Disclaimer: all from JK Rowling. kecuali ceritanya. ini cuma mimpi seorang anak yang berusaha dia abadikan dengan ketikan pada komputernya.
Perang Hogwarts, dimata seorang anak Ravenclaw.
Warning: Tokoh diambil dari nama-nama murid Ravenclaw di Hogwarts. namun dengan pengubahan dibanyak tempat. Cerita ini adalah bagian awal. ada 3 bagian yang akan dibuat. Alur mengikuti buku HP 7.
enjoy, and review. tell me I should finnish this story or not. thank you!
1. Cepat.
"Suara-suara gaduh itu begitu menyebalkan!" teriakku frustasi. Aku baru saja kembali ke kamarku dua menit setelah patroli Prefek, dan sekarang aku mendengar beberapa anak perempuan berteriak. Apa sekarang? Perang bantal? Mereka benar-benar mau dihabisi Carrow ya? Ugh. Mereka bahkan tidak tahu Carrow ada diruangan Rekresi mereka… Entah apa yang dilakukan Pelahap Maut sialan itu, menunggui patung Rowena Ravenclaw…
Aku keluar dari kamarku dan mendadak menyadari apa yang salah. Jeritan itu bukan dari kamar putri. Tapi dari ruang rekreasi. Oh, tidak. Ada sesuatu yang sangat salah pasti terjadi.
Buru-buru menuruni tangga ke ruang rekreasi, aku menginjak jubahku sendiri ketika tergesa mengeluarkan tongkat sihirku. Begitu mataku fokus, aku nyaris tersedak. Harry Potter.
Tidak mungkin. Tapi itu Harry Potter... dan Luna Lovegood! Anak kelas 6 yang tidak kembali setelah Natal itu! Oh Merlin Harry Potter! Mustahil sekali… dia buronan kementerian! Dan kenapa dia ada di ruang rekreasi Ravenclaw? Dia Gryffindor! Dan astaga apa yang terjadi dengan Carrow bersaudara? Kelihatannya Potter menghabisinya. Well, sebenarnya terima kasih sekali Potter.
Tapi ini masih sulit dimengerti. Ditambah Professor McGonagall yang tiba-tiba membuat Patronus. Dan berlari keluar bersama Potter dan Lovegood.
Uh oh. Harusnya aku tahu. Cepat atau lambat pasti akan datang. Kehadiran Potter dan Patronus mendesak McGonagall menegaskan semuanya. Perang itu terjadi. Sekarang.
Orlando Quirke, Prefek satunya, sepertinya menyadari hal yang sama. Matanya membelalak ketakutan dan dia mulai mengigiti bibirnya.
"SEMUA TENANG!" teriakku frustasi kepada anak-anak perempuan kelas satu panik. Mereka berkicau menambah panik suasana. "TUNGGU INSTRUKSI DARI KEPALA ASRAMA!"
Tidak memberikan pengaruh. Sepertinya harus menggunakan Sonorus.
Tapi sebelum aku mengangkat tongkat sihirku, Profesor Flitwick masuk tergesa-gesa, panik, meminta perhatian dengan letusan dari tongkat sihirnya. Perutku anjlok. Benar-benar terjadi…
"EVAKUASI DARURAT! SEMUA MURID TURUN KE AULA BESAR! BAWA TONGKAT SIHIR KALIAN! DAN JANGAN BERTERIAK TERIAK!" lengking Fliwick.
"Derwent! Quirke! Bantu arahkan murid kelas bawah!" aku tersentak begitu namaku disebut, begitu juga dengan Orlando. Dia tampak pucat. Well, mungkin aku juga. Kami para Prefek sudah disiapkan, untuk tidak kaget jika menerima instruksi semacam ini. Tapi tetap saja pada situasi ini...
Proses evakuasi menghabiskan kesabaran. Orlando berteriak pada seorang perempuan kecil pirang yang bersikeras menjemput burung hantunya sebelum turun. Aku menariknya sebelum dia sempat mengeluarkan tongkat sihirnya. Dia panik. Kami semua panik. Tapi itu bukan alasan untuk menyerang seorang gadis kecil keras kepala.
"Lepaskan aku, Rosalie!" sentaknya ketika aku terus menarik jubahnya.
"Dinginkan kepalamu, Orla. Banyak yang harus dilakukan, please." Kataku tajam. Dan dia menatapku marah.
20 menit yang sangat rumit, tapi kami berhasil membawa semua anak Ravenclaw ke Aula Besar. Sahabatku, Anne Chambers, menatapku gelisah, meminta penjelasan. Aku memandangnya muram dan sedih. Berusaha berkomunikasi tanpa kata-kata. Dia mengerti dan bahunya terkulai lemas.
