© Au. Fr—collab account. Naruto ©Masashi Kishimoto. Tidak ada keuntungan material yang diambil dari pembuatan fanfiksi ini. Alternate universe.


Jangan takut, Nak. Kau akan bermimpi indah malam ini.

Rapatkan selimutmu, pejamkan kedua matamu... aku akan menjemputmu di suatu tempat antara mimpi dan realita. Aku ingin menunjukkan padamu sesuatu yang amat menarik—hal menakjubkan, yang bahkan tak terjangkau oleh imajinasi manusia sekalipun. Kita akan bertualang. Akan kubangkitkan sisi dirimu yang lain, yang berani, yang liar. Kita akan bermain dari tengah malam sampai senja, atau lebih lama lagi... lalu bermain lagi, lagi, lagi selama yang kau mau. Hingga kau tidak akan ingin terbangun kembali.

Hingga kau tidak akan bisa terbangun kembali.

Ah, Nak... kenapa tubuhmu gemetaran? Kemarilah. Berikan tangannmu, biarkan aku menuntunmu ke semesta tidak bertepi. Kau harus tetap bermimpi. Kau harus tetap tinggal di sini sampai aku puas meski kau sudah tidak ingin lagi...

Tapi sayang, aku tidak akan pernah puas.


..

Chapter I : : The Clairvoyant

Enjoy. Be careful, watch your behind…

..


Di kompleks Departemen Kepolisian Konoha, seorang wanita berjaket ungu tampak berjalan menuju kantor pusat. Seekor anjing putih besar mengikuti langkahnya dengan setia sambil menggonggong sesekali. Ketika sampai di pintu depan kantor utama, dia memutar kenop dan mendorongnya ke dalam. Bunyi lonceng terdengar nyaring.

Pria berambut jabrik yang berada di meja seberang mengangkat pandangan dari dokumen yang sedang dibacanya, lalu tersenyum menyapa pada wanita yang baru datang. "Oh, hei, Hinata. Ada perlu apa?"

"Sore, Kiba," katanya, sementara si anjing bergegas menghampiri pria itu dengan riang. "Tidak apa-apa, hanya mau memberitahu... Akamaru mengikutiku lagi seharian ini. Kau yang suruh?"

"Hah? Tidak kok." Pria bernama Kiba itu melirik sekilas ke arah objek yang dimaksud. Akamaru menyalak dua kali. "Entahlah. Kelihatannya dia cuma khawatir padamu, hahaha. Tidak masalah, kadang dia memang random seperti itu."

Seulas senyum terbentuk di bibir sang Hyuuga muda. Dia memang sudah mengenal binatang itu sekaligus tuannya sejak masih kecil, tapi dia tidak pernah paham bagaimana Kiba bisa mengerti bahasa anjing. "Oke, kuhargai itu," ujarnya," Tapi sungguh, aku tidak apa-apa. Hanya saja aku sering pergi ke tempat yang tidak mengizinkan membawa-bawa hewan, jadi... kurasa lebih baik Akamaru kukembalikan padamu saja."

"Oh... oke. Thanks."

"Baiklah. Aku kembali ke kantorku, ya."

Kedua sahabat karib ini memang sama-sama bekerja di departemen kepolisian Konoha, hanya saja dalam divisi yang berbeda. Inuzuka Kiba—sang pemilik anjing pelacak—adalah komandan penyidik, sementara Hyuuga Hinata adalah dokter yang bertugas menangani masalah autopsi. Meski begitu, mereka seringkali masih bekerja sama.

"Hei, ini sudah sore, sebentar lagi jam habis. Kau masih ada kerjaan tidak, Hinata? Kalau tidak ada, nanti sekalian kuantar pulang."

Wanita itu kelihatan berpikir sebentar, lalu menggeleng. "Ah, terima kasih. Tapi aku harus menyelesaikan laporan kasus terakhir... hari ini juga. Besok tersangkanya sudah akan disidang."

Kiba mengangguk paham. Temannya yang satu ini memang tipe orang yang tidak suka membawa-bawa pekerjaan ke rumah, jadi dia biasa menyelesaikannya di kantor. "Baiklah. Butuh bantuan?" tawarnya.

