N/A: Hello, minna! Pada chapter ini, chara Sasuke belum muncul. Umm.. kalau ada yang nanya kapan munculnya, itu nanti saat Naruto berangkat ke sekolah~ xD

Enjoy for fun!


.

Ting tong... ting tong... ting tong...

Bunyi bel yang ditekan seseorang, terdengar berkali-kali di sebuah rumah dengan dinding berwarna biru muda. Bunyi bel itu mau tak mau membuat satu-satunya orang yang tinggal di sana terbangun dari tidurnya yang nyenyak. Namikaze Minato membuka kedua matanya sambil menguap pelan dengan mata berair—efek dari kebiasaan tidurnya itu— dan turun ke lantai. Sambil mengaruk-garuk kepalanya— yang membuat rambutnya semakin berantakan— Minato berjalan ke arah pintu yang merupakan sumber bunyi sialan itu. Memangnya siapa yang berani-beraninya membuat suara berisik dan mengganggu tidurnya pagi-pagi begini? Jam enam pagi, pula.

Sambil terus menggerutu— dan mengutuk siapapun yang membunyikan bel jahanam itu— tanpa terasa, Minato sudah tiba di depan pintu. Bunyi bel itu masih terdengar, malah semakin bertambah keras saja. Dengan ogah-ogahan, Minato akhirnya terpaksa membuka pintu rumahnya, setelah sebelumnya membuka kunci dan memutarnya di lubang kecil itu.

Yang menyambutnya adalah seorang pemuda berusia sekitar tiga belas tahun. Perawakannya yang manis dengan rambut berwarna pirang jabrik, dan mempunyai kulit cokelat yang eksotis. Mata biru pemuda itu bertubrukkan dengan sepasang mata lain yang identik milik Minato.

"Ano... apa benar di sini kediaman Namikaze Minato?"

Minato mengerjap-ngerjapkan matanya, dan baru menyadari bahwa dia terlalu lama menatap pemuda pirang yang berdiri di hadapannya ini. Jujur saja, Minato sempat menyangka bahwa dia sedang bercermin dengan dirinya yang berwujud remaja. Kalau saja pemuda pirang ini tidak berbicara, mungkin Minato akan menatapnya terus sampai matahari mulai meninggi.

"Eh.. ya, benar. Itu saya sendiri." Minato menjawab dengan gugup, sebelah tangannya menggaruk rambutnya yang tidak gatal. "Kau ini siapa, ya? Ada perlu apa datang ke sini?"

Minato melihat pemuda itu sedang merogoh tas selempang berwarna cokelat pastel yang sedang dipakainya. Tak lama kemudian, ia sudah mengambil sebuah surat dan memberikannya kepada Minato. Minato menerimanya, raut bingung belum hilang dari wajahnya. Setelah bergantian menatap antara surat di tangannya dan pemuda pirang itu, akhirnya Minato memutuskan untuk membuka amplop putih dan menarik secarik kertas yang berada di dalamnya. Kedua matanya sibuk membaca tulisan yang tertulis di sana, sampai ketika bola mata biru sky itu membulat. Langsung ia menatap pemuda pirang yang masih berdiri diam, sedang balas menatapnya.

"Kau... tidak mungkin—"

Pemuda itu menghela nafas sebentar. "Aku juga tidak tahu yang sebenarnya terjadi, Minato-san. Tapi menurut surat yang ditinggalkan Ibu kepadaku—" dia menunjuk surat yang dipegang oleh Minato, "—di sana tertulis bahwa aku adalah anakmu. Anak kandungmu, lebih tepatnya."

Minato hanya terdiam selama beberapa detik, dan juga dalam keadaan mulut terbuka.


.

Disclaimer:This story is based on characters created and owned by Masashi Kishimoto. No money is being made and no copyright or trademark infringement is intended.

.

Multi-chapter Stories:

.

You're My precious one © 73777778910

.

Warning:
shounen-ai , doted-parent!Minato, slice of life, shool life

.


.

Di dalam ruang tamu besar itu, kedua manusia yang masih duduk di sofa dengan posisi saling berhadapan itu masih terdiam. Tidak ada gerakan berarti, sampai Minato akhirnya memutuskan untuk memecahkan keheningan yang sempat terjadi selama beberapa menit yang lalu.

"Jadi—" Minato kembali mengambil kertas surat itu dan membacanya, "—Ibumu memberikan surat ini dan menyuruhmu datang menemuiku?"

