja terlihat begitu pasrah, gugup, dan ada sedikit usaha untuk tetap tenang di sana. Perlu ia akui bahwa mereka berdua terlihat lebih stabil saat itu. Tidak seperti dirinya yang kian mendendam atas kejadian kemarin.
Jalan tanah bebatuan menimbulkan rasa tersendiri bagi tiga sekawan di sana. Makin terasa tidak nyaman bagi mereka karena perjalanan ini entah akan berakhir seperti apa. Jantung mereka tidak bisa lebih tenang berdetak. Perjalanan ini pun rasanya tidak selesai dengan cepat, padahal sudah si pirang katakan kalau perjalanan mereka tidak akan selama usaha penyergapan di bawah tanah kemarin.
Tentu saja. Jika usaha penyergapan itu memerlukan waktu 3 tahun untuk persiapannya, maka perjalanan ini memang terhitung singkat, bukan?
"Akan kubunuh si pirang itu…," gumam Levi dalam-dalam.
"Ssst.. Levi, tenanglah," balas Farlan.
Levi kembali diam.
Yeah, Mr. Daddy itu selalu saja bisa membuatnya merasa bersalah dan kembali bungkam. Padahal siapa sebenarnya bos di sini?
Beberapa menit kemudian kereta kuda itu berhenti. Tidak lama, terdengar pula langkah kusir yang turun dari kursinya, membuka pintu, dan mempersilahkan tiga serangkai di sana turun.
Seberkas cahaya mengenai wajah mereka sebelum akhirnya mereka menyadari bahwa kini mereka sudah sampai di Markas Pusat Pasukan Pengintai.
Lambang sayap kebebasan begitu gagah terlukis di badan gapura gerbang yang kokoh. Lambang yang mulai terhapus warna catnya itu sanggup membangkitkan ketakjuban dari trio yang baru saja menuruni kereta kuda. Di sekeliling mereka pun sebenarnya ada beberapa orang anggota Pasukan Pengintai yang sedang sibuk menerima beberapa keperluan logistik yang masuk. Namun tidak satu pun dari orang-orang di sana yang sanggup membuat keenam mata baru itu berpaling.
"Hoo.. Kalian sudah datang?"
Suara berat itu membuat Farlan menengok ke arah sumbernya. Di matanya ia melihat sesosok yang tersenyum ramah namun tetap tidak mengurangi kewibawaan.
"Namaku Hansen. Senang bertemu dengan kalian. Komandan Erwin sudah menunggu di kantornya. Mari saya antar?"
Dengan itu, Hansen mengantar tiga serangkai ke sebuah ruangan yang mereka sebut sebagai Kantor Erwin. Di sanalah gemuruh perasaan Levi kian membara manakala sosok pirang yang kemarin ia temui kini ada di hadapannya.
Farlan menepuk pundak sahabatnya itu, seolah menginstruksikan untuk tetap tenang.
"Komandan Erwin, mereka sudah datang," ujar Hansen begitu kakinya sudah sejajar rapi berada di ambang pintu kantor sang komandan.
Erwin yang sedari tadi sibuk memperhatikan beberapa berkas kini mengalihkan pandangannya ke ambang pintu. Yap, tamu yang ia tunggu sudah tiba bersama bawahannya.
"Masuklah," ujar Erwin pada ketiga tamu dan seorang bawahannya tersebut.
Aba-aba barusan menggerakkan tiga pasang kaki berandalan kota tua yang kini ada di sebuah markas musuh. Selayaknya ada di kawasan musuh, mereka melangkah penuh hati-hati dan pertimbangan. Padahal Erwin sudah memasang wajah seramah mungkin, jadi untuk apa takut lagi? Atau mungkin, keenam mata mereka tidak sanggup membaca keramahan itu.
"Selamat datang di Markas Besar Pasukan Pengintai. Kalian masih ingat aku, bukan?"
Tiga serangkai di sana tidak menjawab sapaan tersebut.
Apa boleh buat? Erwin memakluminya.
