Mirrors

Disc : Masashi Kishimoto's

Warning : OOC/ Slight AU/ Good Kyu! Typo(s)bertebaran, kegajean dan kesalahan ada ditangan Fen. Dimaklumi yak ^^v

"Speaking" 'Thought' "Kyuubi"


Ia sudah terbiasa berjalan sendirian ditengah keramaian. Terabaikan. Bagaikan angin lalu. Beberapa mungkin melihat atau sebatas merasakan keberadaanmu, tapi tak sedikit pun mau menyapa, mengakui bahwa kau benar-benar ada diantara mereka. Sekalipun ada, tatapan mereka tak lebih dari pandangan takut, benci atau bahkan…jijik. Seolah ia hanya sampah, debu kotor yang ada dibawah telapak kaki yang harus dienyahkan.

Diantara orang dewasa sekalipun, ia mungkin sudah jauh lebih mengerti apa arti kesepian. Bagaimana rasanya mendapat tatapan benci, dimusuhi, dicaci bahkan dipukuli atas permasalahan yang ia sendiri tak tau.

Kalau hanya sekedar tatapan tak ramah itu, sudah lama sekali ia terbiasa menerimanya. Bisik-bisik tajam dari yang tersembunyi hingga frontal telah masuk ketelinganya sejauh ia bisa mendengar dan mengingat dalam memori kecilnya. Dan sekarang, rasa sakit seolah ikut campur dalam hidupnya.

Rambutnya boleh seterang sinar mentari dihari nan cerah, matanya pun boleh sewarna batu mulia berharga. Tapi, bukan berarti ia bisa hidup layaknya putra mahkota disangkar emas. Dimana semua kebutuhanmu, keinginanmu bahkan yang paling sepele terwujud dalam sekali titah. Hidup tidak segamblang warna hitam dan putih yang jelas bedanya. Baginya, hidup ada beragam warna, dengan warna kelabu yang hampir senantiasa menjadi pengisi rutin kanvas harinya.

Namanya, Uzumaki Naruto, usianya baru mencapai enam tahun, tapi hidup sudah mengajarkan arti penting untuk bertahan demi diri sendiri padanya dengan cara yang tidak mudah.

-0-

"Naruto, kau sudah bangun? Aku bawakan sarapan buatmu. Naruto, Naru – "kalimat pemuda berambut coklat itu terhenti ketika masuk ke ruangan yang lebih mirip kapal pecah dihadapannya. Seketika ia menghela nafas melihat kerusuhan yang selalu menyambutnya setiap kemari.

Umino Iruka, mungkin hanya satu dari segelintir orang yang mau mengenal bahkan menerima dengan tulus hati keberadaan Naruto didekatnya. Sejak pertama melihatnya, Iruka tahu, meski nasib tak bersahabat dengan anak itu, hal-hal besar bisa diharapkan muncul darinya. Karena itu, ia berusaha sebisa mungkin menjadi pendamping anak itu dalam segala hal. Walau kadang sikap isengnya agak kelewatan.

'Kapan kau mau belajar mandiri eh, Naruto' batinnya frustasi. Segera saja ia merapikan benda-benda yang berserakan dilantai apartemen kecil itu. Untunglah, barang kepunyaan Naruto tidak banyak, jadi tidak makan waktu untuk merapikannya. Setelah semua rapi, Iruka langsung mengeluarkan makanan yang sudah dibawanya, merapikannya dimeja sebelum membangunkan si tuan rumah yang masih terlelap.

Benar saja tebakannya, si biang onar yang dicarinya masih tertidur dengan posisi serampangan dimatras kecilnya. Selimutnya membelit tubuh kecilnya seperti tali, bantalnya juga sudah lepas dari posisi semestinya, menyisakan guling yang masih dipeluknya. Sepertinya, anak ini memang tak mengenal yang namanya keteraturan pikir Iruka.