Pemuda pirang itu mengangguk sambil menyesap teh yang disuguhkan Minato tadi dengan perlahan. Setelah menaruh cangkir teh yang isinya tinggal setengah di atas meja, dia mulai berbicara, "Begitulah yang dikatakan di dalam surat itu."

Minato mengembalikan surat itu lagi di atas meja, dan kemudian menatap pemuda itu dengan posisi tangan menompa kepalanya. Matanya terus memerhatikan wujud pemuda itu. minato sebenarnya tidak meragukan dan mempertanyakan lagi bahwa pemuda yang ada di hadapannya ini adalah anak kandungnya. Selain karena fisiknya yang hampir menyamai Minato saat ia seusianya, ia juga merasakan perasaan yang tidak asing terhadap pemuda ini. Namun, masalahnya bukan itu. Melainkan...

Siapa ibu dari pemuda ini?

Minato kembali menegakkan punggungnya yang tadi membungkuk. "Jadi, nak, siapa namamu?"

Pemuda itu mengernyitkan alisnya saat mendengar kata "nak" yang diucapkan Minato tadi. Bagaimana mungkin pria ini memanggilnya begitu padahal dia sudah berusia empat belas tahun lebih? Namun, toh, pada akhirnya, pemuda itu memilih mengabaikan dan memutuskan untuk memberitahu namanya saja. "Uzumaki Naruto," jawab pemuda bernama Naruto itu.

Minato terpaku saat mendengar kata "Uzumaki". Nama Uzumaki sudah tidak terdengar asing lagi ditelinganya, karena nama itu juga milik seseorang yang dikenalnya baik sewaktu dulu. Ah, kini ia akhirnya mengingat sepenuhnya wanita yang sempat berada di hatinya itu—bahkan sampai sekarang.

Uzumaki Kushina.

Minato merapalkan nama itu di dalam hati. Perempuan bernama Kushina itu adalah cinta pertamanya. Bagaimana mungkin ia bisa lupa? Satu-satunya perempuan yang mampu memikat hatinya dengan senyuman dan juga sikapnya. Minato kembali mengingat saat-saat dia masih SMA dulu— bagaimana dia berusaha mendapatkan hati milik perempuan tangguh itu. Tidak mudah memang, bahkan sering kali ia mendapatkan penolakan dengan bonus luka-luka ditubuhnya. Namun, toh, akhirnya Kushina luluh juga dengan perjuangan Minato— yang sampai-sampai dijuluki "Minato sang Penantang Dewi Maut" oleh teman-temannya dulu.

Minato tersenyum geli saat mengingat peristiwa-peristiwa itu yang membuatnya bernostalgia. Namun, sedetik kemudian, ekspresinya berganti dengan raut murung. Setelah lulus dari SMA, Minato memutuskan mengejar cita-citanya dengan belajar di luar negri. Saat itu, ia tidak tahu bahwa wanita yang dicintainya tengah mengandung buah hati mereka. Lagi pula, Kushina sama sekali tidak mengatakan apa-apa saat ia memberitahukan rencananya itu. Yang ia ingat hanyalah senyuman Kushina yang mengatakan bahwa dia akan mendukung Minato dan tidak akan melupakan pria itu.

Setelah diingat-ingat lagi, memang benar ketika mendekati waktu kepergian Minato ke luar negri, kesehatan Kushina sama sekali tidak baik saat minggu sebelum keberangkatannya. Kushina sering sekali muntah-muntah dengan muka yang pucat. Tapi dia selalu mengatakan bahwa dia hanya sakit biasa akibat stress karena sebentar lagi harus mengikuti ujian masuk universitas. Di saat itu, Minato sama sekali tidak sensitif terhadap apa yang sedang terjadi kepada Kushina.

Ada perasaan menyesal dan kecewa di dalam hatinya. Apalagi saat mengetahui bahwa perempuan itu sudah tiada di dunia ini lagi akibat kanker paru-paru yang dideritanya.

Pria itu lalu mengalihkan pandangannya ke arah Naruto yang terlihat sedang memerhatikannya.

"Kalau begitu, kau akan tinggal di sini mulai sekarang?"