"Tidak, tidak usah repot-repot," tolak Hinata lagi. Lagipula tahu apa Kiba tentang ilmu kedokteran? Paling-paling akhirnya nanti dia tiduran di sofa sambil menonton.

"Ya sudah, terserah kau saja. Tapi kalau ada perlu apa-apa, nanti kau telepon Shino saja ya, dia pasti bantu. Itu juga kalau dia tidak sedang kencan dengan insectariumnya... hahaha."

Belum selesai Kiba tertawa, mendadak sesuatu berwarna hitam meluncur di udara, melewati meja komputer dan akhirnya mendarat di dahinya. Pria itu berjengit kaget. Ditepisnya benda kecil itu ke lantai.

"BWAAAAH! Shino! Sudah kubilang jangan melempar kecoa sembarangan!" teriaknya, "Dasar jorok!"

"..."

"Shinooooooooooooo!"

"Bercanda."

Hinata cuma tertawa kecil melihat tingkah laku kedua rekannya itu. Kalau yang seperti ini sih sudah pemandangan biasa, baik di dalam maupun di luar Divisi Dua. Sebelum dua orang itu berdebat (tidak bisa dibilang berdebat juga sih, karena yang satu hanya akan diam sambil pasang earphone), gadis itu bergegas pamitpekerjaannya sudah menunggu. Tidak lupa sekali lagi dia mengingatkan Kiba untuk mengawasi Akamaru.

Ah, ya. Pekerjaan seperti ini kadang memang merepotkan...

..


..

Ketika jam berdentang sepuluh kali, Hinata membuka mata dan menemukan dirinya tertidur di depan laptop yang masih menyala. Ah, di mana aku? pikirnya. Perlu waktu beberapa detik sampai ia menyadari bahwa dirinya masih berada di kantor—lagipula dia tidak ingat berjalan pulang. Hinata mengerjap ketika cahaya lampu membuat matanya rabun sejenak. Sejauh ingatannya, tadi dia sedang mengetik laporan, tapi... sejak kapan dia tertidur?

Dilihat dari hasil kerjanya yang baru setengah jadi, rasa-rasanya sudah lumayan lama dia ketiduran. Pasti kecapekan karena akhir-akhir ini banyak kerjaan. Oh, sial... kemalaman lagi. Berarti rekor lemburnya yang tak pernah lebih dari jam delapan malam sudah terpecahkan.

Yang jadi masalah, biasanya jam segitu masih ada taksi atau ojek. Hinata melirik jam tangannya—nah, kalau sekarang? Bagaimana dia pulang?

Tapi belum sempat wanita itu memutuskan antara minta jemput Neji atau sekalian menginap di kantor, mendadak terdengar suara ketukan di pintu. Awalnya dia abaikan saja, dan berharap si pengetuk akan mengira tidak ada orang di dalam (kalau itu Kiba atau Shino, sudah pasti mereka langsung masuk tanpa permisi). Dia sedang tidak ingin menerima tamu, toh ini bukan jam pelayanan masyarakat. Lagipula orang macam apa yang datang malam-malam begini?

Hanya saja makin lama, ketukan itu makin keras. Hinata berusaha berkonsentrasi mengerjakan laporannya lagi, tapi bunyi itu sangat mengganggu. Sekitar semenit, ketukan mulai berubah jadi gedoran. Hinata menghela nafas panjang akhirnya dia menyerah juga. Ditutupnya laptop, lalu melangkah menuju pintu.

Dari lubang intip, yang terlihat hanya bayangan hitam, karena orang itu berdiri membelakangi lampu. Siapa dia? Mau apa datang ke divisi otopsi malam-malam?

Cklek.

"Selamat malam." Hinata berusaha memasang wajah ramah, tapi rasa-rasanya tidak terlalu berhasil. Terlebih lagi, pria jangkung berambut gelap—mungkin hitam atau biru tua, entahlah—yang berdiri di depan pintu malah terbelalak kaget ketika melihatnya. Cukup lama, dia hanya diam dan memandangi Hinata dari atas ke bawah, membuatnya jadi risih.

"Maaf... kantor kepolisian sudah tutup, tuan. Silakan kembali lagi besok pagi, terima kasih," ujar Hinata sopan. Tapi pria itu bergeming—masih tetap dengan wajah datarnya. Sejurus kemudian dia menggenggam kusen, menghalangi Hinata untuk menutup pintu.

