Phantom Opera

Story by Titania aka 16choco25

Cast :

Sherlock Holmes

John Watson

Chief Lestrade

Disclaimer – Sherlock Holmes © Arthur Conan Doyle

.

.

"Kau tahu bagaimana indahnya sebuah nada kromatis dari biola, Watson?"

Kata-kata yang terlonjak dari bibir sahabatku itu langsung membuatku menoleh kaget. Tadinya ia begitu tenang dengan biolanya tersebut dan aku pun sedang membaca buku kedokteran miliknya. Namun lelaki berambut ikal itu menatap keluar jendela dengan tatapan yang tak bisa kudefinisikan dengan kata-kata. Pandangan itu terlihat kosong dan kesepian. Dengan cepat aku menoleh ke arahnya dan aku langsung melihatnya yang masih sibuk dengan sebuah alat berbentuk tubuh wanita langsing dengan pernis kayu yang menyelimutinya itu. Memetik beberapa senarnya, mencari-cari nada yang menurutnya nyaman untuk didengar, dan kegiatannya itu menurutku sangat membosankan.

"Mengapa kau bertanya seperti itu?" tukasku sambil kembali menyibukkan diriku dengan buku kedokteran yang sedang kubaca, aku tak mau menyibukkan diri dengan hal yang menurutku percuma. Holmes hanya tersenyum dan kembali menyibukkan dirinya dengan nada-nada kromatis yang entah sampai kapan harus—atau terpaksa untuk kudengar. Mungkin hingga pukul tiga pagi seperti biasanya.

Dia tidak menjawab. Alih-alih, ia hanya kembali menjawab pertanyaanku dengan dentingan senar biolanya itu. Aku hanya mendengus. Sombong sekali, biar saja—aku pun tidak memerlukan jawaban dan menurutku sia-sia pula bila ia menjawab pertanyaanku barusan. Ia sangat sensitif dan keras kepala. Dan aku pun sedang membaca dan tidak begitu ingin diganggu. Namun hatiku tergerak untuk kembali bercakap-cakap dengannya, setidaknya untuk sebentar saja.

"Kau tahu, Holmes," desahku sambil membalik lembaran koran yang tergeletak begitu saja di atas meja kerjanya, artikel tentang meninggalnya Profesor Moriarty, musuh bebuyutannya sekaligus orang yang menurutnya—perencana terhebat sepanjang masa, organisator setiap kejahatan, otak pengendali dunia bawah tanah, otak yang bisa membentuk atau mengacaukan nasib negara-negara—sudahlah, aku sendiri malas untuk membahasnya. "Ini sudah menjadi kasus terakhirmu. Kasus tentang Moriarty." Aku meletakkan beberapa potongan koran yang memuat nama besar mendiang profesor matematika pengarang buku 'The Dynamite of An Asteroid' tersebut.

"M-hm." Ia terlalu menyibukkan diri untuk tenggelam dalam pikirannya sendiri dibanding segera bereaksi terhadap kata-kataku barusan. Ia menumpukan diri pada tangannya, meletakkan biolanya di tumpuan tangannya, dan melirik tumpukkan berkas kasus Moriarty di atas meja kerjanya, kasus yang baru saja terselesaikan olehnya tiga tahun yang lalu itu.

"Sebaiknya kau keluar dan mencari kasus baru. Bukankah begitu, Holmes?"

Dia hanya kembali memainkan senar-senar biola Stradivariusnya dan tidak mengindahkan ucapanku barusan. Dia memejamkan mata hitamnya, dan memetik senar-senar biola sialan itu lagi. Dia memainkan beberapa nada pembukaan untuk lagu opera yang baru saja sejam yang lalu ia dengarkan, dan menggesek biolanya dengan sambil tetap memejamkan mata. Kuakui aku orang yang cukup tahan banting bila diacuhkan seperti ini, dan aku cukup bersabar untuk menunggunya menjawab pertanyaanku. Namun hingga aku tak tahan lagi untuk mengungkapkan kekesalanku akan sikap seenaknya sendiri itu.

"Sungguh, Holmes," kataku pedas, "kau terkadang agak keterlaluan."