"Jika Anda keberatan, saya tidak akan memaksa, Minato-san." Pemuda itu menjawab sambil berdiri, sementara tangan kanannya mengambil tas selempang miliknya yang tergeletak di sampingnya. "Saya hanya ingin melaksanakan perintah Ibu saya yang terakhir itu untuk melihat Anda. Saya juga tidak ingin memaksa Anda untuk menganggap saya sebagai anak Anda jika Anda tidak mau. Maaf telah merepotkan Anda, Minato-san. Terima kasih telah—"

"Tunggu dulu!" Minato buru-buru memotong perkataan panjang anaknya itu. Dengan panik, ia segera menyusul Naruto yang sudah hampir membuka pintu depan rumah. Ia tidak bermaksud dan tidak sengaja menggunakan nada yang seperti terdengar keberatan itu ketika bertanya tadi. Demi Tuhan! Kenapa ia bisa bodoh begini? "Aku tidak pernah keberatan dengan ini semua," seru Minato yang kini sudah berada di samping pemuda pirang itu. "Sejujurnya, aku malah ingin kau untuk tinggal bersama denganku di sini sebagai satu keluarga. Dan aku juga ingin kau menganggapku sebagai ayahmu mulai sekarang." Segaris senyuman terbentuk di wajah Minato, pandangannya melembut saat menatap Naruto, "Selamat datang di rumah baru kita, anakku."

Bola mata Naruto tidak bisa lebih lebar lagi saat mendengar perkataan pria itu barusan. Naruto sangat merasa terkejut, sampai rasanya tubuhnya tidak bisa digerakkan —bahkan ketika Minato menarik tubuhnya ke dalam pelukannya. Padahal, saat ia memutuskan untuk menemui pria yang merupakan ayah kandungnya itu, Naruto sudah bersiap dengan segala kemungkinan terburuk. Ia sama sekali tidak peduli jika pria itu nantinya tidak mau menganggap dirinya sebagai anaknya. Lagi pula, mana ada seorang ayah yang bertanggung jawab sementara ia meninggalkan istrinya dan anak kandungnya sendiri ketika berumur delapan belas tahun? Untuk masalah selanjutnya, Ia sudah dewasa, dan bisa hidup mandiri dengan kekuatannya sendiri. Namun, kenyataanya semua kemungkinan-kemungkinan terburuk yang bisa terpikirkan olehnya salah total. Malah, pria itu menyambutnya dengan senyuman lembut dengan pelukan hangat sambil mengucapkan selamat datang kepadanya dan mengakuinya sebagai anak kandungnya.

Ada rasa hangat yang aneh di dadanya. Rasa hangat yang sama ketika ia sedang dipeluk oleh ibunya sewaktu ia masih kecil dulu. Namun, rasa hangat itu berpadu dengan rindu yang dalam. Naruto tidak pernah merasakan perasaan seperti ini sebelumnya. Tanpa terasa, sebulir air mata muncul di sudut matanya, mengalir turun hingga membasahi kemeja yang sedang dipakai Minato.

Naruto hanya terdiam dan menyembunyikan wajahnya di balik bahu kekar sang ayah.

.


.

"Untuk sekarang, pakailah kamar tidur tamu dulu untuk sementara. Aku akan memanggil tukang renovasi dan membuat kamar barumu nanti." Minato membuka pintu kamar bercat abu-abu yang ada di lantai bawah. "Istirahatlah sebentar. Aku akan menyiapkan makanan untuk sarapan pagi dulu."

Naruto mengangguk mendengar perkataan Minato. Setelah punggung pria yang merupakan ayah kandungnya itu menghilang, Naruto membawa tubuhnya memasuki kamar yang akan ditempatinya sementara ini.

Kamar khusus tamu? Naruto sekali lagi melihat sekeliling ruangan itu. Kamar dengan luas 6x8 meter itu mempunyai tempat tidur besar dengan ditutupi seprai berwarna knuning emas. Di sampingnya, ada sebuah bufet kecil yang di atasnya berdiri lampu tidur dengan vas bunga dan berbagai hiasan lainnya. Mengalihkan pandangan ke samping, Naruto menemukan sebuah kamar mandi kecil, lengkap dengan bathub dan shower. Tak jauh dari kamar mandi pribadi untuk tamu itu, berdiri juga lemari pakaian satu pintu yang terbuat dari kayu berkualitas tinggi. Ada satu jendela kecil yang ditutupi gorden berwarna hijau tua. Di dekat jendela itu juga ada sebuah meja yang diatasnya terdapat komputer dan juga sebuah televisi kecil.

Dibilang kamar khusus tamu, namun Naruto lebih merasa bahwa kamar ini lebih seperti kamar hotel. Dasar orang kaya!

Naruto menggeleng pelan. Sejelek apapun ia menghina orang kaya ini, namun kenyataan bahwa korban tak berdosa yang sialnya merupakan orang kelewat kaya ini adalah ayah kandungnya sendiri. Naruto akhirnya memutuskan untuk mengganti pakaiannya dengan kaos berlengan pendek berwana biru tua, sementara bawahannya berupa celana pendek polos yang senada dengan kaosnya itu.