"Aku ada perlu."

"Dengan siapa?"

"Kalau begitu... denganmu."

Aku?

Meski bingung, Hinata tetap mempersilakannya masuk. Ditariknya kursi di depan meja, dan mereka pun duduk berhadapan. Pemuda yang datang berkunjung itu berkulit pucat kaukasoid, matanya hitam monokrom. Cukup maskulin, hanya saja kelihatan agak berantakan, pikir Hinata. Raut wajahnya seperti orang depresi, dan kantung mata mengindikasikan bahwa dia mungkin juga kurang tidur.

"Aku Sasuke Uchiha."

Hinata mengerutkan alis beberapa saat ketika mendengar nama belakangnya. Pantas. Tapi jujur saja, pria ini kelihatan agak terlalu mengenaskan untuk ukuran keluarga elit macam Uchiha...

"Aku perlu bantuanmu. Kau Hyuuga, kan?" tanyanya, nyaris tanpa intonasi.

"Eh... ya." Hinata mengerutkan alis. Kalau melihat matanya yang kelihatan tidak berpupil, anak kecil juga bisa menebak kalau dia Hyuuga. "Dr. Hinata Hyuuga, Departemen Kepolisian Konohagakure divisi lima. Jadi... apa yang bisa kubantu?"

Sasuke berpikir sebentar.

"Aku... aku tidak yakin," ujarnya ragu. Kentara sekali pria itu tidak nyaman berbicara dengan Hinata, dan ini membuat suasana jadi kikuk. Beberapa kali ia menengok ke kanan-kiri—terutama ke arah jendela—dan terus mengetuk-ngetukkan buku jarinya ke pegangan kursi. Wanita itu pun menunggu dengan sabar; tapi tepat ketika pemuda Uchiha itu hendak membuka mulut untuk berbicara, sebuah buku mendadak jatuh berdebam dari rak di sudut ruangan. Hinata berjengit kaget-tapi segera membuat catatan mental untuk mengecek lemari tua itu besok pagi.

Sasuke menggerutu. "Ugh. Sudah kuduga dia tidak akan senang."

"Maaf, Uchiha-san?"

Pria itu cepat-cepat menggeleng, "Bukan, bukan apa-apa." Setelah interupsi barusan, dia kembali melanjutkan. "Tapi aku yakin ada sesuatu yang bisa kaulakukan... Kau percaya dengan dunia paralel, Hyuuga-san?"

Dunia—apa?

Hinata merasa ekspresi bingungnya pasti kelewat eksplisit, karena kemudian Sasuke lanjut berbicara tanpa menunggu responnya. "Aku diikuti oleh sebuah entitas asing. Semacam makhluk khayalan, tapi nyata. Dan ini bukan pertanda baik, percayalah. "

Mendengar pernyataan semacam itu, terang saja Hinata jadi kelabakan. Apa-apaan orang ini? Memangnya dia tidak lihat papan nama di depan: Kantor Kepolisian? "Maaf, saya tidak bisa membantu. Mestinya anda menemui cenayang, bukannya dokter... Tapi saya bisa merekomendasikan beberapa obat yang akan membuat halusinasi anda berkur—"

Tapi belum selesai Hinata bicara, pria itu sudah keburu menyela. "Kaupikir aku sakit? Ini sungguhan—makhluk itu tidak hanya menggertak dengan teror, dia benar-benar bermain dengan jiwa manusia! Kalau aku bisa menghadapinya sendiri, aku tidak akan repot-repot minta bantuanmu!"

Oke, ini... membingungkan. Orang ini tidak waras atau apa, sih? "Saya rasa anda sebaiknya minta bantuan pada orang yang lebih berkompeten..."

"Tidak, tidak. Aku butuh kau—katakanlah... sebuah deja vu. Kau kira menemukanmu di kota seluas Konoha itu mudah, hah?" Sasuke menatap mata Hinata, membuat wanita itu mencelos seketika. "Akan kucari caranya. Katakan saja kalau kau bersedia."

"Tapi Tuan Uchi—"

"Katakan. Saja."

