Disclaimer: I own nothing except the plot
Pair: Shikamaru x Hinata
Warn: OOC, misstype(s)
.
.
.
Baby, I'm in love with you
.
.
.
"Bertahanlah. Aku tahu kau kuat."
Sekelilingku gelap. Tak peduli aku menoleh ke mana, warnanya tetap saja hitam. Segalanya jadi terlihat menyeramkan.
Setiap kali tersadar, aku selalu merasa seperti ini. Seluruh tubuhku mati rasa. Dalam kegelapan yang senyap, hanya ada suara itu yang kudengar.
"Kau seorang Hyuuga yang kuat. Benar, kan?"
Tidak, tidak. Suara itu salah. Klan kami memang kuat, aku yakin itu. Ada Ayah, Neji, Hanabi, dan yang lainnya. Hampir semua dari klan kami orang yang hebat. Hampir semua, kecuali aku.
"Kau tak lelah tertidur seperti ini? Bangunlah."
Dia salah. Dia pasti salah. Aku tak mungkin tertidur di saat aku bisa mendengar suaranya dengan jelas.
"Beri aku kepastian."
Kepastian apa? Hatiku yang bingung bertanya begitu. Pelan-pelan, ada rasa aneh yang perlahan merayapiku bagai semut. Kau siapa?
"Hei, cepat bangun, ya?"
Tubuhku yang mati rasa perlahan menghangat. Ada sesuatu yang membungkus jemari tanganku. Menggenggamnya erat. Jujur, aku tenang. Dan akhirnya, aku jadi senang. Di duniaku yang gelap dan menakutkan ini, aku tak lagi mengenal khawatir.
Entah karena suaranya yang memang membawa kesan damai, atau mungkin karena genggaman eratnya di tanganku, aku jadi lelah dan tertidur.
.
.
.
Saat aku tersadar lagi, seluruh tubuhku terasa sakit dan sedikit gemetar. Rasanya, bagai ada ribuan lebah menyengat aku yang tak bisa bergerak. Aku merintih, tapi tak ada yang mendengar. Dunia jadi terasa sepi. Aku merasa terasing.
Perlahan, aku merasa kelopak mataku bergerak. Samar-samar, aku melihat gambaran kabur yang terang. Bau obat juga terasa begitu menyengat. Rasa-rasanya, aku tahu ini di mana.
"Hyuuga-sama?"
Awalnya aku berpikir, hanya ada aku di situ.
"Ya, Tuhan! Kau sudah sadar!"
Meski tubuhku sakit, aku mencoba untuk bangkit. Wanita muda berseragam putih itu membantuku untuk duduk. Pelan-pelan, aku menyandarkan diri di kepala tempat tidur yang dilapisi oleh bantal empuk.
"Ah! Aku harus segera memberitahu Tsunade-sama."
Dia gadis periang yang bersemangat dan baik hati. Saat dia tersenyum padaku, aku tahu dia orang yang tulus.
"Apakah Anda tak apa kalau ku tinggal sebentar?"
Tangannya yang hampir menyentuh kenop pintu berhenti ketika dia berbalik dan melihatku lagi.
"Ya."
Dalam dirinya, ada aura hangat yang membuatku merasa nyaman. Aku jadi tersenyum tanpa banyak berpikir.
"Kenapa kau tergesa-gesa? Apa yang terjadi?"
Saat itu, ada angin lembut yang datang menghampiriku dari jendela ruangan yang terbuka. Rasanya sejuk. Entah kenapa, ada rasa rindu merasakan angin seperti ini.
"Hyuuga-sama… Hyu-Hyuuga-sama… dia…"
Jendela itu begitu bersih. Ada sinar matahari yang menembus masuk ke kamar dan membuat seprai serta selimut yang ku pakai jadi berwarna keemasan. Akhirnya aku sadar, selain anginnya, aku juga rindu matahari yang selalu hangat, awan putih yang selalu bersih, langit biru yang membentang luas, serta suara gemerisik dedaunan yang saling bergesekan.
"Kenapa? Ada apa?"
Aku memejamkan mata. Dengan keheningan seperti ini, aku bisa mendengar suara mencicit anak-anak burung yang bersarang di pohon besar tepat di depan jendela, lalu keramaian anak-anak yang bermain di bawah, kemudian langkah kaki yang begitu cepat.
