Rukia segera melangkahkan kakinya menuju pintu depan rumah, guna menyambut seseorang yang terlambat pulang malam ini.

"Bermain dengan teman wanita lagi?"

"Ya," Ichigo nama lelaki itu, berjalan memasuki rumah yang dihuni bersama Rukia.

Rukia dengan pelan menutup dan mengunci pintu depan, kemudian berjalan menyusul Ichigo yang sepertinya tengah menuju dapur. Tubuh mungilnya berhenti sesaat kala rasa pusing menghampirinya. Menghela nafas sebentar lalu melanjutkan langkahnya.

"Masih sering pusing?" tanya Ichigo ketika mendapati Rukia sudah di ambang pintu dapur.

Rukia mengangguk, tetapi segera menjawab 'ya' ketika ia sadar bahwa Ichigo sudah membelakanginya karena tengah mengambil sesuatu di dalam lemari es.

"Aku hanya sedikit frustasi, maafkan aku."

"Tak apa, aku tahu perasaanmu. Sekarang mandilah, aku akan mempersiapkan makan malam untukmu," ucap Rukia tak lupa manampilkan senyum tulusnya.

"Baiklah," balas Ichigo dan mulai menuruti kemauan Rukia, istrinya.

.

.

.

A Bleach Fanfiction

How Come?

Bleach by Tite Kubo

Story by HH

Kurosaki Ichigo X Kuchiki Rukia

T

Family/Romance

AU, OOC, Typo, Amburadul

.

.

.

Sampai sekarang aku masih tak menyangka bahwa hidupku akan seperti ini. Menikah dengan seseorang tanpa ada rasa dengannya. Ini semua berawal dari perjodohan antara keluarga Kuchiki dan Kurosaki. Tentu aku tidak bisa menolak. Aku tidak mau membuat mereka kecewa padaku, mengecewakan keluarga yang dengan baik hati mau memasukanku ke dalam kartu keluarga mereka. Lalu aku yang tanpa nama keluarga dan berasal dari panti asuhan ini dalam sekejap menjadi anggota salah satu keluarga yang berpengaruh di Jepang, Kuchiki nama keluarga itu.

Aku juga tidak menyangka bahwa pria yang dijodohkan denganku mau saja menerima perjodohan ini, dan aku pun tidak mengetahui alasannya. Padahal aku berharap kalau dia akan menolakku. Tapi, mungkin ini salah satu rencana Tuhan dan aku samasekali tidak tahu bagaimana nasibku kedepannya.

Sebelum pernikahan dimulai aku sudah membicarakan semua yang ada dalam pikiranku dengan calon suamiku yang diketahui namanya adalah Kurosaki Ichigo. Aku mengatakan yang sejujurnya bahwa aku samasekali tak tertarik dengan dirinya, dan aku terkejut sekaligus senang bahwa dia sama denganku. Kami merencanakan agar pernikahan kami bertahan sampai enam bulan saja, lalu setelah itu kami harus benar-benar berpisah. Yang aku ketahui secara pasti, kami sama-sama akan mempunyai masalah jika menolak perjodohan ini. Maka dari itu dia menyarankan solusi ini, tentu aku menyetujuinya. Dan yang paling penting adalah tidak boleh ada siapapun yang tahu tentang rahasia ini.

Dia tidak membenciku dan aku pun tidak membencinya. Kami berusaha saling mengerti posisi kami satu sama lain. Tidak masalah jika dia pulang larut malam atau pergi dengan wanita lain karena sesungguhnya hati kami tidak saling terikat. Saat tidur pun kami berpisah. Tentu, itu sudah bagian dari kesepakatan kami sebelumnya.

Tapi, seperti apa yang aku katakan sebelumnya. Mungkin ini memang rencana Tuhan, aku tidak bisa menebaknya dan hanya bisa menerimanya. Aku positif hamil, dan Ichigo tidak mengelak karena ia tahu itu adalah perbuatannya. Ini sungguh diluar dugaan, kami melupakan kata 'tanpa sengaja'.

Setelah itu kami mulai berdiskusi lagi untuk membuat kesepakatan baru bagaimana nanti kedepannya. Kami sepakat akan berpisah jika bayi yang kukandung ini sudah lahir, lalu hak asuhnya sudah pasti jatuh di tanganku. Dan aku meminta padanya untuk bertanggung jawab. Maksudku, dia harus mau memenuhi semua apa yang aku butuhkan menyangkut bayi yang ada dalam rahimku ini. Dia setuju karena sadar bayi ini tidak bersalah.

