Aku baru menyadari jika diriku secengeng itu. Hanya karena mendengar Kim Jongin berkata,
"Park Chanyeol tidak sekolah hari ini. Dia sakit, tadi pagi menitipkan surat dokter padaku."
...aku menangis.
Demi Tuhan! Ini masih di kelas, dan airmataku mengalir deras seolah tak ada hari esok. Memalukan. Teman-temanku sudah pasti menyaksikan. Siapa yang tahu jika dalam hati mereka mengejekku habis-habisan?
Hell, bukan dalam hati.
Tapi secara nyata.
Jeon Jeongguk lah pelakunya.
Lihat, Jeongguk menghampiriku dan duduk di mejaku yang terbuat dari kayu itu. Yah,seperti biasanya. Namun kali ini dia menatapku dengan aneh.
"Huh? Kau kenapa?"
Sudah tahu aku sedang menangis. Masa tak kelihatan?!
Tak mendapat jawaban, dia pun bertanya pada teman-teman yang lain. Ah...kelas kami sedang menganggur. Guru yang bertugas entah kemana.
"Guys, apa yang terjadi pada anak ini? Tak biasanya,"
Yah, karena biasanya aku tak bisa diam. Melawak tak jelas, bukan menangis terisak begini. Murid sekelas juga tahu, apalagi ketua kelas yang sedang duduk di mejaku ini. Tentu dia merasa heran.
"Gebetan- orang yang disukainya sakit." aku tidak tahu siapa yang menjawab. Tapi aku juga tidak menyangkal. Toh memang benar.
Bisa kudengar Jeongguk tertawa pelan. Mengejek. Sialan.
"Oh, anak kelas sebelah itu kan ya? Yaampun, begitu saja ditangisi. Aku kira ada apa."
Aku hanya menatapnya malas. Tuan muda Jeon ini pasti tidak pernah jatuh cinta, makanya tak mengerti.
Tangisanku sudah mulai reda. Hanya tersisa isakkan isakkan kecil saja.
"Sudahlah, Jim. Kau menangis parah begini seperti ditinggal mati saja. Lebaaaayyy~"
Yah, aku lebay.
Bahkan saat Chanyeol menolakku saja aku tak menangis begini- yah, setidaknya tidak didepan umum.
Kalau begini kan semua orang jadi tahu! Ah...Park Jimin bodoh.
"Nah, sudah. Mending bertingkah tak jelas saja seperti biasanya lah, daripada menangis begini. Tak sedap dilihat, kau tahu~"
Ah...
Semenyebalkan apapun, toh nyatanya Jeongguk berhasil membuatku benar-benar berhenti menangis.
. . .
Jeon Jeongguk, kami baru mengenal kurang dari satu tahun. Yah, semenjak tahun ajaran baru dimulai. Dipertemukan di kelas yang sama, terlebih dia seorang ketua, mau tak mau membuat kami dekat.
Mungkin, faktor utamanya adalah, karena kami menyukai grup Band yang sama. Jadi kami cocok dan sering mengobrol jika ada kesempatan.
Jeongguk itu...jahil.
Misalkan, dia tiba-tiba menghampiriku sambil memain-mainkan dasinya. Memukulkannya ke tubuhku. Jangan lupakan tawanya yang tak jelas itu.
Atau, saat aku sedang santai duduk, dia datang dari arah belakang dan menarik kursiku. Nyaris membuatku jatuh.
Tidak cuma itu. Dia juga suka-
"Jim, bagi permen dong Jim. Punya tidak?"
"Jiiimmm~ jajanin dong. Aku terserang Kanker nih, Kantong Kering Hahahahah~"
-begitu.
Tapi tak jarang, Jeongguk menghampiri mejaku hanya untuk curhat soal masalahnya.
Ah...masalah anak itu mah satu. Yakni,
"Aku ditegur wali kelas lagi."
Nah!
"...Jadi ketua tak enak, apa-apa salah melulu. Menyebalkan. Lagian siapa suruh coba waktu itu kalian memilihku? Tsk..."
Uhm...aku salah satu dari sekian murid yang memilihnya jadi ketua kelas. Yah, asal-asalan sebenarnya. Saat itu, kami bahkan belum ada satu minggu sekolah. Jadi belum tahu siapa yang pantas dan tidak menyandang posisi tertinggi itu? Yang jadi penilaianku saat memilihnya sih, ya...Tubuh Jeongguk cukup atletis, wajahnya juga lumayan sangar, tegas. Kupikir cocok jadi pemimpin dibanding kandidat yang lain. Sepertinya murid lain pun berpikiran sama, makanya Jeongguk mendapat suara terbanyak.