Ia menatapku, masih memetik senar-senar biolanya, dan memajukan dagunya. Ia terdiam untuk beberapa saat. "Entahlah, Watson. Pikiranku melayang jauh saat ini. Aku tak memfokuskan pikiranku pada nada-nada kromatis yang kumainkan, aku terlalu bingung hingga aku merasa otakku semakin buntu. Aku hanya sedang berpikir," ujarnya gundah. Ia menarik napasnya dalam. Baru kali ini aku melihatnya segundah itu, wajar saja karena setiap ia mempunyai masalah, ia jarang bercerita padaku. Walaupun kami sudah bersahabat selama itu, Holmes selalu menutupi permasalahan yang ia miliki.

Aku hanya diam, tak menjawab.

"Kau tahu, Watson," ucapnya memecah kesunyian yang menyelimuti kami. "Selama bertahun-tahun aku memecahkan kasus, seperti pembunuhan, pencurian, dan lain-lain, aku selalu bisa menemukan setiap kesamaan dari esensi kasus yang baru saja kupecahkan. Yaitu keinginan seseorang akan sesuatu, hingga seseorang itu bisa mencuri atau membunuh, semua selalu memiliki motif. Kadang aku berpikir terlalu naif, 'manusia itu menyedihkan' karena bisa melakukan apa saja untuk mendapatkan suatu tujuan hingga ia bisa membunuh atau melakukan tindak kejahatan lainnya. Dan aku mulai merasa semuanya terjadi akan takdir Tuhan. Kau mengerti apa yang kubicarakan, bukan?" ujarnya panjang tanpa berhenti. Sepertinya ia baru saja mengeluarkan semua yang ada di benaknya.

Aku diam tak menjawab, pikiranku melayang kemana-mana.

"Kau tahu aku seorang detektif, Watson. Firasatku akan sebuah kasus sangatlah tinggi."

Ia langsung bangkit dan meletakkan biola mahalnya itu di atas meja kerjanya yang berantakan. Ia menatapku serius dengan kedua belah matanya dan ia langsung menyibukkan dirinya dengan melihat tumpukan surat permintaan tolong kasus di atas meja kerjanya. Surat-surat itu baru saja diambil oleh Nyonya Hudson dari kotak pos depan flat, dan ia membukanya secara paksa dan terburu-buru. Diam-diam aku senang karena ia menuruti perintahku untuk mencari kasus kembali, dan ia memutuskan untuk mencari kasusnya sendiri. Ia membuka amplop pertama surat terdepan dari tumpukan surat tersebut.

"Mari kita lihat—surat dari Nona Madison, kasus kehilangan perhiasan pribadi―tidak begitu menarik... Bagaimana dengan yang ini? Kasus pembunuhan di area sekitar Picadilly Sircus―aku tak begitu tertarik, biarlah itu menjadi urusan Scotland Yard saja. Selanjutnya, kasus kehilangan binatang peliharaan―hei, untuk apa aku menyibukkan diri dengan kasus remeh seperti itu? Dan―Nah, Watson!" Ia berteriak dengan senang, hingga aku berpikir sebenarnya ia berbicara lebih pada diri sendiri daripada padaku, tapi kejengkelanku sirna karena rasa penasaranku bangkit mendengarnya.

"Ya, Holmes?" tanyaku dengan nada penasaran, berdiri di sebelahnya untuk melihat isi kasus apa yang baru saja diterimanya. Ia mengacungkan sebuah surat yang mungkin menurutnya menarik. Aku membuka suratnya. Hanya tertera sebuah gambar kotak berwarna hitam dan putih, serta kalimat surat yang aneh.

"Alat pembunuhku ada di amplop depan, horizontal, horizontal, vertikal terbalik, horizontal sama dengan, horizontal. Secara keseluruhan horizontal. C1 D2 E3 F4 G5 A6, satu putaran sempurna menuju kematian, di sebuah gedung opera besar di London, Royal Opera House. Terima kasih, John Flinch," baca Holmes, sambil mengerutkan kening. "Hanya itu yang tertulis di suratnya? Sudah jelas bahwa John Flinch hanya nom de plume, identitas samaran dalam surat, dan mungkin ia benar-benar menantangku dengan kodenya yang menurutku konyol ini. Dan aku semakin tak paham pemikirannya karena kukira deretan kata-kata horizontal dan vertikal ini aneh. Dan dia menantangku karena mungkin ia memang sedang ingin membunuh seseorang dalam waktu dekat dan surat ini mungkin merupakan petunjuk darinya untuk menantangku."