Kami masih tidur terpisah, tapi dia selalu ada ketika tengah malam aku meminta sesuatu darinya. Seperti saat aku ingin dibelikan Yakitori pada malam hari, mungkin yang dimaksud adalah ngidam. Dan tentu aku masih membiarkannya berjalan dengan wanita lain atau mungkin pacarnya asal dia harus pulang tepat waktu, pengecualian untuk masalah pekerjaannya. Ichigo selalu menyetujui apa yang aku ajukan ketika merasa posisi kami seimbang.

"Ini sudah malam, lebih baik kau tidur saja. Aku tidak mau terjadi apa-apa pada bayi itu. Bagaimana pun juga kau harus lebih memperhatikannya," suara Ichigo berhasil membuatku kembali ke dalam realitas.

Aku tersenyum sekilas. Aku merasa suatu hari nanti dia akan menjadi seorang ayah yang baik. Baik untuk ayah anak ini atau anak dari wanita yang akan menjadi pendamping hidup yang sesungguhnya nanti.

"Tak apa, aku juga harus mencuci piring bekas makanmu," kulihat Ichigo menghentikan kegiatannya sejenak ketika mendengar ucapanku.

"Jika hanya mencuci piring aku juga bisa melakukannya, Rukia," aku terkekeh mendengar balasannya.

"Aku hanya sedang melatih anakku."

Itu benar, aku ingin berbuat baik agar anakku kelak menjadi anak yang baik pula. Dan kurasa Ichigo menyetujuinya.


000

Usia kandunganku sudah mencapai lima bulan, dan kami masih mempertahankan pernikahan yang tak biasa ini. Selama ini kami tidak pernah bertengkar, sampai suatu hari Ichigo membawa seorang wanita cantik ke dalam rumah kami.

Aku marah bukan karena aku cemburu, aku meyakini itu. Aku marah karena dia melupakan kesepakatan yang telah dibuat, bahwa siapapun dari kami tidak boleh membawa orang luar selain keluarga ke dalam rumah ini. Aku tidak mau kebohongan ini tercium orang luar. Aku yakin kami bisa membohongi keluarga kami, tapi aku tidak yakin untuk orang luar seperti wanita itu.

Ichigo berusaha membela diri. Namun nasi sudah menjadi bubur, dia sudah mengatakan apa yang terjadi dengan kami selama ini kepada wanita itu. Kuketahui dari Ichigo nama wanita itu adalah Senna. Ya, wanita itu adalah orang pertama yang mengetahui rahasia kami.

Aku mengalah, tetapi aku tidak bisa membiarkan rahasia itu bocor ke orang lain apalagi kepada keluarga kami. Maka dari itu aku mengadakan pertemuan dengan Senna. Aku ingin memperbaiki sedikit tentang semua ini. Dengan modal mencuri nomor ponselnya dari ponsel Ichigo aku berhasil bertemu dengan Senna.

Aku bersyukur dia mau mengerti keadaan kami, dia juga tidak membenciku. Dia akan menunggu Ichigo dengan sabar sampai semuanya selesai. Aku tersenyum lega, kurasa Ichigo tidak memilih wanita yang salah.

Tetapi aku sedikit terkejut dengan kalimat yang ia lontarkan sebelum pertemuan ini berakhir.

'Meskipun begitu, aku lebih berharap yang bersama Ichigo adalah dirimu Rukia-san. Bayi itu juga pasti sangat membutuhkan sosoknya. Aku harap kau jangan terlalu membiarkan Ichigo bersamaku atau dengan yang lain. Aku akan mendukungmu.'

Kenapa? Bukankah dia menyukai Ichigo dan Ichigo pun begitu? Dia sungguh diluar dugaanku dan sangat serasi bersama Ichigo dibandingkan denganku.

Lalu, bagaimana kami bisa bersatu tanpa ada rasa satu sama lain. Satu-satunya alasan yang membuat kami bertahan sampai sekarang adalah bayi ini.