"Mengenai kejadian kemarin, aku serius merekrut kalian untuk jadi bagian dari pasukan kami. Kemampuan menggunakan maneuver 3D yang luar biasa, kecepatan, ketanggapan, dan keliaran yang ada pada diri kalian sangat memenuhi kualifikasi. Aku akan jujur bahwa sulit sekali untuk mendapatkan anggota pasukan hasil akademi yang sehebat kalian. Itu pujian dan kurasa kalian patut berbangga karenanya."
Tiga serangkai di sana masih diam.
"Kurasa kita sudah mencapai kesepakatan kemarin, bukan? Karenanya, aku sudah menyiapkan semua yang kalian butuhkan untuk menjadi bagian dari kami. Kamar, pelatihan, semuanya sudah kami siapkan. Hansen dan Ness akan menemani kalian melihat-lihat di sini. Setelah itu, istirahatlah untuk besok."
Demikian setelah Komandan Erwin bersabda, keempat orang tamunya itu pergi melangkah meninggalkan tempat tersebut. Semuanya pergi seperti biasa –oke, Isabel dan Farlan masih tegang- kecuali Levi. Ia jalan di belakang yang lain dengan langkah tegap tanpa rasa takut sedikit pun.
Setelah kakinya mencapai ambang pintu, ia berhenti sejenak dan menengok ke belakang. Mata tajamnya tertuju pada Erwin yang juga tengah menatapnya.
Tidak ada kata-kata, tidak ada pergerakan. Mereka hanya saling berpandang selama kurang lebih 1,5 detik sebelum akhirnya Levi kembali melangkahkan kakinya untuk menyusul yang lain.
"Aku bersumpah kalau aku akan menghabisinya. Lihat saja," gumam Levi sembari memandangi langit-langit.
"Levi, hentikanlah. Kita sedang berada di sarang mereka. Kita harus lebih hati-hati, kan?"
"Jadi kita akan tidur di sini, ya? Apa untuk sementara waktu atau bagaimana?" ujar Isabel sembari melihat ke sekeliling ruangan itu. Atau lebih tepatnya adalah kamar mereka.
"Mungkin hanya sementara waktu. Kupikir di tempat seperti ini ada pemisahan untuk kamar perempuan dan kamar laki-laki," komen Farlan.
Di saat yang bersamaan, terdengar ketukan di pintu kamar itu. Pada ketukan ketiga, Farlan memutuskan untuk membuka pintu tersebut dan mendapati Ness, orang yang telah mengetuk pintu tersebut.
"Hai, ini sudah waktunya makan malam. Ayo kita makan bersama?"
"Oh, ah, baiklah…," jawab Farlan agak gugup.
Bersama dengan Ness dan Hansen, Farlan, Levi, dan Isabel menyusuri koridor demi koridor Markas Besar Pasukan Pengintai menuju ruang makan. Selama perjalanan, sesekali mereka memergoki beberapa orang yang memperhatikan mereka. Ada juga yang berbisik-bisik setelahnya. Memang kabar mengenai datangnya anggota baru di pasukan tersebut sudah diketahui oleh seluruh anggota, tapi para mereka yang baru saja melihat dengan mata kepala sendiri -bagaimana tiga pendatang tersebut- cukup merasa 'tidak aman'. Beberapa setuju bahwa Erwin memiliki mata yang bagus dalam merekrut beberapa penjahat, namun ada juga yang meragukan keputusannya. Beberapa ada yang mengagumi bagaimana pancaran kuat aura ketiga orang tersebut saat berjalan, beberapa takut karenanya. Beberapa mencibir karena mereka bertiga adalah orang dari bawah tanah, beberapa takjub dan kagum karena mereka bisa sampai di sini.
Levi, Isabel, dan Farlan sejujurnya tidak begitu peduli. Toh mereka juga mengerti posisi mereka saat ini. Pandangan miring orang di atas tanah memang sudah seburuk itu pada mereka yang berjuang hidup di bawah tanah.
