Jika aku bukan untukmu, lantas berikan alasan dari kehidupanku.

Story by Spica Zoe

Chara from Shoujo Kageki Revue Starlight/レヴュー スタァライト

in

Glamorous Us

.


"Bagaimana?"

Maya menggeleng.

Ini sudah yang keempat kali ia menyuruh Karen untuk mencoba busananya. Dan sampai sejauh ini, tidak ada yang menarik baginya.

Karen pun menghela napas ketika ia melihat raut kecewa di wajah Maya. Perancang busana muda ini memang banyak maunya. Rasanya, setelah dua tahun ikut dengannya, Karen merasa kemampuan Maya mulai luntur begitu saja.

Maya adalah seorang perancang ternama. Wanita dua puluh delapan tahun itu sudah memiliki nama diantara para perancang ternama dunia untuk hasil karyanya. Namun akhir-akhir ini, oleh sebab kecelakaan, Maya seakan mendapat kelemahan dalam berkarya.

Kecelakaan tujuh bulan lalu membuatnya kesulitan untuk menggali kembali bakatnya dalam merancang sesuatu. Bahkan acap kali Karen merasa jika selera fashion Maya pun kini telah berkurang.

Jika dulu, Maya bisa menghasilkan empat rancangan mode dalam satu hari, namun sekarang seakan semuanya tak lagi semembara itu.

Bahkan untuk saat ini pun, Maya seperti kehilangan kepercayaan diri meski hanya sekedar untuk mengecap nilai seni dari busana yang dulu sangat dielu-elukan sebagai rancangan terkemuka karyanya.

Karen sengaja memaksa Maya untuk menggali kembali bakatnya dengan cara ini. Karena jika Maya terus ternggelam dalam ketidakberdayaan seperti ini, Karen bisa bayangkan apa yang akan terjadi pada mereka di masa depan. Jangankan masa depan. Saat ini saja Maya sudah seperti ditinggalkan semua orang.

Maya meletakan kaca matanya di atas meja seraya duduk di kursi kerjanya. Menghela napas, menatap kosong sebuah busana yang kata Karen adalah karya yang paling ia suka dari Maya. Maya akui jika busana itu adalah busana yang paling menawan diantaranya. Namun, kesimpulan yang Karen berikan membuat Maya tidak pernah ingin menghargai dirinya saat ini, lagi.

"Aku tahu kau sedang terpuruk, Tendou-san." Karen melipat busana yang baru saja ia kenakan. Melihat keterpurukan Maya membuatnya ambil pikir. Beberapa orang bahkan sudah pergi meninggalkan Maya dengan kelemahan yang Karen sendiri tak tahu kapan bisa Maya lenyapkan.

Memandang Maya saat ini bagi Karena adalah hal yang sangat ia sesali. Tidak pernah ia melihat Maya seperti ini. Maya yang ia kenal adalah Maya yang penuh dengan sinar. Penuh dengan bakat yang membuat semua orang yang berada di sekitarnya terpengaruh untuk ikut berkarya.

Apa masa kejayaan Maya akan lenyap?

.

Tapi biar bagaimanapun hidup tetap berjalan. Senja telah meninggalkan bekas kegelapan di bawah langit Tokyo malam ini. Karen baru saja selesai membereskan beberapa potong pakaian yang sengaja ia benahi untuk membantu Maya kembali. Sebenarnya tidak ada pekerjaan beberapa hari ini. Semenjak Maya cacat dalam berkarya, beberapa orang memilih untuk tidak kembali bekerja dalam beberapa hari. Toh, tidak ada yang harus mereka kerjakan jika Maya sendiri tidak punya sesuatu yang harus ia ciptakan. Beberapa perancang juga memilih untuk mengundurkan diri dari pada membuang waktu mereka untuk menunggu Maya kembali dari kesenjangannya.

Akhirnya, Karen lah yang mengusulkan untuk meliburkan para pekerja. Dan ia telah memantapkan diri untuk membantu Maya sembuh dan kembali berkarya. Untuk itu, meski tidak ada kegiatan, mereka tetap berada di sana.

"Apa kau ingin ke suatu tempat untuk menenangkan diri?" Karen memandang Maya yang tengah diam berdiri di depan busana lain yang Karen nilai sebagai rancangan pertama dari sang berbakat itu.

Maya bergeming.

Tak merespon.

Mungkin ia memang tak mendengar Karen bersuara. Hingga Karen melangkah mendekatinya.