000

Setelah kejadian itu hubungan kami sedikit renggang. Tapi Ichigo masih membantu memenuhi semua kebutuhan berkaitan dengan bayi yang kini sudah tujuh bulan dalam kandunganku. Aku mulai merasakan sedikit bengkak di kedua kakiku. Rasa lelah pun makin sering menghampiri. Dan entah mengapa aku lebih sering menantikan kepulangan Ichigo dari tempat kerjanya. Aku merasa ingin selalu dekat bersamanya, bahkan ketika menjelang tidur pun begitu. Sejujurnya, aku ingin sekali dia tidur di sampingku.

Sayangnya aku tidak mempunyai alasan yang kuat untuk meminta itu padanya. Biarlah seperti ini saja dahulu. Jika pun dia mau, belum tentu dia menyukainya. Aku tidak boleh egois.

"Melamun lagi?" suara Ichigo berhasil membuyarkanku yang terlena akan nikmatnya melamun.

"Aku hanya sedang menikmati acara TV," elakku, tentu saja tidak berhasil membohongi pria yang kini tengah duduk di sebelahku ini.

"Ah, kalau pun memang melamun itu tidak masalah bagimu, kan?" lanjutku cepat.

"Memang, tapi akan bermasalah dengan bayiku nanti. Aku tidak mau dia sepertimu, tukang melamun," balas Ichigo yang berhasil membuatku tertawa geli.

"Ada apa?" Ichigo mengernyit tak suka melihatku menertawakannya.

"Tidak apa-apa. Hanya saja ini pertama kalinya kita duduk bersama setelah kejadian itu," ucapku sehati-hati mungkin agar tak membuat emosinya terpancing.

"Aku hanya lelah. Aku benar-benar tidak bisa menghindar darimu karena ada bayiku," balasnya pelan.

Aku menghela nafas sejenak. Memang benar, kurasa bayi ini selalu ada saja cara yang bisa membuat kami dekat satu sama lain.

"Jangan bicara seolah-olah ini adalah bayimu seutuhnya, kau bahkan tidak benar-benar tahu perkembangannya," ucapku tak lupa menggembungkan kedua pipi tanda lumayan kesal dengannya.

"Oh benarkah? Kalau begitu aku minta maaf," setelah mengatakan itu Ichigo menoleh menghadapku persis dan melanjutkan kalimatnya, "bolehkah aku mengusap perutmu?"

Aku terkejut, sungguh. Pasalnya ini adalah kali pertama Ichigo mau melakukan hal itu. Rasanya ada sedikit rasa haru di dada.

"Ya, tentu," jawabku pelan diiringi dengan senyuman terbaikku.

Ketika telapak tangannya yang lebar menyentuh perutku yang besar ini rasanya aku ingin menangis. Aku juga merasakan bayi dalam kandunganku tengah menendang dan kudapati raut Ichigo terkejut dan polos secara bersamaan. Entah kenapa hal kecil itu membuatku senang.

"Rukia, dia menendang. Apa dia tak menyukaiku?" tanya Ichigo yang benar-benar membuatku tertawa.

"Bodoh, dia itu sangat aktif. Kau saja yang baru merasakannya, aku sudah berkali-kali tahu," jawabku sekenanya.

"Ah benarkah? Kalau begitu mulai sekarang aku akan lebih memperhatikannya," balas Ichigo yang sungguh di luar dugaan kini kepalanya sudah berada di atas perutku guna mendengar lebih tendangan-tendangan kecil Si bayi.

Hei Ichigo, tidakkah kau tahu betapa berdebarnya jantungku ini?


000

Disaat usia kandunganku sudah mencapai angka delapan Ichigo justru tengah sibuk dengan pekerjaannya. Ia sering terlambat pulang, bahkan kini ia tidak bisa pulang selama dua minggu berturut-turut. Ini karena ada proyek yang super eksklusif di luar kota, maka dari itu Ichigo sendiri yang langsung menanganinya. Ia bilang tidak mau melewati proyek ini. Untuk proyek yang lain biasanya ia akan menyerahkan semua pada anak buahnya.

