Marui Bunta dan Niou Masaharu adalah sepasang suami istri yang menikah karena dijodohkan oleh orang tua mereka. Entah harus ikhlas atau nggak mereka harus menjalankan kehidupan layaknya suami istri tanpa didasari rasa cinta.
5 Bulan pun telah berjalan setelah pernikahan mereka.
"Apa? Hamil?" ujar sang suami tak percaya akan perkataan istrinya. Bunta hanya mengangguk. Ia hanya bisa duduk terdiam di pinggir ranjang sambil menundukkan kepalanya.
"Siapa yang melakukannya?"
"Ngomong apa sih kamu! Tentu saja kamu yang melakukannya,"
"Huh, jangan bercanda. Aku kan masih punya Hiro-chan. Tidak mungkin aku akan melakukan hal bodoh seperti itu. Apalagi sampai membuatmu hamil,"
"Tapi itu jelas-jelas kau yang melakukannya. Malam itu kau pulang kerja dalam keadaan mabuk. Mungkin kau memang tidak sadar kau yang melakukannya. Tapi, bayi dalam kandunganku ini adalah anakmu, masaharu," Bunta mencoba menjelaskan ke suaminya itu dengan suara yang hampir menangis. Masaharu kini terdiam.
"Haru, kau dengar tidak sih!" Masaharu tidak menjawab pertanyaan Bunta. Ia berjalan menuju pintu kamar dan membukanya.
"Keluar! Aku lagi pingin sendiri. Malam ini kau boleh tidur di kamar tamu," ujar Masaharu dengan teganya mengusir istrinya itu. Dengan menahan air mata, Bunta berlari keluar kamar. Setelah itu Masaharu pun mengunci pintu kamarnya. Tubuhnya bersandar di pintu kamarnya itu. Tanpa disadarinya, air matanya pun megalir di pipinya.
Keesokan paginya
Mereka sarapan bersama di meja makan. Tiba-tiba saja, Bunta mendadak berlari menuju wastafel dan mengeluarkan semua isi makanannya. Setelah itu ia pun kembali ke meja makan.
"Ada apa, Bunta? Kau sakit? Wajahmu tampak pucat," Seiichi, ibundanya Masaharu tampak mengkhawatirkannya.
"Nggak apa-apa kok. Mungkin cuma masuk angin,"
"Apa perlu kupanggilkan dokter?" Tanya Seiichi.
"Nggak usah. Tidur sebentar juga udah mendingan kok,"
"Ya sudah, setelah selesai sarapan kamu langsung istirahat aja ya," nasihat ibunda Seiichi. Bunta mengangguk. Selesai merapikan meja makan bersama pelayan sekaligus sahabatnya, Jackal. Bunta pun bergegas ke kamar sementaranya untuk beristirahat sejenak. Ia merebahkan tubuhnya dikasurnya yang empuk. Perlahan-lahan ia mulai memejamkan matanya. Tetapi, tiba-tiba ia merasakan ada seseorang yang memasuki kamarnya. Ternyata benar, suaminya itu sekarang sedang duduk di pinggir ranjangnya sambil menatapnya dengan tajam.
"Masaharu, ada apa?" Bunta yang kaget langsung mengubah posisi tidurnya.
"Aku cuma mau memberitahu, jangan sampai keluargaku mengetahui tentang kehamilanmu," jelas Masaharu.
"Tapi kan lama-lama mereka pasti akan mengetahuinya,"
"Sudah turuti saja perintahku!" bentak Masaharu. Bunta hanya bisa tertunduk sedih. Masaharu pun meninggalkan Bunta sendirian di kamar itu. Air mata Bunta mulai mengalir. Ia sudah pasrah tentang perlakuan suaminya itu terhadapnya. Tak lama kemudian, seseorang datang lagi ke kamarnya. Ia menjulurkan tangannya dan memberikan sebuah saputangan.
"Ja..Jackal!" Bunta langsung memeluk sosok lelaki dihadapannya. Jackal pun membiarkan Bunta terus menangis dipelukannya untuk sementara waktu dan merelakan baju berharganya itu dibasahi oleh air mata sahabat tercintanya.
"Kenapa? Kenapa nasibku harus begini?" ujar Bunta diiringi dengan isak tangisnya.
"Sudahlah Bunta. Sebaiknya kau berterus terang saja ke Tuan Gen'ichirou dan Nyonya Seiichi. Kalau mereka mengetahui kelakuan buruk tuan muda, aku yakin nasibmu tidak akan seperti ini lagi," ujar Jackal sambil mengelus rambut Bunta yang berwarna merah.
"Aku…Aku nggak bisa," ujar Bunta masih terisak-isak.
"Kenapa?"
"Aku takut,"
"Takut? Apa yang kau takutkan? Kau takut dimarahi tuan muda?" Tanya Jackal. Bunta menggelengkan kepalanya. "Jadi apa yang kau takutkan?"
"Aku nggak mau kalau Masaharu dimarahi sama mama ataupun sama papa. Aku takut kalau aku harus pisah dengannya. Aku sangat mencintainya,"
"Apa? Kau mencintai orang yang sudah jelas-jelas menyakitimu? Bunta, orang seperti tuan muda itu sudah tidak pantas untuk dicintai. Sudah cukup, Bunta. Sudah cukup aku melihatmu menderita. Aku ingin melihatmu hidup bahagia. Aku ingin kau bisa hidup dengan orang yang juga mencintaimu, Bunta," Jackal memegang bahu Marui dengan kencang.
"Tapi…Tapi aku…" Bunta tidak meneruskan kata-katanya. Ia kini memeluk tubuh Jackal lebih erat. Tanpa mereka berdua sadari, ternyata Akaya, adik Masaharu sudah masuk ke dalam kamar dan melihat pelukan mereka berdua.
"Wah, ternyata disini ada orang selingkuh, ya?"
"A..Akaya!" Bunta kaget dan langsung melepaskan pelukannya dengan Jackal.
"Tunggu, Akaya. Aku bisa jelaskan," Jackal mencoba menjelaskan apa yang terjadi. Tapi sayangnya tidak dihiraukan oleh Akaya.
"Tenang, tenang. Kalian boleh kembali bersenang-senang. Tapi, apa akibatnya ya jika hal ini diketahui oleh mama dan papa," ancam Akaya dengan senyuman devilnya lalu meninggalkan mereka berdua.
"Apa-apaan kamu, Bunta! Kamu kan sudah punya Masaharu. Kenapa sih kamu harus selingkuh sama orang kayak begini?" ujar Seiichi tak percaya sambil menunjuk-nunjuk Jackal.
"Ma, aku bisa jelasin,"
"Nggak ada yang perlu dijelasin, Ma. Jelas-jelas aku melihat mereka berdua lagi berpelukan. Kalau bukan selingkuh, namanya apa lagi?" Akaya makin memanas-manasi keadaan.
"Bunta, kalau Masaharu mengetahui hal ini, aku yakin dia pasti akan sedih," tambah Gen'ichirou, ayah Masaharu.
"Baiklah, Bunta. Kali ini akan kumaafkan. Tapi jika hal ini terjadi lagi, terpaksa kau harus pisah dengan Masaharu," ujar Seiichi masih berbaik hati memberikan Bunta kesempatan.
"Jackal, kau boleh meneruskan pekerjaanmu di dapur," perintah Sanada. Jackal menurut. Dengan cepat ia pun beranjak ke dapur. Seiichi pun lalu kembali ke kamar diikuti oleh Sanada dari belakang. Akaya kini tersenyum puas melihat kakak iparnya dimarahi habis-habisan.
"Dasar, nggak kakak, nggak istrinya sama aja. Tukang selingkuh," ejek Akaya.
"Akaya, jadi kau tahu kalau Masaharu…"
"Ya, aku mengetahuinya. Dia sering pergi berduaan dengan kak Hiro, bukan? Tapi tenang saja, aku tidak akan memberitahukan hal ini kepada mama ataupun papa. Karena aku sangat menyukai kak Hiro. Dia sangat baik, tidak sepertimu. Aku malah ingin sekali kalau kak Hiro bisa menikah dengan kak Masaharu," ujar Akaya panjang lebar.
"Akaya, kau jahat!" teriak Bunta. Tapi Akaya tidak memperdulikan omongan kakak iparnya itu.
Bunta duduk di pinggir ranjang. Ia termenung memikirkan kejadian tadi pagi. Tiba-tiba, seseorang pun masuk ke dalam kamarnya.
"Masaharu, kamu sudah pulang? Mau kusiapkan air hangat untuk mandi?" tawar Bunta.
"Nggak perlu,"
"Atau mau kusiapkan makanan untukmu?"
"Nggak usah. Aku lagi nggak lapar. Ada hal yang lebih penting yang ingin kutanyakan padamu?"
"Eh?"
"Apa benar kau ketawan lagi berpelukan ama Jackal?"
"Masaharu, aku nggak mungkin melakukan hal seperti itu. Ini cuma salah paham. Percayalah padaku," mohon Bunta.
"Jangan-jangan bayi dalam kandunganmu itu anaknya Jackal lagi," pikir Masaharu.
"Nggak, Masaharu. Ini benar-benar anak kamu. Aku mohon percayalah,"
"Sudahlah, Bunta," Masaharu menghela napasnya. "Kamu tidur saja. Aku lagi malas bahas ini sekarang. Biar aku suruh Jackal saja untuk menyiapkanku air hangat," ujar Masaharu berjalan keluar kamar. Bunta menurut apa yang dikatakan suaminya. Ia langsung segera tidur.
Beberapa menit kemudian, Masaharu pun selesai mandi. Ia segera kembali ke kamarnya dan melihat istrinya sudah tertidur lelap. Ia duduk di sebelah Bunta yang sedang tertidur. Dipandangnya wajah istrinya itu. Dibelainya rambut istrinya itu dengan penuh kasih sayang.
"Maafkan aku, Bunta. Aku terpaksa melakukan hal ini," ujar Masaharu pelan. Diciumnya kening istrinya itu dengan lembut. "Selamat tidur, Bunta,"
"Masaharu, nanti siang aku ingin pergi ke Rumah Sakit untuk memeriksakan kandunganku. Bolehkah aku minta sedikit uangmu?" ujar Bunta ketika Masaharu bersiap-siap untuk berangkat kerja.
"Ya, ambil saja uang di dompetku secukupnya," ujar Masaharu sambil membaca Koran. Bunta berlari ke kamarnya. Ia meraih sebuah dompet berwarna hitam di atas meja rias. Diambilnya beberapa lembar uang di dalam dompet itu.
"Makasih ya, Masaharu," Bunta langsung memeluk tubuh suaminya itu.
"Apa-apaan, sih!" dengan cepat Masaharu mendorong tubuh Bunta.
"Maaf…" Bunta menundukkan kepalanya.
"Aku berangkat kerja dulu," Masaharu mengambil tas kerjanya dan memakai sepatunya. "Ngomong-ngomong nanti kamu pergi sama siapa ke Rumah Sakit?" Tanya Masaharu di tengah memakai sepatunya.
"Aku pergi sendiri naik kereta,"
"Naik kereta!"
"Iya. Kenapa?"
"Kamu tahu kan kalau kamu lagi hamil muda? Kereta tuh kan sukanya banyak orang. Nanti kalau ada apa-apa gimana?" ujar Masaharu sedikit khawatir.
"Terus aku harus gimana?" Tanya Bunta.
"Nih kukasih uang lebih. Nanti naik taksi aja ya," Masaharu menyerahkan beberapa lembar uang lagi ke Bunta. Tiba-tiba saja, Masaharu langsung memegang kepalanya. Ia seperti sedang menahan kesakitan.
"Masaharu, kamu kenapa?" Bunta kaget melihat sikap suaminya. Ia memegang kedua bahu suaminya dari belakang. Mukanya terlihat sangat cemas.
"Aku nggak apa-apa," Masaharu mencoba melepas tangan istrinya yang menempel di bahunya. "Aku pergi dulu," Masaharu bangkit dari duduknya.
"Hati-hati di jalan ya," ujar Bunta masih dengan tatapan cemas.
Sekitar jam 2 siang Bunta baru selesai memeriksakan kandungannya. Ia pun segera bergegas pulang. Tetapi saat akan keluar dari rumah sakit, Bunta bertemu dengan seseorang yang sangat dikenalnya.
"Masaharu, ngapain kamu disini?" Tanya Bunta bingung. Masaharu pun sedikit terlihat kaget mengetahui Bunta ada di Rumah Sakit yang sama dengannya.
"Hai, Bunta. Lama tak bertemu," sapa seseorang di sebelah suaminya itu.
"Loh, Hiroshi?" Bunta terdiam melihat suaminya berjalan dengan orang lain. Ada perasaan sedikit cemburu di hatinya.
"Hai, Bunta. Apa kabar?" sapa Hiroshi dengan ramah.
"Baik," jawab Bunta singkat. "Kalian sedang apa disini?"
"Aku mengantar Masaharu untuk…" sebelum Hiroshi menyelesaikan kata-katanya, ia merasa tangannya sedang dicubit oleh seseorang.
"Hahaha…Hiro-chan terserang flu ringan. Jadi aku mengantarnya berobat kesini," ujar Masaharu memotong pembicaraan Hiroshi.
"Oh, begitu. Kalau begitu aku duluan ya," ujar Bunta pergi meninggalkan mereka berdua.
"Kenapa harus bohong?" Tanya Hiroshi setelah kepergian Bunta.
"Aku…tidak ingin dia mengetahuinya,"
Aku pulang," Bunta masuk ke dalam rumahnya dengan tampang lesu. Ternyata Akaya sudah menunggunya dari tadi dari balik pintu.
"Hayo, habis jalan sama cowok lain, ya?" selidik Akaya.
"Nggak kok,"
"Terus dari mana?" Bunta hanya terdiam. Ia teringat perkataan suaminya untuk tidak menceritakan kehamilannya ke keluarganya.
"Tuh kan nggak bisa jawab. Pasti habis jalan sama cowok lain," tuduh Akaya. "Kalau mama sudah pulang dari arisannya, aku laporin ah," ancam Akaya.
"Akaya, kamu tuh senang banget ya buat aku tersiksa!" teriak Bunta.
"Iyalah. Aku tuh nggak pernah sudi punya kakak ipar kayak kamu begitu. Aku tuh pingin kalian berdua berpisah," Bunta pingin banget nampar tuh orang di depannya. Tapi ia coba menahannya.
"Oh iya, karena tuh pelayan botak lagi pergi belanja buat makan malam. Jadi kamu aja ya yang ngangkatin kardus-kardus di kamarku ke dalam gudang," suruh Akaya.
"Nggak mau! Seenaknya aja nyuruh!"
"Nggak apa-apa sih kalau nggak mau. Tapi nanti aku laporin loh ke mama kalau kamu jalan sama cowok lain," ancam Akaya. Terpaksa Bunta pun akhirnya mengerjakan apa yang disuruh Akaya. Ia mengangkat kardus-kardus yang cukup berat dari kamar Akaya untuk dipindahkan ke gudang.
1 jam lebih sudah Bunta melakukan suruhan Akaya. Badannya kini sudah lemas. Ia sudah tidak mampu lagi untuk berdiri. Kini ia hanya bisa duduk selonjoran di lantai. Tanpa disadarinya, darah pun mengalir dikakinya. Kesadaran Bunta pun semakin lama semakin menghilang.
"Aku pulang," Masaharu membuka pintu rumahnya. Betapa terkejutnya ia melihat Bunta sedang duduk selonjoran di lantai dengan tubuh lemas tak berdaya.
"Bunta, kamu kenapa!" Masaharu berlari menghampiri istrinya dan menggoncang-goncangkan tubuhnya. "Akaya!" teriak Masaharu.
"Apaan sih? Baru pulang udah teriak-teriak," omel Akaya.
"Apa yang terjadi sama Bunta! Kamu apakan dia!" Tanya Masaharu panik. Akaya pun ikutan panik melihat kondisi Bunta seperti itu.
"A…Aku cuma menyuruh dia bawain kardus ke gudang kok,"
"Kamu gila! Bunta kan lagi hamil. Cepat panggil ambulans!"
~ To Be Continued ~
Niou : Cerita apaan lagi ini!
Kiri-chan : Maaf...
Bunta : Ceritanya jelek!
Niou : Nggak seru!
Bunta : Nggak bermutu!
Niou : Nggak lucu!
Bunta : Ngebosenin!
Niou : Aneh!
Kiri-chan : Maaf ya…
Niou : Terus mau kamu apakan lagi nih cerita?
Kiri-chan : Kalau ada ide ya dilanjutin. Kalau gak ada ya…
Bunta : Udah deh kamu berhenti aja jadi author.
Kiri-chan : Iya. Mungkin setelah masuk SMA ini aku gak akan bikin cerita lagi.
Para pembaca, maaf ya kalau ceritanya jelek. Aku memang gak punya ide tapi memaksakan buat cerita. Kutunggu kritik dan sarannya ^^
Salam Kiriyama Masataka