"Ini adalah karya pertamamu." Ucap Karen tersenyum lembut. Ditatapnya wajah Maya dari sisi samping. Wajah Maya yang teduh dan tegas. Cantik dan selalu memikat siapapun yang memandangnya. "Rancangan yang kaubuat ketika kau berumur tujuh belas tahun."

.

.

"Aku bukannya hilang ingatan, Aijo-san. Aku hanya sedang tidak bisa menghasilkan sesuatu. Jadi kau tidak perlu melakukan apapun untuk membantuku pulih." Maya mungkin merasa tidak yakin dengan apa yang baru saja ia ucapkan. Semoga Karen tidak tersinggung dengan kalimat penolakan yang ia berikan. Sebenarnya ia sangat bersyukur jika Karen mendukungnya sampai sejauh ini. Di saat semua keadaan seakan ingin menghakiminya bersalah. Baik orang-orang sekalipun meninggalkannya ketika ia tidak berdaya, namun Karen tetap memilih untuk berdiri di sisinya dan membantunya pulih.

Namun, Maya memang sedang tidak ingin memaksakan diri. Mungkin ia ingin memanfaatkan kesenjangan waktunya saat ini untuk beristirahat dari semua kesibukan yang pernah ia lalui.

"Dan, mungkin. Kaupun tidak masalah jika meninggalkanku untuk saat ini." Karen mengerutkan keningnya memandang Maya saat ini. Maksudnya apa? Apa ia dipecat?

Menangkap ekspresi tak senang Karen, Maya cepat-cepat membenarkan maksudnya. "Maksudku, istirahatlah selama kita tutup. Tidak perlu selalu berada di sisiku. Dan aku janji, aku akan kembali." Senyumnya, hampa.

"Kalau begitu," Dan sebelum mereka berpisah diantara keramaian hiruk-pikuk langkah kaki orang-orang di Tokyo, Karen menggenggam tangan Maya untuk mengatakan sesuatu. Sesuatu yang mungkin bisa menambah keyakinan Maya untuk tetap berjuang bagi dirinya sendiri. Sesuatu yang mungkin bisa membuat Maya yang dulu, kembali dengan semua bakatnya. Karen merogoh saku mantelnya dan mengambil sesuatu dari sana. Dan tahu-tahu sesuatu itu sudah berada di dalam genggaman Maya meski Karen tetap memandangnya. "Aku mungkin punya seseorang yang bisa membantumu pulih. Dan temuilah dia jika kau tidak lagi menemukan jalan."

.

.

Maya membuka pintu kamar apartemennya. Aroma obat-obatan langsung menyerang penciumannya. Mungkin, ekspresi tenang yang selalu Maya hadirkan menyamarkan betapa terpuruknya ia pada kondisi dirinya sendiri. Tiap malam, Maya seakan berubah menjadi pribadi yang berbeda dari dirinya yang tampak di siang hari.

Jika Maya lupa meminum obat, kondisi jiwanya akan sangat terpuruk dan berakhir dengan kepanikan hingga membuat psikisnya mengalami stres yang menjadi-jadi.

Kadang Maya ingin meniadakan obat-obatan itu. Namun kondisi jiwanya tak mendukung untuk melakukannya. Benar saja, kadang biar bagaimanapun caranya ia menanangkan diri, serangan itu bisa datang tiba-tiba dan membuatnya mengamuk tanpa sebab.

Beberapa dokter telah ia datangi untuk membantunya terlepas dari masalah ini. Namun, tidak pernah ada yang sampai berhasil mengembalikan Tendou Maya yang dulu.

Maya menyingkirkan beberapa serpihan kaca di atas lantai kamarnya. Malam tadi ia pun tetap mengamuk hingga pecahan kaca itu berserakan di sana.

Ia menarik napas berkali-kali untuk coba menenangkan jiwanya. Namun sesak itu entah mengapa lebih sering menyerang dirinya. Dan panik pun kini menyusul untuk menguasai otaknya. Langkah kakinya yang semula masih tenang itu, kini terlihat gemetar. Maya menggenggam angin di kedua tangannya. Mengerat kuat menahan rasa sakit dikepalanya. Ia tidak pernah suka derita ini. Tapi, diobati seberapa keras pun, derita ini tidak pernah menunjukan rasa menyerah untuk menyerangnya.

