Change! by Lillya Hozikawa

Chapter 1

#

Tropical Land, 05:15 P.M

"Ran, bukankah masalah ini sudah selesai?" kata seorang pemuda tampan berkulit putih dan berambut hitam kepada gadis berambut panjang yang duduk di hadapannya di sebuah café.

"Hmm…" Gadis yang dipanggil Ran tadi hanya bergumam tak jelas dengan kepala menunduk menatap jus stroberi yang sedari tadi ia aduk.

"Ran!" Habis sudah kesabaran pemuda tadi.

Ran mengangkat wajahnya, menatap wajah pemuda di hadapannya. "Aku mengerti kalau kau bosan denganku, Shinichi..." gumamnya. Mata beriris ungu muda itu menerawang.

"Ran!" Shinichi mengurut pelipisnya, kepalanya mulai sakit karena drama percintaan satu ini. "Bukankah sudah kukatakan berulang kali kalau dia hanya KLIEN-ku?"

Ran yang kaget karena Shinichi meninggikan suaranya untuk memberi penekanan langsung bangkit dan berlari keluar dari café tersebut. Meninggalkan Shinichi yang masih terpaku.

"Sial!" Shinichi yang sudah tidak bisa lagi menahan emosinya langsung menyusul mengejar Ran. "Ran! Tunggu!"

Namun Ran tak menoleh, apalagi berhenti. Tetap berlari tanpa meminta maaf kepada orang-orang yang sudah ditabraknya. Tidak ada di pikiran gadis berambut hitam yang juga merupakan kapten klub karate di SMU Teitan ini selain berlari, menjauh dari Shinichi, sang detektif SMU dari Timur yang selama tiga bulan ini menjadi kekasihnya, untuk menenangkan diri.

Mouri Ran, nama lengkap gadis ini. Ia tahu bahwa kecemburuannya ini berlebihan. Tapi, hei! Perasaan macam apa yang akan muncul ketika melihat pacar kalian sedang berbincang dengan gadis lain—yang terlihat begitu cantik—sambil minum kopi di Poirot tanpa sepengetahuan kalian? Pasti api cemburu akan menyusup ke dalam hati kalian.

Ia sudah berulang kali mendengar penjelasan Kudou Shinichi, bahwa gadis itu hanya kliennya. Mereka membicarakan kasus yang akan diberikan pada pemuda itu sambil minum kopi hanya untuk mendapatkan suasana yang nyaman. Tak lebih.

Dan Ran tetap kesulitan untuk menerima hal itu.

"Ayolah, Ran, berhenti!" teriak Shinichi di kejauhan. Tetapi seperti yang kita tahu, Ran tetap berteguh pada pemikiran awalnya. Ia tetap tak mendengarkan suara Shinichi terasa semakin jauh di belakangnya.

Ran ingin menata kembali perasaannya. Ia terlalu terkejut dengan kenyataan bahwa Shinichi baru saja membentaknya.

Setelah keluar dari Tropical Land, Ran sudah tak mendengar suara Shinichi lagi. Tak terdengar derap langkah terburu-buru yang mengikutinya. Tak ada lagi panggilan yang menyerukan namanya.

"Ia tak mengejarku…" bisik Ran lirih. Ia menghentikan sebuah taksi yang lewat di depannya dan segera masuk. Setelah menyebutkan alamat yang dituju, Ran menangkupkan wajahnya di kedua telapak tangannya dan mulai menangis.

#

"Ayolah, Ran, berhenti!" teriak Shinichi sekuat tenaga. Tapi dia tetap berlari tanpa mempedulikan pemuda tersebut yang memanggil-manggil namanya seperti orang kesetanan.

Kenapa perempuan begitu merepotkan? Mereka selalu bertindak sesuai perasaan mereka tanpa pemikiran yang jelas. Logika tidak lagi berarti bagi cewek yang dalam keadaan labil.

Dan inilah dia, mengejar seorang Mouri Ran, sang kekasih, yang cemburu kepada seorang klien dan kabur setelah Shinichi tanpa sengaja membentaknya.

'Sebenarnya apa sih salahku? Setahuku Ran adalah gadis kalem dan tenang, tidak emosian seperti ini,' batin Shinichi.

Dan akibat tidak memperhatikan jalan—pemuda itu terlalu fokus pada sosok Ran yang sudah menjauh—Shinichi menabrak seorang lelaki besar yang mengenakan kacamata hitam dan juga jubah hitam.