"Apa maksudnya?" Keningku berkerut. Berbeda dengan reaksiku, Holmes mengerjap-ngerjapkan matanya cepat, matanya bersinar-sinar, dan buru-buru duduk diam sambil mempermainkan surat tersebut selama beberapa saat, dan mengerutkan kening, sambil menatap perapian.

"Bagaimana pendapatmu?" ia bertanya.

"Jelas sekali surat ini begitu membingungkan."

Ia mengarahkan pulpen di tangannya ke arahku. "Tepat, Watson. Kupikir menerka maksud dari surat ini membutuhkan analisa yang benar-benar teliti, sebab disini terdapat banyak maksud, diantaranya, ia ingin menantangku untuk menemukannya di sekian juta penduduk London, ingin mengundangku ke tempat yang menjadi sasaran panggung berdarahnya; tepatnya Royal Opera House, dan ia menantangku untuk menerka maksud yang tertulis dalam suratnya tersebut."

Aku bisa melihat dengan mata kepalaku sendiri bahwa kerutan samar di keningnya menyiratkan kejengkelan dan rasa penasarannya yang terusik. Aku hanya bisa mencoba menduga-duga beberapa kemungkinan, dan suasana menjadi sunyi. Holmes, yang langsung melesat ke lemari, mengambil beberapa buku tebal yang telah lusuh sampulnya. Ia membuka-buka kamus Yunani dan menuliskan beberapa bentuk huruf Ibrani dalam buku catatannya.

Aku hanya bisa ternganga menatapnya. "Apa yang kau lakukan, Holmes?"

Ia menggeleng-gelengkan kepalanya. "Bukan sesuatu yang perlu dikatakan. Aku hanya mencoba memecahkan kasusku."

"Kasusku, katamu?" Aku menekankan bagian 'kasusku' dengan ekspresi kesal. Bagaimana pun juga, aku juga ambil alih dalam kasus ini. Bukan hanya ia yang harus bergelut dalam kasus ini. Aku juga, karena aku adalah rekannya. Ia memandangku, mengalihkan perhatiannya dari kamus-kamus tebal di hadapannya. Tersenyum singkat. "Kasus kita, Watson."

Aku tersenyum lega. "Terima kasih, Holmes."

Ia menatap isi amplopnya, secarik surat yang hanya berisi sebuah gambar kotak berwarna hitam dan putih, dan ia melihat-lihat amplopnya. Lalu ia mengambil amplopnya, mengacungkannya ke arah cahaya, dan dengan hati-hati mempelajari bagian luar dan tutupnya. Setelah itu ia melihat-lihat kertas suratnya, melihat gambar kotak hitam dan putih tersebut, dan tersenyum seakan-akan telah mengerti semuanya. "Kertas kozo." Ia berkata sendiri, sementara aku yang masih bingung dengan isi surat itu yang hanya menyertakan gambar kotak hitam dan putih saja, langsung bereaksi semakin bingung begitu mendengar kata kozo yang masih asing di telingaku.

"Kertas kozo, kertas khas Jepang yang terbuat dari bahan serat khusus dari kulit sejenis pohon mulberi yang disebut kozo. Bodohnya pengirim surat ini, ia menantangku dengan kode mainan anak-anak seperti ini. Kozo bagian luarnya berwarna putih, namun bagian dalamnya berwarna hitam. Tanpa sadar ia memberi petunjuk tentang jenis kertas ini dengan gambar kotak hitam dan putih ini. Namun mengenai kotak hitam dan putih ini—aku belum bisa berkata apapun. Aku hampir yakin bahwa pengirim surat ini adalah orang Jepang."