Tidak berapa lama, ia mendengar pintu kamarnya diketuk dari arah luar.

"Naruto-kun, makanan sudah siap."

Naruto mengangguk. "Baiklah, aku akan ke sana sebentar lagi," serunya kemudian.

Suara langkah kaki yang menjauh terdengar. Naruto berjalan ke arah satu-satunya jendela yang ada di ruangan ini. Ia membuka gorden yang menutupi jendela itu hingga menimbulkan cahaya matahari langsung menerobos masuk. Tak lupa, ia juga membuka kaca jendela itu dan membiarkan wajahnya terkena hembusan angin lembut. Naruto menghirup udara pagi yang sangat menyegarkan, menutup mata dan membiarkan dirinya terbuai oleh suasana pagi.

"Ibu, akhirnya aku sampai ke tempat Ayah," gumamnya pelan.

.


.

Minato sedang sibuk meletakkan makanan di atas meja makan saat Naruto datang mendekat ke arahnya. Pria itu tersenyum saat melihat Naruto sudah berganti pakaian, dan menyuruhnya untuk duduk dulu sementara ia masih harus mengambil beberapa makanan yang masih tertinggal di dapur.

"Bukankah segini saja sudah cukup?" Naruto tidak mampu untuk tidak menyembunyikan rasa keterkejutan sekaligus heran saat melihat meja makan panjang itu hampir seluruhnya ditutupi oleh makanan yang terlihat mewah dan berkelas. Berbagai jenis makanan tersedia di atas sana, dari mulai makanan khas negara China sampai makanan negara Prancis. Ia menghitung piring yang terletak di atas sana, yang diatur dengan sangat rapi. Satu... empat... sepuluh... dua belas... Naruto mendongak menatap Minato —yang masih saja tersenyum kepadanya. "Memangnya ada berapa orang yang akan makan di sini untuk sarapan pagi?" dia bertanya.

Minato melebarkan garis senyumnya. "Coba tebak. Kau dan aku, tentu saja."

Kini ekspresi Naruto berganti dengan wajah cengok. Ia menatap Minato dengan pandangan tidak percaya. "Dua belas piring yang hanya dimakan oleh dua orang?" serunya dengan nada tinggi.

"Sebenarnya, jumlahnya enam belas piring. Empat piring masih ada di dapur," Minato menjawab kalem.

Naruto semakin cengok. "Kau gila! Mana mungkin aku— maksudku, kita bisa menghabiskan makanan sebanyak ini?!" Ia melihat sekali lagi ke arah meja makan, bertanya-tanya apakah masih ada ruangan untuk empat piring yang tersisa. Namun, ia lebih memikirkan ruangan yang kosong yang berada di dalam perutnya ini.

"Itu harus, Naruto-kun. Wajib, malah. Sebagai seorang ayah yang tidak bertemu anaknya belasan tahun dan akhirnya bisa bertemu kembali, kita harus merayakan ini dengan makanan yang mewah!" ujar Minato tidak mau kalah dengan teori bodohnya yang entah datang dari mana. "Lagian juga, sayang-sayang jika makanan yang sudah kumasak ini dengan susah payah tidak kau makan. Ayah akan sedih, begitu juga dengan Ibumu."

"Makanya itu, kenapa kau harus— tunggu! Tadi kau bilang kau yang memasak semua ini?" Naruto bertanya dengan suara kaget yang kentara. Ia memandang Minato—yang sedang mengganggukkan kepalanya sebagai jawaban— dengan tidak percaya. Ia tidak pernah tahu bahwa ayahnya ini sangat pandai dalam memasak.

"Wow," Naruto berdecak kagum. Namun setelahnya, ia langsung menggeleng cepat. "Bukan itu maksudku! Siapa yang akan menghabiskan ini semua jika makanan ini bersisa?"

Minato memberikan cengirannya. "Oh, mengenai itu.. sudah kuatur, kok."

Naruto hanya memasang wajah heran melihat ayahnya itu.

.


.

Dan ternyata, yang dimaksud dengan rencana-Minato-yang-brilian itu tidak lain dan tidak bukan adalah memanggil seorang pria —yang kalau tidak salah ia dengar, bernama Hatake Kakashi. Entah perkataan apa yang disampaikan Minato kepada pria itu lewat telepon rumah, tapi setelah lima belas menit semenjak dia menutup telepon, bel pintu rumah itu langsung terdengar.

