Cinta terpendam mereka telah tersingkap.

Tidak ada lagi teka-teki yang mengusik penasaran.

Tidak ada lagi rasa khawatir bertepuk sebelah tangan.

Tangan mereka sudah saling menggenggam.

Tapi benarkah mereka sudah menggenggam hati masing-masing?

Apa benar debaran yang di hati itu karena adanya cinta, bukannya karena hal lain?

.

.

.

.

.

.

.

Our Discontinued Story

(Sequel dari Kukejar Lukisanmu)

Naruto (c) Masashi Kishimoto

.

.

.

.

OOC, Typo(s), Rush, Cheesy, etc

Setting waktu : 2 tahun setelah fic Kukejar Lukisanmu

DLDR

.

.

.

.

.

.

.

Deadline manga mingguan ini benar-benar membuat kepala Sakura berkedut pusing. Ia mematikan lampu meja yang menerangi kertas gambarnya dan menutup matanya yang perih.

"Jangan memaksakan dirimu, Jidat."

Mata beriris hijau itu melirik ke belakang, tempat duduk si editor berambut pirang yang sedang menaruh irisan timun di kelopak matanya yang tertutup. Bungkusan masker wajah dan botol-botol cat kuku tergeletak di meja tak jauh darinya. Melihat itu semua Sakura hanya bisa memijit pangkal hidungnya lelah.

"Hei, Pig, sudah kubilang jangan membawa barang-barang kecantikanmu itu ke studioku. Bagaimana jika masker atau cat kukumu itu tumpah di atas manuscript-ku?" sinis Sakura lelah.

Perempuan pirang itu hanya mengacungkan jempol dan berucap santai, "Tenang. Sai bisa diandalkan." Pemuda berambut hitam yang duduk di pojok ruangan hanya mendesah pasrah mendengar gurouan editor itu.

Gemas, Sakura meremas-remas kertas menjadi bola untuk dilempar ke wajah editor centil itu. Tapi sayangnya sang target bisa mengelak mudah walau kelopak matanya tertimpa timun. Sakura hanya mendelik walau tadinya ia ingin standing applause.

"Kau 'kan tahu pernikahanku sebentar lagi. Aku tidak bisa berdiri di altar dengan wajah kusut dan mata yang berkantung," ucapnya sambil menyingkirkan timun-timun di matanya agar bisa melihat wajah Sakura. "Astaga. Aku melihat zombie!"

"INO!"

Dengan brutalnya ia memukuli Ino dengan bantal yang tadi ia pakai untuk bersender di kursi. Ino tidak hanya tertawa untuk menghentikan tindak kekerasan sahabatnya. Timun yang ia sumpalkan ke mulut Sakura berhasil membuat gadis merah jambu itu terdiam horor.

"Aku serius! Wajahmu benar-benar tidak terdefinisi!"

Sakura tidak menanggapi. Ia hanya berlari ke jendela untuk memuntahkan isi mulutnya keluar ("Hei kenapa muntah di situ!"—Ino histeris) dan meneguk segelas air. Disekanya air yang menetes di ujung bibirnya dengan punggung tangan dan menatap Ino galak.

"Jika aku tidak melakukan itu, kau akan memecahkan rekor untuk duduk di kursi tanpa beranjak selama dua hari berturut-turut," tukas Ino, menjawab tatapan galak mangaka asuhannya.

"Dan kau menggagalkan rekorku."

"Serius. Kau tidak tidur selama dua hari tapi lembar kertasmu masih kosong. Apa gunanya? Lebih baik kau istirahat. Coba lihat jendelamu." Kini nada editor itu berubah serius.

Sakura hanya mendesah. Ia melirik jendela studio kerjanya yang ada di lantai dua. Angin pagi yang masuk lewat jendela itu menerbangkan beberapa helai rambut pendeknya. Lengan kirinya menumpu di kusen, tangan kanannya masih menggenggam gelas. Mata hijau cerah yang sedang meredup itu memandangi aktivitas warga Konoha dari atas.

Walaupun gedung-gedung pencakar langit dan lalu lalang kendaraan yang ia lihat sejauh mata memandang, melihat hal semacam ini cukup membuat pikiran Sakura tidak berkabut lagi.

Dua hari duduk merenung menatap kertas kosong tanpa inspirasi mampu membuatnya depresi. Pikirannya makin kalang kabut mengingat proyek yang dikerjakannya adalah manga mingguan yang tentunya memiliki deadline yang mencekik. Rasanya ia sudah kehabisan ide. Editor yang seharusnya memberinya saran ide pun tidak bisa begitu diandalkan. Dia terlalu antusias menyambut hari pernikahannya yang tinggal beberapa minggu lagi sehingga otaknya tidak bisa dibuat berpikir untuk hal-hal yang berbau selain pernikahan—atau malam pertama.

"Sudah sedikit rileks?" Ino membuyarkan lamunan Sakura. Mangaka muda itu mengangguk pelan, masih menatap ke luar jendela. "Mandilah, aku tidak tahan melihat wajah kusutmu itu. Aku saja tidak tahan, apalagi Sasuke," ujar Ino dengan nada jenaka. Ia merapikan bungkus masker dan botol cat kuku yang tercecer hingga tidak bisa melihat wajah Sakura yang menegang.

Mendengar nama Sasuke disebut, pikirannya kembali kusut. Bisa dibilang, sumber permasalahan Sakura ada pada pemuda itu.

Sudah satu bulan ini mereka tidak bertatap muka, berkomunikasi via telepon pun tidak. Mereka sama-sama sibuk dengan kehidupannya sendiri-sendiri. Sakura harus memenuhi deadline tiap minggu, hingga tidak bisa keluar rumah walaupun sekedar menghirup udara segar. Tiap menitnya terlalu berharga.

Sedangkan Sasuke, pemuda itu sedang sibuk di tempat kerjanya. Ia lulus setengah tahun yang lalu, dan langsung ditempatkan di perusahaan keluarganya. Ia terlalu berambisi mendapatkan pengakuan dari ayahnya hingga lupa tengah menjalin hubungan dengan seseorang. Sakura sering merasa bahwa Sasuke lebih mencintai dokumen-dokumen berharganya ketimbang dirinya semenjak enam bulan yang lalu.

Jarak mereka semakin lebar dan hubungan mereka semakin renggang. Ia tahu itu.

Ia juga tahu hubungan mereka sangat mempengaruhi jalan cerita komik yang sedang dikerjakannya., karena komik itu menceritakan kisah mereka.

Ia tidak bohong. Sakura benar-benar melakukan apa yang dikatakannya. Ia benar-benar melukis kisah mereka.

Ia melukis bagaimana akhirnya perasaan mereka terungkap. Ia juga melukis bagaimana kencan mereka yang entah kenapa selalu tidak berjalan mulus tapi bisa berakhir manis, bagaimana kebersamaan mereka selalu dihiasi perdebatan dan pertengkaran kecil karena hal-hal sepele, bagaimana mereka mengungkapkan perasaan melalui tindakan. Ia melukis semua kejadian-kejadian kecil yang bahkan tidak akan diingat oleh mereka sendiri dalam kurun waktu tiga hari.

Sakura tidak pernah kehabisan ide. Ia selalu mempunyai cara membuat karyanya memiliki daya tarik luar biasa dari ide yang sederhana.

Ia mempunyai asisten yang hebat, Shimura Sai. Mereka teman satu SMA yang selalu bersaing di klub seni. Mereka rival, tapi tidak sungkan untuk mengajari satu sama lain. Bisa dibilang, Sai adalah rival sekaligus sahabat laki-laki seperjuangannya. Rival yang akrab, sampai tidak bisa lagi disebut rival ketika Sai memutuskan untuk membantu Sakura mengerjakan komiknya.

Editor yang ia miliki juga kompeten. Orang yang telah menjadi sahabatnya sejak ia mampu mengingat, Yamanaka Ino. Siapa yang menduga gadis pirang tukang gosip semasa SMA itu akan menjadi seorang editor dari mangaka sukses. Memang skill menggambarnya tidak sehebat Sakura maupun Sai, tapi ia bisa diandalkan. Ia tidak segan-segan mengedit percakapan antar tokoh, mengkritik idenya, atau menyuruh Sakura mengubah keseluruhan storyline yang sudah setengah jadi. Faktanya, dibalik mangaka sukses, ada editor hebat di belakangnya.

