My life
Disclaimer: Riichiro Inagaki & Yusuke Murata
Warn: Don't like, don't read, OOC? Etc.
A/N: Tolong berikan saya review readers, saya sangat menghargai kritik dan saran.
Aku berlari keluar dari stadion, masih bisa kurasakan basah kuyup keringat ini seselesainya berlatih american football, ini di luar prediksiku. Terus berlari, sampai kutemukan mobilku. Cepat-cepat kunyalakan dan keluar dari lapangan parkir, menyetirinya—seharusnya aku bisa lebih tenang di saat-saat seperti ini. Perlahan kutarik nafas dan kemudian membuangnya..
Untunglah Kyoto bukan kota yang bermasalah dengan lalu lintasnya, jadi aku bisa mendatangi tujuanku dengan lebih cepat. Semoga saja aku tidak terlambat datang ke sana..
Dan ketika akhirnya aku sampai pada tujuanku, aku segera memarkirkan mobilku dan berlari keluar mendatangi tempat berwarna serba putih itu. Aku bertanya dengan nada yang cukup tinggi dan khawatir, tanpa disadari... Ketika pegawai itu menjawab aku segera berlari ke tempat yang disebutkan.
Aku tidak peduli jika banyak orang melihatku berlari sekencang-kencangnya di sana, yang terpenting untukku saat itu adalah melihatnya, aku ingin melihatnya—setidaknya kehadiranku sangat diperuntunkan untuknya walau pun hanya bisa melihat dari jauh.
Aku sampai pada ruangan dengan wallpaper yang lebih muda warnanya.. terdapat ruang tunggu di pintu yang ingin kudatangi—tiba-tiba seorang wanita berpakaian serba putih dengan rambut menggulung keluar, ia menyadari keberadaanku.
"Ah, anda Yamato Takeru-san! Saya—"
"Bagaimana keadaan istri saya?" Aku bertanya kepadanya tanpa sadar dengan nafas yang masih menderu, bisa kurasakan jika dadaku naik turun karena sudah lari tadi.
"..Istri anda sedang berjuang untuk saat ini—" Namun ketika aku mulai memegang knop pintu, aku melihat salah seorang dengan kacamata khasnya berdiri di koridor yang sama mencegahku untuk masuk dengan suaranya.
"Jangan! Anda tidak boleh mengganggu proses persalinan!" Aku melebarkan mataku—sepertinya aku mengenalnya.
"Anda.. Takami Ichiro," ia mulai berjalan menghampiriku.
"Tolong bersabarlah demi istri anda, salah satu pegawai di sini pasti akan memberitahunya jika anda sudah berada di sini dan menunggu," ucapnya dengan tenang, aku menutup mataku perlahan dan membayangkan keadaan Karin. Bisa kudengar teriakannya dari dalam ruang persalinan selintas.. aku mendengus dan kemudian meminta maaf atas kebodohanku.
"Maafkan saya.." kemudian dokter Takami menepuk pundakku.
"Kupikir ada baiknya, jika Yamato Takeru dengan sisi yang ini tidak diperlihatkan," aku tertegun mendengarnya berkata, seperti.. mendengus, aku tersenyum berat mendengarnya, kemudian ia mulai pamit kepadaku mengatakan jika ia masih mempunyai kegiatan lain.
Aku duduk diam di depan ruang persalinan menunggu selama apa pun Karin berjuang di dalam sana, demi.. darah daging kami. Berkali-kali kudengar suara rintihan kesakitan dan teriakan perjuangannya agar bisa melahirkannya ke dunia.. keringat dingin sedikit mengucur di dahiku ketika empat jam berlalu.
"Ah, Yamato Takeru!" Tiba-tiba ada seorang anak kecil yang menghampiriku, ya.. anak kecil dengan gipsnya.
"Kau benar-benar Yamato Takeru, 'kan?!" Teriaknya menunjuk ke arahku, aku tersenyum ramah kepadanya.. mengiyakannya dan bertanya kenapa ia berteriak. Sejujurnya aku sudah sering ditunjuk dan mendapat banyak tanggapan dari masyarakat tentang permainanku.
"Bo-boleh kuminta tanda tanganmu?" Aku mulai mengambil pulpen yang tanpa sengaja kusimpan di dalam kantong jasku, namun tidak bisa kutemukan apa yang ingin kutandatangani.
"Ah, tolong tandatangani ini saja!" Ia mulai memperlihatkan gipsnya padaku dan kemudian aku mulai melakukan apa yang dimintanya, sambil menandatangani gipsnya, aku bertanya.
"Ada apa dengan tanganmu?" Ia tertawa mendengarku.
"Ehe.. sebenarnya aku menyelamatkan ibuku waktu hampir tertabrak truk yang dikendarai oleh orang mabuk, aku tidak sempat menyelamatkan diri ketika tiba-tiba saja ada orang yang menaiki motor menabrakku, tapi hanya tulangku yang retak, kok! Seperti Yamato-san, aku juga juga tidak bisa dijatuhkan!" Aku tersenyum mendengar ceritanya dan juga.. takjub, hebat sekali anak ini bisa menyelamatkan ibunya yang hampir diujung maut.