Tangannya baru saja terulur untuk membangunkan Naruto ketika suatu hal menghentikannya. Mungkin kecil, tapi keliatan begitu kentara diantara redupnya kamar apartemen ini. Sebuah luka lebam yang agak samar terlihat di pipi kiri wajah berkumis kucing itu. Meski samar, matanya sudah terlatih melihat luka setipis apapun selama menjadi ninja. Ditambah, kenapa bibir bagian bawah Naruto terlihat seperti sobek?

Iruka menurunkan tangannya yang masih melayang diudara, memutuskan untuk sejenak, tapi mengamati anak dihadapannya dengan lebih cermat. Bukan hanya sekilas pandang kemudian berlalu. Irisnya memperhatikan detail kecil yang selama ini lepas dari mata telanjang banyak orang.

Tubuhnya termasuk kecil dan kurus untuk anak seumurannya. Kulit tan-nya juga begitu kontras dengan rambut pirang mencolok yang kelihatan lebih gelap dibagian puncak kepala. Serta, enam buah guratan dikedua pipinya ternyata cukup dalam jika dilihat dari dekat. Dan adanya guratan yang mengiasi dahi kecilnya, suatu hal yang tidak wajar bagi anak umur enam tahun umumnya. Bibirnya menggumam kata-kata yang tak koheren, seperti diluar alam sadarnya. Kedua tangannya pun menggenggam erat guling birunya, seolah benda itu adalah pelindungnya. Mimpi buruk.

Untuk kali ini, Iruka seolah sadar, betapa bodoh dan betapa mengerikan perlakuan masyarakat Konoha pada calon ninja muda ini.

Rasanya, untuk membuat seseorang memiliki mimpi buruk apalagi sampai mengigau bukanlah hal yang mengagumkan. Apalagi, usia Naruto yang masih kelewat muda membuatnya merasa…marah.

Marah pada siapa pun yang sudah menyebabkan Naruto berada pada tahap ini. Bagaimana pun juga, Naruto belum pernah melakukan sesuatu yang masuk kategori membahayakan umum. Tapi, kenapa mereka memperlakukan Naruto sampai seperti ini?

Sadar dirinya justru tenggelam dalam mode "self-pity", segera saja Iruka menggelengkan kepalanya. Berusaha menyingkirkan sisa-sisa jaring kelabu yang masih menghiasi pikirannya. Tujuan awal dia kesini kan ingin membangunkan Naruto, kenapa malah jadi begini?

"Naruto, hei ayo bangun! Aku bawakan ramen instan spesial dari Ichiraku. Kalau kau tidak bangun dalam sepuluh menit, aku bawa pulang lagi ramennya," kata Iruka santai sambil mengguncang bahu Naruto.

Entah apa yang ada dipikirannya, sepertinya mendengar kata makanan terutama "ramen" bisa cepat membuatnya fokus pada benda itu. Dan begitulah yang terjadi. Tak sampai sepuluh detik Iruka menyelesaikan kalimatnya, kedua biji mata cerulean itu terbuka lebar dan langsung berlari ke ruang makan. Melahap habis ramen dihadapannya. Sukses membuat Iruka geleng-geleng kepala ditempatnya.

"Yo! Terimakasih Iruka-sensei. Ramennya enak sekali!" puji Naruto setelah menghabiskan ramen dihadapannya. Iris sewarna batu mulia itu berbinar bahagia, berbanding terbalik saat ia tertidur tadi.

Iruka ikut mengambil porsi ramennya sendiri dan bersiap untuk makan,"Ya tidak usah dipikirkan. Aku tau kau pasti tak mau kehabisan porsi spesial ini. Bersyukurlah kebetulan aku lewat Ichiraku hari ini."

Melihat senseinya masih makan, Naruto pun bangkit dan bersiap untuk mandi. Meninggalkan Iruka tenggelam dalam pikirannya sendiri, lagi.

Tenggelam dalam sebuah misteri penuh kehidupan bernama : Uzumaki Naruto.