Maya masih berusaha bertahan di kedua kakinya. Ia butuh obat-obatan itu. Obat-obatan yang berada di atas nakas yang kini sedang berusaha ditujunya. Bukannya berhasil sampai di sana, Maya tiba-tiba saja terjatuh diatas lantai. Rasa sakit di kapalanya membuatnya tak sanggup bertahan. Apa saja. Apa saja akan ia lakukan untuk menggantikan rasa sakit di kepalanya. Dan hal-hal yang Maya sering lakukan selalu mencoba untuk menggigit tangannya sendiri.

.

Maya terbangun perlahan dari lelapnya.

Berusaha diingatnya apa yang terjadi pada dirinya. Namun rasa dingin langsung menusuk tulangnya. Maya mencoba bangkit. Ternyata ia tengah terbaring di atas lantai yang dingin. Dilemparnya pandangannya pada segala penjuru sudut ruangan. Segalanya berantakan.

Maya mencoba menahan bobot tubuhnya dengan tangannya. Namun yang ia rasa malah rasa perih di sana. Ditelisiknya jemari tangannya yang berdarah. Itu pasti ulahnya.

Sebelum rasa sakit itu kembali menyerangnya lagi. Dengan cepat, Maya menyambar botol obat yang berada di nakas.

Sebelum ia mulai berpikir.

Sebelum ia mulai terpuruk kembali karena pikirannya, Maya langsung menelan beberapa pil obat di sana agar rasa sakit di kepalanya tidak datang lagi.

Maya harus lebih cepat bertindak agar bisa tetap bertahan. Kecenderungan emosi bisa saja mengambil ahli sadarnya kembali dan ia pun akan berakhir seperti tadi meski ia tidak mau.

Maya melirik jam di atas dinding kamarnya. Sudah tengah malam menyambut pagi.

Rasa perih luka di jarinya saat ini sudah sangat terbiasa ia rasakan. Entah sampai kapan Maya akan terus seperti ini. Bagaimana mungkin ia bisa berjuang kembali dalam kariernya, jika ternyata berjuang untuk lepas dari penderitaan ini saja ia tidak bisa.

Tapi, untuk apapun itu, Maya berusaha untuk tidak berpikir lebih. Jika ia melakukannya, kemampuan obat pun tidak akan berguna untuk menetralkan pikirannya.

.

.

Maya meraih ponselnya yang berdering. Masih pagi begini, Karen sudah menelponnya. Maya menjawabnya secepat mungkin agar Karen tidak menaruh curiga akan dirinya. Karena sesekali, Maya mendapati Karen tengah memperhatikan beberapa luka yang ada di jemari dan tangannya.

"Ya, Aijo-san?" ucap Maya setenang mungkin.

"Pagi, Tendou-san. Aku pikir aku ingin mengingatkanmu kembali. Kau masih memegang kartu nama yang kuberikan padamu tidak?"

Maya mengernyit. Sekejap ia lupa kartu nama apa yang dimaksud oleh Karen. Namun beberapa detik kemudian, ia memasukan tangannya ke saku pakaiannya yang belum ia tanggalkan hingga pagi ini. Maya mengeluarkan benda yang Karen maksud dan membacanya sebelum ia membalas pertanyaan Karen di seberang sana.

"Ya, masih denganku. Ada apa?" tanya Maya ingin tahu. Meski matanya tetap memandang kartu nama itu.

"Oh. Aku salah memberimu kartu nama yang baru. Itu alamat lama yang ia gunakan. Sekarang dia sudah tidak berada di sana. Kau boleh catat alamat barunya. Atau jika perlu nanti aku kirim pesan untukmu."

Maya mengerti apa yang Karen ucapkan. Sebelum ia menyetujui ucapan Karen, gadis lincah itu sudah melanjutkan ucapannya. "Dan kau harus segera temui dia jika kau tidak mau kehilangan kariermu, Tendou-san. Takutku alamat ini pun akan berganti di kemudian hari jika kau tidak cepat menemuinya."

.

.

Kali ini, Maya tidak lagi ragu menuruti semua yang Karen perintahkan padanya. Alamat yang Karen beri itu cukup jauh dari Tokyo. Maya sudah membawa beberapa pakaian untuk menginap jika itu diperlukan. Tidak lupa dengan obat-obatan yang mungkin harus lebih cepat ia santap sebelum penyakitnya menyerang. Dan setelah semua yang ia butuhkan sudah ia lengkapi, Maya pun berangkat ke tempat tujuan.

