"Tadi pagi kamu jalan sama siapa di pasar?" begitu suara yang terdengar ketika aku menekan tombol hijau ponselku dan mendekatkannya ke telingaku.

"Sama kakakku belanja sayuran di tempat Mpok Gumi. Kenapa?" jawabku dengan tanya yang kulemparkan untuk orang di seberang.

"Jadi, kamu udah berani jalan sama cewek selain aku?" bukannya jawaban yang kudapat, malah tanya yang disampaikan. Dan lagi-lagi dia bicara dengan nada tinggi.

"Itu, 'kan cuma kakakku, Luka. Masa' iya jalan sama kakak perempuan sendiri gak boleh?" kataku menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi sesingkat, sejelas dan sepadat mungkin. Semua itu agar Luka—pacarku ini—bisa cepat mengerti.

"Banyak alasan kamu. Bisa aja kamu ternyata punya kelainan cinta sama kakak sendiri?" sekarang dia malah menuduh yang tidak-tidak.

"Hah?! Mana mungkin, Luka. Aku 'kan cuma cinta sama kamu," ujarku menyampaikan perasaanku sebenarnya.

"Bohong binggo," sahutnya dengan tambahan kata alay. Binggo ... mungkin maksudnya banget.

"Untuk apa aku bohong, Luka? Aku beneran sayang kamu. Apa iya aku mau mainin hati cewek? Kamu tahu sesusah apa aku move on dari mantan sebelum kamu? Sampai akhirnya aku bisa move on karena aku cinta sama kamu sekarang?" jelasku dengan pertanyaan-pertanyaan yang kulempakan bertubi-tubi padanya.

"Sekarang malah membahas soal mantan pacarmu. Kamu bicara kayak gitu kedengaran seperti aku ini ada cuma agar kamu bisa move on dari mantan pacarmu," sekarang aku sudah diam tak berkutik.

"Maksudku bukan—,"

"Udah, deh. Aku udah cukup muak sama kamu," potong Luka di tengah aku akan berbicara lagi. Tidak. Jangan bilang kalau dia ...

"Kita putus."


Warning: typos, OOC, rush plot, and other probabilities

Disclaimer: Vocaloid © Yamaha. I just own the plot. No profit.

A Vocaloid fanfiction requested from Mell Hinaga Kuran

To Believe


16 Februari 2015

Hari Valentine sudah lewat dan aku malah sudah putus dengan Luka seminggu yang lalu. Sudah seminggu aku putus dengan wanita anggun dengan sifat jeleknya itu. Walaupun begitu aku tetap saja mencintainya. Sampai saat ini pun masih saja aku menaruh hati padanya.

Tapi, apa daya? Bahkan sekarang seisi kelas sudah tahu tentang putusnya hubungan kami. Jangankan kelas, hampir seluruh penghuni sekolah sudah mengetahuinya. Bahkan sebagian guru yang dekat dengan kami berdua. Mungkin karena kami berdua cukup populer?

Apa aku bahkan sempat memikirkan hal itu?

Yang kulakukan sekarang hanyalah menatap lirih Luka yang kini dikerumuni oleh semut-semut jantan yang membawa coklat terbungkus kertas merah muda. Sebagian berbentuk balok, segitiga, hati, prisma segitiga, tabung, kerucut, dan banyak lagi.

"Rasanya aku kalah dengan cowok-cowok itu," kataku kepada sahabat karibku, Len.

"Maksudmu?" tanya Len dengan kepala yang dimiringkan. Tanpa sepatah kata, aku hanya menunjuk ke arah kerumunan yang ada di depan kelas. Sekadar informasi kalau aku dan Len ada di kelas XI-C sedangkan Luka di kelas XI-D. Dan kami hanya menonton kerumunan itu dari koridor depan kelas kami.