Yah, siapa yang tahu kalau ternyata laki-laki itu bandel juga?
Jeongguk itu- astaga, bandelnya stadium tiga.
"Makanya, perbaiki sikapmu, Jeongguk-a. Seragam masukkin yang rapih, dasi dipakai yang benar, bayar kas, datang jangan telat mulu, jadwalnya piket ya piket, kerjakan PR, kalau guru telat datang, buruan jemput ke kantor. Nah dirimu- ampun deh! berantakan. Seperti bukan anak unggulan."
Jeongguk mencibir, "Cih, unggulan-unggulan. Apa enaknya sih? Menang di nama saja. Fasilitas sama, pelajaran sama, tapi sikap mesti jauh beda. Segalanya harus selalu sempurna. Salah sedikit jadi bahan omongan, dibanding-bandingkan. Demi Tuhan, makan hati rasanya. Aku ingin pindah saja, di kelas yang biasa."
"Bocah tengik ini tak punya rasa bersyukur. Aigoo~" Gantian aku yang mencibir.
Tidak serius, karena setelahnya aku pasti berusaha menenangkannya. Memahami posisinya. Mengatakan kalimat-kalimat yang membuat ia tak putus asa. Dia sudah melakukan yang terbaik. Memimpin kelas dengan 31 penghuni tidaklah mudah, aku tahu.
Saat orang lain memojokkannya, aku pastikan berada di pihaknya.
Di pihak Jeon Jeongguk yang keras kepala.
. . .
Aku tidak tahu siapa yang memulai tradisi aneh semacam ini.
Kau tahu, saat dua murid terlalu akrab satu sama lain? Lalu seisi kelas menggoda? Menyebar gosip jika dua murid itu punya hubungan, dan akhirnya kalimat singkat 'cie-cie' jadi ejekan keseharian.
Sialnya, itu terjadi padaku dan Jeongguk saat ini. Kami jadi korban tradisi aneh ini.
Aku tidak tahu seperti apa teman-teman memandang kedekatanku dengan Jeongguk hingga gosip semacam ini timbul? Padahal yang kurasakan, yang kualami, sama sekali tak menjurus ke arah sana. Malah kami tak jarang mengejek satu sama lain. Aku mengejek kebandelannya, dan dia meledek cintaku yang bertepuk sebelah tangan. Yah, pertemanan kami dipenuhi candaan. Apa yang seperti ini pantas dibilang...pacaran?
Kenapa wali kelas kami pun ikut-ikutan?!
Menyebalkan!
Awalnya, aku dan Jeongguk tak mau pusing memikirkan hal ini. Kita tetap berinteraksi seperti biasa. Tapi lama-lama kami gerah juga! Bagaimana tidak? Baru saja Jeongguk duduk di mejaku, anak-anak yang lain langsung menggoda ini itu. Kan kami jadi canggung.
Dampaknya, Jeongguk jadi jarang mendekatiku. Kami jarang mengobrol seperti dulu.
Semester dua, hubungan kami mulai terasa beda. Jarang berinteraksi kalau memang tak begitu perlu. Tak ada obrolan soal band yang membuat kami lupa waktu. Tak ada lagi Jeongguk yang tiba-tiba datang sambil memainkan dasi, menarik kursi, mengejek soal perasaanku pada Park Chanyeol, atau
...sekedar meminta permen.
Lebih-lebih curhat soal kepemimpinannya.
Semua itu...lenyap. aku merasa kami menjadi...asing.
Meski begitu teman-teman di kelas tak kunjung bosan menggoda kami.
Argh!
Jujur saja, aku tak nyaman dengan keadaan ini.
Bukan, bukan tak nyaman dengan godaan dan gosip-gosip yang beredar. Tapi...tak nyaman kalau Jeongguk menjauhiku begini.
Maksudku- aku merasa...ada yang hilang.
Itu membuatku berpikir, apa jangan-jangan aku...sungguhan menyukai...Jeongguk?
Oh, Tidak.
Masa iya?
Masa secepat ini aku jatuh cinta lagi?
Aku bahkan belum lama ditolak oleh Park-
-Chanyeol.
Ah! Park Chanyeol!
Benar.
Aku baru ditolak oleh Chanyeol, lalu Jeon Jeongguk datang memberiku kenyamanan.