"Namun bisa saja ia menulisnya dengan kertas Jepang, padahal ia bukan berasal dari Jepang, bukan?" Aku mencoba berdalih. Ia berdecak, dan ia tertawa. "Memang kemungkinannya begitu, namun bagaimana bila kau melihat tulisan kecil yang ada di sisi kiri bawah amplop surat? Jelaslah bahwa surat ini benar-benar berasal dari orang Jepang," tambahnya dengan penuh semangat saat membuka lipatan surat. Aku buru-buru melirik tulisan yang terdapat di sisi kiri bawah amplop. Serangkaian huruf dengan angka yang tak kupahami. Aku semakin bingung dibuatnya. Aku menatapnya putus asa.

ζ Ϛ 6 Ʊ to Ϛ

"Aku tak mengerti." Aku menggeleng-gelengkan kepalaku. Holmes terdiam dengan senyumnya, senyum khasnya yang mengisyaratkan ia telah tahu segala-galanya, ia memain-mainkan surat itu di tangannya dan menikmati hasil deduksi kilatnya tersebut. Namun, melihat aku yang sudah tak sabar menunggunya, akhirnya ia membentangkan surat beserta amplopnya di atas meja kerjanya diiringi tatapan penasaranku.

"Mungkin kau heran mendengar kata-kataku barusan tentang kode mainan anak-anak seperti ini—namun begitu melihat deretan angka dan huruf di amplop ini, aku mulai mengerti, Watson. Ia sendiri yang memberi petunjuk dengan menggunakan kertas Jepang, serta kode huruf dan angka dalam suratnya, semua ini berkaitan satu sama lain. Maksud kata horizontal dan vertikal di surat itu, kau akan mengerti bahwa deduksiku logis tentang alat pembunuh yang akan digunakan si pembunuh. Ia bilang petunjuk mengenai alat pembunuhnya ada di amplop depan, dan yang tertulis hanya kode tadi. Jelaslah ia menantangku dengan sombong. Karena surat yang kita terima merupakan kertas Jepang, aku mulai berpikir bahwa ia menyertakan jawabannya dengan bahasa Jepang. Huruf pertama yang ada disini, ζ maksudnya adalah huruf tau dari huruf Yunani. Jika kita perbaiki secara paksa, dalam huruf hiragana Jepang, itu berarti huruf te. Sesuai petunjuk, 'horizontal, horizontal, vertikal terbalik, horizontal sama dengan, horizontal. Secara keseluruhan horizontal'. Sebelum itu, kita selesaikan dulu kode ini. Huruf Ϛ mungkin dibaca 'tsu' dalam huruf hiragana. 6, jika sesuai petunjuk barusan, kata ketiga dan keempat setelah horizontal, horizontal, adalah vertikal dan terbalik, maka jika angka 6 dibaca secara vertikal dan terbalik dalam hiragana berarti huruf 'no'. Dan selanjutnya, lambang Ʊ berarti 'hi' dan selanjutnya huruf alfabet t dan o, to, sesuai dengan petunjuk dengan urutannya, berarti petunjuknya 'horizontal sama dengan', berarti to tetap dibaca to. Dan yang terakhir, huruf tsu. 'Secara keseluruhan horizontal', maksudnya seluruh huruf yang baru saja kita pecahkan harus dibaca horizontal. Jika kita baca sesuai petunjuk 'Horizontal , horizontal, vertikal terbalik, horizontal sama dengan, horizontal. Secara keseluruhan horizontal'..."

Ia berbicara dengan penuh semangat, tapi kerutan di alisnya yang mengesankan rasa minatnya yang begitu besar pada kasus ini membuatku ikut berpikir. Aku duduk dengan perasaan tidak berdaya dan tidak senang, menatap perapian. Kesunyian yang singkat terpecah begitu tiba-tiba kami saling berpandangan satu sama lain. "Tetsu no hitotsu?"

Holmes hanya tersenyum simetris. "Menarik! 'Tetsu no hitotsu' berarti sepotong besi dalam bahasa Jepang. Mungkin ia akan membunuh dengan pedang, pisau, atau benda besi yang lainnya. Dan kita selesaikan pula kode ini, C1 D2 E3 F4 G5 A6 B7. Jika menghubungkannya dengan gambar kotak hitam dan putih yang ada di dalam surat, aku mengerti. Kurasa—dan aku tak akan pernah salah, huruf C, D, E, F, G, A, dan B sepertinya begitu familiar denganku yang bergelut di dunia musik."