Harusnya ia tidak bisa kehabisan ide karena ditemani orang-orang hebat seperti mereka. Harusnya.

Tapi tidak ada manusia yang sempurna. Manusia sekreatif apapun juga ada batasnya. Ino yang terlalu jago mengarang saja bisa kehabisan cerita.

Dan alasan kenapa Sakura bisa kehabisan ide, karena pemuda Uchiha itu. Karena ia jarang bertemu dengan pemuda yang rambutnya mencuat seperti ekor di pantat ayam itu.

Mereka tidak lagi berkomunikasi, apalagi berkencan. Bahkan sebelum kesibukan merenggangkan hubungan mereka, perdebatan kecil yang selalu mereka lakukan kala bertemu tidak seseru dulu.

Alhasil, beberapa chapter terbaru manga-nya, ia buat murni hasil khayalannya sendiri. Benar-benar bukan gayanya untuk proyek yang satu ini. Ia sudah berkomitmen untuk membuat sequel dari karyanya yang kedua berdasarkan pengalaman nyatanya. Dan Sakura benci melanggar komitmennya sendiri.

Mungkin ia harus menelepon pemuda sumber inspirasinya itu sekarang.

"Oi, Jidat." Ino memanggil tatkala Sakura mengobrak-abrik meja kerjanya yang berantakan untuk mencari keberadaan ponsel merah mudanya. "Hari ini kau harus menemui pimpinan redaksi. Ada yang ingin mereka bicarakan." Editor pirang itu mengetikkan pesan balasan untuk pesan masuk yang barusan ia terima.

Sakura menghentikan aktivitasnya mengacak-acak meja. "Sekarang?"

Ino mengangguk. Ibu jarinya menekan pilihan 'send' lalu memasukkan ponsel layar sentuhnya ke dalam tas tangan. "Kita bisa pergi sekarang. Setelah itu aku ingin kau menemaniku memilih makanan untuk jamuan resepsiku nanti," ujarnya sambil mengedipkan sebelah mata.

Mangaka muda itu terdiam sebentar. Tadi rencananya, 'kan, ia ingin mengajak Sasuke jalan-jalan.

"Nanti kusuruh Sai membuatkan sketsa kasar untuk membantumu nanti," tawar Ino, kembali membujuk Sakura. "Sekalian refreshing."

Diam tidak begitu lama, akhirnya Sakura mengangguk setuju. Sepasang sahabat itu pergi meninggalkan pemuda yang menebar aura kelam di pojokan.

.

.

.

.

.

Di lain tempat, sebuah ruangan yang terletak di lantai dua gedung bertingkat, ada sosok Uchiha Sasuke yang sedang memijit pangkal hidungnya lelah. Dasi yang terasa mencekik lehernya sudah ia longgarkan bersamaan dua kancing kemeja teratasnya yang ia lepas. Lengan kemeja panjangnya digulung hingga siku, menghilangkan kesan pakaian rapi a la pria kantoran. Tapi ini Sasuke, pemuda tampan dari Uchiha yang tidak kehilangan pesona walaupun sedang mengupil. Mau berantakan seperti apapun justru terlihat seksi.

Yang membuat penampilannya tidak karuan itu karena ia merasa AC di dalam ruangannya tidak berguna. Ia merasa hawa di ruangannya begitu panas walau jam masih menunjuk angka sebelas. Mungkin karena menjelang musim panas. Atau ia kepanasan karena mendapat penolakan lagi dari sang ayah?

Sasuke menghela napas pendek. Diliriknya map tebal yang tadi ia laporkan pada atasan sekaligus kepala keluarga Uchiha. Sudah tiga kali ia merevisi, tapi pemimpin umum itu masih menyuruhnya untuk mengedit lagi.

Demi apapun, Sasuke tidak pernah lagi sekesal ini sejak Sakura menjelaskan segalanya. Karena sejak itu, perasaan kesal setengah mati karena penasaran sudah lenyap dari hatinya.

Ah...

Bicara tentang Sakura... apa kabar gadis itu, ya?

Sudah satu bulan ia tidak membuat kontak dengannya, ia penasaran bagaimana nasib manga mingguannya. Manga itu, 'kan, menceritakan kisah mereka. Ia yakin gadis itu sedang uring-uringan mencari ide dan meneleponnya berulang kali.

Mengingatnya membuat Sasuke mendengus geli. Ia mengerling pada baterai ponselnya yang ia lepas sejak seminggu yang lalu. Selang beberapa detik termenung, ia mengusap wajahnya lelah. Sepertinya ia baru sadar sudah keterlaluan karena sengaja memutuskan kontak dengannya.

Sengaja menghindar darinya.

Sasuke punya alasannya sendiri. Ia begitu tertekan akhir-akhir ini. Dihubungi Sakura saat gadis itu sedang dikejar tenggat waktu bukanlah hal yang bagus. Ia baru tahu sosok Haruno Sakura bisa begitu menyeramkan jika berhubungan dengan deadline dua tahun terakhir ini.

Lagipula, bukan hanya itu alasannya memutuskan kontak. Ia tahu alasan gadis musim semi itu jika meneleponnya di akhir tenggat waktu. Gadis itu menginginkan cerita darinya. Ia ingin Sasuke bertingkah manis, romantis, jutek, tsundere, atau apapun agar gadis itu punya sesuatu untuk diceritakan.

Sejujurnya, Sasuke tidak keberatan.

Ia tidak keberatan jika Sakura menginginkan cerita. Tapi tidak seperti ini caranya. Ia tidak ingin Sakura terlalu menuntutnya, memintanya melakukan hal ini dan itu. Ia sudah begitu kesulitan mengekspresikan perasaannya, ia ingin Sakura mengerti. Tak pernah ia pikirkan jika mengizinkan gadis itu melukis cerita mereka bisa membuatnya begitu tak nyaman.

Mendebatkan hal-hal kecil sebenarnya cukup bagi Sakura untuk membuat cerita. Gadis itu begitu kreatif hingga otak jenius Sasuke tidak mampu menyejajarinya. Tapi akhir-akhir ini, ada yang beda dengan perasaannya. Ada yang kurang saat mata beda warna mereka saling menatap. Ada yang aneh saat mereka berdebat sengit. Ada yang aneh karena ia merasa ... ada lubang kosong di hatinya.

Berulang kali ia tidak mengacuhkan dan menepis pemikiran itu. Tapi suatu waktu otaknya berpikir sendiri di luar kehendaknya. Seperti saat ini, Uchiha bungsu itu kembali memikirkan sesuatu. Sesuatu tentang Sakura. Sejujurnya ia tidak mau kembali memikirkannya, tapi ... ia merasa Sakura sudah—

"Hai, Sasuke-kun."

Suara Shion yang sedang berdiri di ambang pintu membuyarkan lamunan Sasuke. Rambut pucatnya yang panjang mengayun seirama dengan ketukan high heels 5 sentinya. Tangannya sibuk membawa beberapa map tebal.

Redaktur itu masuk ke dalam ruang atasannya tanpa segan. Kakinya melangkah ringan seolah ruangan itu tempat umum. Ia merasa hubungannya cukup dekat dengan pemuda itu, pemuda yang merupakan teman satu klub universitas sekaligus rekan kerja seperjuangan.

"Kacau sekali," komentarnya melihat penampilan Sasuke.

Sasuke sendiri hanya diam tidak berniat menanggapi. Ia terlalu banyak pikiran dan tidak dalam suasana hati yang bagus untuk bersosalisasi. Sasuke menatap tajam Shion yang makin mendekat padanya yang sedang duduk di kursi. Perempuan itu sudah berdiri di depan Sasuke sekarang, menatap geli map hijau tebal yang isinya berhamburan di atas meja.

"Ditolak lagi?" Mata ungu itu menatap Sasuke main-main.

Sasuke tidak punya cukup kesabaran untuk menanggapi basa-basi perempuan pirang itu. "Sudahlah. Ada perlu apa?"

"Oh, iya." Shion sedikit tersentak karena sempat lupa tujuannya datang ke sini. "Kakashi-san menyuruhku memanggilmu. Ia ingin kau datang ke ruangannya sekarang."