"Pakai matamu, Bocah!" geramnya kepada Shinichi yang terjatuh karena kehilangan keseimbangan. Mari menobatkan hari ini menjadi hari tersial bagi seorang Kudou Shinichi.

"Maaf, maaf," ucapku kepada pria tadi.

"Kita harus segera," kata pria bertopi hitam dan—juga—jubah hitam dengan rambut panjang yang berdiri di sampingnya dingin. Shinichi mengernyitkan dahi melihat penampilannya yang seperti seorang mafia.

"Baik, Aniki," jawab pria besar tadi. Lalu mereka pergi tanpa mengucapkan suatu apapun.

Detektif SMU itu terpaku ditempatnya berdiri. Dilema melanda antara mengejar Ran-sang-kekasih-yang-cemburu atau mengikuti dua pria mencurigakan barusan.

Dan ia pun memilih opsi kedua.

Rasa penasaran sudah tak dapat tahan lagi. Insting detektifnya mengatakan bahwa kedua orang tersebut akan membawanya ke kasus yang tidak biasa.

'Dan, yah, Ran masih bisa diurus nanti. Besok kita bisa bertemu di sekolah, 'kan? Atau telpon saja dia nanti malam,' pikir Shinichi.

Ya, ya, ya. Sudah diputuskan.

Sekarang Shinichi berbalik dan berjalan mengikuti kedua pria berjubah hitam tadi dengan jarak agak jauh, tak ingin ketahuan kalau pemuda itu membuntuti mereka. Shinichi mencoba bersikap senormal mungkin, memasukkan kedua telapak tangannya ke dalam saku jeans.

Setelah beberapa menit kedua pria itu berbelok dan menuju ke belakang sebuah gudang di pojok taman bermain ini. Tambah mencurigakan.

Shinichi bersembunyi di balik pilar besar yang agak jauh dari posisi mereka, tempat yang dirasa strategis karena pemuda itu tetap bisa memperhatikan mereka sambil menyembunyikan dirinya.

Beberapa saat kemudian datanglah seorang pria yang membawa koper berukuran kecil seperti tas para eksekutif. Ketiga orang itu bertukar kata yang tak bisa ditangkap karena jarak.

Pria yang baru saja datang tadi menyerahkan koper tadi dan pria berambut keperakan panjang itu menyerahkan sesuatu. Pria yang menyerahkan koper dan segera pergi dari tempat itu.

'Transaksi ilegal?' tebak Shinichi. 'Mungkin lebih baik jika aku menelpon Inspektur Megure.'

Tapi belum sempat ia meraih ponselnya, secara tiba-tiba Shinichi merasakan hawa keberadaan seseorang di belakang. Hawa yang pekat, membuat bulu kuduk meremang.

"Kita kedatangan seekor tikus detektif yang memata-matai…." desisnya dengan nada yang sangat dingin. Setelah itu Shinichi merasakan hantaman benda tumpul telak di tengkuknya.

Shinichi menjerit, kesakitan, sembari merutuki dirinya sendiri yang tak menyadari keberadaan seseorang di belakangnya lebih cepat.

"Aniki.…"

"Bagaimana kalau kita gunakan obat itu?" tanya orang yang dipanggil 'Aniki' tadi tetap dengan nada dingin yang menusuk.

"Obat itu?" tanya pria besar tadi.

"Ya, obat yang baru saja dikembangkan organisasi."

"Oh, obat itu!"

"Kita memerlukan tikus percobaan dan bocah detektif ini datang menawarkan diri." Wajah sang 'Aniki' manampilkan seringai kejam.

Situasi ini sangat berbahaya! Tikus percobaan? Organisasi? Obat? Situasi apa sebenarnya yang telah dihadapi Shinichi?

Kemudian pria dengan rambut keperakan membuka mulut pemuda tersebut secara paksa dan memasukkan sebuah kapsul ke dalam rongga mulutnya. Setelah itu ia meminumkan air dari sebuah tabung reaksi dan menjambak rambut Shinichi serta mendongakkan kepalanya, memaksa pemuda itu untuk menelan apa yang ada di mulutnya.

"Hah, mari kita kembali. Pasti 'orang itu' sudah menunggu," desis 'Aniki'.

"Bagaimana dengan tikus ini, Aniki?"

"Tinggalkan saja, obat itu akan segera bereaksi dan membunuhnya. Kita harus cepat kembali."

"Argh!"

