ADALAH sepenuhnya kesalahan Arthur karena rasa kantuk yang masih menumpuk di wajah dan mata, jika teko penuh teh panas itu mengisi cangkir antik di bawahnya hingga meluber dan mengenai hingga pangkal ibu jari tangan kanan, membuat Arthur merasakan panasnya.
Diakhiri dengan suatu insiden, hm, berupa teko teh yang tempo detik masih tergenggam kuat oleh jemarinya terbanting, pecah berserakan di lantai.
Puh.
Arthur mengaduh.
Rasa-rasanya, di dalam mimpinya yang buruk tadi, ia sudah tergelincir dan tercebur ke dalam selokan yang sudah pasti kotor dan bau ketika berkeliling komplek sekitar gedung Gubernur dengan mengayuh sepeda kuno khas negeri ini.
Mimpi yang bagi Arthur dirasa lumayan mengilukan badan jika sungguh terjadi, dan hei, sama sekali tidak ada lucu-lucunya, tahu.
"Ck!" Sedecakan kembali meluncur dari mulut; mengutuk-ngutuki kejadian sial yang menimpa dirinya.
Dan sekarang ... astaga, kesialan lagi dalam lain rupa.
Kesialan Arthur di pagi itu bertambah kala ia ingat kalau teh di dalam teko itu adalah jatah seduhan terakhir.
Sekarang sudah habis. Terbuang percuma dengan mencumbu dinginnya lantai keramik putih. Ia berdecak kesal.
Arthur bersujud, tangannya tergerak hati-hati untuk mengambili pecahan besar dari teko yang sudah tidak ada gunanya lagi. Keset di dekatnya Arthur ambil, menyekai lantai yang terbasahi teh panas.
Tangan merasakan hangat; cairan teh merembesi kain, membasahinya dengan cepat.
Dan ketukan pada pintu depan rumah terdengar ...
"Good morning, Sir Lieutenant."
Alis setebal enam lapis-berlapisnya terangkat heran. Barangkali bertanya-tanya dalam hati.
"Siapa?"
.
...~*o•O•o*~...
"Penjajahan tidak harus selalu menyakiti pribumi negeri yang mereka jajah, bukan?"
Hetalia - Axis Powers (c) Himaruya Hidekazu, Japan.
Penulis tidak mengambil keuntungan material apapun atas pembuatan karya fanfiksi.
•
LIEUTENANT GOVERNOR,
oleh INDONESIAN KARA.
•
Rated: T (R-14). Genres: Historical, General, Mystery. Language: INDONESIAN (Bahasa Indonesia).
Notes: AU, era kolonialisme. Didedikasikan secara spesial untuk #Nasionalisme Indonesia dan #PeLitKreNasIndo.
[fact-res]
#31DaysChallenge - 500 Words per Day.
*-...0o0...-*
.
Teh dalam cangkir Arthur sesap perlahan. Agar tidak berkejadian sama seperti sebangun tidurnya, ia menunggu tehnya agak lebih dingin (yap, menjaga keamanan yang jelas mahal harganya dengan meniup-niup cangkir berisi teh) terlebih dahulu.
Angin yang bersemilir dingin di pagi itu membuat Arthur berhenti menyesapi teh, bergeming, masih dengan posisi duduk bersila di atas pos kamling besar yang agaknya tidak lagi digunakan, meskipun kayu-kayu penyangganya masih kokoh; tak reyot ataupun dilalap rayap.
Arthur Kirkland, pria Inggris itu, mengangkat kepala, meluruskan arah pandang; jauh menatap hamparan perkebunan teh yang alangkah luas di depan mata.
"Goedemorgen, Lieutenant."
Gadis bercaping itu datang lagi, menyapa Arthur dengan nada suaranya yang dalam; kalimat dalam Bahasa Belanda yang gadis itu ucapkan, yang berarti 'Selamat pagi, Lieutenant'.
Pria Inggris itu jelas bingung; kurang paham dengan bahasanya. Arthur kagok untuk menjawab, menciptakan jeda panjang yang penuh kecanggungan
Gadis itu rupanya lelah demi menunggu jawaban dari pria Inggris di hadapannya. Terbukti, ia kembali bersuara, "Ah, apakah kalimat saya barusan menyusahkan Anda untuk menjawab, Sir?"
Arthur mengedip sekali, masih kebingungan untuk menjawab. Hei, alangkah sulit merangkai kata-kata ketika canggung.
"Ya, maaf, aku tidak mengerti Bahasa Belanda."
Meski samar saking tipisnya, Arthur melihat gadis bercaping dengan sebakul daun teh segar di pinggang kiri. Hm, Arthur jadi ingat sesuatu ...
"Seharusnya, saya yang meminta maaf, saya terlalu sering menggunakan Bahasa Belanda ketika era kolonial mereka memimpin di tanah Nusantara."
Gadis bercaping dengan nada suara yang dalam dan misterius di hadapannya ini ...
... adalah sosok yang sama, yang mengetuk pintu rumahnya dengan sekeranjang kecil berisi daun teh siap seduh sebangun dirinya tadi.
"Saya permisi."
Hingga beberapa pekan ke depan, Arthur tetap tidak mengetahui siapa gadis bercaping, yang kerap memberikan keranjangan kecil berisi dauh teh siap seduh itu.
Sama sekali. Tidak.
Bahkan sosoknya yang misterius itu tidak muncul kembali dalam jangka waktu lama.