.

Maya menekan nomor telepon yang Karen beri padanya. Sambil menelisik bangunan tua yang berada di hadapnya, Maya menyangsikan apa ia sudah menemukan alamat yang benar atau tidak.

"Hallo, Saijo, di sini."

Terhubung!

Maya pikir, Karen memberikan nomor telepon yang tidak lagi bisa dihubungi.

"Selamat pagi, Aku Tendou Maya. Apa aku bisa bertemu denganmu?"

Sedikit ragu untuk mengucapkannya. Tapi, Maya tetap harus mencoba berbagai cara untuk melakukan sesuatu yang bisa menyembuhkannya. Bahkan sebenarnya sampai sekarang Maya tidak tahu siapa orang yang akan ia temui ini. Karen tidak mengatakan apapun tentang profesinya atau alasan apa yang membuat Maya yakin jika orang ini bisa membantunya.

Mungkin saat itu Maya sedang tidak tertarik. Namun, memikirkan jika malamnya akan penuh dengan derita jika ia tidak berkeinginan untuk sembuh, maka Maya bertekad untuk melakukannya.

"Ada perlu apa menemuiku? Dan aku tidak mengenal namamu." Balas suara wanita di seberang sana. Membuat Maya merasa ragu. Namun sekejap bayangan wajah Karen yang selalu mendukungnya, membuat ia merasa yakin untuk yang kesekian kali.

"Aku ingin, kau menyembuhkanku."

.

.

Maya terdiam sejenak. Rumah yang tadi ia pandangi ternyata benar alamat dari wanita yang kini sudah berdiri di depannya. Bangunan tua bergaya Eropa yang cukup bagus namun termakan usia. Maya tidak tahu jika di Jepang masih ada bangunan semacam ini.

Maya memberikan kunci mobilnya kepada pria tua penjaga rumah yang sudah diperintah untuk membantunya. Meski Maya memilih untuk membawa barang-barangnya sendiri.

"Aku tidak yakin bisa membantumu, Tendou-san." Ucap wanita berambut terang itu ketika ia menjamu Maya. Memulai langkah untuk masuk ke dalam rumahnya. Sedang Maya, sama sekali tidak lagi fokus mendengar suara wanita itu. Wanita yang rupanya sangat cantik tak seperti orang Jepang pada umumnya.

"Maaf jika bangunannya sudah tua. Apa kau akan menginap?" tanya wanita itu ramah dan lembut. Membuat lamunan Maya sirna seketika. Ia merasa tidak enak dengan barang bawahannya yang terkesan tidak ada santunnya di hadapan wanita cantik ini.

"Aku akan mencari penginapan di dekat sini jika hari sudah mulai gelap." Ucap Maya tidak enak. Dan dengan cepat wanita bergaun tipis itu meresponnya. "Tidak perlu, jika tidak keberatan, kau bisa menginap di sini. Kami punya beberapa kamar yang masih layak untuk kau tempati." Ucapnya tersenyum.

.

Untuk sebuah bangunan tua, bagi Maya isi dalam rumah ini sungguh luar biasa. Segalanya masih sangat terawat dan terjaga. Tapi, senyap lebih banyak mengisi karena bagi Maya mungkin tak banyak orang yang tinggal di sana.

Begitu sunyi.

.

Maya langsung duduk setelah Saijo mempersilakannya. Mereka kini berada di beranda di tengah taman yang sangat menakjubkan. Apa ini benar-benar masih bagian dari Jepang?

"Apa kau takjub dengan suasana di sini?" seperti bisa merasakan apa yang Maya rasakan, Saijo tersenyum ketika ia mendapati matanya dan mata Maya bertatapan untuk beberapa detik. Ada ketertarikan di sana, dan Maya pikir itu adalah nilai lebih dari wanita ini.

Saijo meletakan secangkir teh di atas meja, kemudian ikut duduk di sisi lain Maya sambil menemani wanita itu menikmati hal yang baru pertama ia temui di hidupnya, mungkin.

"Apa kau tinggal sendiri di rumah ini?" tanya Maya memulai pembicaraan. Seakan lupa jika harusnya ia lah yang ditanyai untuk urusan apa ia datang ke sini.