"Aa." Sasuke berdiri dan merapikan penampilannya malas-malasan.

Shion masih memandangi dokumen yang berhamburan di meja, lalu ia merasa tersadar. "Kau ada pulpen? Aku melupakan sesuatu."

Sasuke tidak punya niat untuk mengambilkan pulpennya, jadi ia hanya berkata, "Di laci meja, cari saja."

Shion mengangguk. Ia berjalan ke belakang meja, sedikit kesusahan membuka laci yang lebih rendah darinya. "Di mana, sih ..." Ia mengeluh pelan karena tidak kunjung menemukan pulpen di laci yang isinya penuh dengan kertas-kertas. Map-map tebal yang dibawanya menghalangi pergerakan dan pandangan Shion karena tidak ditaruh di atas meja atasannya itu. Ia takut miliknya tercampur dengan berkas milik Sasuke yang berantakan. "Ah, ini dia."

Badannya berputar cepat dan bersiap melangkah pergi. Sayangnya ia tidak sadar laptop Sasuke sedang di-charge. Kabel charger yang melintang di dekat kakinya itu membuatnya tersandung hingga hilang keseimbangan, menubruk Sasuke yang belum rapi penampilannya hingga jatuh berdua.

Jantung gadis itu berdetak cepat, entah karena kaget hampir menubruk kerasnya lantai atau kaget melihat wajah Sasuke yang berjarak tidak lebih dari 5 senti dari wajahnya. Shion jatuh di atas tubuh Sasuke yang penampilannya makin berantakan. Berkas-berkas penting yang tadi didekapnya sudah berhamburan asal di sekitar mereka. Jika dilihat dari pintu kaca ruangan Sasuke, mereka tampak seperti pasangan yang sedang bermesraan. Walaupun sebenarnya mereka sama-sama terbelalak menyadari posisi mereka yang canggung.

Beberapa detik mereka masih diam, masih membeku karena terkejut, tetap dalam posisi itu walaupun helaian merah jambu muncul di kaca pintu.

.

.

.

.

.

"Sakura!"

Gadis yang merasa dipanggil namanya itu menjauhkan tangannya dari gagang pintu. Ia berbalik menatap sahabatnya yang berlari kecil menghampiri setelah keluar dari lift.

"Aku mencarimu, tahu!" omel Ino dari kejauhan. Sakura hanya mengangkat sudut bibirnya sedikit seraya mendekati Ino agar gadis itu tidak berteriak dari kejauhan. "Kantor redaksinya ada di seberang! Aku tahu ini juga kantor redaksi, tapi jangan sampai salah masuk kantor!" Ino mengakhiri omelannya dengan rengutan.

Sakura menggaruk belakang kepalanya kaku. Cengiran bersalahnya membuat Ino semakin kesal. "Sepertinya aku lupa kantor redaksi tempatku bekerja, haha."

Tawa kaku itu membuat Ino menatap Sakura. "Apa kau terlalu stres sampai linglung begitu?"

Ino hanya berkelakar, karena sesungguhnya ia tahu, ada yang salah dengan sahabat merah jambunya. Ia kenal betul siapa Sakura, yang tidak mungkin linglung karena deadline. Deadline adalah makanan sehari-harinya. Tapi untuk sekarang ini, ia akan berpura-pura sedang berbicara dengan orang lain. Bukan Sakura yang dikenalnya.

"Yah ... begitulah." Ino hendak berbicara lagi, tapi Sakura sudah lebih dulu menyela. "Sudahlah, urusanku di sini sudah selesai. Ayo temui pemimpin redaksi itu."

Sakura menggeret lengan Ino, tapi editor cantik itu bergeming dan balas menarik Sakura. Alhasil gadis musim semi itu terjengkang ke hadapan Ino lagi.

"Ih, Ino—"

"Aku bertemu Asuma-san di depan tadi, katanya ia ada urusan mendadak. Kita diminta datang lusa."

Sakura mengangkat kepalanya lebih tinggi dan menatap ke bawah melalui kaca gedung yang lebar. Ia bisa melihat pemimpin redaksi itu sedang tergesa-gesa masuk ke mobilnya dari balik bahu Ino. Ternyata sahabatnya ini tidak bohong.

Ino bersidekap. "Kita punya cukup waktu untuk mengunjungi Sasuke jika kau mau," tawarnya dengan kedipan sebelah mata.

Sakura menggeleng, lalu tersenyum. "Tidak usah. Aku sudah bertemu dengannya tadi."

"Sudah dapat inspirasi?"

Yang satu itu tidak langsung ia jawab. "Itu bisa kupikirkan nanti."

Ino menatap Sakura lurus. "Kalau begitu—"

"Oh, perutku minta diisi cheesecake sekarang." Sakura memotong segala ucapan Ino seraya menepuk-nepuk perutnya yang rata. Ditatapnya Ino dengan mata memohon. "Ayo pergi." Ia langsung menarik lengan Ino kencang.

"Tapi—"

"Cheesecake kami dataaaang~!"

.

.

.

.

.

Segala dessert yang terpampang di belakang kaca etalase bukanlah objek tatapan Sakura meskipun mata hijaunya lurus ke sana. Dia memang sedang berdiri di depan puluhan makanan lezat, apalagi ada cheesecake kesukaannya, di kafe favoritnya bersama sang sahabat, tapi jiwanya tidak berdiri di tempat yang sama. Dia melamun menghalangi pengunjung lain yang sedang memilih-milih makanan.

"Jangan halangi pembeli lain dengan jidatmu itu, Jidat."

Kalimat sarkastik Ino membuat Sakura tersentak ke dunia nyata. Ia menatap linglung ke sekitar dan menjauh dari etalase. Dihampirinya Ino yang sedang bersandar di pinggiran meja dengan buku menu di tangan.

"Katanya kau ingin cheesecake," sindir Ino.

Sakura hanya meringis. "Berapa lama aku berdiri di sana? Tiba-tiba perutku terasa kenyang. Sepertinya makanan yang aku lihat masuk ke dalam perutku secara ghaib," elak Sakura dengan candaan. Ia tertawa kaku setelah guyonannya hanya direspon lirikan oleh Ino.

"Mumpung aku ingat, aku ingin bilang padamu." Respon yang Ino berikan mengalihkan pembicaraan. Ia melanjutkan ucapannya meskipun yang diajak bicara tidak menunjukkan gelagat memperhatikan. "Aku ijin cuti selama tiga minggu. Aku akan pergi ke rumah orang tua Sai besok. Kau tahu kan seberapa jauh rumah orang tua Sai," tuturnya.

Ia kembali mengerling ke arah Sakura saat gadis itu benar-benar tidak memberinya reaksi. Tahan, Ino—batinnya.

"Sakura," panggilnya cukup keras. "Kau pilih mana? Pudding atau anmitsu?" tanya Ino sambil membalik halaman buku menu tanpa melihat Sakura.

"Ha?" Sakura kembali tersadar dari lamunannya. "Oh, uhm ... pudding," jawabnya gelagapan melihat tatapan tidak sabaran dari perempuan pirang di depannya.

Jawabannya itu membuat Ino kembali melirikkan matanya ke arah Sakura. Ia membanting buku menunya keras di atas meja, menghela napas pendek dan akhirnya berbalik menatap Sakura seutuhnya.

"Baiklah, aku muak berpura-pura tidak tahu. Sakura yang kukenal akan memilih anmitsu ketimbang pudding. Ceritakan apa masalahmu, Nona."

Kilatan mata Ino menuntut penjelasan. Sakura ikut balas menatap dengan mata yang kini fokus.

"Pelankan suaramu, kau membuatku malu," desisnya.

Ino merotasikan bola matanya jengah. Ia menarik tangan Sakura tak sabaran ke meja paling pojok yang sepi lalu lalang pembeli. Mereka duduk berhadapan dengan wajah yang serius.

"Apa yang ingin kautahu jika kenyataannya tidak ada yang perlu kauketahui?" Sakura memulai, sedikit merasa tersulut emosinya melihat raut menuntut Ino.

Wajah Ino jelas memerah, ia cukup tersinggung. Tidak perlu ia ketahui, katanya?!

