THUNDER
Bangtan Sonyeondan! AU
All characters here belong to God, their parents, and BigHit Entertainment. I don't intend to take any profits from this. Plot is mine and if there is the same plot, please do forgive me. However humans arent perfect and coicidence always happens.
Min Yoongi / Park Jimin
Crime, Semi-fluff, Semi-angst
Please do mind of kesalahan penulisan, penggunaan EYD tidak tepat, fanfiksi yang tidak sempurna, alur cepat serta out of character yang cukup sering terjadi.
Selamat membaca dan jangan lupa tinggalkan komentar.
Seumur hidup, Jimin tidak pernah berharap untuk mencintai manusia berhati iblis. Takdirlah yang mempertemukan mereka. Lebih tepatnya, memaksa mereka untuk bersama.
Adalah Min Yoongi, pria berusia dua puluh tiga tahun yang kini menekuni pekerjaannya sebagai seorang pembunuh bayaran. Titel profesional telah Yoongi kantongi sebab ia bergabung dalam klub sejak lima belas tahun silam.
Yoongi kecil hanyalah anak yatim piatu yang terlantar sebelum disaring oleh kelompok pembunuh bayaran untuk dididik menjadi salah satu di antara mereka. Tentulah setelah kegiatan pelatihan dan pendidikan dasar itu, Yoongi resmi menjadi benih pembunuh bayaran yang kemampuannya tersertifikasi.
Yoongi tumbuh menjadi manusia super kejam dan tanpa kenal ampun terhadap korbannya. Yoongi pun tidak peduli akan dosa. Menurutnya, Tuhan tidak perlu disembah karena Tuhan adalah hal bodoh yang tidak pernah ada namun dipercaya oleh orang-orang bodoh pula. Yoongi adalah Tuhan bagi dirinya sendiri. Dia berhak melakukan apapun yang ia mau. Dia sendirilah yang menentukan hidup dan matinya. Bukan Tuhan. Bukan orang lain. Hanya Yoongi.
Berbeda dengan Jimin, remaja berumur belasan tahun itu memiliki hati sebaik malaikat. Senyumannya secerah sinar matahari dan tingkahnya selembut ibu peri. Latar belakang yang ia miliki sama dengan Yoongi. Tanpa memiliki ayah dan ibu, dan dibesarkan di panti asuhan. Untungnya Jimin cukup mendapatkan kasih sayang. Jadi, Jimin tumbuh menjadi pemuda yang perhatian. Kini Jimin mengemban tugas untuk mengurus adik-adik pantinya tersebut.
.
.
T
.
.
Malam itu Jimin diminta oleh ibu panti untuk membelikan obat untuk adik bungsunya yang demam. Jam besar di pusat kota berdentang sepuluh kali, menandakan bahwa waktu memasuki pukul sepuluh malam.
Angin bertiup kencang, menerpa helaian rambut Jimin dan sweaternya yang sudah tipis. Ia melangkahkan kakinya menuju apotek terdekat. Akan tetapi apotek itu tutup karena libur selama sepekan. Maka, Jimin berjalan menuju halte bus. Ia akan pergi ke apotek dekat pusat kota, yang mana apotek itu selalu buka selama dua puluh empat jam.
Sesampainya di apotek, tentunya setelah mengendarai bus selama beberapa menit, Jimin membeli obat demam. Ketika hendak keluar dari apotek, dia tak sengaja menyenggol pemuda misterius berpakaian serba hitam. Dompet pemuda itu jatuh tanpa dia sadari, lalu dengan cekatan Jimin mengambilnya.
"Tuan! Dompet Anda terjatuh!" ujarnya setengah berteriak.
Yang dipanggil tidak menoleh ataupun berhenti barang sejenak. Malah, berjalan menjauh secepat mungkin dari sana.
Jimin mendecak. Ia pun menyusul si pemilik dompet, mengikuti arah perginya pemuda itu sambil terus meneriakinya. Tapi tetap saja tidak ada respon yang Jimin dapatkan.
Kaki Jimin membawanya ke lorong sempit yang gelap dan basah. Sepertinya hujan telah mengguyur kota beberapa saat yang lalu.
"Astaga Tuan! Dompetmu ketinggalan! Apa kau tidak dengar perkataanku?" bentak Jimin. Nafasnya terengah-engah akibat adegan lari tadi.
Si Tuan akhirnya berhenti tanpa menoleh ke arah Jimin. Ia tak melakukan apapun selagi menunggu yang lebih pendek menghampirinya.
Jimin menghela nafasnya sebelum mendekati si Tuan, "Ini dompetnya. Lain kali kalau seseorang memanggilmu, tolong berhentilah. Aku yakin Tuan tidak mau kehilangan barang berharga milik Tuan." jelas Jimin sambil menyodorkan dompet kulit tersebut.
Satu menit dua menit, lelaki itu tidak juga mengambil dompet miliknya. Jimin heran setengah mati perihal keanehan ini. Ia tidak mungkin berbicara dengan hantu kan? Lagipula jika itu benar hantu, kakinya tidak mungkin menyentuh tanah.
"Tuan?" panggil Jimin.
"Tuan? Kau mendengarku?"
Dor.
Tubuh Jimin diputar secara paksa oleh si Tuan. Ia menggunakan tubuh itu sebagai pelindung dari peluru yang baru saja ditembakkan ke arah keduanya. Untunglah tembakan itu meleset. Mungkin karena si penembak kehilangan konsentrasinya akibat perlindungan diri yang tak terduga itu.
Jimin memejamkan matanya. Tubuh lelaki itu bergetar hebat. Kantung plastik yang berisi obat tadi jatuh ke tanah, pun dompet si Tuan. Jimin shock.
