Disclaimer:

Semua trademark dalam fanfic ini dimiliki oleh pemegang copyright masing-masing (KanColle oleh Kadokawa, TouRan oleh Nitroplus), kecuali plot dan hasil pemikiran penulis. Fanfic ini dibuat hanya untuk hiburan semata dan tidak dimaksudkan untuk mendapatkan keuntungan material apapun.

Peringatan Pengarang:

Fic ini mengandung retcon, info yang diciptakan, dan hal yang tidak canon secara umum. Membaca fic ini dapat menyebabkan bingung mana yang canon dan mana yang bukan, memiringkan kepala, facepalm, dan dalam kasus ekstrim dapat menimbulkan rasa sakit di bagian-bagian tubuh tertentu. Kehati-hatian pembaca sangat dianjurkan.


Niwa Tsuru

A KanColle x TouRan crossover

Takaku Tobu Sennen no


Kuninaga Tsurumaru, putra sulung keluarga bangsawan Tsurumaru. Sang ayah adalah hatamoto kepercayaan sang Shogun, sedang sang ibu adalah putri dari keluarga cabang klan Fujiwara. Tubuhnya jangkung, dengan rambut pendek seputih salju. Setiap hari ia belajar berbagai macam ilmu, terutama sastra dan tata negara, dengan harapan kelak dapat diangkat menjadi penasihat pemerintahan. Kuninaga mempunyai seorang adik remaja bernama Namazuo, yang lebih tertarik pada ilmu bela diri dan ketentaraan dibanding sang kakak.

Dengan kepak sayap sang bangau, kisah ini dimulai.

"Kuninaga," ucap sang ayah pada suatu sore. "Berapa umurmu, nak?"

"Sudah memasuki musim gugur ke-dua puluh lima saat ini, Ayahanda," balas sang putra sambil mengangsurkan teh hijau dalam cawan pada sang ayah yang duduk di seberangnya. Udara panas bulan itu sudah mulai berganti menjadi angin sejuk.

"Hmm. Sudah waktunya, kukira," ucap sang ayah sambil mengangkat cawan keramik itu sebatas dadanya, sejenak mengagumi bagaimana cahaya sore menari di atas permukaan enamel cawan itu. "Bagaimana menurutmu, istriku?"

"Putra kita sangat berbakat dalam ilmu sastra dan tata negara, goshujin-sama," ucap sang perempuan sambil menghembuskan nafas, secangkir teh hijau diangsurkan ke hadapannya pula oleh sang putra. "Tapi saya khawatir ia tidak bisa membela keluarga dan hartanya."

"Mm… memang putra kita ini lembut dan sangat murah hati," ucap sang ayah selesai menghabiskan minumannya. "Kupikir ada baiknya putra kita ini dikeraskan sedikit."

"Tapi Ayahanda-" sela Kuninaga.

"Kau datanglah untuk berlatih bujutsu kembali di perguruan Gokou," ucap sang ayah sambil meletakkan kembali cawan teh di atas meja. Suara cawan dan meja yang beradu memenuhi ruangan. "Kau kan sudah kenal dengan Gokou-dono, dia juga kenal denganku. Biar kutuliskan surat pengantar, lalu mintalah dia mengajarimu bela diri."

"…Baik, Ayahanda," ucap Kuninaga sambil menundukkan kepala, mafhum bahwa keinginan sang ayah tak lagi dapat ditenggang.

"Kudengar disana banyak bangau bermain," imbuh sang ibu sambil tersenyum, hampir sebagai kalimat tanpa maksud.

"Tentu, Ibunda," ucap Kuninaga.

...

"Jadi kau diutus ke sini untuk belajar bela diri?" ucap lelaki separuh baya yang duduk di seberang Kuninaga dalam ruang tamu itu. Surat pengantar yang ditulis oleh sang ayah terbentang di hadapan sang pendekar. "Kupikir kau murid Dojo Sagami yang di timur kota?"

"Sengyoku-sensei meninggal dunia beberapa tahun yang lalu, sementara putra-putra beliau meninggal dalam perang. Ayahanda berpikir kualitas para penerusnya tidak cukup bagus," ucap Kuninaga dengan nada yang terukur. "Beliau pun menarik saya keluar dari perguruan itu."

"Ah, tentu saja… satu-satunya murid mereka yang menurutku pantas jadi penerus aliran hanya menantu mereka Kogitsune-san. Iapun masih butuh beberapa tahun pengalaman lagi sebelum ia mencapai puncak kemampuannya," sang lelaki paruh baya berucap. "Baiklah. Kau boleh menjadi murid dan berlatih di sini, tapi…"

"Ada apa, Gokou-dono?" tanya Kuninaga cepat. "Apakah ada kekurangan pada…"

"Oh, tidak. Ayahmu menyertakan cukup uang untukku," ucap sang pendekar sambil tertawa kecil. "Begini… aku akan pergi mendampingi Shogun dalam kunjungan ke Kai dan daerah-daerah utara bersama rombongannya besok, sementara murid-murid terbaikku ikut pasukan beliau ke selatan untuk memadamkan pemberontakan. Istri dan putri bungsuku juga akan pergi ke Fukuoka untuk menjadi pengawas kejuaraan memanah. Kalau begini keadaannya, aku yang jadi tidak enak dengan ayahmu karena kau jadi terbengkalai di sini."

"Saya yakin murid-murid anda yang lain akan bisa mengajari saya dengan baik," balas Kuninaga hati-hati. "Lagipula selama anda pergi, saya bisa berlatih saja…"

"Buat apa ayahmu menitipkanmu di sini untuk latihan biasa yang bisa kau lakukan sendiri di rumah," balas sang lelaki paruh baya.

Bak sudah diatur takdir, seorang perempuan berambut seputih salju membuka pintu geser di belakang sang lelaki paruh baya, lalu masuk dengan membawa nampan berisi teh dan makanan kecil. Sejenak ia menaruh hidangan tersebut diantara kedua lelaki, sebelum beranjak untuk undur diri kembali ke belakang pintu geser.

"Shoukaku, tinggallah sebentar," ucap sang guru bela diri sambil mengangkat cawan minumannya sebelum menarik sebuah isapan teh hijau.

"Baik, Ayahanda," balas sang gadis sambil menutup pintu geser lalu duduk di belakang sang ayah.

Ada sejenak jeda selama Kuninaga dan tuan Gokou menikmati teh hangat yang dihidangkan Shoukaku. Dalam jeda waktu itu pula, tatapan mata kedua bangau putih itu saling bertemu, saling mengukur satu sama lain. Di mata Shoukaku, pria muda berbahu lebar ini nampak percaya diri. Di mata Kuninaga, gadis muda berambut putih ini tak ubahnya sebuah buntalan sutera; indah dan lembut di luar namun entah apa yang disembunyikannya di dalam.

"Untuk sementara waktu ini, aku akan menyerahkanmu pada putri sulungku. Ilmunya tidak seberapa tinggi dibandingkan aku, ibu, atau adiknya… namun ia sangat menguasai dasar-dasar beladiri aliran kami," ucap sang pendekar tua. "Aku tahu kau sudah belajar cukup lama di perguruan Sagami, tapi tak ada salahnya kau menyegarkan ingatanmu kembali. Datanglah untuk berlatih dengan Shoukaku besok."

"Baiklah, Gokou-dono. Saya akan datang setelah pelajaran pagi saya esok selesai," balas Kuninaga sambil menundukkan kepala.


A/N: OTEPE. Enough said.