"Maksudmu..." Aku sedikit ragu akan jawabanku. "Kord C dalam musik?"

"Benar sekali! Urutannya terlalu tepat untuk dibilang sebuah kode. Tapi tak salah lagi, itu memang urutan kord C." Holmes menjentikkan jarinya riang. Ia bangkit dari sofa beludru merah yang baru saja didudukinya dengan rasa semangat baru yang menderanya.

"Cara yang aneh untuk menyampaikan maksudnya!" kataku mengomentari, tak tahan menahan rasa bingung yang menderaku. Holmes hanya tersenyum, sambil meraih pipa tembakaunya. Ia mondar-mandir di depan perapian dengan pipa tembakau di bibirnya.

"Sebaliknya, menurutku ia brilian. Ia begitu teliti dalam urusan kode barusan, yang melibatkan huruf Yunani dan angka konyol itu. Ia menggunakan huruf alfabet t dan o, untuk menggambarkan huruf to, karena memang tak ada huruf Yunani atau huruf apapun di dunia ini yang menyerupai huruf hiragana to. Mungkin bisa saja kita sebagai orang Inggris tertipu dengan 'to' yang ia tuliskan karena dalam bahasa Inggris 'to' berarti untuk. Ini sejenis trik dalam tipuan, Watson. Orang yang menulis surat ini benar-benar jenius. Dan kurasa aku mulai mengerti arti kotak hitam dan putih yang baru saja kulihat. Orang ini jenius, biar bagaimana pun."

"Dan lalu apa maksudmu dengan 'mulai mengerti arti kotak hitam dan putih' dalam surat itu?" tanyaku penasaran.

Holmes hanya meraih pulpennya dan membubuhkan beberapa catatan di bukunya dengan santai. "Mungkin hanya itulah yang baru bisa kusampaikan padamu, Watson. Bisa saja aku menyampaikannya, namun untuk saat ini aku belum yakin dengan deduksiku mengenai gambar kotak hitam dan putih itu. Yah, setidaknya aku sudah memecahkan beberapa kode dalam surat tersebut, tugasmu sekarang..."

"Meminta bantuan Inspektur Lestrade, bukan?" Aku langsung menyelanya seakan-akan aku bisa membaca pikirannya tersebut.

Ia hanya tersenyum. "Itu akan menjadi tugasmu, Watson."

Aku hanya bisa menyanggupinya begitu melihat senyumnya. Ya, ya, terserahlah. Aku sudah lelah sekali memikirkan kode-kode aneh tersebut.

.

.

"Pembunuhan di Royal Opera House?"

Holmes mengangguk, mengiyakan perkataan Lestrade, dan dengan teknik analitisnya yang khas, ia langsung menjelaskan kepada inspektur berbadan tegap besar itu tentang kode yang baru saja diterimanya, kode yang berasal dari pengirim bernama John Flinch, yang menurutnya nama itu hanya identitas samaran di surat tersebut, kode yang melibatkan bahasa Jepang dan tentang abjad-abjad kord C dalam musik tersebut. Ia juga menjelaskan tentang gambar kotak hitam dan putih yang ada di dalam surat tersebut, dan berkata bahwa ia akan segera menemukan pelakunya. Lestrade hanya bisa berdeham begitu mendengarkan penjelasan Holmes. Ia menggaruk-garuk kepalanya, mengakui kebenaran kata-kata Holmes.

"Meskipun kularang, kau selalu akan tetap pergi seenakmu sendiri. Dan menurutmu, kapan pembunuhan itu akan terlaksana, Holmes?" tanya Lestrade. Holmes mengambil koran dan menunjukkannya pada Lestrade. Ia menunjuk sebuah iklan di koran tersebut, yang terletak di halaman tengah sisi kanan koran tersebut. Mata Lestrade langsung membulat begitu melihat iklan tersebut. Iklan opera di Royal Opera House, dengan penyanyi Britney Sprouse sebagai bintang utama opera. Tanggal 28 September. Seminggu lagi.