"Hinata?"
Derap kaki itu berhenti. Sebagai gantinya, ada suara orang yang ku dengar. Kali ini suaranya berat dan dalam. Dia pasti seorang pria.
"Kau… sadar?"
Aku berbalik dan langsung melihat wajahnya yang terkejut. Dia yang bertanya padaku masih sekitar dua langkah dari pintu masuk. Sementara itu, perawat yang tadi, buru-buru pergi ke luar dan menutup pintu. Kami jadi ditinggal berdua.
"Kau bangun?" tanyanya pelan, berbisik.
Dari wajahnya, aku merasa dia sangat mirip dengan Shikamaru-san. Bahkan anting dan dandanan rambutnya serupa. Seingatku, Shikamaru tak punya seorang kakak laki-laki. Tapi, kalau itu Shikamaru, kenapa rasanya ada yang berbeda?
Shikamaru-san yang aku kenal selalu tenang dan mengantuk, tapi pria di depanku ini terlihat senang dan terpaku.
"Akhirnya…"
Ada hembusan nafasnya yang lega, lalu suara ketukan kakinya yang mendekat lagi, kemudian senyum malasnya yang diarahkan untukku. Di saat seperti ini, ruangan yang awalnya berbau obat jadi terasa menyegarkan.
"Akhirnya kau bangun."
Sekarang dia berdiri tepat di samping ranjangku. Aku baru sadar dia begitu tinggi hingga membuatku harus mendongak untuk bisa melihat wajahnya yang juga melihatku. Waktu seakan berhenti untuk kami.
Mata hitamnya fokus pada milikku yang pucat. Aku tertarik dalam lubang hitam yang dia ciptakan. Entah sejak kapan, aku merasa wajahku memanas.
"Selamat datang kembali."
Ada sambutan hangatnya untukku, ada senyum lemahku untuknya.
Entah bagaimana, aku merasa kami berdua memang seharusnya begini. Saat dia memberi, aku akan menerima, dan sebaliknya.
"Aku pulang."
Akhirnya, aku membalas pernyataannya.
Dan dia tersenyum membalasku.
"Kau membuatku khawatir."
Tangannya yang besar dan hangat naik dan menepuk puncak kepalaku pelan. Aku yang terlalu terkejut cuma bisa diam. Saat tangannya yang lain bergabung dan memaksa kepalaku terbenam di dadanya, aku seketika merasa nyaman.
Ada rasa sayang juga kerinduan dari tangan yang mengelus rambutku. Ada rasa berdebar diperdengarkan detak jantungnya padaku. Lalu, ada juga rasa lega dari suara tawanya yang hampir sepi.
"Shikamaru-san… bagaimana misinya?"
Terakhir yang ku ingat, aku, Shikamaru, dan Lee sedang menjalankan misi ke Amegakure. Saat di perjalanan pulang, kami bertemu dengan ninja musuh dan akhirnya bertarung. Di tengah pertarungan waktu itu, ada kunai yang melesat ke arah Lee. Aku yang dikepung segera berlari ke arahnya. Waktu itu, aku yang berniat menolong malah terkena kunai. Akibatnya lengan kiriku berdarah.
"Sukses."
Setelah itu, yang ku ingat hanya pandanganku yang mengabur dan semakin lama semakin menggelap.
"Syukurlah."
"Ck, kau bodoh."
"Maaf."
.
.
.
Entah hanya aku, atau memang ada yang berubah dari Konoha. Bangunan-bangunannya terasa sedikit berbeda dari yang terakhir ku ingat.
Dari atap gedung rumah sakit ini, angin musim semi dengan mudah menabrakkan dirinya padaku yang masih lemah. Aku suka kesan sejuk yang kurasakan. Begitu nyaman, hingga rasanya sampai ke hati.
"Kenapa kau keluar?"
Tiba-tiba saja Shikamaru-san muncul dan langsung mengambil tempat di sampingku. Tubuhnya yang sedikit jangkung memblokirku dari sinar matahari yang tak terlalu menyengat.
Ketika aku menoleh padanya, dia balas menatapku.
