Naruto © Masashi Kishimoto
Story © Lyandraff
Warning!
AU, OOC, mainstream, typo, abal, EYD berantakan, dan sejenisnya.
.
.
.
.
"Aku selesai."
Emerald teduh itu melirik pemuda yang duduk di sampingnya. Agak lama ia memandangi wajah rupawan milik pemuda itu, berharap tatapannya dapat mengalihkan atensi pemuda itu yang sejak tadi menatap lurus ke depan, namun sampai sebuah suara halus memasuki indera pendengarannya, tatapan pemuda itu tak kunjung lepas. Pandangan emeraldnya turun menatap sebuah piring kosong disampingnya. Ia menatapnya datar.
"Sasuke, kau bisa mengajak Sakura jalan-jalan setelah ini. Sakura-chan, apa kau sudah selesai?"
Sakura yang mendengar namanya disebut oleh ibu dari pemuda disampingnya ini pun mendongak. Ia baru akan membuka suara sebelum suara lain menghentikannya.
"Maaf, Bu. Aku sedikit pusing dan tidak enak badan. Apa boleh aku ke kamar?"
Sakura memperhatikan Sasuke yang tengah menatap satu-persatu orang yang berkumpul di meja mewah ini dengan tatapan bersalah meminta simpati. Ia mendengus ketika ayah dan ibunya dengan ramah mengizinkan lelaki itu untuk meninggalkan jamuan makan malam ini, terlebih lagi ketika lelaki itu sama sekali tak menatapnya untuk meminta persetujuan.
"Istirahatlah, nak. Jaga kesehatanmu, akan sangat merepotkan jika kau sakit di tahun terakhirmu bersekolah."
"Terima kasih, Paman, Bibi. Saya permisi."
Sakura tersenyum kecut setelah kepergian lelaki itu. Ia tahu Sasuke berbohong. Dan Sakura tahu dengan pasti alasan lelaki itu melakukan ini. Tapi ia tak akan kalah. Ia tak akan menyerah dengan semua keburukan Sasuke padanya. Ia akan memainkan perannya dengan baik disini.
Suasana menjadi canggung setelah kepergian Sasuke. Sakura bisa melihat kecanggungan itu melaui interaksi kedua orang tua Sasuke dengan kedua orang tuanya. Mungkin ayah dan ibu Sasuke merasa tidak enak hati atas perlakuan Sasuke. Meskipun kedua orang tuanya tampak tak mempermasalahkan hal itu.
"Sakura-chan sudah kenyang? Piringmu masih penuh sedari tadi."
Sakura mengalihkan emeraldnya pada sosok yang sangat mirip dengan Sasuke. Tatapan wanita itu melembut ketika menatapnya, berbanding terbalik ketika wanita itu menatap kepergian Sasuke. Mungkinkah wanita itu sempat kecewa dan marah? Sakura tersenyum manis.
"Maafkan aku Bibi. Makanan ini terlihat enak, tapi akhir-akhir ini selera makanku menurun."
"Jangan terlalu lelah, Sakura. Pastikan istirahatmu cukup."
Sakura tersenyum tipis mendengar nasihat tegas dari ayah Sasuke. Merasa kagum dengan sikap tenang dan berwibawa milik Fugaku. Auranya begitu mengintimidasi. Ia yakin pria itu mendidik anak-anaknya dengan tegas agar selalu tunduk padanya.
"Aku rasa kau dengan tunanganmu semakin cocok saja. Kalian berdua bahkan sakit secara bersamaan." Kizashi terkekeh akan perkataannya sendiri, sebelum akhirnya mendapat sikutan dari istrinya, Mebuki.
"Kau senang anakmu sakit?"
"Ah, tidak begitu, sayang. Aku hanya merasa mereka sangat cocok."
"Tapi kau terlihat bangga mengetahui Sakura dan Sasuke sakit."
"Kau berlebihan, sayang. Aku tidak bangga mereka sakit."
Sakura menghela nafas, lelah mendengar perdebatan ayah dan ibunya untuk yang keseribuan kalinya. Namun ia melihat ayah dan ibu Sasuke tampak terhibur dengan tingkah kedua orang tuanya, meskipun hanya ibu Sasuke yang terkekeh secara jelas.
"Sakura-chan, orang tuamu ini benar-benar tidak berubah sedari dulu. Kupingmu pasti panas mendengar perdebatan mereka setiap hari."
Sakura tersenyum. "Tenang saja, bibi. Itu bukan masalah bagiku."
"Sayang, perdebatan dalam suatu hubungan adalah hal yang wajar. Justru itu akan membuat sebuah hubungan lebih berwarna dan dewasa. Sakura, kuharap gaya pacaranmu tidak kaku dan terlalu lurus seperti calon mertuamu. Sangat membosankan."