Suasana malam di markas besar sangat jauh berbeda jika di bandingkan dengan saat siang hari. Saat malam, rasanya jumlah orang yang ada di sana bisa mencapai dua kali lipat dibandingkan dengan saat matahari masih ada di atas. Terutama di ruang makan. Semuanya berkumpul, makan malam bersama, bercanda bersama, bermain bersama, menenggak beberapa alkohol bersama, bahkan ada yang berdansa untuk menghibur dirinya dan orang lain. Di saat itu, rasanya tidak ada yang memperhatikan kedatangan Ness, Hansen, serta tiga serangkai yang berjalan di belakang mereka sejak tadi.
Selesai mengantri untuk mendapatkan jatah makanan malam itu, mereka berlima duduk di sebuah meja yang masih kosong. Suasana masih ramai dengan segala kegilaan yang dapat pasukan siap mati di sana lakukan. Ness dan Hansen menjelaskan satu per satu kegilaan tersebut beserta siapa tokoh-tokoh fenomenal yang ada. Farlan dan Isabel mendengarkan dengan cukup baik dan memberikan respon yang baik sebagai pendengar dan pembelajar. Tidak bagi Levi yang lebih memilih menerawang ke seluruh penjuru ruangan tersebut. Nama orang-orang di sana tidak begitu penting baginya. Dan di matanya itulah ia mendapati sosok pirang yang sudah ia kenal namanya sejauh ini. Ia tengah duduk menyantap bubur kentang bersama beberapa koleganya yang terlihat begitu 'anggun' dan berwibawa.
Levi memperhatikan dalam diam, hingga ia tidak sadar kalau bubur kentang miliknya semakin lama semakin mendingin.
Lain Levi lain pula dengan Farlan. Sosok jumawa itu terdiam dengan arah pandangan pada pukul 10.30. Di kala dirinya masih mendengar celotehan Ness dan Hansen, matanya yang berhilir mudik terpaku pada satu titik dan seolah tidak mau lagi kembali fleksibel seperti sebelumnya. Di titik itu, ia mendapati sesuatu yang luar biasa, sesuatu yang eksepsional, sesuatu yang bahkan pada awalnya sempat ia bantah. Sesuatu itu begitu indah hingga Farlan seperti kehilangan lidahnya untuk bergumam. Sosok itu begitu bersinar walaupun di ruangan itu hanya ada lampu minyak dan jumlahnya pun tidak banyak. Sosok itu memancarkan suatu kharisma tersendiri yang membuatnya berbeda dari yang lain. Cantik, dengan surai hitam legamnya yang begitu pasrah kesana-kemari mengikuti arah gerakan kepala sang empunya.
Farlan seperti bermimpi saat itu.
Perempuan itu, tak diragukan lagi adalah cinta pertamanya.
Ya, Farlan yakin karena ia tidak pernah seperti ini sebelumnya.
Ada sekitar tujuh detik yang dibutuhkan bagi Farlan agar sosok rupawan itu merasakan hawa keberadaannya. Ia membalas tatapan polos nan terkesima milik Church dengan hal yang hampir serupa, lalu tersenyum manis.
Respon positif itu refleks menggerakkan ujung-ujung bibir Tuan Church untuk bergeser ke arah samping. Ia membalas senyum manis perempuan tersebut dengan senyuman yang ia rasa tidak sebaik biasanya. Tapi hei, tidak ada yang meragukan keaslian dan kemanisan senyum dari seorang Farlan, bukan?
Dan di malam itu -setelah waktunya semua mata terpejam- Farlan masih tidak bisa menutup matanya seraya menjadikan kedua tangannya bantal di atas ranjang. Matanya memandang ke langit-langit yang sebenarnya adalah bagian bawah dari ranjang Levi. Ya, mereka tidur di sebuah ranjang susun saat itu. Farlan di paling bawah, Levi di tengah, dan Isabel di paling atas.