"Heh. Berani bilang gitu? Aku gak dapat coklat dari siapa-siapa. Sedangkan Luka dapat dan kamu juga dapat! Padahal valentine juga udah lewat! Plis! Liat tu mejamu!" Len sedikit membentak tak terima ketika ia mulai menunjuk-tunjuk meja tempat aku duduk yang sudah digunungi coklat bungkusan yang rapi. "Dan setelah tumpukan coklat itu, kamu mikir kalau kamu kalah sama Luka? Kaito ... dia-udah-jadi-mantan. Oke?" jelas Len yang membubuhi penekanan setelah jeda yang ia beri di pernyataannya.

"Tapi, aku masih sayang dia, Len," dan entah sejak kapan pembicaraan ini jadi ajang curahan hatiku.

"Dia cuma mantan kamu, Kai. Gak lebih. Bukan pacar lagi. Lagian apa sih yang kamu suka dari dia? Aku tahu dia anggun, tapi aku sendiri gak suka sama sifat dia yang terlalu sensitif kalau cowoknya dekat-dekat dengan cewek lain. Dalam kasus ini ... kamu!"

"Len ... jangan-jangan ...," aku memberi jeda dikalimatku yang sepertinya Len sendiri pun tahu apa yang sebenarnya kumaksud.

"Aku suka kamu gitu? Cih. Ogah. Aku cuma kasihan sama kamu sebagai teman," katanya sambil menepuk pundakku beberapa kali. Tak lama setelah itu bel masuk sekolah pagi ini berbunyi. "Cepet amat. Rasanya gue tadi dateng pagi," ujar Len sambil melangkah memasuki ruang kelas XI-C.

Aku sendiri mengikutinya dari belakang. Tinggal satu langkah lagi sampai aku bisa benar-benar bisa masuk ke ruang kelasku. Namun semua itu terhenti saat pikiranku berinisiatif untuk melihat sekilas ke arah kelas Luka, XI-D.

Walaupun hanya sekilas, aku bisa tahu ada seseorang di sana. Ia berdiri tepat di depan pintu kelas XI-D. Seorang cowok yang memiliki rambut panjang berwarna ungu yang pekat. Siapa yang berbicara dengannya?

Karena penasaran, aku pun memanggil dan memberi kode kepada Len untuk mendorongku dengan sengaja. Len yang mengerti maksud dari kodeku mulai bersiap-siap untuk mendorongku.

Ketika aku sudah terdorong sepenuhnya, aku reflek melangkah ke belakang. Walaupun tidak terlalu jauh Len mendorongku, tapi itu cukup untukku bisa melihat dengan siapa cowok ungu-ungu ini berbicara.

"Woi! Maksudmu apa'an dorong-dorong gue, Len!" teriakku supaya apa yang kulakukan tidak terlihat seperti dibuat-buat jika ada yang melihat. Len yang baru saja mendorongku hanya memasang wajah yang menyiratkan kalau aktingku jelek.

Apa yang tertangkap mataku pertama kali adalah warna merah. Mungkinkah itu Luka yang diajak bicara dengan cowok ungu ini?

Karena terlalu ingin tahu siapa sosok yang diajak bicara cowok ungu itu sebenarnya, aku malah menabrak seseorang yang ada di belakangku.

"Ah!" pekiknya ketika aku tidak sengaja menabraknya. Membuat orang yang baru saja kuketahui cewek dari suaranya ini menjatuhkan beberapa buku mata pelajaran fisika. Aku agak tersentak awalnya. Namun aku tetap merasa bersalah.

"Ups. Itu sudah ketiga kalinya kau menjatuhkan tumpukan buku dari tanganmu, Miku," kata orang berambut kuning yang kuyakini adalah Rin, teman sekelasku. Dia juga membawa beberapa tumpukan buku di tangannya. Sepertinya mereka disuruh guru untuk membawakan buku pinjaman dari perpustakaan ke kelas.

"Maaf, Miku! Aku tadi didorong Len," jelasku kepada Miku sambil membantunya membereskan buku yang jatuh berserakan. Semoga saja Len tidak tahu kalau aku akhirnya menyalahkannya. Padahal aku yang menyuruhnya untuk mendorongku.