"Sakura, biasanya kau akan memilih anmitsu, makanan yang kausukai. Tidak peduli ini acaraku atau acaramu, kau lebih memilih kesukaanmu. Lalu kita berdebat seperti biasa, dan akhirnya kau mengalah. Seharusnya begitu. Apa yang terjadi saat kau mengunjungi ruangan Sasuke tadi?" tembak Ino langsung. Ia bukan seorang perempuan sabar yang bisa menahan diri untuk terus menutup mulutnya. Ia tidak akan pernah menjadi perempuan seperti itu jika sangkut paut urusannya dengan Sakura.

"Aku hanya berusaha lebih dewasa dengan menghindari perdebatan denganmu," elaknya. Mata beriris emerald-nya melirik ke samping.

Jawaban yang konyol bagi Ino. Ia tahu Sakura tidak pandai dalam berbohong. Alasan yang dikarangnya selalu di luar logika editor itu.

"Benarkah?" Ino sedikit memajukan wajahnya, rautnya sedikit lebih tenang, meskipun sorotan matanya masih menantang. "Kalau begitu jelaskan, kenapa kau tidak sadar kalau aku sudah memilih menu di sini selama setengah hari. Dan kau dengan jelasnya berdiri di depan etalase dalam kurun waktu yang sama. Bagaimana kau menjelaskan ini?"

Sakura hanya diam. Bingung caranya mengelak. Ia membuang pandangannya seraya menopang wajahnya menggunakan satu tangan.

"Benar, 'kan? Ada sesuatu yang terjadi," putus Ino mantap.

Sakura menghela napas panjang. Kelopak matanya yang terpejam sesaat serasa menggantikan kepalanya untuk mengangguk.

Ia tahu mustahil baginya untuk menyembunyikan sesuatu dari Ino. Ia sering merasa jika masalahnya tercetak jelas di dahinya, hingga Ino bisa menebak dengan mudahnya. Atau barangkali Ino yang terlalu peka mengecap aura gelisahnya.

Ino sendiri selalu merasa sedih saat sahabatnya menolak untuk berbagi cerita. Ia merasa tidak begitu dipercaya ketika Sakura tidak semudah itu memberi tahu apa yang dialaminya. Itu sebabnya ia selalu mendesak Sakura, karena jika ia tidak melakukannya maka tidak akan ada yang memulai. Gadis merah jambu itu terlalu senang memendam isi hatinya sendirian.

Perihal Sasuke yang mengejar Sakura dan komik yang dieditnya merupakan kisah sahabatnya sendiri saja baru ia ketahui tahun lalu.

Sakura masih diam, membuat Ino kembali mengembuskan napasnya.

"Baik, aku mengerti. Tidak ada yang perlu kuketahui."

Sakura mengalihkan pandangannya ke arah Ino yang membuang muka. Raut bersalahnya menghadapi sang sahabat yang memalingkan wajah sendu. "Ino ... kau tahu aku tidak bermaksud begitu. Hanya saja aku butuh waktu ...," lirihnya.

Ya. Dia butuh waktu.

Dia butuh waktu untuk mencerna semua yang sudah ia lihat hari ini—atau lebih tepatnya pukul sebelas tadi.

Bohong jika ia bilang tidak ada yang terjadi. Nyatanya ada.

Ia kembali memutar waktu saat dirinya berdiri di depan ruangan Sasuke, saat senyumnya masih mengembang, tapi ia harus menghadapi pemandangan terburuk yang pernah ia lihat.

Dimana saat ia melihat kekasihnya, Uchiha Sasuke, berbaring di lantai dengan baju acak-acakan dan ditindih seorang perempuan cantik.

Wajah mereka begitu dekat, seperti sedang berciuman. Atau jika ia berani berspekulasi lebih jauh, mereka sedang melakukan hal lebih dari itu.

Demi apapun. Saat itu masih pukul sebelas siang. Cuaca belum sepanas itu untuk membuat Sasuke mengacak-acak bajunya. Ditambah lagi ada perempuan cantik berbadan seksi, yang menindihnya. Memangnya hal apa yang pertama kali mampir ke kepala Sakura?

Sudah pasti pikiran negatif yang turut andil membuat spekulasi di kepalanya. Dari spekulasi yang teremeh hingga spekulasi yang tak mau ia pikirkan. Pikirannya terlalu penuh hingga ia tidak bisa menggerakkan kakinya untuk melabrak. Ia hanya bisa membeku, berdiam diri dengan hati yang runtuh.

Teriakan Ino menyadarkan atensinya kala itu.

Ia belum sanggup menghadapi kenyataan jika satu bulan tanpa kabar membuat kekasihnya berpaling. Maka ia berbalik, menjauh dan berusaha melupakan semua yang ia lihat.

Ia ingat bagaimana perjuangan Sasuke mengejar lukisannya, mengejar jawaban atas teka-teki yang ia tinggalkan. Rasanya tidak mungkin pemuda itu menghancurkan segala perjuangannya. Maka dengan bekal memori lama, ia akan memercayai Sasuke, dan tersenyum menghalangi air mata yang hendak tumpah tadi.

"Tidak apa-apa, Ino. Aku baik-baik saja." Sakura tersenyum, hampir menyerupai ringisan, sambil memegang pundak Ino. "Ayo lanjutkan kegiatan kita. Sudah dapat menu yang kausukai?" lanjutnya sambil membuka buku menu di meja dengan semangat yang dibuat-buat.

Ino diam menggigit bibir bawahnya. Ia berdiri, mengambil tas tangannya dan bersiap pergi.

"Aku juga butuh waktu, Sakura. Aku marah karena kau masih suka memendam semuanya sendiri." Napasnya terasa berat saat ia berucap. Ia kecewa. "Setidaknya hanya hari ini aku akan membencimu." Ino menghapus setitik air yang mengumpul di sudut matanya. "Jangan lupa istirahat."

Sakura tidak membiarkan Ino pergi begitu saja. Ia mencekal tangannya. "Bagaimana dengan makanannya?"

Cepat ia melepaskan tangan Sakura. "Nanti kupilih bersama Sai saja." Secepat ia pergi meninggalkan gadis itu.

Sakura hanya menatap punggung Ino yang semakin menjauh. Penglihatannya semakin kabur ketika punggung yang ia tatap semakin tak terlihat.

"Ah, sial."

Sakura mengucek matanya, ikut pergi menyusul Ino.

Melihat Sasuke tadi sudah cukup membuat hatinya remuk, tapi ia mencoba kuat. Kini melihat sahabatnya begitu kecewa, ia tidak tahan.

Langkah kakinya terburu-buru meninggalkan kafe. Matanya yang kabur tidak melihat seorang pemuda sedang kerepotan memegang puluhan dus makanan di kedua tangannya dan tengah berdiri di ambang pintu masuk.

Bruuk!

Tubrukan keras membuat tubuh Sakura dan pemuda itu sama-sama jatuh. Keduanya mengerang kecil.

"Sialan. Nenek tua itu bisa menghajarku jika melihat ini."

Umpatan kesal itu terdengar saat Sakura mengucek matanya agar tidak kabur lagi. Cepat-cepat ia menatap pemuda yang sedang menunduk seraya memegangi pelipisnya itu. Sakura menebak pemuda itu adalah petugas delivery yang hendak mengantar pesanan.

"Maaf. Apa kau terluka?" Sakura bertanya khawatir sembari membantunya bangun. Topi yang dikenakan pemuda itu menghalangi Sakura untuk melihat wajahnya.

Barulah saat pemuda itu mendongak, ia bisa melihat wajahnya, juga matanya yang memicing tajam ke arahnya.

"Hei, Kau! Bereskan kekacauan ini dan ganti rugi!" hardiknya langsung. Petugas delivery itu langsung berdiri menepis uluran tangan Sakura.

Sakura terkejut. Galak sekali orang ini. Padahal wajahnya terlihat kalem.

"A-apa?" Akhirnya Sakura hanya tergagap dengan dahi yang mengerut.

"Jika saja kau bisa berjalan dengan benar, dus-dus ini tidak akan terbuang sia-sia! Lihatlah, isinya pun sudah tidak layak dimakan! Aku rugi besar!" marahnya. Telunjuknya menunjuk-nunjuk wajah Sakura hingga menyulut sumbu emosi gadis itu.