~o0o- 1811 -o0o~
"Jika perkiraanku benar mengenai kekalahan Belanda dalam Perang Napoleon melawan Prancis, maka sesaat setelah Belanda kalah adalah waktu emas bagi kita untuk menyerbu wilayah jajahannya yang amat kaya akan sumber daya alam.
"Hindia Belanda, dan akan kita kuasai negeri itu secepatnya."
Dan pada tanggal 18 September tahun 1811, pasukan Inggris menguasai Pulau Jawa secara keseluruhan dari kepemimpinan Prancis yang berniat untuk mempertahankan Pulau Jawa dari negara lain.
"Serang Pulau Jawa dengan kekuatan penuh! Kerahkan prajurit-prajurit tempur paling kuat di garda terdepan! Gempur Prancis dan rebut Pulau Jawa dari pangkuannya!"
Demikianlah perintah bernada tegas dari sang pemimpin tanah Inggris. Sosok berambut pirang yang gagah di bawah terpaan mentari senja yang telah menguzur; tak dilupa, dengan seruan yang tak jarang bernada tegas.
Tidak ada yang boleh membantah; atau nadi leher yang akan diputus oleh mata pisau guillotine.
Seluruh tentara dan prajurit perangnya membungkuk, memberikan hormat. Bersiap untuk bangkit lagi mengusung amunisi yang tak terbantahkan banyaknya.
•••
•••
"Arthur Kirkland, from The Great Britain and Northern Ireland ... apa kauyakin dengan keputusanmu ini?" Willem menyentakkan dokumen bersampul cokelat pucat itu ke meja usai membaca isinya. Raut wajah tersurat jelas keheranan dan semburat kemarahan.
Arthur menatap ke atas meja, tepat pada nama dokumen yang tempo sekon disentakkan oleh Willem. Tertera besar, ditulis dengan pena paling tebal yang Arthur punya.
"Arthur Kirkland ..."
Penuh dengan penekanan.
Sang empunya nama membenahi posisi duduk, bersiap diri demi menjawab pertanyaan dari pria berambut pucat di hadapannya. "Jika 'ya', lantas apakah itu memberatkan dirimu, Netherlands?"
Nada itu dingin.
Willem tersentak.
Ucapan itu menusuk.
"Namun, kautidak harus menghapuskan rodi dari agenda penguasaanmu ..."
"Willem." Arthur bangkit, menatapkan keping zamrud miliknya pada milik Willem yang emerald. Menyelisih sedetik setelah kalimat Willem dipotong semena oleh si pria Inggris, setatapan tajam netra menghunjam pandangan Willem.
Tatapan itu ... bersirat ketidakramahan.
"Aku yang menguasai Nusantara sekarang. Selama penguasaanku, nama 'Hindia Belanda' tidak lagi tersemat padanya. Aku dan seluruh bawahanku yang berkuasa untuk menetapkan, menghapus, menambah, dan mengurangi kebijakan-kebijakan yang berjalan di atas Nusantara.
"Dan lantas, apa aku memberimu IZIN untuk mengomentari dan menyampaikan rasa keberatan hatimu atas kebijakan yang aku tetapkan?" Gebrakan telak seusai kalimat terdengar. Willem mundur selangkah.
Arthur berpejam netra. Menarik napas sedalam-dalamnya. "Jika urusanmu di sini sudah selesai, boleh aku memintamu untuk pergi dari sini? Kita bisa kehabisan oksigen jika terlalu lama mencampuri urusan orang lain."
Willem tak lagi angkat bicara, setelah kalimat terakhir Arthur terucapkan, barulah ia mengatakan, "Ja. Aku permisi." Pria penyuka bunga tulip itu berbalik, menuju dan membuka pintu, lantas keluar tanpa berucap apapun lagi. Berakhir dengan deritan pendek ketika pintu ditutup olehnya.
Ada jeda yang tercipta, lebih-kurang terhitung satu menit lamanya.
Arthur menarik napas panjang, lantas mengembuskannya lagi perlahan. Kemudian, ia kembali mendudukkan diri. Dugaannya akan bersitegang sesaat dengan Belanda benar terjadi; dan hanya di antara mereka berdua, tidak ada orang lain yang tahu.
"Haruskah penjajah selalu bertindak kejam terhadap rakyat di wilayah jajahannya?" Netra zamrud itu beralih kembali. Membaca titel besar pada sampul cokelat dokumen di hadapannya.
Tangannya tidak berniat meraih. Dokumen persegi panjang itu terletak terbalik dengan kemiringan tertentu.
Pikirannya berat, netranya menatap langit-langit; menerawang sesuatu.
Titel yang Arthur tulis besar-besar di sampul cokelat dokumen itu ... adalah pengisi pikirannya sekarang ...
~o0o- Lieutenant Governor -o0o~
Isinya adalah perjanjian yang akan ia lakukan di atas buwana Nusantara sebagai daerah jajahannya sekarang.
Kebijakan-kebijakan baru yang akan merugikan ...
Para pribumi negeri, termasuk Gadis Bercaping itu, tidak akan mengetahui apa kelanjutan dari politik yang tengah terjadi di atas negeri mereka selain kata "Kolonialisme".
•
finished.
[16 Juni 2018]
*~...0•o•0...~*
.
Little bit about this fic:
friend:Lar, what's the title that will you put out for this story?
me: ...
also me: Penjajahanku Tamat di Kebon Teh.
friend 2: *gelindingan*