-0-

Hari ini sama seperti hari lainnya bagi Naruto. Tak ada yang spesial. Bangun di apartemen kecilnya –yang entah bagaimana sudah rapi saat ia bangun-, mandi, lalu sarapan ramen instan seperti biasanya. Kemudian keluar untuk menikmati udara pagi Konoha yang menyegarkan.

Suatu rutinitas yang sudah dijalani Naruto sejak ia sadar ia hanya bisa bergantung pada dirinya sendiri.

Meski ia tampak tersenyum, jauh di lubuk hatinya ia sadar akan tatapan dan bisik-bisik tak menyenangkan yang diutarakan para penduduk setiap kali melihatnya. Semua terasa tak adil. Kadang, ingin rasanya ia berontak, berharap bahkan memohon agar mereka mengerti, bukan ini yang diinginkannya. Ia hanya ingin diterima seperti yang lain. Tapi, hidup itu memang tak adil kan?

Dibalik tingkah konyolnya, tersembunyi seorang anak kecil yang ketakutan dan kesepian. Berharap, suatu saat ia bisa merasakan yang namanya bahagia.

Kaki kecilnya terayun pelan, menggerakan ayunan tua yang tergantung di depan gedung akademi ninja. Kedua mata sewarna langitnya mengamati dengan getir pada sekumpulan anak-anak yang bermain dengan riang. Mendengar mereka tertawa, saling kejar satu sama lain dan bercanda sepuasnya ibarat pedang bermata dua bagi Naruto.

Disatu sisi, ia senang, anak-anak diusia semuda mereka setidaknya tak perlu ketakutan karena perang yang dulu pernah terjadi. Mereka berhak menikmati waktu berharga mereka sebagai anak-anak sebelum kedewasaan menjemput.

Tapi, disisi lain, perasaan tak menyenangkan ikut mencengkram batinnya karena ia tau, tak peduli seberapa besar keinginannya bermain dengan mereka, ia tak kan pernah bisa diterima.

'Menjauh darinya. Dia itu monster yang berbahaya!' Kalimat tajam it uterus saja terngiang di otaknya. Sekeras apapun ia berusaha mengabaikan, rasa sakit itu terus bergelanyut di benak Naruto.

Ia memejamkan matanya, menyembunyikan kedua manik safir miliknya dari tajamnya tatapan dunia. Seketika sebuah ruangan gelap dengan banyak pipa meliuk-liuk muncul dihadapannya. Ruangan itu gelap dan lembab, tapi tak sedikit pun rasa takut terbersit dalam diri Naruto. Ia pun melangkahkan kakinya menyusuri lorong gelap itu.

"Hei, kit. Jangan bersedih begitu. Aku benci melihatmu begitu." sebuah suara berat dan menyeramkan terdengar dari balik jeruji besar dihadapannya. Sepasang mata amber besar langsung menyambutnya dari balik teralisnya yang hitam. Diikuti wujud seekor rubah luar biasa besar dengan sembilan ekornya yang bergerak-gerak liar.

Kyuubi no Kitsune.

Si bocah bukannya lari ketakutan justru mendudukan dirinya tepat didepan jeruji itu, mungkin cukup bagi si rubah menjangkaunya dengan sekali terkam.

'Aku bosan, Aniki.' kata Naruto pelan. Siapa pun, yang melihat interaksi keduanya mungkin bisa terkena serangan jantung ditempat. Seorang anak kecil bicara dengan seekor rubah raksasa, yang notabenenya seorang monster dan memanggilnya Aniki. Oh, kami-sama….

"Berapa kali ku bilang jangan panggil aku begitu, bocah…" balasnya geram. Taring mengerikan itu dipaparkannya dengan garang.

'Terserah kau, yang penting aku bosan. Aku juga mau main seperti yang lain. Tapi, mereka mana mau bermain dengan monster sepertiku,' keluh Naruto sedih. Seketika, ekspresi kesal diwajah Kyuubi hilang, digantikan kekhawatiran.