"Baik, aku minta maaf. Tapi tolong jaga perilakumu." Sakura menekan nada bicaranya seraya menyingkirkan telunjuk itu.

"Bah, peduli amat," sahutnya cepat. Ia melepas topinya, membuat helaian rambut merahnya yang acak-acakan terangkat ke atas. Dengan ringan topi itu melayang mengenai pucuk kepala Sakura, hasil lemparannya. "Lagipula habis ini nenekku akan menceramahiku. Ya sudah, sekalian saja melampiaskan kekesalan."

Sakura terkejut tatkala bunyi 'duk' kecil membuat pucuk kepalanya sedikit berdenyut. Ia mengusap kepalanya dengan pikiran kosong. Setelah sadar apa yang terjadi, mata hijaunya menajam dan badannya maju dengan pose menantang.

Aw. Singa betina sudah bangun dari tidurnya.

Mencari masalah dengan Haruno Sakura yang dilanda kegelisahan sama saja menggali lubang kubur sendiri.

"Dengar ya, kau tidak tahu seberapa buruknya mood-ku hari ini. Aku punya banyak masalah dan aku harap kau tidak menambah masalahku. Walaupun warna rambutmu sudah menjadi masalah karena menyakitkan mataku, tapi jaga perilaku dan ucapanmu. Dasar tidak tahu tata krama!" semburnya dengan satu tarikan napas.

"Heh, aku rasa kau perlu kaca. Warna rambutmu lebih mencolok mataku. Lihat, mataku memerah." Tunjuknya pada matanya sendiri yang tampak urat-urat merahnya.

"Itu karena kau emosi, Bodoh." Sakura mencibir. Ia menerobos badan pemuda itu yang menghalangi jalannya. "Minggir dari jalanku," ketusnya. Ia sudah terlalu lama menahan diri. Jika dia berada di situ lebih lama, mungkin muncul artikel mengenai dirinya yang terkena skandal penganiayaan besok.

"Ganti rugi dulu." Pemuda itu menahan bahu Sakura kuat.

Sakura kembali tertarik mundur. Gadis itu menahan geramannya karena ingat dialah yang menabrak petugas itu. Ia menghela napas kasar sembari mengeluarkan dompetnya. "Setidaknya sopanlah pada pembeli," sinisnya.

"Untuk apa?" tanyanya menantang. Bibirnya mengukir senyum remeh.

"Karena pembeli adalah raja, Idiot."

"Kalau begitu, kau akan menjadi raja pertama yang dipermalukan seperti ini."

Sakura mendelik. Amarahnya sudah siaga satu. Uang yang sudah ia hitung dilemparnya tepat ke wajah yang sedang menyeringai itu. Tentu saja pemuda itu tersentak. Ia merasa harga dirinya sudah direndahkan, jatuh bersama uang-uang yang melayang perlahan.

"KAU!" Pemuda itu mengangkat tangannya dan Sakura mengira dirinya akan segera ditampar, jika saja tidak ada tangan renta yang menahan tangan pemuda itu. "Nenek?!" kagetnya horor.

"Apa yang kaulakukan pada pelanggan setiaku, ha?!" omel wanita tua yang tadi dipanggil nenek. Sakura tahu nenek itu adalah pemilik kafe ini. Saking seringnya Sakura dan Ino berkunjung membuat mereka mengenal akrab nenek ini.

"Dia melempar uang pada—AW!" Telinganya dijewer kencang hingga kalimat pembelaannya terputus. Sakura ikut meringis melihatnya.

"Tapi jagalah kelakuanmu! Apa-apaan tadi?! Mau menampar seorang gadis?! Lelaki macam apa kau?!"

"Tapi, Nek ..."

Pemuda itu menciut kala neneknya semakin menarik telinganya. Ia membuang pandangannya karena merasa dipermalukan dua kali. Sedangkan sang nenek kini menatap Sakura dengan mata tuanya yang sayu.

"Maafkan cucuku, Sakura. Dia baru lulus kemarin, dan bekerja sementara di sini sambil menunggu panggilan kerja. Maaf atas ketidaknyamanan ini." Nenek itu membungkuk. Kini Sakura tahu kenapa ia tidak pernah melihat wajah petugas itu.

Sakura mengibaskan tangannya dan tersenyum kikuk. "Tidak usah minta maaf, Nenek Chiyo. Aku yang menabraknya," katanya.

"Oh, benarkah?" Nenek Chiyo tampak tidak percaya. "Tapi tetap saja anak ini harus minta maaf," putusnya seraya mendorong punggung cucunya ke depan.

Pemuda yang jaraknya tidak lebih dari semeter dengan Sakura itu masih membuang muka. Tidak ada gelagat ingin meminta maaf.

"Cepaat!" perintah Nenek Chiyo seraya menampar punggung cucunya keras hingga terdorong ke depan.

Pemuda itu mendesis kesal, lalu menatap Sakura sedikit menunduk yang berdiri dengan jarak sangat dekat. Rautnya terlihat malas-malasan, tetapi tatapannya tetap mengintimidasi.

"Hei," mulainya. Ia mendengus jengah melihat Sakura tersenyum di atas angin. "Ini semua gara-gara kau, dasar pembuat masalah sialan."

Nenek Chiyo terkejut. Sakura sendiri bingung harus bereaksi seperti apa karena ia kira laki-laki itu ingin meminta maaf. Melihat Sakura memasang wajah seperti itu membuat Nenek Chiyo menjitak keras kepala cucunya dan menyeretnya masuk ke dalam. Sekali lagi, nenek itu yang meminta maaf kepada gadis merah jambu itu; Sakura, yang membeku di ambang pintu dengan mata memerah.

.

.

.

.

.

Tidak jauh beda dengan kondisi Sakura, Uchiha Sasuke sedang berdebat sengit dengan pria berambut perak. Lagi-lagi Sasuke tidak merasakan efek dingin dari sebuah pendingin ruangan. Yang ia rasakan di ruangan besar ber-AC itu hanya panas yang membakar pikirannya.

"Maaf, Sasuke. Ini permintaan dari ayahmu sendiri."

"Aku tidak tahu bagaimana jalan pikiran si Uchiha Tua itu." Sasuke mendesah kesal.

"Sasuke, jaga ucapanmu. Dia tetap ayahmu. Pasti ada alasan kenapa ayahmu mengundur kenaikan jabatanmu."

"Setelah semua yang kulakukan?! Aku lembur selama sebulan hingga mengabaikan orang-orang tersayangku untuk ini?!" Uchiha bungsu itu kembali panas.

Sebenarnya, seminggu lagi ia akan naik jabatan menjadi pemimpin redaktur. Ia bekerja keras hingga lembur selama sebulan, mengabaikan kesehatannya sekaligus mengabaikan Sakura. Lalu setelah ia pikir semuanya akan selesai dan beres sebentar lagi, Kakashi seenaknya saja mengatakan pengangkatan jabatannya diundur? Ingin rasanya ia mengumpat dengan 1001 kata makian.

"Tenanglah. Ini juga bukan kemauanku," ucap sekretaris redaksi itu berusaha menenangkan Sasuke.

Sasuke tidak mendengarkan. Tangannya yang semula di meja menopang tubuhnya kini terangkat menjambak rambut belakangnya. Dia benar-benar butuh pelampiasan.

"Fugaku-sama masih belum merasa puas denganmu. Ia menginginkan lebih, jadi kupikir dia sengaja melakukan ini agar kau lebih terpacu."

Tatapan penuh amarah Sasuke layangkan ke arah Kakashi. Pria bermasker itu merinding dan merutuki mulutnya yang salah bicara.

"Aku akan membuat perhitungan dengan orang tua itu."

Kakashi cepat-cepat menahan tubuh Sasuke yang sudah bersiap hengkang dari ruangannya.

"Whoaa, sabar Sasuke. Fugaku-sama baru saja pergi, percuma kau ke ruangannya."

"Kalau begitu aku akan melacaknya." Sasuke mengambil smartphone-nya cepat.

Kakashi merebut smartphone itu. "Maaf, Sasuke. Dia tidak ingin menerima protes darimu." Pria itu memasukan ponsel rampasannya ke dalam saku jas.