"Kau belum pulih sepenuhnya, Hyuuga."
Alisnya mengkerut dan hampir bertaut. Mungkin aku membuatnya kesal.
"Ada banyak yang telah berubah." Akhirnya, aku menyatakan pikiranku. Shikamaru yang tak memberi tanggapan jadi membuatku sedikit kecut, jadi aku lebih memilih melihat langit daripada wajah suramnya. "Langitnya," saat misi terakhir, langit yang ku lihat berwarna kelabu, "Bangunan-bangunannya," dari sini, aku dapat melihat Ichiraku jadi restoran ramen besar yang ramai, "Shikamaru-san juga."
"Hah?"
Shikamaru-san itu jenius. Dia akan selalu mengerti apa yang tidak dimengerti orang biasa sepertiku. Jadi mengetahui kalau dia yang kali ini kebingungan, aku langsung ingin melihat wajahnya.
"Apanya yang berubah dariku?"
Kenapa dia bertanya? Bukankah semua terlalu jelas? Seharian ini dia selalu berada di rumah sakit dan baru pergi beberapa saat yang lalu saat Hokage-sama memanggilnya. Dia bahkan lebih sering tersenyum dari pada menguap. Bahkan sekarang, dia yang jenius serasa jadi orang aneh yang payah dan suka bertanya.
"Aku tak mendengar 'mendokusai' hari ini."
"Ah, benarkah?"
Aku mengangguk cepat. Wajahnya yang bingung terlihat lucu.
"Shikamaru-san juga terlihat lebih keren." Sekilas aku melihat ke atas rambutnya yang dikuncir tinggi dan bergoyang persis semak ditiup angin. Lalu, alis matanya yang tebal dan hitam. Mata sipitnya yang tajam, hidungnya yang ramping, serta lengkungan di bibirnya.
Dia tersenyum untuk yang kesekian kalinya hari ini.
"Apa iya?"
Ketika dia bertanya, ada seringai aneh terlepas dari wajahnya.
"Ya."
Lalu dia tertawa. Suara tawanya terkesan berat dan dewasa. Aku yang mendengarnya jadi ikut senang.
"Hei, lima tahun kau terbaring di rumah sakit dan akhirnya sadar, lalu kau langsung berkata bahwa aku keren?"
Oh. Pantas saja banyak yang berubah. Lima tahun bukan waktu yang sebentar. Akhirnya aku mengerti kenapa ada yang terasa berbeda.
"Kunai yang melukaimu itu beracun," Shikamaru-san terlihat kurang senang saat menceritakannya, "Ayahmu, Hanabi, Neji, teman-teman Rookie yang lain, aku… kami semua takut sekali kehilanganmu." Lalu tangannya yang kuat dan besar meraih milikku yang lebih kecil. Saat dia menggenggamnya, aku akhirnya tahu siapa yang membuatku tenang selama ini. "Syukurlah kau akhirnya sadar." Lagi-lagi dia tersenyum, "Terima kasih."
Aku masih belum mengerti. Dia kembali lagi jadi Shikamaru jenius yang susah dipahami.
"Kau tidak lelah?"
Tidak. Aku tidak lelah. Hanya saja tubuhku terasa tak bertenaga saat ini.
"Kembali ke kamar, ya?"
Dia berbalik dan membelakangiku lalu berjongkok dan menepuk-nepuk pundaknya. "Naiklah."
Suaranya pelan dan tidak memerintah, tapi aku langsung menurut tanpa berpikir panjang. Saat kemudian aku telah bersandar padanya, dia berdiri dan mulai melangkah.
Di saat begini, aku merasa kembali jadi anak kecil yang dilindungi oleh orang dewasa. Pundak Shikamaru-san yang ternyata nyaman membuatku merasa aman, akhirnya aku jadi mengantuk.
"Shikamaru-san?"
"Ya?"
"Kenapa kau selalu menjengukku?"
Saat pertanyaanku terlontar, ada jeda cukup panjang di antara kami. Suasananya jadi sepi. Hanya ada suara angin serta langkah kaki Shikamaru yang menggendongku. Mungkin dia tak mendengar karena suaraku terlalu pelan, atau mungkin aku yang salah bicara hingga ia mengabaikannya.