Ah~ apa ini artinya aku menjadikan dia pelampiasan?
Pelampiasan...
Kenapa kedengarannya menyakitkan?
Jahat sekali. Aku jadi merasa bersalah.
Keadaan makin parah. Gosip yang beredar makin menjadi-jadi. Mereka bilang, aku menyatakan perasaan pada Jeongguk. Menembaknya!
Yang benar saja!
Jeongguk jelas sekali bertambah gerah. Dia sudah berusaha keras menjaga jarak, tapi gosip tetap saja menyeruak. Aku...merasa dia mulai risih.
Yah, dia risih karena aku terkesan tak risih.
Maksudku, aku...tak sedikitpun melakukan tindakan untuk meredam gosip ini.
Entahlah, aku merasa itu...tak perlu?
Maka lambat laun aku menyadari,
...aku terbawa perasaan.
Aku menyukai dia, sungguhan. Bukan pelampiasan.
Aku suka dia tapi dia tidak. Sama sekali.
Malah cenderung jadi benci.
Aku menyadari tatapan Jeongguk padaku tak sehangat dulu. Dia...sepertinya menyadari perasaanku padanya.
Aku memang orang yang cukup blak-blakan saat jatuh cinta. Tapi, hanya karena aku pernah menembak Chanyeol bukan berarti sekarang aku bakal dengan mudahnya melakukan hal yang sama pada Jeongguk.
Jeongguk baru aku kenal kurang dari setahun, jelas tidak ada apa-apanya dibandingkan Chanyeol yang sudah mengisi hari-hariku selama enam tahun lebih.
Aku mungkin mulai suka pada Jeongguk, tapi perasaanku untuk Chanyeol belum benar-benar sirna. Mulanya aku merasa bersalah karena aku terkesan menjadikan Jeongguk pelampiasan. Tapi...rasa bersalah itu lenyap begitu saja.
Kenapa?
Sebab nyatanya, Jeon Jeongguk, dia cowok yang jauh berbeda dari Park Chanyeol.
Chanyeol tahu, dia tahu caranya menghargai perasaanku. Saat aku menembaknya, dia menolakku secara baik-baik diiringi senyum dan tawa. Dia bahkan masih berbaik hati mempertahankan persahabatan kita.
Tapi Jeongguk?
Dia menolak bahkan sebelum aku sempat mengutarakan perasaan sialan ini. Cara menolak yang benar-benar kasar. Menyakiti hati.
Seolah-olah aku ini sampah, tak berhak menyimpan rasa padanya.
"Sebodohlah. Masa aku pacaran dengan anak seperti dia? Apa kalian gila? Masih banyak yang lebih, aku belum buta. Hahahah~" (percayalah, sebenarnya kalimat Jeongguk bahkan lebih kasar dari itu.)
Whoa~
Kau, ketua kelas bandel yang selalu aku bela saat orang lain memojokkanmu.
Ketua kelas brengsek, yang setiap habis kena tegur pasti aku dengarkan curhatannya.
Kau, aku tahu aku bukan typemu.
Tapi bukan seperti ini caranya menolak perasaan, Jeongguk-a.
Bukan.
Chanyeol menolakku, dia ada di kelas yang beda. Aku masih bisa menahannya.
Tapi Jeongguk, dia ada dikelas yang sama. Aku berada dibawah pimpinannya. Setiap hari aku melihatnya. KITA ADA DI RUANGAN YANG SAMA NYARIS ENAM JAM PERHARI!
Bayangkan bagaimana tersiksanya aku,
Sementara dia asik kesana kemari setelah menyakiti perasaanku, aku disini, seorang diri berusaha menghilangkan perasaan sialan itu.
Tapi...aku tak bisa.
...itu tetap ada bahkan hingga tahun berikutnya.
. . .
Di tahun kedua, hubungan kami rusak parah. Sampai pada titik dimana mendengar namaku keluar dari mulutnya saja adalah sesuatu yang langka.
Kalaupun ada sesuatu yang mengharuskan dia manggil nama, misalkan, membagikan buku atau semacamnya, dia lebih memilih menghampiri mejaku lantas menaruh bukunya begitu saja.
Terkesan spesial?
Tidak.
Aku tidak suka.
Hanya karena dia menyambangiku secara khusus, bukan berarti itu hal spesial. Yah karena aku sadar, ada sorot kesal dimatanya. Bagaimana ekspresi dinginnya saat menaruh buku milikku tanpa bilang apa-apa.