Untuk beberapa menit sebelum akhirnya tertidur, Farlan terus mengarahkan pandangannya ke atas. Namun, bukan gambaran mengenai bagian bawah kasur Levi yang ia lihat, melainkan sosok yang ia temukan saat makan malam tadi. Sosok cantik itu masih belum bisa lepas dari pikirannya. Mempercayainya pun rasanya masih belum bisa. Sosok itu benar-benar sosok paling cantik yang pernah ada, pikirnya. Jika besok dijaminkan bahwa dirinya akan bertemu dengan perempuan itu lagi, ia memilih matahari untuk segera terbit tanpa harus ia terlelap tidur malam ini.
Keesokkan paginya diadakan apel pagi di halaman dalam Markas Besar Pasukan Pengintai. Apel pagi yang mengumpulkan seluruh ksatria tersebut ditujukan untuk memperkenalkan tiga orang calon anggota baru mereka. Tanpa menunggu lama, Erwin segera mengutarakan kepentingannya begitu kesempatan berbicara miliknya datang.
"Pagi ini, aku umumkan bahwa akan ada calon anggota baru di pasukan kita. Mereka bertiga akan memperoleh pelatihan khusus sebelumnya. Jadi, perkenalkan. Mereka adalah Farlan, Isabel, dan.. Levi. Terima mereka sebagai anggota baru keluarga kalian. Untuk selanjutnya, mohon bantu mereka untuk dapat menyesuaikan diri di sini. Terima kasih."
Demikian berhentinya kata-kata Erwin, sayup-sayup terdengar banyak bisikan dari beberapa orang di sana. Sepertinya masih banyak di antara mereka yang belum dapat menerima keputusan sang komandan begitu saja. Apalagi yang direkrut adalah kriminal dari dunia kumuh. Namun yang terpenting dari semua adalah, tidak sedikit dari mereka yang merasa tersaingi karena kehadiran Levi and Co. Rumor mengenai kehebatan mereka dalam menggunakan maneuver 3D pun sudah tersebar di semua lapisan Pasukan Pengintai.
Tapi tidak semua.
Hanya orang-orang yang merasa tidak aman saja lah yang meragukan keputusan Erwin tanpa alasan. Ada juga sebagian dikit dari mereka yang tetap diam, pada posisi istirahat di tempat ala militer. Mata mereka masih tertuju ke depan, ke arah di mana tiga orang baru berdiri 'memperlihatkan diri'.
Dari sisi Levi dan kawan-kawan, mereka masih memaklumi bahwa masih ada sebagian orang di sana yang meragukan bahkan tidak menyukai kedatangan mereka. Mereka hanya bisa diam dan memasang mata mereka lurus ke depan walaupun sebenarnya sudah gatal sekali otot-otot mata itu untuk melihat ke samping –kiri dan kanan.
Apel dilanjutkan kembali. Bagian penutup apel dilakukan untuk menyudahi kegiatan tersebut dan semua dapat kembali ke rutinitas masing-masing. Di saat itulah, Farlan mendapati sosok yang mampu menyegarkan matanya.
Perempuan cantik bersurai hitam yang ia lihat di ruang makan kemarin.
Jantungnya kini memompa lebih cepat. Serasa ada keringat dingin pula yang mencuat di bagian tengkuk. Kepala yang awalnya terasa berat kini seperti lebih ringan. Terakhir, rasanya sudah gatal sekali sudut-sudut bibirnya untuk menyungging. Pemandangan yang membangkitkan semangatnya pagi itu, seperti jawaban atas harapannya semalam.
"Perkenalkan, namaku Keith Shadis. Aku adalah orang yang akan melatih kalian selama beberapa hari ke depan. Aku harapkan keseriusan kalian."
Tidak ada yang menjawab, baik itu Levi, Isabel, maupun Farlan.
"APA KALIAN MENGERTI?!"
"A-aah!" sahut Isabel dan Farlan dengan sedikit terkejut.
Levi? Persetan dengan ekspresi 'I don't give a fuck' miliknya.
"Kalau begitu bersiaplah. Kita akan mulai latihan hari ini juga."
Perintah Keith membawa tiga serangkai segera mengambil 3D maneuver yang ada di dekat sana. Selama sekitar 1,5 menit mereka bersiap, Keith memeriksa kuda yang akan ia tunggangi sebentar lagi untuk mengawasi para anak baru. Begitu semua persiapan selesai, pergilah mereka berempat ke dalam hutan.