"Bagaimana dengan ibumu sekarang?"
"Ibuku.. keguguran, katanya.. aku tidak akan punya adik, tapi ibu sekarang sedang menungguku, kok!" Aku memandangnya sebentar dan kemudian mulai menepuk kepalanya pelan.
"Apa kau senang karena ibumu tetap ada?" Anak itu kemudian mengangguk, bisa kulihat matanya mulai berkaca-kaca.
"Aku yakin ibumu akan senang juga karena bisa melihatmu baik-baik saja," walau pun harus mengorbankan calon kehidupan—
"Tentu saja itu karena ia masih memilikimu," aku mulai mengacak rambutnya dan tersenyum melihatnya sudah bercucuran air mata. Ia langsung menghapusnya dengan lengan kecilnya, bisa kulihat hidungnya begitu merah.
"Ah, aku tidak boleh menangis di depan Yamato-san.." ia mulai tersenyum memperlihatkan deretan giginya.
"Karena seharusnya aku tidak bisa dijatuhkan! Walau pun dengan kata-katamu.." Aku terkekeh mendengarnya mengatakan sesuatu yang selalu kukatakan. Kepercayaan diriku yang seringkali kuperlihatkan dengan cara menunjuk ke arah orang yang sedang kuajak bicara.
"Ah, siapa namamu?" Ia terlihat malu-malu ketika aku bertanya tentang namanya.
"A-aku.. Yuuki," aku menepuk pundaknya beberapa kali dan kemudian tersenyum.
"Akan kuingat itu, Yuuki, keberanianmu. Sekarang temuilah ibumu," aku jadi ingat kanji Yuuki yang mengartikan keberanian. Mungkin nama itu sudah terwujud di dalam dirinya.. ia terlihat begitu berani dalam menghadapi sesuatu.
Ia mengangguk dan memberikan senyuman mantapnya ke arahku, aku membalasnya dan kemudian ia berbalik meninggalkanku. Anak lelaki yang pemberani, ya.. sebenarnya, Karin memintaku untuk menyatakan pernyataan absolutku dan kemudian aku menjawabnya sambil mendengar tendangan dari perutnya.
"Anak perempuan.. yang manis," dan setelahnya anak kami menendang lebih keras ketika aku mengucapkan 'ini pernyataan absolutku'.
Aku terkekeh mengingat masa-masa itu, anak perempuan..
.
.
.
.
"Tadaima," aku membuka pintu apartemen kami, mendapati seorang wanita dengan surai pirangnya menghampiriku ia tersenyum lembut sambil mengelap tangannya di celemeknya.
"Okaeri nasai," aku melepas sepatuku dan berjalan menghampirinya, kucium dahi dan bibir itu, lembut. Ia tersenyum manis menatapku.. aku mulai meraba perutnya yang sudah sedikit lebih besar dari bulan yang lalu.
Then—
"Takeru," ia memanggilku ketika kami sedang menonton tv bersama.
"..tidak jadi.." aku jadi penasaran jika ia berkata seperti itu. Ada suatu kekhawatiran yang tersirat di air mukanya. Bisa kulihat itu ketika alisnya sedikit lebih dekat dengan matanya.
"Ada apa? Katakan saja, kau tidak ingin membuatku menerormu, bukan?" Karin terkekeh dengan manisnya.
"Ah, itu.. ja-jangan dianggap serius, ya. Sebenarnya.. kalau harus memilih, apa kau akan memilih bayi kita atau aku?" Aku tahu apa maksudnya dan aku sedikit tidak suka dengan kosakata 'memilih' yang disebutkan olehnya. Mungkin jika aku memilih keduanya dia tidak akan senang.
"Aku akan memilihmu, Karin," ucapku menatapnya serius.. tanpa sadar.
"..Kenapa?"
"Walau harus melepas bayi kita, setidaknya kita bisa saling mengobati. Kita saling memiliki," Karin menatapku dengan bibir membuka. Ia melebarkan matanya dan kemudian mengalihkan pandangannya pada tv. Aku pikir ia tidak menyukai kata-kataku, maksudku.. pilihanku.
"Apa kau ingin aku memilih bayi kita?" Karin hanya diam dan menunduk.
"Aku dan bayi kita tidak akan bisa hidup tanpa sosok seorang ibu," Karin menengok ke arahku kembali.
"Tapi.. kau bisa men—"
"Kau sosok yang tidak tergantikan, Karin," Karin memperlihatkan ekspresi terkejutnya ketika aku mengatakan hal itu. Bagaimana pun juga aku tidak ingin resiko jika harus memilih salah satu kehidupan tadi menjadi sebuah kenyataan. Serealistisnya diriku, aku tetap harus berpikir positif jika wanita dan bayiku pasti akan bersama terus-menerus denganku di dunia ini.
"Biar kukatakan lagi, ini pernyataan absolutku.. apa pun yang terjadi aku tidak akan pernah melepaskanmu," aku tersenyum kepadanya dan kemudian mengelus pipinya.