Minato tersenyum puas. "Tempat penampungaan makanan berjalan sudah data~ng!" serunya riang, sambil berdiri dari kursinya dan berjalan ke arah pintu.

Naruto hanya terdiam di kursi dengan makanan Italia bernama spaghetti berada di atas piringnya. Sambil bertanya-tanya apa yang sedang terjadi di sini, ia melanjutkan melahap makanannya yang tinggal separuh lagi tersisa.

"—sudah kubilang aku sibuk, Minato-san."

Naruto mendengar suara pria lain mendekat ke arahnya.

"Tapi kau kan bisa makan enak dengan gratis sebagai bonusnya." Suara Minato terdengar. "Lagipula, jika kau tidak datang, aku tidak akan mau hadir di acara jumpa fans yang membosankan itu."

"Bersikaplah serius sekali-kali, Minato-san. Jika kau terus begini, kau akan membuatku dalam masa—" Perkataan pria itu berhenti saat melihat mahluk selain ia dan pria gila-yang-terus-nyengir yang berada di sampingnya ini sedang menatap dirinya. Ia berpaling menatap Minato, yang sama sekali tidak kaget seperti dirinya. "Minato-san, siapa dia?"

"Ara~ Ara~a. Lebih baik kau duduk dan nikmati makananmu dulu, Kakashi, nanti makanannya keburu mendingin," Minato menyengir lebar, "biar aku jelaskan setelah kita makan, oke?"

Pria berambut silver putih dengan sebelah penutup mata bernama Kakashi itu hanya bisa menghela napas pasrah. Ia pun hanya bisa menuruti pria di sampingnya itu, dan duduk di salah satu kursi yang kosong di sana. Setelah beberapa menit berlalu dalam keheningan yang hanya diisi dengan suara peralatan makanan yang saling beradu, akhirnya makanan yang ada di meja panjang itu habis juga.

Tentu saja yang menghabiskan lebih dari setengah makanan yang ada di sana itu adalah Kakashi. Sekarang, keadaan pria itu terlihat sangat mengenaskan.

"Aku tidak akan mau melakukan ini lagi, walaupun dengan ancaman apapun, Minato-san," desis Kakashi, yang masih tidak bisa bergerak dari kursinya.

Minato terkekeh. "It's fine, Kakashi. Dan terima kasih telah membantu menghabiskan semua makanan ini." Ia menyeringai. "Enak, bukan?"

Kakakshi hanya mendengus tertahan. Namun, tak dapat disangkal lagi bila makanan yang dibuat oleh pria ini memang sangat lezat. Siapa juga yang tak mengenal Namikaze Minato dikalangan para chef?

"jadi, ceritakan siapa anak ini," ujar Kakashi, menagih janjinya kepada Minato. Ia mengambil segelas air putih dan meminumnya pelan-pelan.

"Baiklah," Minato menyandarkan punggungnya di kursi, "anak ini adalah anak kandungku."

Sungguh mujarab! Bahkan tadi rasanya hampir pingsan akibat tersedak. Kakashi langsung melap air yang tumpah di sekitar mulutnya.

"Apa?" Kakashi melotot tidak percaya.

Minato mengangguk, seolah memperkuat perkataannya tadi. "Benar. Anak ini adalah anak kandungku yang yang baru saja bisa bertemu kembali setelah bertahun-tahun lamanya. Uzumaki Naruto."

.


You're My precious one— To be Continued...


.

Ternyata teori kalau menulis di tengah malam itu benar-benar ampuh, khususnya bagi saya. Entah kenapa saat menulis cerita ini, idenya mengalir dengan lancar dan tak ada kesulitan berarti. Namun, resikonya, saya harus tidur sekitar jam empat dikarenakan tangan dan kaki saya yang pegal #orz ="=

Sebenarnya, saya sudah lama ingin membuat cerita yang berfokus family theme dengan kisah-kisah Naruto bersama dengan ayahnya dan juga teman-temannya. Entah kenapa di sini saya sangat menyukai karaktre Minato yang carefree dan bisa mengerjai seorang Kakashi *ketawa sadis* xD #poorKakakshi

Dan untuk kemunculan perdana Sasuke, mungkin akan hadir antara chapter kedua atau ketiga. Well, saya tidak ingin membuat cerita yang terburu-buru, khususnya untuk genre ini. Genre slice of life and shool life itu harus dibuat perlahan namun pasti! #apalah :p

Dan yang terakhir, adakah readers yang berbaik hati yang bersedia meninggalkan jejak di kotak review? :D