"28 September? Maksudmu, ketika opera akan digelar lagi?" pekiknya kaget.

Holmes mengangguk tenang. "Itu kesimpulan yang kudapat setelah mencermati kasus yang terjadi di Opera House beberapa tahun ini. Kau tentu ingat bukan, Lestrade, walau sebenarnya bukan kau yang menangani kasusnya," Ia mengetuk-ngetukkan jari-jemari kurusnya di meja. "Kasus yang terjadi 6 tahun lalu, saat Christina Hamilton, seorang penyanyi opera meninggal di Opera House. Penyebabnya adalah sianida yang tercampur dalam teh hangat dalam termos yang biasanya ia minum saat beristirahat. Lalu setahun berikutnya..."

"Aku ingat," sela Lestrade buru-buru. "Aku pernah mendengar kasus Opera House ini dari atasanku di Scotland Yard. Setahun berikutnya, Derrick Wilson. Komposer yang biasanya selalu menghadiri pertunjukan opera disana. Penyebab kematiannya adalah penusukan ketika ia sedang ke kamar kecil."

Aku memegang daguku, berpikir dengan keras, mengingat-ingat kasus bertahun-tahun lalu itu. "Tunggu dulu..." Alisnya terangkat. "Setahun setelah itu, Emil Hunter. Pengusaha kaya yang menjadi sumber sponsor utama opera. Penyebab kematiannya karena racun sianida juga. Setelah itu, Fiona Locke, violinis yang meninggal karena kejatuhan lampu sorot di atas panggung. Dan setelah itu..."

Lestrade menjentikkan jari dengan keras dengan matanya yang berbinar. "Graham Dawson. Pemain cello. Kekasih Christina Hamilton. Penyebab kematiannya mati lemas karena soda kaustik. Dan setelah itu... Anita Baker, nyonya muda pemilik saham terbesar di London, ia pun sering menonton opera disana. Penyebab kematian adalah penembakan dari jarak jauh. Itu kasus setahun yang lalu. Dan kali ini..."

Holmes mengangguk. "Ya. Sasaran orang ini adalah Britney Sprouse."

"Tapi kenapa?" tanyaku heran. "Apa karena... tunggu dulu!" seruku keras, menyadari sesuatu yang dari tadi kupikirkan matang-matang. "Apa jangan-jangan... ini... pembunuhan berantai?"

Lestrade menoleh ke arahku dengan wajah tertarik. "Apa katamu, Dokter? Jelaskan padaku!" desaknya, menuntut penjelasan dariku.

"Begini," aku menuliskan nama-nama korban pembunuhan itu di kertas. "Menurutku, kode C1 D2 E3 F4 G5 A6 B7 disana adalah maksudnya urutan abjad awal nama korban pembunuhan. Christina Hamilton, berawalan huruf C. Derrick Wilson, D. Emil Hunter, E. Fiona Locke, F. Graham Dawson, G. Anita Baker, A. Dan selanjutnya..." Aku menahan napasku. "B. Britney Sprouse! Dan maksud kata 'satu putaran penuh' dalam surat itu adalah satu putaran sempurna yang menyusun nada kord C..."

Lestrade menghela napas panjang. "Berarti aku harus segera mengontak pihak Opera House..."

"Jangan!" potong Holmes. "Aku ingin bertemu dengan pembunuh bertangan dingin itu. Kujamin aku akan menangkapnya kali ini. Sebelum ia melakukan pembunuhan lagi..." Matanya berkilat senang, menyadari kasus menarik yang sedang ditanganinya. Lestrade menarik napasnya dalam-dalam. Aku menatap Holmes, yang sedang menautkan kedua alis lebatnya seperti elang, dan tiba-tiba kawanku itu berdiri dari kursinya dan mengambil topinya.

"Baiklah, Lestrade. Besok kita bertemu di Opera House jam sepuluh pagi. Panggil pula Britney Sprouse untuk dimintai keterangan. Dan, Watson!" Ia menepukkan kedua tangannya. "Kita banyak pekerjaan kali ini!"

.

.

To be continued.