Rasa hampa selalu menderaku kala Ichigo tak berada di rumah. Seperti hari ini, malam yang berisik akibat hujan deras mengguyur bumi. Meskipun dia rajin menanyakan bagaimana keadaanku dan sang bayi lewat telepon, aku tetap merasa itu takkan mengurangi rasa rindu yang terlampau berlebih. Tentu aku heran dengan keadaan ini, apa yang membuatku merasa sangat merindukan sosok Ichigo. Ya, mungkin karena aku sudah terbiasa dengannya. Namun, bagaimana nasibku nanti jika sudah benar-benar berpisah dengannya? Hanya dua minggu saja aku sudah merasa rindu setengah mati.

Aku meremas baju di bagian dada. Bagaiman pula dengan bayi ini nanti? Jika dipikir kembali semua ini mulai terasa perih. Aku ingin selalu ada di dekatnya, mengasuh anak ini bersama.

Ichigo, salahkah aku berpikir begitu?

Aku mulai menangis dalam diam. Ini adalah kali pertama aku menangisinya. Tidak, lebih tepatnya menangisi nasibku karena dirinya. Aku usap perutku yang kian membesar. Aku tersenyum ketika mendapati bayiku menendang, sepertinya dia sedang mencoba menghibur ibunya. Aku makin tak sabar menanti kelahirannya.

Hujan di luar makin deras, dan petir pun makin menggelegar. Ichigo, kapan kau akan pulang?

Ah, terlalu lama bersedih membuatku lama-lama tak nyaman juga. Karena malam semakin larut aku ingin mengistirahatkan diriku saja. Rasanya susah sekali bangkit dari sofa empuk ini, semua karena efek kakiku yang bengkak dan beban yang berlebih di bagian perut. Jika begini Ichigo pasti akan membantuku berdiri. Lagi, aku tak kuasa menahannya. Aku menangis dan mengurungkan niatku ke kamar. Aku duduk kembali sembari menangis tertahan.

Suara pintu terbuka dan langkah kaki seseorang berhasil membuatku menghentikan tangisan ini. Aku bisa menebaknya, dia Ichigo. Dengan cepat aku menghapus tangisanku, lalu mencoba berdiri berniat untuk menyambutnya. Akan tetapi sudah terlambat, dia sudah berdiri persis di depanku dengan keadaan setengah basah.

Dia menatapku intens, aku tidak tahu apa yang ada di pikirannya. Yang bisa kulakukan adalah berdiri dengan susah payah tentu dibantu olehnya dan tak lupa aku ucapkan selamat datang.

Aku berhasil berdiri di depannya. Tangannya masih memegang erat tanganku, tetapi ketika ia akan melepaskannya dengan cepat aku menggenggam tangannya kembali. Aku tahu dia terkejut, aku tak peduli. Aku hanya ingin menyampaikan sesuatu padanya.

"Ichigo, bisakah kau memelukku? Hanya untuk kali ini saja," pintaku sembari menatap matanya.

Masih dengan keterkejutannya dia mengangguk. Dan dia sekarang sedang memelukku lembut. Aku dapat merasakan kehangatan yang terpancar dari tubuhnya meskipun pakaian yang kini ia kenakan sedikit basah. Aroma tubuhnya benar-benar menenangkanku.

Aku membalas pelukannya sedikit erat. Aku ingin menangis lagi, sungguh. Rasanya ingin merutuki diri sendiri yang entah kenapa berubah menjadi pribadi cengeng.

"Menangislah," ucap Ichigo yang berhasil membuatku terkejut.

Tak lama kemudian aku benar-benar menangis. Kurasakan ia mengusap kepalaku lembut. Itu membuatku semakin nyaman dalam pelukannya.

"Ichigo, kau lama sekali," protesku ditengah tangisan yang belum berhenti ini.

"Maaf."

"Hm, aku merindukanmu. Maaf," ucapku jujur, aku benar-benar tak tahan.

"Tak apa, sekarang tidurlah. Aku akan menemanimu, kita tidur bersama," balas Ichigo yang sudah pasti membuatku heran.

Bagaimana tidak, ini pertama kalinya Ichigo mengajakku tidur bersama. Meskipun aku pernah mengharapkannya, tetapi aku samasekali tak berani meminta untuk tidur bersama dengannya.

Dia mulai menuntunku menuju kamar yang biasa aku tempati. Rasanya aneh, dulu kami tidak sedekat ini. Tetapi, aku pun tidak bisa mengelak bahwa aku menikmati saat-saat seperti ini.

