Haikyuu sepenuhnya adalah mahakarya Haruichi Furudate. Fiksi ini diperuntukkan hanya untuk kesenangan batin. Tidak ada keuntungan material diperoleh.

Segara pantang payah© Imorz

Ratusan kali Matsukawa membawanya menemui laut. Hanamaki menemui titik jenuh. Kemungkinan.

[ Haikyuu Pair Parade: Minggu ke-8—Laut ]


Dindingnya penuh foto-foto polaroid menempel. Berbagai pose dan berbagai latar belakang. Semuanya diisi wajah Matsukawa dan Hanamaki yang senang menjajah alam dan bercinta dengannya. Pegunungan, lembah, danau, dan air terjun; hampir semua objek alam sudah pernah mereka kecap. Bagaimana sensasi alaminya, ya, Hanamaki tahu benar, tahu sekali.

Apalagi ketika petualanganmu diiringi rekan merangkap pasangan yang kooperatif. Yang bersedia menemanimu ke mana pun tujuanmu. Mulai dari yang masuk akal hingga kurang waras (Hanamaki pernah menjadwalkan perjalanan mereka ke titik perbatasan perang timur tengah, katanya ingin tahu dan ingin dengar sensasi asli tembak-menembak antar prajurit). Agak tolol memang, tapi Matsukawa mampu menengahi keinginannya yang berapi.

Sekali mereka ke suatu tempat, Matsukawa akan mecentang opsi laut sebagai salah satu destinasi wajib.

Bisa dibilang, Hanamaki bosan dengan laut. Dengan aromanya, dengan segaranya, dengan bebiruannya. Kalau Hanamaki dibilang kurang waras otaknya karena bosan bertemu laut—ya, dia memang kurang waras dengan pernyataan itu.

"Jangan gila dulu hari ini, Makki." Matsukawa sudah memasukkan semua peralatan memantainya hari ini. "Aku tahu kau memang begitu. Tapi jangan harap aku percaya kalimat kau bosan dengan laut."

"Aku serius, bajingan."

Hanamaki memang salah satu tipe yang mengeluarkan pendapat apa adanya. Kata-kata sumpahan bukan lagi kemarin hari. Justru, suatu malam, mereka akan saling lempar-melempar nama binatang dalam kesenangan.

"Makanya kubilang kau jangan gila dulu hari ini."

Suasana hatinya memburuk, diikuti penolakan Matsukawa. Yang telah siap menggandeng ransel dan memasang sepatu. Yang tangannya sudah memegang kunci vespa. Mana pula Hanamaki dapat mengurungkan diri jika ia saja sudah siap meluncur pergi. Di sisi lain, Hanamaki masih menggerogoti kue sus cemilan sore.

"Ayo."

Hanamaki menggeleng. Menelan kue susnya sebelum menjawab. "Kali ini, kau pergi sendiri, Mattsun."

"Kau tidak serius."

"Aku seratus persen serius."

"Aku kira kau benar berjiwa pelancong. Sekalipun bosan dengan salah satu objek alam suatu hari nanti, tapi tetap mendatangi dan mensyukuri." Matsukawa berdiri di ambang pintu. "Biar kutanya, apa yang kau dapatkan dengan berdekam di penginapan sementara aku menyaksikan ombak laut? Nonton teve? Kuhajar kau, Makki."

Matsukawa ada benarnya.

Setelah memutuskan untuk menjadi pelancong, Hanamaki hampir tidak pernah lagi menonton acara televisi. Ia sibuk terpukau dengan isi dunia dengan kedua matanya, bukan dari layar kotak televisi yang didramatisir.

Detik selanjutnya, setelah menelan semua kue sus yang tersisa, Hanamaki berbalik dan menyiapkan diri. Sebelum berbalik, ia menjitak ubun-ubun lawan pertama kali.

Vespa Matsukawa adalah sebuah legenda.

Saksi bisu dari tempat-tempat yang pernah mereka jajah. Rodanya berputar menggiring harapan dan ekspektasi setiap tempat. Tidak jarang hampir dicuri, tapi entah mengapa selalu gagal seakan punya kekuatan magisnya sendiri. Matsukawa sayang bukan main dengannya. Hanamaki berada di nomor dua, maaf.

"Ini akan menjadi laut terakhir untuk kita." Suara Hanamaki melebur dengan angin sore.

"Mimpi kau."

Perut Matsukawa didekap dari belakang, tidak kuat tapi terasa erat. Punggungnya menjadi tempat sandaran.

"Hei, Mattsun. Apa yang kau lihat dari laut sebenarnya?"

"Kau."

"Jangan melawak."

"Kalau aku bergurau, kau boleh berposisi di atas malam ini."

"Tapi yang menusuk tetap kau."

"Tentu saja."