Tubuh Jimin mematung di sana. Ia tidak membuka matanya, takut-takut bila kejadian serupa terulang kembali.
Si Tuan melepaskan cengkeramannya pada tubuh Jimin, mengambil dompetnya lalu pergi.
Dor.
Tubuh itu tumbang di depan Jimin. Mata lelaki itu belum terbuka tetapi ia yakin betul si Tuan jatuh tepat di hadapannya. Ia pun membuka mata, mendapati asumsinya betul adanya.
Si Tuan jatuh di tanah karena luka tembak di bagian leher. Darah segar mengucur dari pembuluh darah yang terletak di sisi trakea.
Kaki Jimin bergetar. Ini kali pertama baginya melihat dengan mata kepala sendiri sebuah kasus pembunuhan.
Untuk sepersekian menit Jimin masih terdiam dalam posisi duduk membentuk huruf w. Kemudian dengan gemetaran ia mengambil ponsel dari saku celananya dan menelepon polisi.
Polisi dan ambulans tiba beberapa menit setelahnya. Polisi menutup dan mengamankan tempat tersebut dengan memberi garis polisi di sekitar tempat kejadian.
Polisi beserta petugas medis memeriksa korban penembakan. Hasilnya, korban tersebut tewas di tempat. Sedangkan Jimin, ia dibawa ke Rumah Sakit terdekat untuk mendapatkan perawatan akibat trauma yang ia alami.
.
.
T
.
.
Keesokannya, Jimin terbangun di kamar rawat Rumah Sakit. Semalam ibu panti diberi kabar tentang kejadian yang menimpa anaknya itu. Saat itu juga ibu panti meluncur ke rumah sakit untuk menengok keadaan Jimin.
"Jimin? Kau sudah bangun nak? Apa kau sudah baikan?" tanya ibu panti dengan nada penuh kekhawatiran.
Jimin mengerjapkan matanya. Perlahan ia membuka kedua kelopak matanya. Ia mengangguk lemah sebagai jawaban atas pertanyaan tadi.
"Syukurlah. Ibu sangat khawatir akan keadaanmu, sayang. Maafkan ibuㅡ jika saja ibu tidak menyuruhmu, kejadian ini tidak akan terjadi." rutuknya sambil menangis.
Jimin menggeleng lemah, tangannya memegang tangan ibu panti yang bergemetar sambil mengelusnya.
"Tidak, Ibu. Ibu tidak salah," ia tersenyum lemah, "bagaimana keadaan Jaemin?"
Anak ini, dalam keadaan seperti ini masih saja mengkhawatirkan orang lain.
"Jaemin baik-baik saja. Demamnya sudah turun. Dia ingin ikut menjengukmu tapi Ibu tidak memperbolehkannya."
"Ah syukur kalau begitu," Jimin menghembuskan nafasnya perlahan, "terima kasih bu. Aku juga tidak mau terlihat lemah dimata adik-adik" lanjutnya sambil tertawa tanpa suara.
Ibu panti tersenyum, "Kau ini aneh sekali, Jimin."
"Bu, aku ingin pulang. Aku rindu rumah."
Setelah menyelesaikan administrasi rumah sakit, Jimin diperbolehkan pulang. Badannya memang masih agak lemas namun Jimin bersikeras mengatakan pada ibu panti bahwa dia baik-baik saja.
Dalam perjalanan pulang, Jimin dan ibunya dicegat oleh barisan polisi yang kemarin. Salah satu di antara mereka memperlihatkan atribut dan identitas kepolisiannya.
"Permisi Ibu, Tuan, saya kepolisian dari distrik V ditugaskan untuk memberikan surat panggilan dari tim penyidik." ujarnya seraya menyodorkan surat resmi berkop polisi.
"Apa maksudnya ini, Pak?" tanya ibu panti heran.
"Anak ibu melihat kejadian penembakan secara langsung. Karena itulah kami meminta beliau menjadi saksi kunci dari peristiwa ini. Tugasnya hanya memberikan keterangan yang sejujur-jujurnya guna menyelesaikan kasus yang kami tangani."
Jimin mengeratkan pegangannya pada lengan ibu panti seraya menggeleng cemas ke arahnya.
"Bagaimana jika saya menolak surat panggilan ini, Pak? Saya tidak ingin anak saya terluka."
"Maaf, bu. Itu menyalahi aturan perundang-undangan. Anak ibu bisa saja masuk penjara. Lagipula anak ibu akan dilindungi sepenuhnya oleh negara. Kami jamin anak ibu akan baik-baik saja selama menjadi saksi." jawabnya tegas.
Ibu panti memandang Jimin yang pucat pasi, "Baik, Pak. Akan coba saya bicarakan dengan anak saya dahulu."
Polisi itu mengangguk dan tersenyum, "Terima kasih bu. Selamat siang."
.
.
T
.
.
"Sial. Setelah ini anjing-anjing itu pasti memburuku."
(To be continued. . .)
First chapter dari aku he he! Gimana prolognya? Bagus nggak? Kalau enggak, aku hapus aja deh. Kalau iya, review ya dimana letak kekurangannya biar bisa aku perbaiki di chapter selanjutnya. Anyway rencananya bakalan ada pair lain tapi masih bingung siapa. Pengen masukin Taehyung soalnya dimanapun Jimin berada pasti ada Taehyung di sana. (Hah)
Kalau ada request atau apapun leave a message in the review box ya! Reviews are appreciated jadi jangan sungkan ngasih kritik yang membangun buat aku hehe!
Makasih! ^ w ^