Keempat meja asrama sudah dipenuhi anak-anak yang berantakan, setengah piyama, setengah mantel bepergian. Ketakutan.
McGonagall berdiri di podium, menyampaikan instruksi. "…Evakuasi akan diatur oleh Mr. Filch dan Madam Pomfrey. Para Prefek, kalau sudah kuberikan aba-aba, kalian akan mengorganisir asrama-asrama kalian dan membawa anak-anak yang menjadi tanggung jawab kalian, dengan teratur, ke titik evakuasi."
Seorang murid Hufflepuff berdiri dan berteriak lantang. "Dan bagaimana kalau kami ingin tinggal dan ikut bertempur?"
"Jika kalian sudah cukup umur, kalian boleh tinggal," kata Profesor McGonagall.
"Bagaimana dengan barang-barang kami? Koper-koper kami? Burung hantu kami?" kata anak perempuan pirang yang tadi berdebat dengan Orlando.
"Kita tidak punya waktu untuk menyiapkan barang-barang. Yang paling penting adalah mengeluarkan kalian dari sini dengan selamat."
"Dimana Profesor Snape?" teriak seorang anak Slytherin.
"Dia telah, istilah umumnya, kabur," jawab Profesor McGonagall. Sorakan keras terdengar dari Gryffindor, Ravenclaw dan Hufflepuff. Aku sendiri tidak tahan untuk tidak mendengus.
Professor McGonagall menjelaskan lebih lanjut tentang prosedur evakuasi, namun suara membahana menenggelamkan suaranya. Suara nyaring, dingin, dan menakutkan. Membuat bulu kuduk berdiri dan seolah mencengkeram jantung. Dia yang namanya tidak boleh disebut.
"Aku tahu kalian sedang bersiap-siap bertempur." beberapa murid menjerit dan memandang ngeri. "Usaha kalian percuma saja. Kalian tidak bisa melawanku. Aku tak ingin membunuh kalian. Aku sangat menghormati guru-guru Hogwart…" aku bisa melihat McGonagall mendesis marah "…Aku tak ingin menumpahkan darah sihir." Aula Besar sunyi senyap. Sangat menakutkan.
Tapi suara menakutkan itu belum berhenti. "Berikan padaku Harry Potter, dan tak seorang pun akan dicelakai. Berikan kepadaku Harry Potter dan aku akan meninggalkan sekolah tanpa menyentuhnya. Kalian punya waktu sampai tengah malam."
Refleks, aku menoleh ke Harry Potter, orang yang bersangkutan dibarisan meja Gryffindor. Dan seluruh orang di Aula Besar juga melakukannya. Aku tidak mengerti ekspresinya. Hampir seperti meminta maaf kepada kami.
Namun mendadak, Prefek Slytherin, Pansy Parkinson, berteriak dan menunjuknya. "Tapi dia ada disana. Potter ada disana! Tangkap dia!"
Perempuan yang benar-benar keterlaluan. Dan jelas sudah membuktikan diri bahwa dia ada di pihak Pelahap Maut.
Serentak para Gryffindor berdiri, siap membela Potter. Tatapan mereka mirip sekali kebencian yang mendalam ketika melihat kearah Parkinson. Aku juga berdiri, menghadap Prefek Slytherin itu. Berdasarkan naluri, tongkat sihirku sudah mengacung kearahnya, siap mendaraskan mantra apapun yang pertama terlintas di pikiranku. Orlando berdiri dalam posisi yang sama. Dan semua Ravenclaw.
Menyadari jika sedetik saja terlambat Parkinson hanya tinggal nama, Professor McGonagall berkata tajam, "Terima Kasih, Miss Parkinson, kau akan meninggalakan Aula lebih dulu dengan Mr. Filch. Murid-murid asrama Slytherin yang lain menyusul."
Setelah Slytherin berlalu, habis sama sekali, professor McGonagall berkata "Ravenclaw menyusul!"
Aku tak perlu mempertanyakan keputusanku lagi. Aku bertempur. Aku pejuang Hogwarts. Orlando, Anne, dan beberapa Ravenclaw kelas tinggi tetap dalam posisi masing-masing.
Aku melihat Anne penuh pengertian. "Aku tahu kau menyayangi Hogwarts, Anne. Tapi kau tidak perlu ikut bertempur," kataku lembut.
Anne mengigit bibir. "Begitu juga dengan kau, Rosalie Derwent! Kau juga Orlando! Dan kau Carmichael! Kalian bisa mati!" dia memilin kata itu, "Bagaimana aku pergi dengan kalian semua disini, bertempur, aku tidak tahu…"
"Ini keputusan pribadi Ann. Pergilah." Kata Orlando lugas.