"Tidak apa-apa, Kaito," kata cewek ini sambil menggelengkan kepalanya. Dia menjulurkan sedikit lidahnya keluar lalu berkata lagi, "aku juga salah karena gak hati-hati." Dan pada saat itu pula kudengar suara langkah kaki yang sepertinya berhenti didekatku.

"Ternyata udah move on, toh? Cepet binggo, ya?" sebuah suara yang tidak asing di telingaku. Begitu juga dengan nadanya. Kuyakin juga tatapannya kini sinis memandangku.

Aku awalnya melirik ke arah wajah Miku yang mulai panik. Rin sendiri hanya memasang wajah tidak peduli yang entah ditujukan kepada siapa. Aku yang sudah diambang penasaran tentang siapa orang itu pun mulai menolehkan kepala, mendapati kalau ternyata orang itu adalah Luka yang tidak lama sebelumnya kukira masih berbicara dengan cowok ungu tadi.

"Bukannya kamu tadi baru bicara sama cowok yang rambut ungu itu?" tanyaku yang kini sudah berdiri dengan beberapa buku yang tadi sempat kuambil.

"Itu udah gak penting. Yang lebih penting sekarang itu adalah situasi yang sekarang," katanya yang kemudian mulai mendekatiku. Tangan kanannya terangkat ke atas dan tiba-tiba terayun begitu saja menuju salah satu sisi pipiku.

PLAK!

"Sungguh cowok gak punya perasaan. Memang aku ini apa sampai sekarang kamu bisa mesra sama cewek lain?"

Aku sendiri masih agak terkejut. Bahkan lebih dari agak terkejut. Luka menamparku hanya karena kesalahpahaman ini. Bahkan dengan status yang sudah tidak terikat apa-apa ini. Entah kenapa, rasanya dada ini terasa sakit.

"Luka, aku cuma bantuin Miku. Gak lebih. Cuma sekadar bantu," jelasku kepada Luka. Miku yang sudah selesai membereskan buku yang jatuh tadi mulai berdiri ketika tahu kalau aku baru saja ditampar. Dari ekspresi yang kulihat sekilas, Miku seperti kasihan denganku.

Luka menghela nafasnya, "cowok emang banyak alasan. Bilang aja kamu mau modusin Miku, 'kan? Apalagi sekarang kamu udah putus sama aku, jadi bisa makin mesra sama Miku."

Dadaku makin terasa seperti ditikam. Sebenarnya apa maksudnya? Mengapa ini harus terjadi?

Setelah dia selesai mengucapkan apa yang ia mau, Luka berbalik menuju kelasnya dengan anggun. Di saat dia berbalik pun, pandangan matanya masih lekat menatapku sampai ia benar-benar tak bisa melihatku lagi putaran tiga ratus enam puluh derajat. Aku yang mengetahuinya hanya bisa menatap lirih punggungnya yang makin menjauh. Pipi kananku yang sakit kuusapkan dengan tangan kananku, berharap kalau sakitnya akan berkurang.

"Kau tak apa, Kaito?" tanya Miku yang mendekatiku. Sepertinya dia berniat membantu mengelus pipiku, tapi tentu saja tidak bisa karena kedua tangannya yang penuh dengan buku. Aku hanya membalas pertanyaan Miku dengan gelengan dan senyum yang kupaksakan.

"Kalau begitu, cepat masuk. Guru fisikanya sudah mau sampai kelas kita, lho," kata Rin yang baru saja menoleh ke belakang.

Aku dan Miku pun terburu memasuki ruang kelas. Tak lupa aku menutup-tutupi pipi kananku agar kiranya bekas tamparan Luka tidak terlihat jelas oleh teman-teman sekelas. Tentu aku malu kalau sampai ada yang tahu ada cewek yang menampar pipiku. Apalagi di pagi hari ketika jam pelajaran jam pertama akan dimulai.