Akhirnya Hinata menyerah. Dia sudah tidak tahan diganggu malam-malam dengan hal-hal nonsense macam ini, lagipula laporannya masih perlu ditangani. Mungkin saja orang ini hanya pengidap schizophrenia yang kebetulan menderita insomnia, dan iseng mengganggu sembarang orang yang bisa dia temui. Hinata membuat catatan mental untuk mengadukannya pada Shino besok pagi.

"Ya... baiklah. Saya akan berusaha..."

Sejurus kemudian, entah bagaimana hawa dingin mendadak menelusup masuk ke ruangan. Hinata refleks menengok ke belakang untuk mengecek jendela, tapi semuanya masih tertutup. Hinata mengucek mata ketika saat ia berbalik, ruang kerjanya berubah blur dan berbayang abu-abu suram. Sudut-sudut kantor menggelap, lampu meredup—hanya memancarkan cahaya merah remang-remang. Kabut aneh menyelimuti lantai. Tempat itu jadi terasa berbeda, maskipun semua perabot masih berada di tempat yang sama.

Lho. A-apa yang terjadi?

Lalu sepasang cahaya kuning pucat muncul, menyorot dari udara kosong dekat langit-langit. Dari kejauhan benda itu tampak lonjong runcing seperti mata kucing, pupilnya berupa celah hitam. Awalnya mereka bergerak mengapung seperti kunang-kunang... tapi sangat mengganggu dan mengeluarkan hawa aneh. Perut Hinata bergolak.

Cahaya itu mulai membuat bulu-bulu di tengkuknya berdiri. Hinata mengusap belakang lehernya. Apapun itu, entah bagaimana terasa menekan—tidak secara fisik, tapi psikologis. Lalu sebuah geraman kasar yang berubah-ubah nada menggema di ruangan. Awalnya halus, tapi makin lama makin keras.

"—yuuga-?"

Dan sekarang Hinata mulai gemetar. Dia berusaha memfokuskan pandangan, ketika tidak lama kemudian mereka berhenti bergerak.

Di sisi plafon yang gelap, perlahan tapi pasti kabut hitam mulai terbentuk di sekitar mata itu. Mulanya berwujud abstrak seperti tinta hitam yang diteteskan ke air, tapi lama-kelamaan mengumpul dan makin solid—siluet mirip manusia berleher panjang menempel di langit-langit. Nafas Hinata tertahan seketika. Dia mencoba berteriak. Tapi alih-alih suara, yang bisa lolos dari bibirnya hanya desisan udara.

"—Hyuuga-san?"

Selang sedetik, sebuah suara membuyarkan segalanya—oh, syukurlah. Rasanya seperti disentak kembali dari mimpi buruk pada realita, yang membuatnya lega luar biasa. Nafas Hinata pun melambat, detak jantungnya perlahan merileks ketika lampu neon kembali terang menyilaukan. Udara tidak lagi terasa berat-lembap. Seperti tidak pernah terjadi apa-apa. Entitas itu lenyap, meninggalkan Hinata dalam keadaan bingung dan gamang seperti orang bangun tidur.

Ah, halusinasi... lagi.

Dia mengerjap beberapa kali, sebelum akhirnya ingat untuk menjawab panggilan penyelamatnya. "A-ah, ya, ada apa... Uchiha-san?"

Tapi ketika Sasuke balas menatapnya, gadis itu baru sadar kalau iris oniks pria itu telah berubah jadi merah darah. Kulitnya putih kapur. Ekspresinya juga ganjil—antara tersenyum dan tidak. Sekarang, sejelas hitam di atas putih, Hinata bisa mendengar suara berat di sela-sela geraman serak yang tidak manusiawi.

"Kau... melihatku."

Kali ini, HInata benar-benar berteriak.

...


BRAK!

Mendadak pintu ruangan menjeblak terbuka. Sesuatu melompat dari luar dan langsung menubruk Sasuke di kursinya, membuat dua sosok itu terguling ke lantai. Hinata tersentak kaget—entah sudah yang keberapa kali. Dia masih membeku di kursinya ketika kemudian Kiba—pria yang baru masuk itu—langsung menindih dan memukul sisi kepala Sasuke. Sasuke mencoba membalas, tapi lengannya segera dikunci. Dia mengerang.