"Kau bilang tidak usah dianggap serius, bukan?" Bibir itu mulai bergetar dan tiba-tiba saja ia mulai membenamkan parasnya pada dadaku. Aku membelai rambutnya pelan, lembut dan wangi.. kemudian kucium puncak kepalanya.
"Kau adalah kehidupanku.."
Aku tahu mengapa ia bertanya seperti itu, aku tidak terlalu tahu dengan rasa sakit yang dirasakan oleh wanita.. tapi aku harus jujur, wanita memang hebat.. mereka membawa dua kehidupan dalam satu tubuh, asupan makan terbagi, berkorban demi keselamatan darah dagingnya, merasakan sakit yang sepertinya.. tidak terkira. Apa yang bisa kuperbuat sebagai seorang pria?
Kupikir tidak banyak.. Sampai sekarang pun ketika mengingat-ingat hal itu, ketika aku kesal pada ibuku sendiri, aku selalu meminta maaf kepadanya dengan cepat. Wanita yang paling berharga di pelukanku ini, bagaimana pun juga lima bulan dari sekarang ia akan merasakan banyak kesakitan baik dari dalam mau pun luar.. hidup dan matinya pun diputuskan lima bulan lagi..
.
.
.
.
"Ibu harus kembali mendorong, jika tidak bayinya—"
Aku membuka mataku mendengar suara panik dari dalam ruang persalinan. Tidak pernah kurasakan perasaan khawatir separah ini dalam hidupku, keringatku bercucuran, sudah lebih dari tujuh jam Karin berjuang di dalam sana. Kututup mataku dan kuredamkan emosi ini—
Bagaimana jika kau harus memilih?
Siapa yang kau pilih?
Bayimu atau Karin?
Bagaimana jika Karin memang benar-benar tidak bisa diselamatkan?
Apa kau akan tetap bisa menjadi seorang ayah yang baik untuk anakmu?
Apa.. kau akan menjadi keluarga seutu—
"AAAAAAAAaaah!" Tiba-tiba terdengar suara tangisan dari dalam ruang persalinan, tangisan bayi.. aku menutup mataku dan bersandar ke dinding dingin ini. Kulihat jam di tanganku, pukul dua belas malam. Aku kembali melihat ke arah langit-langit rumah sakit.
"Ah, Yamato Takeru-san desu ka?" Aku segera berdiri dan menghampiri salah seorang yang sepertinya bertugas menjadi seorang dokter di dalam.
"Bagaimana keadaan keluarga saya?" Ia tersenyum dan kemudian menjawab—
"Istri anda sudah berjuang melahirkan, sementara dia butuh istirahat," kini.. aku bisa bernafas lega memikirkannya.
"Tapi dia juga mengatakan ingin bertemu dengan anda, mungkin sebentar lagi anda akan diizinkan memasuki ruangannya," kemudian aku berterimakasih kepadanya.
Tidak lama setelahnya salah seorang suster keluar dari ruangan dan mengatakan jika aku sudah boleh masuk. Rasanya.. aku sedikit gugup.
"Karin?" Aku segera menghampirinya dengan cepat dan duduk di sebelahnya, ia terlihat sangat lelah namun juga bahagia, di sebelahnya terdapat sosok yang sudah ditunggu-tunggu oleh kami sedari sembilan bulan yang lalu.
"Perempuan.." Dia sangat mungil, merah.. dan rapuh, rasanya aku tidak bisa menyentuhnya dan mungkin saja.. ia bisa hancur kapan saja.
"Takeru, ayo sentuh dia.." kuatasi rasa gugupku dan kemudian memantapkan diri. Aku mulai menyentuh tangan mungilnya dengan jari telunjukku.. sepertinya ia mulai merasakannya dan kemudian ia memegangnya erat. Tiba-tiba matanya terbuka dan ia mulai menampakkan iris hazel milikku.
Rasanya pipiku memanas melihat pemandangan ini.. aku benar-benar bahagia bisa menjadi seorang ayah, mungkin.. untuk saat ini setidaknya aku telah menjadi seorang pria paling bahagia di dunia.
"Yokatta.." Tanpa sadar nada bicaraku mulai sedikit bergetar.. sambil mengulang kata-kata yang sama.
"Hontou ni yokatta.."
A/N: Ah, saya hiatus berapa lama, ya? Sempet upload juga, sih cuman saya engga percaya diri. Ngomong-ngomong soal cover yang satu ini dibikin sama saya. Seneng bisa bikin cover sendiri, hehe.. Nah, ini saja yang bisa saya sampaikan, saya mohon reviewnya yang membangun, saya sangat menghargai kritik dan saran dibanding pujian "Lanjutkan" saja.. dan itu terkesan tidak membangun. Jadi keluarkan apa saja yang ada dalam pikiran readers, namun readers juga harus tahu etika cara mereview, belajar bahasa Indonesia 'kan?
Segitu saja dari saya, Mata nee.
Maafkan jika ada kekurangaan..