Aku duduk di tempat dudukku yang mejanya masih berantakan karena tumpukan bungkusan coklat. Aku pun memindah bungkusan-bungkusan itu ke laci mejaku dan mulai duduk dengan benar di bangkuku. Tepat saat itulah guru pengampu pelajaran fisika menampakkan dirinya dari pintu masuk kelas. Seisi kelas pun diberi komando untuk berdiri.

"Gak usah ditutupin gitu kali. Bunyi tamparannya tadi cukup keras sampai ke dalam kelas. Kuyakin seisi kelas gak penasaran siapa korban dan tersangkanya," Len berkata saat setelah seisi kelas mengucap salam kepada guru. Aku yang mengetahui itu hanya bisa menunduk terduduk dengan nafas yang terhela.


"Apa pipimu sungguh baik-baik saja?" tanya Len yang kini duduk diseberangku sambil menikmati makanan yang ia beli.

Sekarang adalah waktu istirahat. Jadi tak heran jika aku duduk-duduk di kantin bersama seorang sahabatku sambil menikmati jajanan yang baru saja kami beli.

"Jangan pikirkan soal itu. Sudahlah, Len. Jangan khawatirkan aku. Aku sungguh baik-baik saja. Kamu ini terdengar seperti pacar homoku," kataku sedikit mengejeknya. Mungkin itu juga salah satu efek dari mempunyai sahabat yang terlalu akrab? Sungguh, aku masih normal.

"Salah sendiri, 'kan? Aku sudah bilang untuk menjauhlah saja dari Luka. Lagian, sekarang dia sudah dekat lagi dengan Gakupo, 'kan? Atau kau jangan-jangan belum tahu itu?"

"Gakupo?" heranku dengan mata yang menyiratkan ketidaktahuan. Meminta kejelasan siapakah orang yang disebut Gakupo ini.

"Itu, yang mentang-mentang ketua OSIS jadi rambut ungunya boleh panjang. Wajar kamu gak tahu. Dia aktif tapi di belakang layar. Jadi gak terlalu terkenal walaupun dia ketua OSIS," jelas Len kepadaku. Kalau sudah soal OSIS, Len tahu seluk-beluknya. Tentu saja, dia sendiri juga seorang anggota OSIS tahun ini. Tak jarang aku jadi kesepian karena kesibukannya.

Untungnya ada Luka. Jadi, aku tidak perlu harus meluangkan waktuku sendirian. Tentu aku bisa meluangkan banyak waktu romantis dan berharga jika bersamanya.

Tapi itu dulu. Kalau sekarang sudah tidak ada lagi waktu berharga yang harus dihabiskan. Mungkin sudah menjadi waktu yang jatuh. Cinta yang tidak jatuh pada tempatnya. Panah cinta yang sudah meleset jauh.

Mengapa aku jadi puitis seperti ini?

"Hoo ... Berarti orang yang tadi pagi itu, Gakupo?" aku menebak-nebak tentang kejadian tadi pagi yang bagiku sedikit memalukan jika diingat-ingat.

"Tadi pagi?" sekarang giliran Len yang menatapku dengan pandangan heran.

"Ya, tadi pagi waktu aku memintamu mendorongku, dia berdiri di depan kelas Luka. Aku tak tahu pasti siapa yang dia ajak bicara. Tapi kalau aku benar, mungkin Luka orang yang dia ajak bicara pagi itu," Len mengangguk mengerti. Walau dalam anggukannya seperti ada suatu ketidakyakinan.

Setelah itu kami mengobrolkan hal lain. Entah itu soal program OSIS yang dicurahkan dari Len kepadaku, tugas, libur sekolah yang sangat kami harapkan, dan hal-hal lainnya.

"Aku mau tambah," kata Len yang kemudian berdiri berbalik menuju ke arah ibu penjaga kantin. Dia meninggalkanku sendiri di tengah keramaian kantin. Sekarang aku seperti orang galau yang menyendiri karena cintanya yang kandas.