"Kau tahu?"
Langkahnya berhenti dan melirikku yang melihatnya. Aku mengangguk ragu.
"Terus kenapa tidak langsung bangun saat itu?"
Aku juga ingin bertanya hal yang sama pada diriku. Kenapa aku tak langsung bangun saat mendengar suaramu? Mungkin tubuhku terlalu lelah, mungkin juga kesadaranku hilang karena darah yang banyak berkurang, atau racun dari kunai yang membuatku terluka.
"Kenapa tidak bosan menungguku bangun?"
Matahari mulai sedikit tenggelam dan langit perlahan gelap. Di atas, bulan mulai muncul ditemani sebuah bintang yang berada dekat dengannya. Mataku semakin berat dan aku mulai menguap.
"Kau sudah tidur lama, ada mimpi apa saja?"
Tidak ada. Aku tak bermimpi. Ketika aku tertidur, aku hanya bisa melihat gelap, ada juga suaramu, dan kadang genggaman tanganmu. "Kenapa menungguku?" Dia selalu ada saat aku merasakan gelap dan mulai ketakutan. Aku jadi penasaran.
"Saat kau dirawat, setiap hari aku mampir ke rumah sakit."
Iya. Aku sudah tahu yang itu. Terima kasih.
"Hal itu terus berlanjut dan akhirnya jadi rutinitas baru. Bahkan jadwalnya menyita lebih banyak waktuku untuk tidur."
Itu bukan pengakuan termanis yang pernah aku dengar. Tapi saat berada dengan jarak sedekat ini dan mencium aroma segar dari tubuhnya, detak jantungku jadi liar dan tak terkendali.
"Semakin lama, aku jadi makin terikat. Melihat wajahmu setiap hari, mau tak mau membuatmu terus terbayang dalam kepalaku. Aku hampir gila. Dua minggu menjalankan misi di luar desa dan aku jadi seperti panda."
Nadanya datar dan lamban.
"Lingkar mataku menebal. Lama-lama aku bisa mirip Gaara."
Shikamaru-san susah tidur?
Kami terdiam lagi. Aku memilih melihat langit yang memang cantik saat itu. Sekitar dua menit, Shikamaru-san kembali berjalan dan menggendongku.
Meskipun angin begitu kencang dan dingin, berkat Shikamaru aku jadi tak kedinginan. Aku hanya seorang kunoichi yang masih lemah dan butuh istirahat. Mataku yang lelah terbuka, akhirnya menutup perlahan. Lama-lama, aku mulai kehilangan kesadaran. Saat pandanganku mulai menghitam, aku mengeratkan peganganku pada Shikamaru. Hal yang terakhir ku ingat adalah kepalaku yang lelah dan jatuh di bahunya.
Rasanya nyaman…
.
.
.
"Entah kau sadar atau tidak, aku selalu berada di sisimu. Suatu saat nanti, ku harap kau tahu."
.
.
.
A/N: Ada yang ngeh nggak nih sama ceritanya? Jadi gini, Hinata terluka dan kritis karena terkena kunai beracun dan akhirnya tak sadarkan diri selama 5 tahun. Berlebihan gak sih? Entahlah, saya terlalu males nyari scene lain yang lebih nyambung.
Nah, soal Shikamaru… Mungkin dia punya rasa bersalah karena Hinata terluka saat menjalankan misi bersamanya, jadi akhirnya cowok Nara itu setiap hari datang menjenguk. Yang pada akhirnya, dia justru jatuh cinta dengan Hinata. Mungkin karena terlalu banyak melihat wajah si cewek Hyuuga yang manis itu, atau juga karena tak pernah berhenti mengkhawatirkan Hinata. Tapi yang pasti, Shikamaru gak ngalamin yang namanya 'Love at the First Sight' loh…
Sebelum lupa, saya ada bikin satu crossover tentang Hinata. Kalau ada waktu, silahkan cek di profil saya, ya… monggo…
Ai HinataLawliet, pesanannya udah jadi, kan? Maaf kalau ooc ya? Saya habisnya gak pernah nonton DN sih…
Mind to Review?
-:- H. Kazuki -:-