Sakura tersenyum tipis mendengar perkataan ibunya. Mereka tidak tahu, hubungannya dengan Sasuke bahkan lebih buruk dari itu.
"Setidaknya aku dan Fugaku tidak pernah memperdebatkan hal konyol seperti kalian."
"Tapi setidaknya kita tidak pernah menahan diri untuk tidak melakukan sex sebelum menikah."
Wajah Mikoto dihiasi semburat merah setelahnya. Sakura yang melihat itu pun ikut memerah. Ia tahu ibunya dan ibu Sasuke adalah sahabat sejak kecil, mereka tentu sering melontarkan sarkasme dan lelucon khas mereka sedari dulu, namun tetap saja hal itu tak seharusnya dilontarkan dalam acara semi-formal mereka, apalagi di hadapan anak dibawah umur seperti dirinya.
"Kenapa wajahmu merah, Sakura? Apa sebenarnya kau dan Sasuke pernah melakukannya?"
Sakura semakin memerah mendengar perkataan yang kelewat antusias dari ibunya. Namun Sakura hanya diam. Ia membayangkan seandainya Sasuke ada disini dan mendengar hal ini, bagaimana respon lelaki itu? Apakah Sasuke akan tersipu malu seperti dirinya? Ah. Rasanya mustahil lelaki es seperti Sasuke mampu tersipu malu apalagi jika itu menyangkut dirinya. Sasuke bahkan tak pernah absen menunjukkan wajah datarnya pada Sakura.
Para orang tua tersenyum menggoda, rupanya diamnya Sakura disalah artikan oleh mereka.
.
.
.
.
Sasuke menggeram dalam tidurnya saat merasakan guncangan di tubuhnya. Ia merapatkan selimutnya, namun tak berselang lama seseorang menarik paksa selimutnya disertai guncangan di tubuhnya yang semakin menjadi. Geraman rendah kembali terdegar. Ayolah, biarkan ia tidur sebentar lagi setidaknya sampai ia mendengar alarmnya berbunyi seperti biasa.
"Cepat bangun. Aku tak ingin membuang waktuku untuk membangunkanmu."
Suara halus yang tampak tak asing itu membuat Sasuke seketika membuka mata. Ia terduduk begitu saja saat mengetahui seseorang yang berada di kamarnya.
"Mengapa kau disini?" ucapnya dengan suara serak. Sasuke mengernyit ketika merasakan sakit di kepalanya akibat terbangun tiba-tiba.
"Minumlah dulu."
Sasuke melirik sekilas, merasa enggan menerima pemberian apapun dari perempuan itu, namun tenggorokannya terasa sangat kering, tanpa pikir panjang, ia pun mengambil gelas yang ditawarkan gadis itu dan meneguknya sampai habis.
Sasuke yang menyadari tatapan intens gadis di hadapannya segera beranjak dari atas ranjang. Ia melirik jam di atas nakas. 6 pagi. Bagus, masih terlalu pagi untuk bersiap-siap ke sekolah. Namun gadis itu bahkan telah siap dengan seragam sekolahnya. Sebenarnya jam berapa gadis itu bangun? Ah, sungguh, ia tak peduli.
"Aku suka interior kamarmu."
Sasuke melangkah menuju kamar mandi. Enggan menanggapi ucapan gadis merah muda itu. Tak berselang lama, langkahnya terhenti karena lengannya tertahan. Ia berbalik dan terkejut saat merasakan sesuatu yang lembut menempel di bibirnya dengan singkat.
"Selamat pagi, Sasuke-kun."
Sakura tersenyum manis di hadapannya, membuatnya tertegun merasakan debaran di dadanya. Hingga akhirnya tepukan lembut di pipinya membuatnya tersadar. Ia mendengus keras melihat kepergian gadis itu. Mengusap kasar bibirnya, merasa marah dengan sikap lancang Sakura.
.
.
.
.
Sakura turun dengan cepat dari mobil Sasuke. Ia sedikit berlari, mengejar langkah cepat Sasuke, dan menggandeng lengan kekar tunangannya itu. Tak dipedulikannya sikap Sasuke yang berusaha menjauhkannya dari lelaki itu. Ia semakin gencar merapatkan tubuhnya pada Sasuke. Sakura tersenyum menang ketika Sasuke tak lagi melakukan perlawanan.
"Sasuke antarkan aku ke kelasku ya."
"Aku bukan pengawalmu."
"Temani aku." ucapnya dengan wajah yang seolah merengut.
Lelaki itu berdecak. "Singkirkan tanganmu."