"Aku baru pindah ke rumah ini setelah ayah dan ibuku meninggal dunia dalam penerbangan pesawat dua tahun lalu." Maya menoleh. Jawaban wanita itu membuatnya tertarik untuk menyelidiki raut wajahnya. "Aku baru pindah satu tahun yang lalu." Lanjutnya. Memandang Maya yang telah lebih dulu memandangnya. "Tidak bisa dikatakan pindah, mungkin bisa lebih cocok dikatakan kembali. Karena biar bagaimanapun ini rumah orang tuaku." Lanjutnya tersenyum.

Sangat rupawan.

Seperti seorang wanita bangsawan yang terpelajar dengan bagaimana caranya bersikap.

Tapi, rasa penasaran Maya tidak berhenti sampai di sana. Mungkin itulah mengapa alamat yang diberi Karen padanya, berubah. Mungkin sebelumnya wanita ini memang sempat menetap di Tokyo sebelum akhirnya kembali ke rumah orang tuanya. Tapi, pertanyaan Maya tak terjawab. Apa benar wanita ini tinggal sendiri?

"Apa suamimu sedang bekerja?" Maya kembali bertanya. Tapi mungkin pertanyaannya terlalu kurang ajar sampai Saijo menatapnya dengan raut wajah yang penuh dengan keheranan. Meski pada akhirnya ia akhiri dengan tawa. Baru ini ada orang yang bertanya selancang itu padanya.

Tapi Saijo tak merasa harus tersinggung pada Maya.

Bukannya tidak tanpa alasan Maya menanyakan itu. Mata dan jemari Maya sudah lebih mengerti bagaimana menatap dan menilai seseorang meski hanya dalam lekuk tubuh dan karakternya saja. Mungkin itu juga termasuk bakat alami Maya yang tidak akan mungkin bisa dipercayai oleh orang lain dengan mudah.

Dari perkiraan Maya, wanita ini mungkin berumur setahun lebih tua darinya. Ia masih mudah. Dan cantik. Namun bisa Maya yakini jika ia sudah tak sendiri. Atau pernah berdua?

"Hebat jika kau bisa menduga bahwa aku memiliki suami hanya dengan memandangku." Saijo tersenyum. Dan Maya sekali lagi terjebak dalam sikap lembutnya itu. "Suamiku juga sudah meninggal dalam kecelakaan yang sama dengan kecelakaan yang merenggut nyawa kedua orang tuaku." Ucapnya lembut.

.

.

Maya mengutuki dirinya untuk kesekian kali.

Tidak habis pikir kenapa bisa ia bicara selancang itu sampai membuka luka batin seseorang yang bahkan ingin ia mintai pertolongan.

Namun, melihat penyesalan Maya, Saijo hanya tersenyum. Entah mengapa, ia langsung suka melihat sifat Maya yang berbeda dari kebanyakan orang yang telah ia temukan.

"Jadi apa tujuanmu ke sini?" tanya Saijo menatap Maya yang menyesal terlihat dari wajahnya.

"Ada yang menyuruhku untuk menemuimu. Katanya, kau bisa menyembuhkan seseorang yang tengah terpuruk dalam kehidupan."

.

.

Saijo membuka pintu ruang kamar kosong di bagian utara bangunan. Tidak terlalu jauh dari inti kehidupan rumah tua ini. Mungkin kamar ini cocok untuk Maya selama ia ingin disembuhkan. Saijo sudah mendengar kurang lebih penjelasan yang Maya paparkan untuknya. Tidak ada yang sulit jika Maya berusaha untuk pulih. Untuk itu, Saijo sangat menerimanya dengan senang hati.

"Kau bisa pakai kamar ini. Kamar ini tidak pernah digunakan. Dan kau orang pertama yang memakainya." Ucapnya membantu Maya membawa barangnya meski Maya berulang kali menolak.

"Anggap saja rumah sendiri. Tidak ada peraturan khusu yang berlaku di rumah ini. Hanya saja jika bisa, aku tidak terlalu suka keributan. Itu sudah cukup bagiku." Kata Saijo sebelum ia meninggalkan Maya di kamarnya.

"Dan satu lagi," Maya menoleh memandang ke arah pintu. Menemukan Saijo yang masih berada di sana. "Dua puluh menit lagi aku akan pergi untuk berbelanja. Istirahatlah yang cukup untuk hari ini." Ucapnya sebelum berpisah.

.

.

tbc..


Note : Terimakasih buat yang baca. Saya sudah buat peringatan sebelum membaca. Tidak ada hubungan sama sekali dengan Anime-nya.

Bagi yang tidak suka Genrienya, maafkan.