Aku rindu dia memanggil namaku.
Meminta permen, minta traktir, curhat ini itu, aku rindu.
Tapi yang aku dapat malah lebih menyakitkan.
Satu hari, teman sebangku Jeongguk menyambangiku. Namanya Yugyeom.
"Jim,"
"Hm,"
"Nih," Dia menyodorkan selembar kertas.
"Apa?" Meski bingung, aku tetap menerimanya.
"Baca saja."
Hm, okay.
Ada nama aku disana. Tidak terlalu besar, tidak begitu rapih, tapi tetap terbaca.
"Ini tulisan siapa?"
"Menurutmu?"
Ah...Jeongguk. Siapa lagi ?
"Kapan dia menulisnya?" Aku bertanya lagi. Mengabaikan rasa sesak dalam hatiku.
"Tadi pas pelajaran. Sepertinya iseng~"
Yah, aku senang Jeongguk menulis namaku di kertas. Di sela-sela bosan karena pelajaran, dia ingat aku. Dia memikirkanku. Tapi,
...aku tak senang kalau dia menambahkan kata-kata kotor di belakang namaku.
"Tak perlu diambil hati, Jim. Si Jeongguk stress kali."
Yah, Jeon Jeongguk stress.
Dan aku lebih stress lagi karena menyukai orang seperti dia. Lebih stress lagi karena malah menyelipkan kertas itu di bukuku.
Aku simpan, tanpa tahu apa tujuannya.
Menambah rasa sakit dihatiku? Haha~
. . .
Kau tak akan percaya kejadian selanjutnya. Sudah kubilang, ini terlalu drama untuk disebut kisah nyata.
Class meeting.
Sekolahku mengadakan macam-macam lomba. Salah satunya, menata taman. Lokasinya di depan sekolah. Kebetulan aku tak masuk team itu, aku dipercaya menangani lomba dance, yang diselenggarakan di hari yang lain. Jadi hari itu aku bisa menyempatkan diri melihat proses pembuatan taman yang dilakukan beberapa temanku.
Salah satunya, Jeongguk.
Sibuk memperhatikan kerja mereka, membuatku tak sadar kalau mobil kepala sekolahku keluar dari parkirannya.
Aku baru sadar tatkala salah satu temanku, Hoseok memanggil sambil sedikit mendorong bahuku.
"Eh, Jimin! Mobil ibu kepsek tuh, kau mau ditabrak? Hahahah~"
Astaga.
Aku baru mau bilang terimakasih, tapi tahu-tahu Jeongguk menyahut.
"Yaelaaah~ Kenapa mesti ditolong sih? Aturan mah biarkan saja. Mati sekalian."
Reaksiku? Kesal. Jelas kesal.
Itu...keterlaluan.
"Kau saja kali mati duluan." Aku memberanikan diri membalasnya. Yah, walaupun suaraku bergetar. Sialan.
Dan Jeongguk membalas, "Ogah banget hahahah" tanpa menatapku.
Wah.
Dosa apa aku menyukai cowok brengsek seperti dia?!
Teman-teman yang lain mendengar. Tentu saja. Tapi tak ada satupun dari mereka yang ikut bicara.
Hei! Kemana mulut ember kalian yang biasanya menggoda dan menggosipkanku dengan lelaki brengsek itu?!
Kenapa?
Kurasa mereka mulai hapal tabiat buruk Jeon Jeongguk. Mungkin kali ini speechless karena ucapan Jeongguk sudah sejauh itu.
Kadang aku penasaran,
Sebenarnya...dia menjauh karena apa? Apa alasan dibalik sikap-sikap buruknya?
Benci kenyataan aku suka sungguhan padanya?
Atau hanya canggung...karena gosip-gosip tentang kita?
Kalau jawabannya adalah opsi pertama, maka aku menyesal.
Aku menyesal punya perasaan cinta.
Aku menyesal menyimpan rasa padanya.
Kita...tidak seharusnya begini, Jeon...
. . .
Di kelas dua semester dua, aku mulai sadar ada yang berbeda dengan dirinya. Ini bukan tentang hubungan kami berdua, tapi...
...dia...sepertinya sedang jatuh cinta.
Kelas kami mempunyai sistem rolling posisi duduk, perminggu. Biar tak bosan. Dan itu terserah kami mau duduk dimana saja. Dan, yah...Beberapa kali aku duduk didekat Jeongguk.
Tidak, itu cuma kebetulan.