Di hutan itu, Levi dan kedua temannya asyik berayun dari satu pohon ke pohon lain diikuti oleh Keith yang memacu kudanya di tanah. Guna mengawasi anak-anak itu sekaligus melihat kemampuan mereka yang dibanggakan Erwin.
Terpaan angin memicu sesimpul senyum di bibir Isabel. Ia tahu bahwa dirinya tidak sebebas saat di bawah tanah dulu, namun ini lebih baik daripada diam seharian di kamar penjara milik markas itu.
Tidak menikmati kebebasan layaknya Isabel, Farlan sesekali melirik ke belakang –ke arah Keith- untuk memperhatikan gerak-gerik orang tua itu. Entah mengapa perasaannya berkata bahwa ini bukanlah hal yang mungkin terjadi. Bagaimana bisa para pejabat di markas tersebut membiarkan kelompok berandalan seperti dirinya dan teman-temannya hanya diawasi oleh satu orang yang berada di tanah seperti saat ini?
Lain Farlan, lain Levi. Jika Farlan merasa ada suatu kejanggalan saat itu, Levi merasakan sesuatu yang lebih nyata. Sejak dirinya dan yang lain memasuki hutan, ia merasa kalau ada orang lain di sekeliling yang juga melaju ke arah yang sama dengan kecepatan yang sama seperti mereka. Seolah sesuatu yang mengikuti itu seperti sedang mengawasi mereka dari jauh.
Mungkin saja, pikir Levi.
Perjalanan diteruskan hingga semakin dalam hutan yang mereka masuki. Menyadari bahwa ada yang aneh dengan kedua temannya, Isabel merasa heran.
"Hei, kalian berdua.. Kalian terlihat tegang sekali. Ini menyenangkan, ayolah~..," ujarnya riang ala Isabel Magnolia.
Farlan dan Levi hanya diam, tidak memberi balasan apapun.
"Hei, ayolah.."
"Isabel," potong Levi.
"Hnn?"
"Tetaplah waspada," tambah Levi.
"Hee? Kenapa..?"
"Apa kau tidak merasa aneh? Kenapa hanya ada satu orang yang dibiarkan untuk mengawasi kita bertiga. Kita adalah kriminal yang baru ditangkap kemarin. Bukankah aneh jika mereka percaya begitu saja bahwa kita tidak akan kabur dari sini? Seharusnya ada tiga orang yang diperintahkan untuk menjaga kita, bukan? Itu pun jumlah minimal jika dibandingkan dengan kita yang mampu menggunakan maneuver 3D dengan lihai," jelas Farlan.
"E-eh? I..iya juga sih..," tanggap Isabel. "Jadi, bagaimana?"
"Tetap saja melaju seperti kita tidak tahu apa-apa. Kalau boleh jujur, aku sudah merasakan sesuatu yang tidak beres sejak kita masuk ke hutan ini," kata Levi.
Farlan dan Isabel memperhatikan Levi dan mereka menurut. "Baiklah."
Di tanah, Keith masih mengikuti dengan kudanya. Sepanjang pengawasannya ia mengakui bahwa tiga orang yang kini mengalun indah memang benar-benar luar biasa. Bahkan para prajurit yang sengaja dilatih pun belum tentu dapat menggunakan maneuver 3D seluwes mereka.
Erwin tidak salah, pikirnya.
Mungkin memang sekarang adalah saatnya untuk meminjam kekuatan dari mereka atau siapapun yang pandai dan dianggap mampu untuk memangku tanggung jawab sebagai pelindung manusia.
Sementara itu di atas..
"Tch, aku sudah muak," gumam Levi.
"Levi.. Apa?" tanya Farlan yang merasa mendengar sesuatu keluar dari bibir pria stoic tersebut.
"Tch, apa kau masih berpura-pura berpikir bahwa aku tidak akan melakukan apapun, huh? Kita lihat saja. Siapa orang-orang yang mengikuti kita sejak tadi."