Dengan hati-hati Ichigo membaringkanku ke atas kasur empuk yang biasa aku pakai dan menyelimuti sampai sebatas dada. Dia menatapku dengan tatapan aneh, aku tidak mengerti.

"Ada apa?" tanyaku penasaran akan tatapannya.

"Tidak, tidurlah dahulu. Aku akan mandi dan menyusulmu segera," jawabnya kalem dan aku hanya bisa mengangguk.


000

Melahirkan adalah hal paling menyakitkan yang kurasakan selama seumur hidupku. Rasanya benar-benar diambang kematian ketika tengah mengeluarkan bayi yang aku kandung selama sembilan bulan ini. Namun hal menyakitkan ini dibalas oleh Tuhan dengan ciptaan-Nya yang indah.

Aku menangis bahagia kala Ichigo membawa bayi mungil kecil dalam gendongannya. Dia laki-laki, aku tahu itu. Dan baru mengetahui bahwa warna rambutnya sama dengan Ichigo. Aku terkekeh geli dalam tangisanku.

"Aku tidak mengerti dengan ekspresimu, Rukia," tanya Ichigo yang sepertinya heran dengan tingkahku.

Aku tersenyum, kulihat dari raut wajahnya dia sedang bahagia. Apakah karena Si bayi?

"Aku yang mengandungnya, tapi kenapa dia justru mirip denganmu," ucapku seraya menghapus sisa air mata yang masih menempel di wajahku.

"Karena dia anakku," jawabnya yang sukses membuatku menggigit bibir guna menahan tangisan yang sepertinya akan pecah lagi.

"Dia sebentar lagi akan berpisah denganmu. Kau ingat dengan kesepakatan kita, kan?" jujur aku tidak ingin ini terjadi.

"Ya, aku ingat."

Jawabannya yang singkat membuat hatiku mencelos. Padahal aku berharap ada respon yang mampu membuatku tersenyum.

"Ichigo kemarilah, aku ingin menggendongnya," pintaku berusaha menenangkan diriku sendiri dari hal tak enak yang akan segera terjadi.

Dengan hati-hati aku menerima bayi yang semula berada dalam gendongan Ichigo. Indah sekali, sungguh. Dengan tak sabar aku mencium keningnya. Dia adalah bayi kami, aku ibunya dan Ichigo ayahnya.

"Aku ingin membuat kesepakatan sepihak," ungkapan Ichigo yang secara tiba-tiba berhasil mengalihkan perhatian dari pangeran kecilku.

"Apa yang kau inginkan?" kutatap matanya dalam dan terlihat dia menghembuskan nafasnya sejenak, seperti akan mengungkapkan sesuatu yang menurutnya sulit.

"Aku ingin kita merawatnya bersama, Rukia. Kau akan menjadi ibu yang akan merawat dan menjaganya, lalu aku akan menjadi seorang ayah yang akan membimbingnya dengan baik."

Demi Tuhan, apa benar ini Ichigo? Aku ingin percaya kalau kata-kata itu tidaklah bohong. Dan nyatanya itu sesuai dengan harapanku.

"Kenapa?" tanyaku masih dalam ketidakpercayaan ini.

"Tanyakan saja pada waktu yang sudah berjalan."

Aku tersenyum, mengerti apa maksudnya. Ichigo memang lemah dalam penyampaian kata-kata, tapi sangat pandai untuk masalah tindakan, dan aku memakluminya.

"Kurosaki Daichi," kulihat Ichigo terkejut sekaligus bingung dalam waktu bersamaan ketika aku mengatakan hal itu.

"Namanya Kurosaki Daichi, bagaimana?"

Dengan cepat ia mengangguk dan mengiyakan pertanyaanku. Dia tersenyum, senyum paling menawan yang baru kulihat untuk pertama kalinya. Kembali lagi, jantung ini berdegup lebih kencang seperti saat-saat yang lalu. Dan hanya dia yang berhasil membuatku seperti ini.

Hei Ichigo, aku ingin sekali cepat pulang ke rumah lalu menyiapkan makanan untukmu dan anak kita segera. Aku sungguh tidak sabar. Kau menginginkan hal yang sama, kan?

.

.

.

.

.

A/N: Kembali dengan ide pasaran, yang penting asli karya sendiri walau amburadul bin lebaii hehehe. Sudahlah, sampai jumpa lagi.