Aku selalu datang paling pagi, sedangkan dia paling siang. Siapa yang tahu kalau tempat yang tersisa cuma didekat aku?
Bukan aku yang modus, bukan aku yang mengatur ingin dekat dengannya kok.
Aku juga tidak mau dekat dengannya kalau posisi itu harus membuatku mendengar omongan, atau obrolan-obrolan dia yang menyebabkan panas hati.
Beberapa kali aku mendengar dia mengobrol soal seseorang, dengan teman sebangkunya.
Dan satu waktu, Taemin, teman sebangkuku memberi tahu.
"Jim, kemaren aku melihat si Jeongguk" ditempat wisata, "...bareng si Taehyung."
Oh...jadi pasangan idamannya itu Taehyung? Anak kelas sebelah. Aku hapal dia, kita satu organisasi Pasukan Khusus di ekskul pramuka. Oh, sebenarnya tak ada yang tak hapal dia. Taehyung cukup populer di sekolah kami.
Kim Taehyung.
Good looking, imut, dan aktif. Dia terlibat di banyak organisasi sekolah. Aku juga diam-diam mengaguminya. Terpikir untukku mendekatinya, kelihatannya dia asik untuk diajak berkawan. Belum betul-betul terealisasi. Hanya, beberapa kali kami bertegur sapa saat kegiatan pramuka berlangsung. Kupikir pelan-pelan saja juga tak masalah.
Tapi sekarang...sepertinya aku ragu untuk melanjutkan proses pendekatan dengannya. Bahkan...kini hanya mendengar namanya saja sudah menimbulkan ngilu di hatiku.
Ukh~
"Ohya? Memangnya jadian?" Tanyaku,
Taemin menaikkan bahu, "kayaknya mah masih PDKT deh, Jim."
Taehyung ini anak OSIS. Taemin pun sama. Jadi dia tahu lumayan banyak.
"Tadi, si TaeTae cerita gitu deh. Katanya, kemaren Jeongguk ngajak jalan. Memberi cokelat segala macem."
Oh...o..ke. beneran PDKT ya?
Entah, kebetulan macam apa ini? Dihari yang sama Taemin bercerita, ada kabar kalau anak kelas sebelah pingsan. Dan...yah, Kim Taehyung.
Aku tak mau menoleh ke arah Jeongguk.
Tidak. Aku tak mau tahu reaksi dia. Tapi mataku ini tak bisa diajak kompromi!
Aku tahu Jeongguk khawatir.
Itu bisa ditebak hanya dari ekspresi wajahnya.
Seketika meja Jeongguk dihampiri beberapa kawan dekatnya. Yah, kebetulan guru sedang tidak ada.
"Memangnya kau beneran, kemarin jalan dengan si Taehyung?"
Jeongguk mengiyakan.
"Wah~~ gercep, gerak cepat juga kau. Terus, gimana? Jadian dong? PJ kali PJ!"
Tapi Jeongguk tak menjawab. Dia malah keluar, menengok Taehyung mungkin.
. . .
Tak sampai sebulan setelah itu, aku mimpi sesuatu. Aneh. Bisa dibilang buruk.
Esok harinya aku menceritakan ini pada Taemin.
"Semalam masa aku mimpi aneh."
"Apaan?"
"Jeongguk...sama Taehyung pulang bareng, jalan kaki. Eh terus aku ada di belakang mereka. Nyesek anjir, masih berasa sampai sekarang."
And you know what?
Sore harinya, Taemin mengirim pesan singkat.
(Jim,)
Apa
(Jangan nangis yah)
What the-
kenapa deh?
(Jim please Jim, jangan menangis yah...)
Dia seperti ragu. Whahaha sialan perasaanku mulai tak enak.
Apaan sih?
(Mimpimu...kayaknya menjadi kenyataan deh,
O-ow...
Aku memang biasa pulang sekolah dengan angkutan umum. Hanya sesekali jalan kaki kalau sedang mood. Sementara Taemin setiap hari berjalan kaki. Rumah dia dekat dari sekolah kami. Begitu pun Jeongguk Jadi aku tak selalu tahu ada kejadian apa sepulang sekolah.
Tapi berkat Taemin, aku jadi tahu. Kalau,
...Jeongguk sama Taehyung pulang bareng.)
...hahahaha...sedih.
Kenapa mimpi yang menyakitkan malah jadi kenyataan ya?
Terus terus?