Tiba-tiba Levi berbalik dengan cepat dan beralun menuju Keith.
Mengetahui Levi berbuat demikian membuat Isabel dan Farlan terkejut bukan main.
"LEVI.. JANGAANN!" seru Farlan.
Sementara itu, Keith yang masih tenggelam dalam pikirannya menjadi kurang tanggap akan kedatangan Levi.
"Katakan itu pada ibumu, Church. Karena aku paling muak dengan tikus yang senang bermain petak umpet untuk kepentingan dirinya sendiri!"
Dengan cepat, Levi mengeluarkan pisau lipat dari sakunya. Kecepatan pemuda itu dalam beralun menghampiri Keith berbanding terbalik sangat jauh dengan kecepatan Keith untuk sadar bahwa dirinya sedang dalam bahaya.
Isabel dan Farlan masih di atas karena terperangah. Keith baru sadar dari lamunan setelah Levi siap menancapkan pisau tersebut di tubuhnya. Levi yang sudah berketetapan untuk menyerang 'musuh' mereka saat itu juga...
Di saat itu..
Tiba-tiba Levi terjatuh ke tanah dan Keith selamat dari apapun yang mengancam nyawanya.
Kejadiannya begitu cepat. Isabel dan Farlan bahkan belum sempat berkedip. Yang ada di mata mereka kini adalah 'sang kapten' tiba-tiba jatuh ke tanah dan gagal menusuk Keith.
"Levi!" teriak Farlan saat ia sadar bahwa temannya jatuh ke tanah.
"Kak Levi!" seru Isabel juga seraya mengikuti Farlan.
Mereka berdua menolong Levi untuk bangkit.
"Lepaskan. Aku tidak apa-apa," ujar Levi sambil melepas tangan kedua temannya yang berusaha menolong.
"Kak Levi, kenapa sampai bisa jatuh?" tanya Isabel bingung.
"Ah..! Tali maneuvermu…," ujar Farlan saat melihat maneuver milik Levi. "…Putus?"
Levi melihat ke bagian kiri dan kanannya. "Tidak." Kemudian ia melihat ke atas, ke arah pohon bagian atas. "Ada yang memotongnya."
"Hhh~… ckckck.. Ternyata orang sepertimu bisa lengah juga, ya?"
Kalimat itu membuat Levi, Isabel, dan Farlan menoleh ke belakang.
"Pelatih, Keith..," lanjut orang yang bersuara tadi.
Tiga serangkai di sana terperangah. Mungkinkah ia yang memotong tali maneuver milik Levi?
"Sialan, apa maksudmu Vlad?!"
"Ckckckck.. Kau masih tidak mau mengakuinya, kah? Kau sempat lengah kan tadi? Tidak usah berpura-pura, aku tidak akan mengatakan apapun pada Erwin," jawab seseorang yang bernama Vlad itu sembari berjalan mendekati Keith, seolah Levi dan kawan-kawannya tidak ada di sana.
"Mana mungkin aku lengah seperti kata-katamu, huh?! Kau sendiri, kenapa malah turun kemari? Tugasmu adalah untuk tetap berada di atas pohon, bukan?" balas Keith.
"Hei…hei, Pak Tua. Harusnya kau berterima kasih pada kami karena kami baru saja menyelamatkanmu dari maut. Ada apa denganmu?"
"Kami…?" gumam Isabel.
"Itu benar, Keith. Jika bukan Vlad yang memotong tali pemuda itu, kau sudah berlumuran darah sekarang."
Tiba-tiba terdengar suara asing yang lain dari arah belakang Levi dan teman-temannya.
Kali ini, Levi dan teman-temannya melihat sosok besar berkulit hitam. Ia juga berjalan menghampiri Keith.
"..K..kau. Mengapa tidak kalian membiarkannya saja jika kalian tidak percaya kalau aku tidak lengah?!" balas Keith.
