Penyangkalan : Harry Potter dan semua temannya masih milik J.K. Rowling. Saya hanya punya kalimat-kalimat sederhana yang menyusun paragraf-paragraf di bawah.

Peringatan : Pendek. Setting AU. Saya tidak begitu paham seluk-beluk Hogwartz. Dan saya juga belum berada dalam mood meancari tahu. OOC –mungkin. Crack. Inspirasinya datang dari video-lupa-judulnya di dan scene film waktu Harry nemenin Luna nyari sepatunya. Typo(s). Saya pakai sudut pandang Harry di sini. Bukan mau jadi Harry, sih. Tapi ya dapet idenya begitu. Maaf mengecewakan. Semoga berkenan.

.

.

Luna

.

.

Dia, gadis itu, manis. Dia seperti Cinderella, bahkan meski tanpa sepatu kacanya. Dia tersenyum. Tenggelam dalam fantasi yang hanya bisa dimengerti kepalanya sendiri. Dia memiliki dunianya sendiri. Dan aku sama sekali bukan bagian darinya –meski aku sungguh mengharapkan itu. Dia terlalu menikmati dunianya –menurutku. Dia tak peduli ketika teman-temannya menghina, mencaci, bahkan menertawakannya. Dia memilih tersenyum. Seolah tanpa beban.

Dia bukan gadis populer –tentu saja. Bahkan aku baru menyadari eksistensinya setelah 4 tahun berada di sekolah yang sama dengannya. Dia terlalu bening. Transparan di mata orang. Aku kerap melihatnya –mengamatinya dalam diam. Aku tahu, aku pengecut. Pengecut yang diagungkan sebagai anak-nomor-satu-di-sekolah. Aku tak memiliki cukup keberanian untuk mendekatinya. Bahkan hanya untuk menanyakan namanya, aku tak berani.

Hingga saat itu tiba. Pesta perpisahan sekolah. Kelulusanku dan semua temanku. Tidak untuknya. Dia setahun di bawahku. Dia masih tinggal setahun lagi di sini. Dan aku tak yakin aku senang dengan kebisingan ini. Pasangan dansaku entah ke mana. Aku memandang ke segala arah. Bukan. Bukan mencari teman dansaku. Aku mencari dia. Gadis pirang itu.

Ah, itu dia. Rambutnya digerai. Tanpa hiasan sama sekali. Cantik. Gaun peach yang melekat di tubuhnya terlihat berkibar ketika kakinya melangkah. Lagi-lagi tanpa sepatu. Dan dia tetap tersenyum. Tak peduli dinginnya lantai aula. Aku terus memerhatikannya. Aku yakin ia tak sadar tengah diperhatikan. Seperti aku yang tak sadar kakiku melangkah. Membawaku mendekatinya. Ketika dia menoleh dan menatapku dengan pandangan lembutnya, ketika itulah aku sadar kami tak lagi di aula.

"Hai!"

Suaranya lembut. Mengalun dan mengalir begitu saja. Masuk dan membuatku terpacu. Nyaman.

"Hai!" aku kelu. Entahlah.

"Bosan dengan pesta?" dia yang memulai. Ini memalukan.

"Ya. Kau?"

Dia melepas tatapannya padaku. Menarik pandanganku ke direksi yang sama dengan yang ia lihat. Telapak kakinya. Dia mencari sepatunya –kurasa.

"Butuh bantuan?" mungkin ini bisa menjadi awal untukku mengenalnya.

Dia menatapku. Untunglah dia tak mendengar degupku.

"Kau mau?" aku mengangguk. "Tapi penggemarmu tak akan suka dengan ini, Tuan Potter!" lanjutnya dengan senyuman yang kerap muncul di malamku.

"Kau tahu namaku, Nona?" dan dia tertawa kecil.

"Tentu. Kau orang yang paling dibanggakan di sini."

'Dan kau orang yang paling kubanggakan.' Bukan ini yang keluar dari mulutku.

"Kau berlebihan, Nona, em –"

"–Luna. Namaku Luna."

Senyumku mengembang. Akhirnya aku mendapat keberanianku. Kuharap ini benar-benar menjadi awalku mengenalnya.

.

.

.

Selesai atau bersambung?