Aku masih menahan-nahan. Masih mau membalas, pensaran kisah lengkapnya. Padahal perasaanku sudah tak karu-karuan.
(Heh, kau tidak menangis kan?)
Tidak Taemin,tidak. Ayo lanjutin. Cerita jangan setengah-setengah~~~
Mereka pegangan tangan gitu Jim. sepanjang jalan.
Harusnya aku menangis. Tapi...tak bisa. ada mama di sampingku. Jadi...aku menahan keinginan itu.
Sampai besok pagi.
Aku bawa rasa sesak itu ke sekolah. Taemin pun menceritakan secara lebih rinci.
"Sumpah. Aku ada dibelakang mereka, Jim. Aku juga sangat kaget. Langsung kepikiran dirimu deh. Dalam hati, anjir mimpi si Jimin jadi kenyataan! Aku berpikir, bilang jangan ya? Bilang jangan ya? Baru deh pas sorenya aku memutuskan buat mengSMSmu. Daripada kau tahu dari orang lain kan?"
Oh...oke. aku paham. Terimakasih, Taemin.
Dan entah kenapa setelah itu aku malah menyambangi Yoongi. Anak itu berteman dengan Jeongguk sejak kecil. Sama seperti Taemin. Dia juga biasa pulang sekolah bersama Jeongguk. Jadi, dia pasti tahu apa yang dialami Jeongguk.
"Woy," aku duduk di dekatnya. Dia sedang menulis sesuatu.
"Eh, ada apa Jim?"
Aku to the point saja, "Si Jeongguk sama Taehyung sudah jadian ya?"
Astaga sesak sesak sesaaaaaaakkkkkk! Kenapa aku nekat bertanya sih?!
Tak butuh waktu lama untuk Yoongi mengeluarkan raut wajah...prihatin. Hahahah. Satu kelas sudah tahu kok aku suka beneran pada Jeongguk. ini rahasia umum.
"Jim, jangan nangis lah please."
Shit. Kenapa sih orang-orang mengatakan hal yang sama?
Apa susahnya jawab IYA.
IYA, MEREKA JADIAN.
JEON JEONGGUK DAN KIM TAEHYUNG RESMI PACARAN.
SUDAH.
CUKUP.
AKU SAKIT.
tapi kenapa aku malah lanjut bertanya, "sejak kapan?"
"Kemarin."
Kemarin.
Kemarin...tanggal berapa kemarin?
"Jeongguk bilang sih tanggal 8 februari. Berarti kemarin kan?"
Ah...iya. betul.
Kemarin, Delapan Februari.
"Jim, ih jangan nangislaaahhh~~"
Tidak.
Aku tertawa kok. Serius. Tak tahu, aku malah tertawa. Sumpah. Karena nyatanya aku sama sekali tak bisa mengeluarkan airmata sampai seminggu berikutnya.
Dan aku menyesal.
Kenapa?
Karena rasa sesaknya malah berlipat ganda.
Seperti...aku terlalu sakit tapi memaksa untuk memendamnya. Dan akhirnya jadi parah. Stadium akhir. Sekarat. Haha. Kalau saja dulu cepat-cepat dikeluarkan bersama airmata, pasti takkan separah ini.
. . .
"Taemin,"
"Hm?"
"Kau tahu tidak, tempat yang luas...sepi...tak ada orang?"
"Ha? Kenapa deh?"
"Pengen teriak."
AKU INGIN BERTERIAK SEKENCANG-KENCANGNYA. AKU INGIN MEMBUANG RASA SAKIT INI!
"Sialan, ini nyesek banget Taem. Gak sembuh-sembuh. Aku mesti apa?"
.
.
Memangnya Jeongguk perduli?
Tidak. Hahaha dia sibuk dengan pacar barunya, tentu saja. Yang lebih good looking, lebih tenar, yang lebih...lebih...lebih segalanya dari aku.
Lebih pantas.
Lebih layak.
Dan...bukan sampah.
Yah, sepertinya strategi dia berhasil.
Selain 'meredam' gosip kami berdua, dia juga mendapatkan orang yang dia suka.
Sementara aku? Aku yang terlanjur suka dia sungguhan ini bisa apa?
Jeongguk benar-benar membuangku.
Parah. Menyedihkan.
Jatuh cinta itu menyakitkan. Jatuh cinta terparah yang pernah aku rasakan.
Bodoh.
Semester itu, peringkatku anjlok, keluar dari sepuluh besar.
Sialan.
Delapan Februari yang menyebalkan.