Sakura mematuhinya, beralih mengecup pipi Sasuke sebagai balasan. Ia mengabaikan tatapan tajam Sasuke dan memilih untuk tersenyum ramah pada murid-murid disekitarnya yang tengah mengamati mereka. Tak sedikit tatapan iri dilayangkan para gadis padanya karena mendapatkan lelaki tampan dan kaya seperti Sasuke. Banyak pula yang menatap kagum karena keduanya sangat cocok untuk disandingkan. Pasangan yang sempurna, setidaknya itulah yang dipikirkan orang-orang, dan Sakura bangga akan hal itu, mengabaikan fakta yang sebenarnya terjadi diantara keduanya.
"Sasuke!"
Sakura tersenyum melihat kedatangan Naruto. Namun senyumnya tak bertahan lama setelah ia melihat gadis yang datang bersama Naruto. Reflek ia meraih lengan Sasuke. Mencoba tersenyum ramah pada gadis berambut indigo itu yang dibalas dengan senyuman canggung dari gadis itu.
"Hai Sakura-chan. Selamat pagi."
"Pagi, Naruto-senpai."
"Tumben sekali kalian berangkat bersama." ucap Naruto tampak bersemangat.
"Aku menginap di rumah Sasuke-kun semalam."
"Hoo, begitu rupanya."
Sakura menunjukkan senyuman malu-malunya melihat kerlingan menggoda milik Naruto, ia tahu benar apa yang dipikirkan kepala kuning itu sekarang. Dasar mesum, umpatnya dalam hati.
Kini pandangan matanya beralih pada gadis di hadapannya yang sedari tadi diam. Sakura menyapa dengan nada ramah. "Hinata-senpai, bagaimana kabarmu? Aku melihatmu di UKS kemarin. Apa kau sakit? Jujur, itu membuatku khawatir."
Sakura bisa merasakan ketegangan menyelimuti gadis bermarga Hyuga itu.
"Ah, y-ya. Kemarin aku merasa pusing dan mual. Sakura-chan tidak perlu khawatir. Kondisiku sudah jauh lebih baik sekarang." gadis itu mencoba tersenyum padanya. Sakura membalas dengan senyuman manis.
"Syukurlah. Rupanya Sasuke-kun merawatmu dengan sangat baik."
Hening.
Sakura merasakan cengkeraman kuat di tangannya. Ia menoleh, menatap Sasuke yang semenjak tadi diam. Rahang lelaki itu perlahan mengeras.
"Aku duluan."
"Sampai bertemu di kelas, Sasuke." teriak Naruto menatap kedua punggung sahabatnya yang mulai menjauh. Ia menggaruk pipinya canggung, menyadari adanya atmosfer tak mengenakan yang terjadi diantara mereka tadi.
"Ayo Hinata."
.
Mereka telah sampai di depan kelas Sakura. Sasuke segera melepaskan genggamannya. Lelaki itu hendak pergi namun Sakura dengan cepat menahan kepergian tunangannya itu.
Untuk beberapa saat Sakura hanya diam memandangi wajah rupawan milik Sasuke. Mengagumi keindahan yang tercipta disana. Namun lelaki itu tampak tak sabar menunggunya bicara.
"Terima kasih."
Sasuke menghempaskan lengannya setelah itu. Sakura hanya mampu menatap kepergian Sasuke dengan padangan yang sulit diartikan.
"Dia sangat dingin."
Kepala merah muda itu menoleh, ia tersenyum melihat Ino dan mengajak sahabat pirangnya itu memasuki kelas. Mengabaikan gerutuan Ino dan rasa sesak di dadanya untuk yang kesekian kali.
.
.
.
Tbc
.
.
Oke ini akan menjadi cerita yang sangat panjang, mungkin. Awalnya saya ragu untuk publish cerita ini karena saya merasa hampir tidak ada mood untuk menulis—padahal saya mencoba untuk menulis ribuan kali. Tapi hasilnya sangat tidak produktif. Dan yaa saya perlu melakukan banyak hal untuk memperbaiki mood saya.
Selain itu saya punya hutang fanfik yang belum terselesaikan. Itu membuat saya merasa, sangat tidak bertanggung jawab wkwk. Saya mohon maaf untuk itu. Akan saya selesaikan di lain waktu, hehe tidak janji :D
Dan apa iniii?! Saya membuat karakter Sasuke sangat kejam terhadap mamanya Sarada, huhu. Maafkan saya. Tapi maukah kalian bermaso ria bersama saya disini? :(
Oh ya rated bisa berubah-ubah sewaktu-waktu.
Last, terima kasih sudah membaca. Sampai jumpa di chapter selanjutnya. Bye bye.
Salam sayang,
Lyandraff