"Hhh~.. Kenapa kau keras sekali, paman? Akui saja. Kalau bukan karena kami, kau sudah menjadi mayat sekarang." Kali ini ada sesumbar suara perempuan dari arah belakang Farlan.
Mendengarnya, Farlan menoleh. Betapa terkejutnya dia karena sosok yang kini tengah ada di matanya adalah sosok yang ia puja sejak kemarin malam.
Perempuan itu..
Ya, perempuan bersurai hitam itu..
Saat menyadari bahwa Farlan memperhatikannya, perempuan itu tersenyum sangat manis ke arah Church. "Hai~.."
Tanpa sadar, wajah Farlan memerah.
"K..kau juga. Berapa kali harus aku katakan bahwa tidak ada sesuatu yang terjadi, huh?!"
"Kau sangat keras kepala, Paman. Kami pun tidak akan melakukan apapun jika tidak ada yang terjadi di sini. Vlad memotong tali maneuver pria keren itu dan kurasa yang harus kau lakukan adalah berterima kasih padanya. Lagipula, kita sudah jauh melewati batas yang ditentukan Erwin. Apa yang membuatmu meneruskan perjalanan? Sebelum mencapai batas pun, bukankah sudah sangat jelas kalau mereka bertiga hebat dalam menggunakan maneuver 3D?"
Keith terdiam sejenak. "Tch. Baiklah, terima kasih, Vlad."
"Sama-sama, Keith~…," balas Vlad sambil tersenyum senang.
Levi dan teman-temannya memperhatikan.
"Tapi asalkan kalian berjanji bahwa tidak akan mengatakan apapun pada Erwin."
"Beres. Tenang saja~..," ujar Vlad sambil menepuk pundak Keith.
"Hei, Keith?" panggil perempuan di sana.
"Apa?"
"Bagaimana kalau tugasmu melatih orang-orang ini digantikan olehku?" tanya perempuan itu lagi.
"A-apa? Berani sekali kau.."
"Hei..hei.. Kurasa melatih anak-anak dari Pasukan Pelatihan adalah kau ahlinya. Mereka lebih membutuhkanmu daripada tiga orang ini. Mereka pun masih mudah untuk diatur, tidak seperti mereka bertiga," ujar pria besar berkulit hitam.
"Benar, Keith. Kurasa Erwin pun mengizinkannya. Toh kudengar pada awalnya pun kau tidak mau tugas ini, bukan?" timpal Vlad.
Keith terdiam lagi.
"Percayalah, Keith. Catherine sudah meminta persetujuan Erwin untuk semuanya. Kau tidak perlu takut," tambah pria hitam tinggi besar.
Keith terlihat menimbang-nimbang. Setelah beberapa menit, akhirnya Keith mengiyakan. Toh memang sejak awal ia berkebaratan untuk melatih kriminal seperti Levi dan kawan-kawan.
"Baiklah. Tapi berjanjilah kalau kalian tidak akan merusak semuanya."
"Oke~..," jawab si perempuan, lelaki kurus jangkung, dan pria hitam tinggi besar.
"Kalau begitu, mulai dari sini aku akan menyerahkan segala sesuatunya pada kalian. Jangan memohon bantuanku jika kalian mendapat kesulitan. Ingat itu."
"Baik, pelatiiihhhh~….," jawab perempuan yang diketahui bernama Catherine tersebut.
Tanpa banyak kata lagi, Keith meninggalkan tempat itu dengan kudanya untuk kembali ke markas.
Setelah Keith agak menjauh, kelompok Levi memperhatikan tiga orang yang baru saja datang itu. Memang, sudah sedari tadi Farlan tidak bisa melepaskan pandangannya dari Catherine. Isabel pun sudah sedari tadi memperhatikan Vlad yang terlihat begitu ceria.
"Siapa kau, perempuan?" tanya Levi dengan agak sinis.
Satu-satunya perempuan selain Isabel di sana menengok ke arah Levi. Ia tersenyum. "Perkenalkan. Namaku Kathrina Mortez. Aku Kapten dari Pasukan Operasi Khusus Level A Pasukan Pengintai. Senang bertemu dengan kalian."