"Aniki benar, obat itu sudah bereaksi," kata pria besar itu, melihat Shinichi yang menggeliat kesakitan. "Ini artinya Sherry berhasil dengan percobaannya, ya, Aniki."

"Arrrgh!"

"Ayo!"

Dengan kata itu, maka pergilah kedua pria tadi. Meninggalkan Kudou Shinichi, kesakitan akan obat—racun—yang ditelannya secara paksa.

"Uhh…. AARGHH!" Efek dari obat tadi sungguh menyiksa, membuat Shinichi lebih memilih mati dengan kepala berlubang.

Rasanya, seakan tubuh ingin rontok, lepas, dan tercerai-berai. Panas yang melanda, membuat tulang-tulang serasa meleleh. Jantung pu berdetak begitu cepat sehingga seakan-akan ingin meledak. Organ-organ tubuh pun—

"AARGGHH!" raung Shinichi.

Setelah itu kegelapan melanda.

#

"—hat, lihat, jarinya bergerak!" seru seseorang.

'Siapa itu? Ini dimana?'

"Cepat panggil dokter!"

'Tuhan, apakah aku masih hidup?'

Perlahan Shinichi membuka kedua matanya. Berat sekali, seakan ada yang merekatkan kedua kelopak mata, tapi tetap ia coba.

Putih. Itulah hal pertama yang terpikirkan baginya, kemudian ia mencoba untuk duduk.

"Hati-hati," seru seorang wanita berumur sekitar akhir 30. Wanita itu membantu Shinichi untuk mengubah ke posisi duduk di tempat tidur yang tak nyaman ini. Ia mendirikan bantal di kepala tempat tidur itu untuk bersandar.

"Dimana?" tanya Shinichi dengan suara serak, walau ia sudah bisa memperkirakan lokasi ia berada saat ini.

"Rumah Sakit Beika," jawab wanita itu. Shinichi menganggukkan kepalanya sekali mendengar jawaban itu, tidak terlalu terkejut. "Bagaimana keadaanmu?"

"Buruk, kepalaku sakit," jawabnya seadanya. Shinichi masih merasakan kepalanya yang berdenyut, sakit, dan terasa berputar.

"Hm, mungkin karena luka di kepalamu itu," opininya. Refleks, sang detektif menyentuh kepalanya. Perban membalut. "Mungkin parah sekali, sampai kau pingsan selama dua hari sejak aku dan suamiku menemukanmu di Tropical Land."

Oh, begi—HAH? Apa yang dia bilang tadi? Dua hari?

"Hari apa ini?" tanya Shinichi, masih dengan suara serak. Suara yang ia keluarkan terdengar aneh, dan tenggorokannya sakit.

"Hari Rabu, pukul 10:24 A.M," jawabnya lengkap.

'Selama itu?' pikir Shinichi dalam hati.

"Emm, bisakah kau memberitahu namamu?" Shinichi mengangkat sebelah alisnya. Wanita itu tersenyum, lalu melanjutkan, "kami kesulitan menghubungi keluargamu, Nona..."

'Oh... WHAT THE HELL? Ia bilang NONA? N-O-N-A? Apa maksudnya? Sungguh, lelucon yang tak lucu...'

"Apa maksudnya?" tanya Shinichi dengan suara datar.

Wanita itu tersenyum. "Kau sudah dua hari di sini, jadi mungkin keluargamu cemas dan mencari—"

"Bukan itu!" potong Shinichi cepat.

Kini wanita berambut hitam sebahu itu menjadi bingung. "Ha?"

"Kata NONA itu..."

Dan raut wajah wanita itu menjadi aneh. Mulutnya terbuka sedikit. Tanda tanya besar terpampang di wajahnya.

"Kenapa? Tak mungkin 'kan jika aku memanggilmu 'Tuan'?" ucapnya dengan nada tak yakin.

Kini Shinichi yang dibuat melongo dengan jawaban yang dia terima.

"Ada apa ini?" jerit Shinichi, bingung dengan situasi yang dihadapinya.

'Eh, apa tadi? Kenapa suaraku seperti ini? Lengkingan yang begitu tinggi dan memekakkan telinga seperti seorang... WANITA?' Shinichi merasakan kepalanya bertambah sakit ketika pemikiran itu muncul di benaknya.

"Hei, kau kenapa? Ada yang sakit?" tanyanya cemas.

"Ada apa?" sebuah suara bariton yang baru masuk. Dokter.

"..." Shinichi tak bisa berkata-kata.

"Dokter, tolong periksa anak ini. Wajahnya pucat dan katanya kepalanya sakit," kata wanita itu cepat.