Sasuke memberinya tatapan seolah berkata, "Yang benar saja?!"

Ia mencengkram kerah kemeja Kakashi, membenturkan pria itu ke dinding dan keluar dari ruangan itu dengan kaki yang melangkah lebar-lebar.

Pintu ruangan atasannya ia banting keras. Pintu itu tidak cukup menjadi pelampiasannya. Ia butuh pelampiasan yang lain. Mungkin minum sedikit sake tidak akan membunuhnya. Lagipula dia sudah cukup umur.

Dia hendak pergi, tapi jantungnya seolah dibuat nostalgia dengan spot jantung saat melihat Shion berdiri di depan ruangan Kakashi. Kenapa orang yang dikenalnya suka sekali muncul tiba-tiba? Kini kekesalannya bertambah satu poin.

"Maaf, aku tidak bermaksud menguping. Hanya saja suaramu terlalu keras saat aku ke sini untuk memberi Kakashi beberapa dokumen," jelasnya dengan senyuman salah tingkah. Tangannya menyodorkan map-map tebal sebagai bukti.

Sasuke tidak menggubrisnya. Ia melangkah cepat melewati redaktur pirang itu, tapi langkahnya tertahan karena tarikan dari belakang.

"Mau kutemani minum? Tapi aku taruh map-map ini dulu, ya?"

Kekesalannya terasa menyumbat otaknya untuk memikirkan jawaban. Ia menyentak tangan Shion keras, lalu melanjutkan langkahnya.

"Terserah."

.

.

.

.

.

Sasuke kembali meneguk cawan sake-nya. Ia mengingat perdebatannya dengan Kakashi siang tadi. Sudah dua puluh menit duduk di kedai minuman ini, satu botol sake habis diminumnya.

Ia melirik ke arah rekan kerjanya yang nekat mengikutinya. Perempuan bermata ungu itu sudah mabuk meskipun ia baru meneguk beberapa cawan.

"Hngh ... Sasuke ..." Shion mulai mengigau. Kepalanya yang jatuh di meja menghadap Sasuke dengan mata terpejam.

Sasuke tidak menanggapi. Untuk apa mengurusi orang mabuk.

"Sasukeeee!"

Rengekan itu membuat Sasuke menghela napas. Harusnya ia tidak membiarkan gadis itu mengikutinya.

"Apa?" sahutnya malas.

Shion tidak melanjutkan bicaranya. Ia bergumam tidak jelas, isakannya terdengar tiga detik kemudian.

Sasuke menghela napas lagi. Bukannya menenangkan pikirannya, datang ke kedai ini hanya menambah masalahnya. Lihatlah sekarang. Dia harus menghadapi Shion yang sedang mabuk. Entah apa yang akan dilakukan gadis gila itu.

"... Naruto ..." Igauannya berganti subjek.

Sasuke mengerling ke arah redaktur mabuk itu. Batinnya menerka kenapa gadis itu menyebut nama sahabatnya.

"Dia ... memutuskanku minggu kemarin ... uugh ..." Linangan air mata mengalir keluar dari sudut matanya yang terpejam.

Sasuke sekarang paham alasan gadis itu ingin menemaninya minum. Ia memang tahu rekan kerjanya berpacaran dengan sahabatnya semenjak kuliah, itu sebabnya ia dan Shion cukup dekat. Tapi perihal putusnya mereka, Sasuke tidak tahu. Sahabat kuningnya tidak bercerita seperti biasanya.

Naruto selalu bersikap hangat, dan Shion terlalu mencintainya. Kenapa mereka bisa putus?

"Dia bilang dia hanya kasihan padaku ... hiks ... si brengsek itu menyukai perempuan lain ...," ucap Shion lirih menjawab pertanyaan di benak Sasuke.

Ah, kalau dipikir-pikir Naruto itu memang bersikap hangat pada semua orang.

Sasuke tidak ahli dalam masalah seperti ini, jadi ia hanya mendengarkan. Tidak memberikan saran atau kalimat penenang. Lagipula Shion tidak akan mengingat ucapannya sendiri maupun Sasuke besok. Ia terlalu mabuk.

Brak!

Shion menggebrak meja keras dengan satu tangan, mengejutkan semua pengunjung termasuk pemilik kedai. Sasuke sendiri hampir berjengit.

"Uuh ... sayangnya aku cinta si brengsek itu ... hiks ..." Gumaman itu terdengar pilu.

Si pemilik kedai yang melihat keadaan Shion menatap Sasuke. Sepertinya ia mendengar gumaman Shion.

"Kau temannya kan? Bawa gadis patah hati ini pulang, dia terlalu mabuk," katanya sembari mengelap gelas basah.

Sasuke mengerling ke arah gadis yang masih sesenggukan itu. Setelah menghela napas yang kesekian kali, ia membayar minumannya dan Shion. Setengah terpaksa menuruti permintaan si pemilik kedai.

.

.

.

.

.

Kawasan di sekitar kedai minuman tadi sepi lalu lalang taksi. Ia dan Shion berjalan kaki saat datang tadi, jadi tidak ada yang membawa kendaraan pribadi.

Sasuke memapah Shion yang setengah sadar, tangan gadis pirang itu merangkul pundaknya dan ia memeluk pinggang gadis itu. Mereka sudah berjalan selama sepuluh menit dengan kecepatan menyaingi siput. Dalam keadaan seperti ini ia bisa kehilangan kesabarannya kapan saja dan membiarkan Shion tergeletak di jalanan. Ia bisa melakukan itu karena pada dasarnya ia bukan sosok gentleman idaman.

Sayangnya Shion ini rekan kerja yang membawa nama kantor redaksi yang sama dengannya. Jika tidak ingin terlibat masalah dengan kepala keluarga Uchiha itu, sebaiknya ia mencoba menjadi gentleman berkuda putih.

"Uugh ..."

Tiba-tiba Shion meronta agar pegangannya terlepas. Sasuke membiarkannya, lagipula gadis itu yang memaksa. Jika gadis itu jatuh, itu bukan salahnya.

Gadis yang sedang mabuk berat itu berjalan sempoyongan sendirian. High heels-nya ia tenteng di kedua tangan. Sesekali ia terisak, sesekali cegukan.

Dia berhenti karena menabrak tiang lampu jalanan hingga jatuh terduduk. Kondisinya tidak enak dipandang dan memprihatinkan hingga Sasuke terpaksa menghampirinya.

"Shion, berhenti merepotkanku," ucap Sasuke sedikit keras, berharap ucapannya mampu menyadarkan gadis yang kembali menangis itu.

"Naruto ... kun?"

Shion mendongak menatap Sasuke yang berjongkok sambil memegang bahunya. Pemuda Uchiha itu menggeleng pelan, memaksa Shion berdiri.

Sasuke hendak merangkul Shion lagi, tapi badannya ditarik oleh gadis itu hingga menabrak tiang lampu. Tidak tahu kekuatan darimana gadis itu bisa membanting tubuh Sasuke dengan keras.

"Hei!"

Sasuke mulai panik. Apa yang akan dilakukan gadis itu?!

"Naruto-kun ..."

Kini Shion yang memegang kedua bahu Sasuke kencang. Matanya melihat sosok Uchiha Sasuke sebagai mantan kekasihnya.

"Shion, ini aku, Sasuke." Uchiha bungsu itu gelagapan menghadapi Shion yang seperti ini.

Gadis yang mencengkram bahunya itu tersenyum pilu dengan air mata yang masih mengalir. Tubuhnya menghambur ke arah Sasuke. Masih berilusi bahwa sosok yang dipeluknya itu adalah Naruto.

Sasuke mencoba melepaskan pelukan Shion yang terlampau kencang. Tiba-tiba usahanya berhenti karena tubuhnya membeku, saat bibir Shion menempel di bibirnya. Mengecupnya pelan. Kecupan pahit yang rasanya sama dengan sakit hati.

"Jangan tinggalkan aku," bisiknya saat kepala pirang itu menumpu di bahu Sasuke sesaat sebelum jatuh tertidur.

Sasuke terbelalak. Ia masih terpaku di tempat. Bulan yang tampak terang di langit gelap pun terlihat terdiam. Angin malam yang dingin membelai lembut pipi Sasuke, menyadarkan pemuda itu perlahan.