Aku sejenak berpikir sambil menghisap minumanku dengan sedotan. Apa yang akan kulakukan tanpa Luka sekarang? Mencari cewek baru? Bahkan aku akan disebut yang tidak-tidak oleh banyak orang. Lagipula aku juga tidak berniat untuk berpaling. Jangankan berpaling ke cewek lain, aku masih menganggap kalau aku dan Luka masih berpacaran. Padahal jelas-jelas seminggu yang lalu aku mendapat telepon pernyataan putus darinya.

Tapi Luka sendiri bukan orang yang mudah percaya. Bahkan dengan pacarnya sendiri. Selalu mencari celah untuk menyalahkan orang. Untung aku masih tahan dengannya. Atau tepatnya aku memang tahan dengan kelakuannya. Mungkin aku ini masokis.

Jujur saja, aku masih menyukainya. Hingga saat tadi pagi dia menamparku pun, aku masih menyimpan rasa yang sama. Tidak berubah menjadi benci atau sekadar ingin berteman. Aku bahkan tahu sekali kalau dada ini terasa sakit. Apalagi saat tamparan itu hadir dan berputar seperti gasing di dalam kepalaku.

Argh! Hanya memikirkan apa yang akan kulakukan ke depannya saja sudah terasa berat dan menakutkan. Entah mengapa aku bisa berkata menakutkan.

"Kaito!" seseorang memanggilku. Tidak jauh. Kira-kira hanya lima langkah dari tempat aku duduk sekarang.

Awalnya aku mencari-cari asal suara yang tidak asing itu. Nada memerintah ini sudah biasa aku dengar di kantin. Di saat itulah aku menemukan seseorang yang berdiri dengan anggun di tengah keramaian kantin.

Luka.

Dia yang tahu aku sudah merespon panggilannya pun mulai mendekatiku. Yang kuheran, dia mendekatiku tanpa ragu. Terbukti dari langkahnya yang bahkan masih anggun-anggun saja di mataku.

"Belikan aku minuman," perintahnya sambil menyodorkan beberapa lembar uang kepadaku.

"Luka, ada baiknya kamu beli sendiri. Kamu ingat? Kita sudah putus. Sudah bukan kewajibanku lagi membelikan makanan atau minuman untukmu," ujarku yang sebenarnya tak ikhlas. Sebenarnya aku ingin membelikannya. Berdiri memesan apa yang ia mau sedangkan ia duduk menunggu pesanan. Aku sudah rindu dengan kebiasaan itu.

"Cepat! Atau kau mau aku menamparmu lagi karena mengabaikan perintah dariku? Atau jangan bilang sekarang kau sedang menunggu seorang cewek lain yang sudah menjadi sasaranmu yang berikutnya? Siapa dia? Apa aku mengenalnya? Aku perlu bertemu dengannya,"

Aku hanya menggeleng. Hanya menggeleng. Aku tak tahu pasti harus berbuat apa.

"Oh? Jadi kau sudah benar-benar tidak mencintaiku lagi, ya? Cowok sungguh tak berperasaan," katanya yang lalu menarik tangannya yang tadi menyodorkan lembar uang kepadaku.

"Bukan begitu, Luka. Aku hanya tidak mau orang-orang melihat—,"

"Sudahlah. Aku tahu kau kini sudah tidak mencintaiku lagi dan sekarang kau sudah memindahkan hatimu ke Miku, 'kan? Buktinya tadi pagi kau bermesraan. Padahal bel jam pertama sudah berbunyi,"

"Tidak, Luka. Kamu hanya salah paham soal itu. Aku cuma mau membantu—,"

"Membantu meluluhkan hati Miku? Ya, ya. Aku sudah tahu, Kaito-kun," katanya.

Aku mulai muak. Semua kalimatku tak ada yang selesai dengan sempurna seperti yang aku harapkan. Aku sungguh ingin menjelaskan semuanya hingga Luka benar-benar tahu apa yang kurasakan sebenarnya. Bahwa sebenarnya aku masih mencintainya. Bahwa sebenarnya aku tidak mencari cewek lain lagi. Bahwa aku benar-benar ingin lebih bisa menghabiskan waktu berharga bersama lagi.