Anne menangis terisak. "Maafkan aku. Aku sayang kalian dan kalian pasti akan baik-baik saja. Kau brilian Rosalie, dan kau Orlando, dan…" kata-katanya tenggelam. Dia memelukku sekilas dan berlari menyusul rombongan Ravenclaw.
Hufflepuff dan Gryffindor dibubarkan. Caldwel, salah seorang sahabatku di Hufflepuff dan pacarnya, Summerby, menatap tidak percaya padaku yang masih duduk tenang di meja Ravenclaw.
"Apa yang kau lakukan?" desaknya.
"Membela duniaku. Dan jika aku tidak kembali nanti, bisakah kau menyampaikan pada Mum dan Dad kalau aku sangat menyayangi mereka?" kataku tenang.
Caldwel mengap-mengap. "Aku... Kau… Rosalie… Bagaimana aku… nanti keluargamu…"
"pergilah Owen. Sampai jumpa. Kalau bisa."
Dia pergi dengan keadaan terguncang. Pacarnya menatapku, kelihatan bersimpati. Dan mereka berlalu. Aula Besar riuh dengan ucapan selamat tinggal. Aku berusaha bergeming.
Aku tahu Andrew Dawson akan bergabung denganku. Meloncat dari meja Gryffindor, dia duduk dihadapanku. Andrew nyengir seolah tidak ada apa-apa. Berbeda dengan siswa Hogwarts yang rata-rata hanya bersahabat dengan satu asrama, aku bersahabat dengan teman-temanku sebelum kami mengenal Hogwarts, dan tetap menjadi sahabat walaupun terpisahkan oleh asrama.
"Kau tahu, kita bisa memilih…" dia memulai. Aku mengangkat alis.
Dia tertawa, tapi langsung terinterupsi oleh pengumuman salah satu anggota Orde Phoenix. Kingsley namanya? Sepertinya salah satu anggota kementerian…
"Kita hanya punya waktu setengah jam sebelum tengah malam, maka kita harus bertindak cepat! Rencana pertempuran telah disetujui oleh guru-guru Hogwarts dan Orde Phoenix…"
Instruksi-instruksi dan perintah digaungkan, dan para pejuang mengambil posisi dalam pasukan-pasukan yang akan mengambil teritorial perang yang telah dibagi.
"Kau Menara Astronomi, Rosalie. Aku ke Menara Gryffindor." Kata Andrew tegas. Sisa tawanya yang terakhir sudah lenyap sama sekali. Sekarang rahangnya terkatup kuat.
Aku mengangguk dan berdiri, bersiap bergabung dengan pasukan Menara Astronomi. Tapi baru dua langkah, Andrew menarik tanganku hingga aku berbalik menghadapnya.
"Kau yakin? Aku lebih suka kau pulang Rosalie…" bisiknya.
Aku tersenyum. "Aku juga lebih suka kau pulang, Drew."
Dia menatapku nanar dua detik, sebelum aku melepaskan tangannya dan berkata "Sampai nanti. Kalau bisa," dan aku bergabung dengan pasukan Menara Astronomi. Andrew berlari bergabung dengan pasukan Gryffindor. Didepannya, Harry Potter berlari keluar dari Aula Besar.
Pasukan kami berlari kearah tangga, dipimpin Profesor Flitwick sebagai komandan. Pasukan Menara Astronomi tidak difokuskan untuk menyerang, melainkan melindungi kastil beserta isinya. Sambil berlari Flitwick mendaraskan mantra-mantra rumit, menghembuskan angin hangat yang terasa magis menyelubungi kami. Disebelah kami Profesor Sprout melakukan hal yang sama, memimpin pasukan lain ke Menara Ravenclaw.
Waktu terasa begitu mendesak hingga menakutkan, kami seperti terkejar, betapapun berusaha semakin cepat kami berlari. Aku mengenggam tongkat sihirku semakin mantap dan semakin awas. Bahaya! Instingku menjerit. Menjadikan tiap panca indraku 2x lebih peka.
Orlando ada disebelahku, menoleh kebelakang tiap 2 detik. Dan ketika kami menjejakkan kaki di Menara Astronomi, lantai bergetar. Bagian bawah kastil jelas diledakkan.
Perang dimulai.
Flitwick meneriakkan lebih banyak mantra lagi, sekarang tujuannya kebawah Menara. Orlando menyerang dengan kutukan-kutukan perdetik kepada sosok-sosok berkerudung hitam yang memasuki kastil. Aku menyabetkan tongkat sihirku untuk menghalau kutukan yang berbalik dilontarkan kepada kami.
Semakin tidak terkendali.