Cepat-cepat ia memanggil taksi yang melintas. Gadis mabuk itu ditaruhnya di kursi belakang taksi. Setelah ia merasa Shion nyaman dengan posisinya, Sasuke menyebutkan sebuah alamat dan menyuruh supir taksi itu mengantarnya.

Ia masih terpaku walaupun taksi itu sudah menjauh.

Pikirannya kosong dan hatinya terasa gelisah luar biasa.

Ia berbalik, hendak berjalan pulang dan menenangkan pikirannya.

Tapi Tuhan masih ingin bermain-main dengannya. Jadi Sasuke harus menghadapi satu kejutan lagi.

Kejutan. Gadis itu tepat di belakangnya.

"Sakura ..."

Sasuke kembali dibuat nostalgia dengan spot jantung, melihat Sakura yang tahu-tahu sudah berdiri di belakangnya. Dengan bibir bawah yang digigit ke dalam, dan mata yang memerah.

Sasuke hampir lupa bagaimana rasanya bertemu Sakura yang muncul tiba-tiba seperti ini. Ia lupa tentang keahlian Sakura; menghilangkan hawa keberadaannya.

Hal yang semacam ini ... ia merindukannya.

Sayangnya yang tercetak di wajah gadis merah jambu itu sekarang adalah kekecewaan, bukan senyum malu-malunya yang misterius.

Hatinya serasa terpukul palu besar saat mata hijau yang berkilauan itu meluncurkan satu tetes air matanya. Sebelah pipi gadis itu basah, dan Sasuke bersedia mengusap pipi itu jika sang gadis tidak melangkah mundur.

Tangan Sakura yang menggenggam ponsel di dekat telinganya itu turun. Ia menatap layar ponsel yang mati itu dengan hampa.

"Hari ini ... banyak sekali masalah yang muncul," tuturnya pelan. Punggung tangannya mengusap air matanya cepat.

Ia baru saja duduk merenung di taman kota, lalu memutuskan untuk pergi ke kedai minuman terdekat untuk melupakan masalahnya sejenak. Tapi siapa sangka? Ia melihat hal yang bahkan tidak pernah muncul di mimpi terliarnya. Hal yang ia takutkan seolah datang terang-terangan dengan sombong di depan matanya.

Punggung Sasuke yang ia lihat tadi terasa begitu jauh, terasa asing. Padahal ia sudah sering melihat punggung itu semenjak SMA. Mungkin karena pemilik punggung itu tengah mencium seorang gadis. Gadis yang sama dengan gadis yang menindih pemuda di hadapannya.

"Aku tidak tidur selama dua hari."

Sakura ingat tenggat waktu yang mengejarnya. Ia tidak bisa tidur karena kertas gambarnya masih kosong.

"Jadi aku kira mataku bermasalah," lanjutnya.

Terlintas memorinya kala ia melihat kekasihnya terlentang di lantai dengan seorang gadis. Ia menggigit bibir bawahnya kuat menahan isakan.

"Aku kira aku melihat kekasihku sedang ditindih gadis lain."

Mata Sasuke membulat. Jadi dia ada di sana? Gadis merah jambu itu datang ke kantornya? Sakura salah paham! Ia harus menjelaskan semuanya.

"Sakura, yang kaulihat itu—"

"Lalu ...," Sakura tidak mengizinkan perkataannya diinterupsi. Nadanya sedikit meninggi tadi. "... aku mencoba percaya padanya. Tidak mungkin ia tidak mengabariku karena ia selingkuh. Tidak mungkin." Sakura mengatakannya kepada Sasuke, tapi gadis itu terlihat seperti meyakinkan dirinya sendiri.

Sasuke mengalihkan wajahnya. Ia terlalu malu menatap Sakura, karena faktanya ia sengaja menghindari gadis itu. Walaupun ia menghindarinya bukan karena selingkuh.

"Gara-gara itu, aku bertengkar dengan sahabatku. Dia marah padaku. Lalu aku harus berdebat dengan setan merah."

Sakura ingat ia mengecewakan sahabatnya. Lagi-lagi napasnya terasa berat mengingat Ino berucap jika dia membencinya. Tak berapa lama rasa sesak itu bertransformasi menjadi kekesalan, kala ia ingat bagaimana sengitnya ia berdebat dengan setan yang menyamar menjadi petugas delivery.

"Aku kesal. Kesaaal sekali hingga aku ingin menangis. Aku mencoba menelepon kekasihku, tapi tak diangkat satu kali pun."

Sasuke tersentak. "Sakura, ponselku dirampas—"

"Dan aku melihatnya berciuman dengan gadis lain hingga aku tahu alasannya untuk tidak mengangkat panggilanku."

"SAKURA!"

Sasuke menghentikan segala racauan Sakura yang membuat kepalanya pening. Ia lelah sekali hari ini, dan pertengkarannya dengan Sakura yang tak mau ia bayangkan akhirnya terjadi juga.

Teriakan Sasuke membuat setitik air kembali jatuh menimpa layar ponsel dari mata Sakura yang menyipit. Melihatnya membuat Sasuke tersadar dan melunakkan ekspresinya.

Sasuke berjalan mendekati Sakura, tapi gadis itu kian menjauh. Sasuke mencoba mengenyahkan perasaan sesak di dadanya. Ia menepis pikirannya yang berkata bahwa dia harus mengejar Sakura sekali lagi.

"Hari ini aku juga banyak masalah. Hari ini aku lelah, kumohon ..."

"MEMANGNYA KAU PIKIR AKU TIDAK LELAH?! Aku dikejar tenggat waktu. Sahabatku marah padaku. Lalu ada laki-laki gila yang mendebatku. Kau pikir aku tidak lelah?!"

Sakura menguras seluruh emosinya. Semua masalah yang datang padanya tanpa jeda, membuatnya tidak bisa berpikir jernih. Kepalanya panas, tapi hatinya lebih panas.

"Kau selalu menyimpulkan semuanya sendiri! Tidak mau mendengarkan penjelasanku!"

Sasuke akhirnya berhenti mendekati Sakura. Ia ingat bagaimana gadis itu seenaknya menyimpulkan dirinya sudah mempunyai pacar ketika Karin menggandeng lengannya waktu itu. Semudah itu Sakura percaya dan meninggalkannya.

"Jadi ini salahku?!"

Sasuke mengerutkan dahinya. "Apa?"

"Ini salahku kehabisan ide? Salahku Ino marah? Salahku hingga petugas delivery itu mengataiku sialan?!"

Pemuda raven itu tidak mengerti apa yang diucapkan Sakura. Sejenak ia berpikir Sakura sedang melampiaskan kekesalan padanya.

"Salahku menyimpulkan semuanya sendiri?!"

"Makanya dengar dulu!" Sasuke paham, dan kepahamannya itu menguras tangki kesabarannya.

"UNTUK APA?! Aku melihatnya sendiri! Kau bermesraan dengan gadis lain! Aku tidak bisa menghubungimu dan ternyata kau sedang berciuman! Aku tidak bodoh, Sasuke!"

Sakura berteriak. Air matanya jatuh semakin deras. Bahunya bergetar hebat.

"Kau tidak pernah mendengarkan penjelasanku!" Sasuke balas berteriak. Sakura akhirnya diam, bibir bawahnya digigit hingga rasanya berdarah untuk menahan isakan yang menjadi. "Dia itu rekan kerjaku, dan dia tersandung hingga menindihku! Kami tidak melakukan apa-apa!"

Sasuke hendak melangkah maju, tapi ditahannya ketika kepala gadis itu menggeleng pelan. Hatinya terasa tercubit melihatnya. "Ponselku disita Kakashi, jadi aku tidak bisa menghubungimu. Dan yang kaulihat barusan, tidak seperti yang kaupikirkan ..." Suaranya melirih, tidak bertenaga.

"Dia mantan kekasih Naruto. Dia mabuk, dan menciumku karena mengira aku ini Naruto," jelasnya lagi, setengah putus asa melihat gadis itu tidak terlalu percaya.

Wajah Sakura masih basah. Napasnya putus-putus.

"Mantan kekasih Naruto? Lalu kenapa kau tidak menolak ciumannya?"