Aku tidak bisa berteriak aneh di sini. Jika iya aku berteriak di tengah keramaian kantin, yang ada aku dan Luka akan menjadi pusat perhatian. Jadi, aku meraih pergelangan tangan Luka. Menarik dan menuntunnya keluar area kantin. Menuju ke suatu tempat yang cukup sepi menurutku.

Aku berjalan melewati kerumunan orang-orang yang masih bersantai di jam istirahat ini. Sesekali menabrak beberapa orang karena aku yang sudah tidak bisa menahan rasa terburuku. Tanganku masih menggenggam pergelangan tangan Luka. Entah bagaimana ekspresi Luka sekarang. Entah senang, bingung, tetap anggun, sedih, marah. Aku sungguh tak tahu karena aku terus melihat ke depan. Berpikir dimanakah tempat yang tepat untuk bisa membicarakan semua ini.


Masih terengah-engah. Padahal sudah hampir lima menit kami sampai di tempat tujuan yang kuinginkan. Tempat sepi yang tidak banyak orang. Dimana juga jarang orang mengunjunginya. Halaman belakang gedung olahraga.

Setelah beberapa lama Luka kelelahan, akhirnya dia memulai pembicaraannya lagi, "Jadi, apa maksudmu sampai membawaku ke tempat sepi ini? Jangan bilang kamu mau—,"

"Luka!" aku memanggil namanya dengan hentakan yang membuatnya sedikit terkaget. Aku mulai mengatur nafasku secepat mungkin agar bisa memulai perkataanku. "Tolong, dengarkan aku dulu. Jangan potong semua kalimat yang ingin kukatakan. Bolehkah?"

Aku menunggu respon Luka. Setelah aku berkata seperti itu, dia merapikan seragamnya yang berantakan karena berlari tadi. Tak lupa juga dengan rambut mengkilatnya yang lembut ia sisir dengan jemarinya sampai serapi mungkin. Setelah dia menganggap dirinya sudah rapi seperti sebelumnya, Luka menghela nafas dan menganggukkan kepala perlahan namun anggun.

"Luka, aku sama sekali gak menaruh hati terhadap wanita lain selain kamu. Bahkan sampai sekarang. Seminggu ini masih saja terngiang di kepala bagaimana kau bisa bersamamu lagi. Tiap kali aku mempunyai niat, kau malah menyindirku dengan sadis. Jujur, sebenarnya itu tak kusuka."

Luka hanya menatapku dengan matanya yang masih memandang sinis dan serius sedari tadi. Tangannya juga terlihat di bawah dadanya.

"Aku sungguh-sungguh dan tidak pernah berbohong. Tapi, dimana rasa percayamu terhadapku? Jangankan saat kita masih memiliki hubungan spesial, bahkan saat kita sudah putus pun sikapmu terhadapku juga masih saja seperti itu. Itu bukan membuatku semakin mempertahankan rasaku terhadapmu, tapi malah membuatku semakin bimbang harus meneruskan rasa ini atau tidak."

Seiring aku melanjutkan setiap kata yang ada di pikiranku, ekspresi Luka semakin berubah sedikit demi sedikit. Entah apakah dia sadar atau tidak, namun matanya tidak sesinis tadi. Apalagi sekarang dia juga menundukkan kepalanya sedikit. Rasanya seperti dia menyembunyikan sesuatu dariku. Aku perlahan mendekatkan jarak yang ada di antara kami.

"Luka, tolong, percayalah padaku. Kamu boleh berprasangkaburuk apapun terhadapku. Tapi, setidaknya percayalah padaku. Percayalah kalau aku tidak pernah mau memutuskan hubungan kita sebelumnya. Percayalah kalau aku sampai sekarang pun masih mencintaimu."

Kedua tanganku mulai menyentuh kedua pipinya. Dapat kurasakan kalau tubuhnya sedikit bergetar. Karena aku penasaran dengan apa yang terjadi, aku pun menengadahkan kepalanya. Maklum saja, aku lebih tinggi darinya.