Salah satu ekornya terulur keluar teralis untuk mengusap kepala si blonde yang disembunyikan diantara kedua lututnya. Rasa kesal karena terkurung ditubuh manusia itu memang ada, tapi Kyuubi juga tak bisa membantah adanya rasa sedih setiap melihat Naruto menderita akibat ulah para penduduk Konoha.

"Kau mau bersenang-senang, kit?"

Seketika kepala itu mendongak dengan mata menyipit,'Aku ragu ide bersenang-senang versimu sama denganku, Aniki.'

"Heii, aku hanya mau menghiburmu. Kenapa kau malah mengejekku. Kau bocah menyebalkan." gerutu Kyuubi kesal. Mendengar makhluk besar dihadapannya itu ngambek justru membuat tawa kecil keluar dari bibir mungil Naruto. Suatu hal yang langsung melenyapkan kekesalan Kyuubi, lagi.

"Tapi aku serius kit. Aku tau suatu tempat yang bagus dan aku jamin kau pasti suka tempat itu. Dan, satu lagi, tempat itu juga jarang dikunjungi para penduduk karena letaknya agak didalam hutan. Apa kau tau Valley of the End? Disana tempatnya. Bagaimana, kau mau tau tidak?" kata Kyuubi berusaha membujuk jinchurikinya.

Naruto tak bisa menyembunyikan rasa penasarannya saat itu. Sebuah tempat, dimana dia bisa sendiri, dan tak ada orang-orang yang akan mencacinya terdengar seperti surga baginya yang jarang mengenal kata ketenangan. Tapi, tempat yang dimaksud Kyuubi itu kan diperbatasan desa. Apa ia berani masuk ke hutan sejauh itu?

Si blonde kecil itu segera bangkit dari duduknya, menatap kedua mata amber itu dengan kepolosan dan rasa penasaran khas anak kecil terpancar dari kedua biji mata ceruleannya. Siapa pun dengan otak yang masih waras pasti luluh melihatnya. Dan hal itu juga berlaku bagi monster berekor Sembilan dihadapannya. Sebuah senyum mengerikan langsung terpampang diwajahnya dan langsung ia berdiri penuh dengan keempat kakinya.

"Kalau begitu ayo pergi. Jangan diam saja begitu."

-0-

Kalau ada yang bilang Naruto lelah saat ini jelas suatu kesalahan. Kakinya seperti mau copot karena berjalan sejauh ini. Ia tau tempat itu memang tidak dekat, apalagi harus melewati hutan belantara Konoha yang terkenal dengan kerimbunannya. Tapi, tetap saja ia berharap tak separah ini.

Kakinya sudah protes dan meminta diistirahatkan sejak tadi. Tubuhnya juga sudah terasa lelah bukan kepalang. Kalau bukan karena Kyuubi yang terus mengajaknya bicara ia pasti sudah memilih pulang ke desa daripada bersusah payah masuk hutan seperti ini.

'Aniki, apa tempatnya masih jauh? Aku lelah,' keluhan keluar dari bibir mungil Naruto. Tangannya menyeka bulir-bulir keringat yang mengalir di dahinya dengan deras.

"Sabarlah sedikit, kit. Tinggal beberapa meter lagi. Nah, kau lihat semak besar disana?" Dalam pikirannya, Naruto dapat melihat Kyuubi menunjuk rumpunan semak berukuran cukup besar tak jauh dari tempatnya berdiri. Segera saja ia anggukan kepalanya tanda mengerti.

"Jalanlah terus kesana, tapi jangan menembus semaknya. Kau cari sebuah lubang yang ada disisi kiri semak itu dan masuklah ke celah itu. Kalau kau dengar suara air, ikuti saja suara sampai suara itu terdengar paling jelas. Nanti kau juga tau sendiri tempatnya. Kau bisa cari sendiri kan? Aku lelah dan mau tidur, jadi jangan ganggu aku kit." Tanpa menunggu jawaban dari Naruto, koneksi mereka langsung diputus secara sepihak. Membuat Naruto mendengus kesal karena ulah bijuunya.