Ketika dokter itu melangkah maju, Shinichi berkata, "Aku tak apa-apa."

"Kau yakin?" tanya dokter itu, diikuti anggukan cemas dari wanita tadi dan seorang pria berambut cokelat tebal yang baru ia sadari keberadaannya.

"..." Shinichi tidak menjawab.

Kemudian aku mendengar helaan napas seseorang, yang kemudian disadari itu adalah sang dokter.

"Oke," kata dokter itu dengan nada final. "Kalau begitu, bisakah kau beritahu, apa yang membuatmu terluka?"

Shinichi menatal wajah sang dokter, lalu menjawab, "Seseorang memukul kepalaku..."

"Kenapa?"

"Lalu aku membuntuti mereka..."

"Benarkah?" tanya pria satunya, yang kuperkirakan sebagai suami dari wanita tadi.

"Hmm..."

"Lalu, siapa namamu?" tanya dokter lagi.

"..." Lagi, Shinichi tidak menjawab.

"Ada apa?" tanya wanita tadi.

"Bisakah aku meminjam cermin?" tanya Shinichi dengan perlahan. Dia ragu, takut jika dugaannya terbukti benar. Tetapi...

"Untuk apa?" si dokter mengangkat sebelah alisnya.

"Tak apa..."

Walau bingung, tapi dokter tadi merogoh jas dokternya yang berwarna putih dan mengambil sebuah ponsel. Ia menekan beberapa tanda di ponsel itu kemudian menyerahkannya itu kepada Shinichi dengan fitur kamera depan yang sudah aktif.

Shinichi merasakan jantungnya yang berdetak cepat. Ia cemas jika pemikiran anehnya menjadi kenyataan.

Perlahan, ia mengarahkan layar ponsel tersebut ke wajahnya.

"..."

"..."

"..."

"..."

Beberapa saat berlalu dalam keheningan. Tak ada yang bersuara sedikitpun. Hanya suara jarum jam yang terdengar di ruangan tersebut.

"GYAAA!" jerit Shinichi. Uh-oh! Yang dipantulkan oleh kamera itu tidak seperti yang diharapkan. Tetapi...

... wajah asinglah yang terlihat. Dan sepertinya pemikiran buruk tadi benar-benar terjadi. Shinichi...

...

... menjadi seorang perempuan!

Apa yang sebenarnya terjadi? Yang kulihat di cermin tadi adalah pantulan wajah seorang gadis! Terlihat dari garis wajahnya yang—tentunya—berbeda dengan seorang pemuda. Garis wajah yang lembut, wajah pucat yang cantik, mata berwarna biru aqua yang sedikit terbelalak, bibir merah muda pucat yang tipis... Dan kini baru ia sadari bahwa rambut hitamnya yang semula pendek sudah mencapai pinggang dengan sedikit bergelombang seperti Kudou Yukiko.

Shinichi tak berani melihat ke bawah!

"A-ada apa?" tanya wanita tadi. Ia kembali ke dunia nyata dan sadar bahwa masih ada tiga orang makhluk di ruangan ini selain dirinya.

"T-tidak apa..." jawabnyaterbata.

"Kalau begitu, siapa namamu?" tanya dokter. Pemuda—DIA SEORANG PRIA WTF—itu menggeleng.

"Kenapa?" tanya dokter lagi. Sang detektif SMU tak menjawab. Dipejamkannya kedua matanya dan kembali bersandar ke bantal. Ternyata, tanpa disadari ia sudah duduk tegak.

"Tinggalkan aku..." ucap Shinichi lirih.

"A-ada a—"

"Kumohon..."

"Oh, baiklah. Kami akan meninggalkanmu di sini untuk beristirahat. Jika ada sesuatu, kau bisa tekan nurse call yang ada di samping tempat tidurmu. Kami permisi," kata dokter itu. Ketiga orang itu meninggalkanku sendiri di kamar. Setelah pintu tertutup, Shinichi menghela napas panjang. Ini gila! Apa yang baru saja terjadi Apa-apaan ini?

#

A/N:

Hai! Saya memutuskan untuk merevisi cerita ini karna gakuat waktu iseng baca ulang isi akun saya. orz Saya gabisa memastikan akan apdet secara rutin, karna saya lupa sama detail karakter atau segala macam di DC orz Saya udah jatuh cinta sama Tony Stark dan suami2nya ./.

But I hope you enjoy it!

RnR pls? *wink*