Aku sedikit tersentak kaget. Luka menahan tangisnya. Baru kali ini aku melihatnya sesedih ini. Aku tak ingin banyak bertanya mengapa ia menangis. Kuyakin dia akan segera menjelaskannya kalau isakkannya mulai mereda sedikit. Jadi aku hanya menghapus air matanya yang baru saja mengalir ke pipinya dengan ibu jariku.

"A-Aku...," Luka mulai mengeluarkan suaranya di tengah isakkannya. Aku hanya menunggu hingga ia benar-benar bisa menyelesaikan perkataannya. "Ugh.."

Luka menghela nafasnya. Ia mengangkat tangan kanannya melawan gravitasi bumi. Menampar lembut pipiku kananku. Tidak sekeras tadi pagi. Kali ini sama sekali tidak ada rasa amarah sampai harus meninggalkan bekas merah.

"Kaito. Kau sungguh jahat. Bahkan terhadap orang yang sampai kini pun masih saja mencintaimu," katanya yang kemudian tangan kirinya memukul-mukul pelan dadaku. Dia juga menundukkan kepalanya kembali. Sepertinya dia ingin menjaga pandangan anggunya bahkan di depanku. Aku bahkan tidak tahu kalau dibalik semua perlakuannya terhadapku, Luka masih memiliki rasa yang sama denganku.

"Aku memang jahat, 'kan?" aku menghentikan tangan kirinya yang masih saja memukuli dadaku. Kuselipkan jari-jariku ke sela-sela jarinya, membuat tangannya yang terkepal kuat itu kehilangan hasrat memukulnya. "Tapi, tidak mungkin seorang yang jahat itu sepenuhnya jahat. Kuyakin orang juga memiliki sisi yang baik."

Luka hanya terdiam menatapiku. Ya, kini ia tidak menundukkan kepalanya lagi. Untuk kemudian, jarak antara wajah kami makin menipis. Tinggal beberapa senti lagi sampai bibir kami bisa bertemu.

Kriiiinnggg~!

"Sialan," gumam Luka yang membuang wajahnya ketika sadar bel tanda istirahat telah berakhir.

"Kau begitu menginginkannya? Walaupun di tengah tangisanmu sekarang ini?" tanyaku dengan pandangan yang hanya menatap matanya.

"Kamu tahu sesakit apa hatiku ini, Kaito? Kalau sampai Miku kembali mendekatimu, bahkan kalau kau sampai bisa merasakan hembusan nafasnya, aku tidak memaafkanmu," katanya yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan keinginanku untuk bahkan sekadar mengecap bibirnya.

"Itu bukan jawaban. Dan kau sama sekali tidak berubah setelah apapun yang kukatakan padamu tadi. Aku merasa membuang-buang tenaga," aku merasa menyesal, tapi bibirku tersenyum. Sekadar informasi, kami masih berdekatan walaupun tadi kami sempat berjauhan setelah sadar kalau bel berbunyi.

"Tapi, aku sungg—,"

Cup.

Untuk selanjutnya, aku bahkan tak ingin memikirkan bel tadi. Aku tak mau membatalkan ciuman pertama kami. Biarkan aku menikmati ini sebentar saja.

Aku sungguh penuh nafsu. Gumamku dalam hati.


A/N: Okay~! Akhirnya aku bisa selesaiin fanfik request-an dari Mell-san~ Yey~ Tepuk tangan dulu dong. *krikkrik* Udahlah, ya. :') Aku minta maaf kalau semisal ada yang kurang berkenan selama aku publish fanfik ini. Serius, deh. Maafin juga buat Mell-san kalo kurang ngena atau lama banget publish-nya. Maklum. Anak malesan. *dor* Semua uneg-uneg selama kalian baca fanfik ini bisa dituangin ke kolom review. Kudu. *dia maksa* *digampar tuna*

Okay~! Thanks for reading my fanfiction! See ya 'gain! :D