Karena tujuannnya sudah didepan mata, ia langkahkan lagi kakinya tanpa peduli protes yang sudah dilancarkan anggota geraknya itu. Mengikuti petunjuk Kyuubi, ia pun mencari celah yang dimaksud si rubah. Benar saja, sebuah celah atau tepatnya lubang menganga berukuran sedang menganga didepan matanya. Lagi-lagi, terdorong rasa penasaran, ia pun berusaha masuk kedalam lubang itu tanpa peduli bahaya macam apa yang menantinya.

Untunglah, tubuhnya yang agak kekurangan gizi itu malah memudahkannya melewati tepi celah yang agak kasar. Seketika indra pendengarannya disambut suara deru air yang begitu deras dikejauhan. Langsung saja ia membawa tubuhnya mengikuti sumber suara itu.

Tak ada satupun yang memberitahukan bocah blonde itu akan apa yang menyambutnya tepat ketika ia tiba di sumber suara. Sungguh, Kyuubi pun tak memberi petunjuk sedikit pun tentang bagaimana tempat yang dimaksudnya. Dan disinilah ia sekarang.

Sebuah kolam berbentuk lingkaran tidak sempurna itu sukses membuatnya terpaku ditempat. Airnya berwarna biru cemerlang, dan ia pun bisa melihat warna itu sewarna dengan matanya –hanya agak lebih gelap dibagian tengahnya. Beberapa celah kecil mengalirkan air jernih tanpa henti ke kolam itu, menimbulkan suara gemericik kecil ketika aliran air itu bertemu. Ditambah, adanya tirai putih kebiruan yang ternyata air terjun besar pembatas desa dengan alirannya yang luar biasa deras makin membuat tempat itu seperti surga.

Sekumpulan kunang-kunang –atau begitu yang ia kira- mengelilingi kolam kecil itu. Menimbulkan pancaran lembut diantara dua sumber air yang amat sangat berbeda pergerakannya. Makhluk cahaya itu beralih kearah Naruto, membuatnya terkesiap dan agak takut. Tapi, makhluk kecil itu justru tampak mengundangnya mendekat ke kolam aneh dihadapannya.

Setelah dilihat dari dekat, barulah ia tau bahwa air kolam itu bukan hanya berwarna biru seperti perkiraannya. Ada warna hijau rumput di sekitar pusaran dari sembilan celah kecil disana. warna violet membentuk sebuah lingkaran di pinggiran kolam, tampak kontras dengan lingkaran kedua yang berwarna kuning lembut. Dan tepat ditengah kolam, sebuah lingkaran merah darah samar-samar terlihat mengelilingi pusaran air dengan warna paling aneh yang pernah dilihat Naruto.

Biru gelap sewarna langit malam bersandingan dengan warna oren kemerahan yang mengingatkannya akan bulu Kyuubi merupakan perpaduan warna paling bertolakan, namun disaat bersamaan memberi efek tenang yang terasa asing dibenak Naruto.

Samar-samar, suara berat yang amat dikenalnya terdengar didalam pikirannya. Hanya saja, tak ada lagi aura menyeramkan yang biasa terdengar darinya. Kini, suara itu terdengar hangat dan penuh kasih. Mengucapkan sebuah nama yang akan terus terkenang di pikiran Naruto muda sampai kapanpun.

"Reinbopuru. Selamat datang di Reinbopuru, kit."


Halooooo Minna-San! ^^ ini fict perdana ku di Fandom Naru-Gaa! jadi, harap dimaklumi ya kalo masih banyak kesalahan disana-sini.

buat yang udah baca, ditunggu Reviewnya. Xie-xie

Fen ^^