Hanamaki terkekeh. Antara malu atau geli, apa saja. Kerap kali Matsukawa berceletuk lelucon mesum, yang menurutnya lucu dan membikin pipinya panas.

"Kau tahu, aku benar-benar melihat laut dalam dirimu. Kau liar, tidak mudah dijinakkan. Faktanya, tujuh puluh persen isi bumi adalah lautan. Makanya sekali ditaklukan, aku seperti menggenggam dunia."

"Jangan membuatku malu."

Matsukawa memutar genggaman vespanya lebih ke bawah, menaikkan kecepatan gas dan Hanamaki merespons dengan eratan pegangan. Ujung depan vespa membelah angin seperti pedang. Pemandangan di tepi jalan berubah layaknya arai-arai, semuanya berlalu tanpa sapa. Menyelip berbagai kendaraan di depan. Kadang Hanamaki dibuat tertawa oleh pekikan klakson dari para pengendara lain. Mereka hanya tidak tahu bagaimana rasanya adrenalin yang memuncak milik para kawula muda, terutama ketika beraksi di jalanan.

Pemandangannya berubah. Dari kehijauan vista, menjadi bebiruan segara. Seperti biasanya, Hanamaki akan melihat tengah laut sebelum sampai di pasir pantai. Ia memang bilang bosan dengan laut, tapi setiap kali menemui, matanya tetap jujur berkata laut memang spektakuler. Ia begitu atraktif. Cantik sekaligus mematikan.

"Katakan lagi kau bosan dengan laut ketika kita sudah sampai."

Tidak ada jawaban, Matsukawa terus melajukan kendaraan. Hanamaki dibawanya diam oleh panorama.

Maka segala cola-calanya tentang laut luruh ketika ia sampai menginjak bibir pantai. Ketika kerikil-kerikil buih menghantam kaki dan jemarinya. Serta lembayung sore yang begitu terang-benderang membutakan mata. Hanamaki menunduk, menatap kakinya yang terendam. Ia ingin meminta maaf. Pada laut, pada alam, pada Matsukawa. Untuk seluruh omong kosong hari ini. Coba saja ia tetap menetap di penginapan, Hanamaki akan begitu rugi terhadap dirinya sendiri.

Matsukawa tepat berdiri di sebelah, sama-sama mengatup rapat bibir. Betapa nikmatnya tubuh diterpa laut sore menuju senja, pikirnya. Oh, lihat kumpulan berlian di ujung sana. Bagai pecahan kaca yang mengkilap. Barangkali bisa diambil kalau ia seorang penyihir. Matsukawa ingin merangkainya, menjadikannya songkok kebesaran, untuk ditaruh pada kepala Hanamaki.

"Yakin kau bosan, Makki?" tanyanya memastikan sekali lagi.

"Tidak jadi."

"Meski sudah ratusan kali aku membawamu menemui laut?"

"Selama ratusan kali itu laut selalu mencengangkanku. Aku baru sadar itu."

"Sewaktu kita belum berangkat, apa yang membuatmu berkata kau bosan?"

"Tidak ada alasan pasti, aku terucap sembarang. Mungkin karena jumlah pergi ke laut lebih banyak daripada pergi ke gua."

Cepat Matsukawa menoleh. "Mau pergi ke rumah sakit setelah ini? Mungkin otakmu sedikit bergeser setelah makan kue sus."

"Bangsat."

Punggung Matsukawa menjadi wadah tendangan Hanamaki yang terlanjur kesal. Di hadapan laut ia dipermalukan tidak senonoh. Mau ditaruh di mana mukanya nanti.

Hanamaki teringat satu fakta lagi, yang mungkin luput dari pemikiran Matsukawa. Cih, padahal otak lelaki itu yang bergeser karena sembarang tindak. Ini bukan sebuah jadwal apalagi direncanakan. Tapi, Matsukawa memang akan selalu lebih agresif sepulang ia dari laut. Selalu. Setelah wisata laut, mereka akan lupa mimpi dan memilih terjaga semalaman. Dengan kegiatan saling mengguit, menggigit, mencabik berahi hingga memuncak dan berteriak berapa kali ronde.

"Sampai matahari tenggelam sepenuhnya, kita segera pulang."

Mungkin memang laut begitu ajaib. Menghanyutkan setiap insan dengan rayu ombak dan buih. Bisikannya adalah sebuah godaan. Maka intinya, selain menakjubkan secara visual, diam-diam ia menghasut manusia untuk tenggelam.

"Ya, kita akan segera pulang. Tapi aku ingin menikmatinya dulu sampai puas."

"Nikmati saja."

Setelah itu, kau yang akan menikmati Hanamaki, huh? Akal bulusmu terbaca jelas.

.

.

.

Selesai.


a/n: saya amat senang dengan laut. Akhir-akhir ini matsuhana selalu menjadi bahan yang tepat untuk penggambaran laut lewat perspektif saya, heh. Terima kasih sudah membaca!