"Aku terkejut, Sakura. Lagipula aku tidak membalas." Sasuke menatap mata emerald itu setengah memohon. Iya. Ia memohon agar Sakura percaya.

Sakura sendiri sulit percaya. Karena yang tampak di matanya tadi bertolak belakang dengan ucapan Sasuke. Punggung pemuda itu tampak begitu menikmati. Ditambah lagi ia masih sakit hati karena Sasuke tidak mengabarinya.

Sakura ingin sekali percaya. Tapi hatinya masih sakit. Bahkan lebih sakit setelah melihat wajah Sasuke yang putus asa seperti itu. Apa Sasuke lelah padanya?

"Kalau begitu, kenapa kau tidak menghubungiku selama sebulan?"

"Aku sibuk ... mengurusi kenaikan jabatanku. Tapi ternyata kenaikanku ditunda," jawab Sasuke seraya mengusap wajahnya.

"Tidak ada alasan lain?"

Sasuke mengalihkan tatapannya. Ia tidak sanggup menatap mata Sakura yang berkilau penuh kekecewaan. Ia merasa begitu munafik, begitu pengecut untuk mengatakan yang sebenarnya.

"Aku memang ... menghindarimu." Pada akhirnya terucap juga.

Sakura tertawa kecil. Tawa itu jelas menyakitkan hati siapapun yang mendengarnya. Apalagi Sasuke. Pemuda itu memejamkan matanya erat, sedikit berharap telinganya tuli mendadak.

"Benar, kan? Aku sudah merasa kau memang menghindariku," ucap Sakura diselingi tawa paksa.

"Itu karena ..." ucapan Sasuke menguap. Ia tidak sanggup melanjutkan.

Tawa Sakura begitu berat didengar, dan lama kelamaan suara tawa itu berubah menjadi isakan yang pedih. "Sasuke, sebenarnya apa perasaanmu padaku?"

Pemuda yang ditanya itu langsung menatap wajah Sakura yang ditimpa cahaya bulan. Ia terperangah. Sakura meragukannya? Meragukan perjuangannya mengejar gadis itu?!

"Kau mencintaiku, atau hanya penasaran denganku?"

Kalau diingat-ingat, Sasuke tidak pernah berkata pemuda itu mencintainya. Ciuman mereka hanya pada waktu musim salju itu. Yang pertama dan terakhir hingga saat ini. Semula Sakura pikir mereka berdua terlalu malu membuat langkah. Tapi kini ia ragu.

Apakah Sasuke memang mencintainya? Atau pemuda itu mengejarnya karena penasaran dan merasa tertantang? Kini Sasuke sudah tahu jawaban teka-tekinya, tidak ada alasan bagi laki-laki itu untuk merasa tertantang lagi.

"Oh, ngomong-ngomong ... apa hubungan kita? Kau tidak pernah memintaku menjadi kekasihmu."

Sakura baru ingat, Sasuke tidak pernah memintanya untuk menjadi kekasihnya. Sebenarnya hubungan mereka tidak jelas. Sejak ciuman mereka waktu itu, mereka bertingkah layaknya sepasang kekasih. Padahal kejelasan status itu tidak ada.

Sasuke sendiri baru melihat Sakura yang begitu sinis. Tapi yang dikatakan Sakura memang benar. Dia tidak pernah menembak gadis itu. Karena ia pikir menciumnya saat itu sudah lebih dari cukup untuk mengungkapkan perasaannya. Lihat, gadis ini meminta lebih lagi.

"Entah. Simbiosis mutualisme mungkin?"

Gadis itu yang meminta. Baik, Sasuke akan memberinya.

Sasuke mengikuti permainan Sakura. Nadanya tidak kalah sinis, dan ia lebih pandai berkata sarkastik ketimbang romantis.

Pandangan Sakura semakin kabur tidak karuan. Ada rasa sakit di hatinya. Sakit itu membuat dadanya sesak hingga bernapas pun rasanya berat.

"Jadi begitu? Kau menganggap hubungan kita seperti itu?"

"Iya. Memangnya seperti apa lagi?"

"Kalau begitu, bagaimana caranya mengakhiri hubungan ini? Apa simbiosis juga mengenal kata putus?"

Mereka berdua kembali berdiri berhadapan dengan hati yang sama lelahnya seperti dulu. Mereka memiliki banyak masalah hingga tidak ada yang bisa berpikir jernih. Hubungan mereka sudah di ujung tanduk, tapi tidak ada yang berusaha menariknya. Keduanya mendorong hubungan itu hingga jatuh.

"Iya, kenal. Kau mau memutuskan hubungan ini?"

Sakura memaksa tertawa lagi, tapi ia tidak kuat. Hatinya begitu remuk melihat Sasuke mengiyakan ucapannya.

Sakura tidak sekuat yang ia kira. Ia tidak sanggup melanjutkan semua ini. Ia begitu tertekan, tetapi Sasuke begitu santai.

Jadi Sakura berusaha lari. Ia ingin pergi dari hadapan Sasuke. Dan dia tidak ingin muncul lagi.

Sasuke tahu gelagat Sakura. Pemuda itu melangkah lebar menahan tangan Sakura cepat. Ia tidak membiarkan gadis itu kabur begitu saja.

"Kau sendiri bagaimana?" tanyanya. Nadanya terdengar dingin, sama seperti tangan Sakura yang terasa seperti es.

Sakura menoleh, menatap wajah Sasuke yang gelap karena membelakangi bulan. Tatapan itu begitu sulit diartikan.

"Kau memang mencintaiku, atau memanfaatkanku?"

Kata-kata yang ia tahan dua kali akhirnya terucap. Suaranya jelas hingga menggema.

Tidak ada yang bersuara lagi. Mulut gadis itu membuka, kemudian menutup lagi. Air matanya yang turun seolah berbicara.

Sasuke melepaskan tangan Sakura perlahan. Ia masih menatap wajah basah yang terpaku itu. Reaksi yang seperti itu ia anggap sebagai jawaban. Jadi, seiring genggamannya terlepas, ia juga melepas gadis itu. Melepas perasaannya.

Sakura terdiam. Membeku bersama Sasuke diterpa angin malam.

Ia ingat ia kehabisan ide untuk manga-nya. Ini bisa menjadi cerita yang luar biasa. Luar biasa menyakitkan. Sayangnya genre komiknya bukan hurt-comfort, angst, apalagi tragedy.

Ia kehabisan ide. Hubungan mereka berakhir. Mau bagaimana lagi?

Ia tidak peduli lagi. Ia akan hiatus.

Atau jika ia tidak bisa kembali dari hiatusnya, ya sudah.

Discontinued saja.

Sakura sudah mengambil keputusan. Ia menarik napas panjang. Tubuhnya berbalik, tidak ingin menoleh. Kakinya melangkah mantap.

Sasuke juga berbalik. Tidak berniat mengejar. Tidak berniat mempersempit jarak yang semakin lebar. Tidak ada yang berniat memperbaiki hubungan mereka.

Tidak ada bentakan lagi, tidak ada tamparan.

Tapi suara langkah kaki yang saling menjauh itu, cukup menyakitkan dua hati kecil.

.

.

.

.

.

.

.

Chapter 1:Hiatus- End.

[A/N]

Tentang kantor redaksi dan jabatannya ini hasil searching saya, jadi maafkan jika ada yang terasa janggal ya.

Saya kangen bittersweet-nya sasusaku, jadi sequel-nya hurt/comfort, hehe. Semoga feel-nya kerasa.

Saya juga ingin meminta maaf apabila saya punya banyak salah. Minal aidzin wal faidzin, semuaa :)

Terima kasih untuk semua yang me-fave, follow, dan review fic Kukejar Lukisanmu

Special thanks to:

Suket alang-alang, Teme-Kyun99, Shinohara Akari, nadira cherry, uchiha-chan, axwdgs, alexaryan55, madeh18, Alany Rien, Lynn, Ricchi, Naya Aditya, , cremona09, Rachel-Chan Uchiharuno Hime, kimmy ranaomi, Rei, helsidwiyana6, Killer's Revenge, haruchan, Guest, mina, Honoka, Lhyla Kiryu, Bocah, The Deathstalker, uchiharuno35, RQ563

Maaf apabila ada penulisan nama.

Yang sudah baca sampai sini, terima kasiiih c: