Inaho tak terlalu mengenal pemuda berhelai pucat itu.
Hari ini adalah awal musim gugur, dan Inaho masih rajin datang ke kuil seperti biasanya, berbekal uang receh serta mantel yang sedikit tebal akibat udara pagi.
Tapi, ada yang berbeda hari ini.
Inaho yang selalu datang sendirian kali ini punya teman. Ada seseorang yang mendahuluinya ketika ia selesai menapaki tangga penghubung.
Pemuda itu hanya mengenakan hakama berwarna hitam. Ia menoleh, menyadari ada yang datang selain dirinya.
"Ah, silahkan." selesai bertepuk tangan mengucapkan harapannya, pemuda itu balik arah dan melempar senyum tulus secara singkat, sebelum melewati gerbang kuil dan mulai menuruni tangga.
Inaho tidak peduli.
Aldnoah Zero © Project A/Z, Olympus Knights, A-1 Pictures, Gen Urobuchi, Katsuhiko Takayama.
Inaho x Slaine | BL alias Boys Love, shounen-ai , hvmv dsj |
AU. OOC. Typo(s)
Don't Like Don't Read. I've warned you!
.
.
Inaho kembali bertemu dengannya lagi saat berbelanja telur di supermarket malam. Mereka berpapasan di pintu keluar, lalu Inaho memberanikan diri bertanya kepadanya, mengajaknya ngobrol ringan.
"Namamu siapa? Siapa tahu kita bertemu lagi. Aku Kaizuka Inaho."
Iris teal itu tampak sedikit terkejut.
"Kaizuka-san, terima kasih sudah mengajak berbincang. Tapi, aku harus segera pulang." pemuda itu berbelok ke arah kanan, meninggalkan Inaho di perempatan sendirian.
.
Usia Inaho memang telah legal untuk memasuki dunia orang dewasa. Tapi, Inaho tak mempedulikannya selama telur adalah nomor satu di hatinya.
Malam ini Calm ngotot mengajaknya pergi ke sebuah kabaret yang cukup terkenal di kota. Inaho tak mampu menolak karena Calm bilang akan memberinya telur jika pulang. Mereka pergi berdua. Inaho tak perlu mengkhawatirkan akan diceramahi Yuki bila kembali esok pagi, karena kakak perempuannya itu sedang dinas di luar prefektur.
Kabaret yang dikatakan Calm memang ramai. Sedikit merasa beruntung karena Inaho tidak akan minum atau melakukan hal aneh-aneh, jadi Calm tak perlu mencemaskan dompetnya.
Lha, ngajak tapi gak modal.
Mereka memilih kursi di tengah, dan duduk bersebelahan. Kemudian seorang pelayan datang membawakan daftar menu. Inaho hanya minta kopi, sementara Calm ingin minum wine.
"Kenapa kau tak sedikit bersenang-senang, Inaho? Ayolah." Calm miris melihat Inaho memesan secangkir kopi.
"Aku pergi kalau begitu." Inaho bersiap beranjak, tapi Calm menahannya agar tetap duduk.
"Maafkan aku, Inaho-sama."
"Baiklah." Inaho menghela nafas.
"Mau ditemani oleh salah satu gadis kabaret di sini untuk menemani anda minum, Tuan?" si pelayan memberi kode mata berupa kedipan.
Tentu saja ada biaya tambahan.
"Inaho?" Calm bertanya hati-hati pada rekannya, seakan meminta persetujuan.
"Terserah kau saja."
"Yeyy! Baiklah, yang biasa saja." bisik Calm pada pelayan. Pelayan itu mengangguk, lalu memanggilkan seorang gadis bernama Nina.
Inaho hanya duduk diam, sementara teman di sampingnya bersenang-senang sendiri.
'Kapan aku mendapat imbalan telurnya?'
Inaho -_-
Mendadak suasana kabaret yang riuh menjadi hening. Ada orang lain yang masuk bersama rombongan beberapa orang. Perawakannya tinggi dan tegap. Helainya pirang menawan, setiap langkah kakinya mampu menarik perhatian. Para pelayan langsung memberi hormat ketika ia berjalan melewati mereka.
"Siapa dia?" Inaho bertanya pelan pada Calm di sebelahnya. Tapi, apa daya, temannya ternyata sudah teler duluan.
Beberapa pelayan otomatis lari ke belakang. Butuh beberapa menit supaya mereka kembali, dengan seseorang yang terlihat mempesona sekalipun dari kejauhan.
"Baguslah tempat kumuh seperti ini mengerti."
Kimono wanita warna merah berlukis bangau itu sungguh indah. Tusuk kondenya nampak banyak di atas kepala. Ia memberi hormat dengan bersujud kepada orang yang datang.
"Selamat datang kembali, Tuan."
Yang disebut Tuan hanya mendengus dan meletakkan ujung tongkat di kepalanya sebelum diangkat kembali.
"Kau tahu apa yang harus kau lakukan."
Ia bangkit dan berjalan mengikuti sang Tuan dengan perlahan dan anggun. Inaho bahkan hampir tak berkedip begitu mengenali iris toska saat tempatnya dilewati olehnya.
"Hei, kau."
Ia masih tak menoleh. Mengabaikan Inaho dan berjalan pergi. Inaho memanggil beberapa kali hingga berlari menghampirinya, menerobos penjagaan belakang dengan paksa lalu menepuk pundaknya.
"Apa yang kau lakukan di sini?"
Ia terus saja berjalan.
"Aku tidak mengenalmu, pergilah." katanya, terus berlalu meninggalkan Inaho yang jadi pusat atensi.
Tuan yang berada di barisan depan, berada di depan Inaho entah sejak kapan. Ia melayangkan tongkatnya dan membuat Inaho terjatuh.
"Kau tak boleh menyentuh milikku, milik Cruhteo."
Ia kemudian melanjutkan perjalanan, dan berjalan di samping pemuda yang Inaho tahu.
Inaho tak terlalu mengenalnya. Tetapi, akan ia buat pemuda itu mencabut kata-kata bahwa tak lagi mengenalinya.
.
.
Di penghujung musim gugur, kuil yang sering dikunjungi Inaho masih tak ada pengunjung sama sekali. Inaho baru sempat mampir di akhir musim akibat pekerjaan di kantor menumpuk sebelum golden week. Dengan sedikit harapan, ia akan berjumpa lagi dengan pemuda itu.
Benar, ia ada di sana. Berdiri seorang diri mengenakan hakama.
"Hei, kau..beritahu aku namamu.."
Ia tak menjawab, pun ketika Inaho tepat di sisinya. Tatapannya begitu redup menatap lonceng kuil.
"Hei.."
Ia menoleh, "Aku akan menjawab semua pertanyaanmu. Tapi, kau harus berpura-pura tak mengenalku lagi.".
"Kau kenapa?"
"Tolong hargai kebaikanku. Tuan Cruhteo biasanya tidak akan segan membunuh orang yang menyentuhku selain dirinya. Ia pelanggan nomor satu di kabaret kami."
"Kami?"
"Aku pemilik kabaret, Slaine Troyard. Mempunyai hutang yang sangat besar pada Tuan Cruhteo."
"Tapi, kenapa kau ikut dengannya? Ada bisnis yang mengharuskanmu memakai kimono wanita?"
"Ya, bisnis di atas ranjang."
Slaine tertawa, meskipun bagi Inaho itu sama sekali tidak lucu.
Tawanya terhenti, "Kau jijik padaku sekarang?"
Inaho menggeleng.
"Biasanya orang normal akan jijik mendengarnya."
"Menurutmu aku tidak normal, begitu?"
Giliran Slaine yang menggeleng.
"Apalagi yang ingin kau ketahui dariku?" Slaine bertanya.
"Semuanya."
"Kau bersemangat sekali, Kaizuka-san."
"Inaho saja."
"Baiklah, Inaho. Kau yang memaksaku."
Slaine berbalik arah, berjalan menuju tangga. Saat itulah Inaho melihat pergelangan kaki pemuda itu karena ujung kain sedikit terangkat.
Berwarna kebiruan.
.
.
.
Inaho tak lagi dapat menemuinya bertahun-tahun kemudian, meski ia telah datang ke kabaret dan membawa semua tabungannya. Para pelayan di sana enggan berbicara tentang Slaine dan memintanya jangan melibatkan pelayan.
"Slaine-sama?"
Inaho akhirnya bertanya pada salah satu gadis kabaret yang menuangkan sake untuknya, Lemrina.
"Aku ingin menemuinya. Tabunganku sudah cukup untuk pindah ke Amerika. Bosku pun setuju aku dipindah ke cabang di sana." jelas Inaho. Sebentar, hubungannya apa.
Lemrina tertawa pelan, "Anda benar-benar peduli pada penyelamat kami."
"Penyelamat?" heran Inaho.
"Ya. Ia menyelamatkan kami di saat sedang sebatang kara. Sampai hari ini pun ia masih membuat harapan agar kami tetap bertahan hidup meski di tempat seperti ini. Tapi, ini jauh lebih baik daripada tak melakukan apa-apa. Kami selalu berhutang budi padanya."
Hutang?
"Kudengar, ia memiliki hutang pada Tuan Cruhteo?" bisik Inaho.
Lemrina terkejut mendengarnya, "Darimana kau tahu?"
"Sudah jawab saja."
"Untuk membangun tempat ini, Slaine-sama memerlukan dana yang tak sedikit. Tuan Cruhteo membantunya dengan imbalan bersyarat."
"Seperti bisnis di atas ranjang?" tanya Inaho blak-blakan.
"Kami ingin menolongnya, tapi kami akan makan apa nanti? Kami cukup bekerja keras untuk menghargai kebaikannya."
Inaho mulai paham dengan alur konyol ini.
"Lalu, sekarang ia dimana?"
Lemrina menggigit bibir bawahnya.
"Di kediaman Tuan Cruhteo. Slaine-sama tak pernah pulang sejak tiga tahun ini."
Inaho langsung berdiri dan meletakkan sejumlah uang yang seharusnya masih tersisa kembalian.
"Beri aku peta, Lemrina."
.
.
Sudah lama sekali Slaine tak melihat dunia luar. Tuan Cruhteo benar-benar keterlaluan sampai mengurungnya seperti ini bertahun-tahun.
Slaine bangun dari tempat tidur dan masih merasakan perih menjalar di bagian punggung.
"Ia kasar sekali hingga mencambuk ―aw!" Slaine sudah berhati-hati meski masih begitu sakit. Di sebelahnya, Tuan Cruhteo masih tertidur pulas. Slaine berniat membersihkan diri dulu di kamar mandi.
"Dosaku terlalu banyak." ujarnya, berpegangan pada tembok dan merembet hingga kamar mandi tanpa busana. Ia lalu mulai mandi dan gosok gigi untuk menghilangkan bau percumbuan di seluruh tubuh. Tak lupa keramas, benar-benar ingin mengenyahkan aroma seks yang membuatnya mual.
Setelah selesai, ia memakai jubah mandi yang tersampir di dekat pintu kamar mandi. Ia melihat jam menunjuk angka enam pagi, dan ia membangunkan Cruhteo dengan pelan.
"Tuan, sudah jam enam...oahmm..." Slaine sendiri masih mengantuk, sepertinya.
Cruhteo membuka sepasang matanya perlahan dan melihat Slaine yang memanggilnya.
"Oh, Slaine..." ia lalu duduk dari posisi berbaringnya sambil memijit kepala.
"Saya buatkan teh hangat dulu, Tuan?"
Cruhteo mengangguk.
Slaine lalu pergi keluar kamar untuk menuju dapur, mencari daun teh dan memasak air. Cruhteo turut membersihkan diri dan keluar menyusul setengah jam kemudian. Ia melangkah ke ruang makan di lantai satu, dimana anaknya, Klancain, sudah duduk menunggu sarapan.
"Pagi, ayah."
"Hm, pagi juga, nak."
Mereka duduk berhadapan. Sekitar sepuluh menit kemudian, Slaine datang membawa teh dan sarapan, lalu menatanya di meja makan. Klancain mulai terbiasa jika kini Slaine mengurus semuanya.
"Saya permisi." Slaine kembali ke kamarnya sendiri untuk mencuci seprainya yang kotor. Klancain memperhatikan bagaimana Slaine kesusahan menaiki tangga.
"Ayah, sampai kapan kau akan menahannya di sini? Katamu, ia pemilik kabaret, kan? Kau tidak membiarkannya bekerja?"
Cruhteo menuang air panas dari teko kecil pada gelas berisi daun teh hijau kesukaannya, menyeduhnya.
"Entahlah." jawab yang lebih tua sambil menyeruput teh paginya.
"Kau ingin mempekerjakannya jadi pembantu di sini?"
"Entahlah." Cruhteo meletakkan gelas yang telah kosong.
Ting tong!
Klancain tak perlu menunggu perintah untuk segera membukakan pintu utama yang tak jauh dari ruang makan. Ia menarik gagang pintu dan melihat seorang pemuda berdiri. Di belakangnya, para penjaga terkapar tak berdaya.
"Permisi, saya ingin melamar pekerjaan di sini." ia menyerahkan sebuah stopmap berisikan data diri.
"A-ano..." Klancain menunjuk orang-orang yang terkapar seperti sarden.
"Mereka selalu menghalangiku, padahal niatku baik." pemuda itu memejamkan mata sambil geleng-geleng.
"Siapa, Klancain?"
"Ayah, cepat kesini!" seru Klancain.
Cruhteo datang menghampiri, melihat bocah yang dulu ia temui di kabaret.
"Apa urusanmu, bocah pengganggu?" selidiknya.
"Saya ingin melamar pekerjaan di sini, Tuan."
"Klancain, bawa pergi dia." titah Cruhteo sembari berbalik pergi. Klancain menatap pemuda asing itu dan mengeluarkan senyumnya,
"Maaf, ayahku memang seperti itu. Jadi, bicara di luar saja, ya?"
.
"Apa katamu?" Inaho setengah berteriak hingga menarik atensi para pengunjung di cafe yang sekarang ia tempati.
"Pelankan suaramu, Kaizuka-san." Klancain terkekeh pelan. "Aku ulangi, sepertinya ayahku tak berniat membebaskan pemuda yang kau sebut Slaine itu."
"Kenapa kau tak lapor polisi?"
"Aduh, bagaimana, ya? Ayahku seseorang yang tinggi jabatannya di militer." ia tertawa.
Inaho pusing.
"Jadi, apa Slaine pernah kabur -atau setidaknya berusaha kabur dari rumahmu?" tanya Inaho lagi.
Klancain menggeleng.
"Tidak. Slaine-san sepertinya tidak keberatan tinggal di rumah bersama ayah yang -err sifatnya sedikit kasar. Tapi, aku penasaran, apa dia berhenti bekerja, ya? Setahuku ia pemilik sebuah kabaret di tengah kota."
Itu juga salah satu misteri yang belum terpecahkan bagi Inaho.
"Kau siapanya Slaine-san, omong-omong?" Calm menyisihkan gelasnya yang sudah kosong.
"Aku..." benar juga. Inaho harus mengarang alasan.
"Hm?"
"Aku sepupu jauhnya." dusta besar.
"Tapi Slaine-san tak pernah cerita punya keluarga."
Mampus.
"Ah, aku juga baru mengetahuinya tempo hari dari almarhumah kakek dan langsung mencarinya." sialan, dia pasti mulai curiga sekarang.
"Begitu, ya. Cukup sulit ternyata."
Inaho akan memikirkan rencana lain esok hari.
ber-sam-bung #NAMBAHUTANGAJA
special thanks for kanato-desu XDDDDD yang selalu menyempatkan mampir di cerita saya XDDD
thanks for read
siluman panda