Tanpa basa-basi, Kiba mencengkeram kerah bajunya. "Apa yang kaulakukan pada Hinata, hah!?"

"Hei—ugh—kau ini siap—"

"KIBA!" Begitu tersadar sepenuhnya, Hinata bergegas menghampiri mereka berdua. Ditariknya lengan pria yang di atas. "Kiba, sudah! Lepaskan dia!"

Butuh usaha ekstra sebelum akhirnya pria berambut cokelat tanah itu bangkit berdiri. Diseretnya Hinata ke jarak aman, lalu bergegas menarik keluar sepucuk pistol. Moncongnya ditodongkan ke arah Sasuke yang masih terkapar di lantai. Pemuda itu hendak mengelap darah di ujung bibirnya, tapi langsung terdiam begitu terdengar letusan pistol—sebuah tembakan kilat yang diarahkan Kiba ke langit-langit.

"Berani bergerak satu senti, dan peluru kedua akan memembus tulang rusukmu," ancamnya. "Aku serius."

"Kiba!"

Untungnya Hinata keburu menengahi. Ia menempatkan diri di depan Kiba, lalu menurunkan shotgun yang dipegang pria itu dengan hati-hati. "Jangan tembak, kumohon! Dia pasienku! Pasien biasa, tidak ada yang perlu di—"

"Lalu teriakan tadi?"

"I-itu... itu tadi cuma... err..." Hinata tidak bisa menemukan kata yang tepat, jadi dia membiarkan kalimatnya menggantung, "Sudahlah, itu tidak penting..."

Kiba kelihatan sama sekali tidak percaya. "Pasien apa? Kau ini dokter visum, Hinata, sejak kapan kau menerima pasien?"

Yeah, Kiba benar. Makanya wanita itu tidak berani menjawab. Setelah yakin Kiba tidak akan menembak, dia menghampiri Sasuke, lalu berjongkok dan mencoba membantunya berdiri. "Ma-maafkan teman saya, U-Uchiha-san... dia memang kadang seperti itu..."

Akan tetapi Sasuke malah menepis tangan Hinata dengan kasar, memberinya isyarat untuk menjauh. Tertatih-tatih, dia pun bangkit sendiri dan berjalan ke luar ruangan. Wanita itu hendak menyusul, tapi Kiba sudah keburu menahan lengannya.

"Siapa orang itu? Ada urusan apa kau dengan... Uchiha?" desak Kiba, setelah yakin pria yang tadi sudah pergi. Klan itu memang terkenal sebagai keluarga yang kaya raya, tapi agak misterius dan berantakan. Bukankah mencurigakan kalau salah satu dari mereka mendatangi kantor polisi malam-malam dan menemui dokternya?

"A-aku juga baru kenal. Dia hanya datang dan... minta bantuan."

"Bantuan?"

"Semacam itulah," jawab Hinata tidak yakin. "Tapi aku tidak bisa membicarakannya denganmu. Maaf."

KIba mendengus. Yeah, kode etik kedokteran selalu jadi alasan Hinata kalau sedang tidak ingin memberitahukan masalahnya pada orang lain—yang sebagian besar jelas berhubungan dengan pekerjaan. Tapi mau bagaimana lagi? "Duh, kau ini. Bikin khawatir saja, tahu tidak?"

"Maafkan a—"

"Hah, sudah sudah. Jangan minta maaf terus, " ujar Kiba, setengah menggerutu. Dimasukkannya magnum kembali ke gespernya. "Akamaru tidak bisa diam sejak kami pulang dari kantor. Iseng kutelpon Neji-san, katanya kau malah belum pulang sejak pagi. Jadi kuputuskan untuk mengecek keadaanmu, sekalian membawakan makan malam—kau selalu lupa makan kalau terlalu sibuk, ingat?—tapi... Yeah, lain kali aku akan lebih percaya pada insting Akamaru."

Hinata tertunduk.

"Ah, sudahlah. Ayo kuantar kau pulang,"

.

.

To be continued.

A/N: Horor pertama, cek! Omaigot susah gilaaaak! *jambak rambut orang* Gomen lama, soalnya sekalian nunggu UAS kelar biar tenang... hehe._.v kini kuberikan harta ini pada ahli warisnya... kudu dilanjutin, ye. Haha! *kabur*