Precious Little Daughter
Disclaimer: Naruto © Masashi Kishimoto
Warning: oneshot/canon fic
Yang pertama kali dirasakannya ketika melihat wanita itu berlutut sambil memegangi lengannya yang terluka adalah darahnya yang berhenti berdesir.
Ia tak tau kenapa tapi mulutnya seakan memiliki jiwa sendiri berteriak memanggil wanita itu—mama.
Tidak, bukankah itu tidak benar? Wanita itu bukan siapa-siapanya. Wanita itu bukanlah wanita yang melahirkannya, ia sama sekali tak memiliki hubungan darah dengannya. Wanita itu hanyalah seorang penipu yang berpura-pura menjadi ibunya, yang hanya menyumpalkannya kebohongan selama hidupnya. Wanita berambut merah muda itu bukanlah ibunya. Ibunya adalah seorang wanita berkacamata dengan rambut merah layaknya darah dari masa lalu ayahnya—
—yang meninggalkannya begitu saja di tangan wanita lain selama dua belas tahun.
Sarada melihat ayahnya segera berlari ke arah wanita itu untuk menopangnya, mencabut pisau yang tertancap di lengannya dan membakarnya menjadi abu. Matanya nyaris melewatkan kekhawatiran yang berkelebat di iris gelap ayahnya ketika bertemu dengan sosok wanita tersebut. Ia mendengar wanita itu memanggil ayahnya dengan kata 'Darling', namun lelaki itu sama sekali tak terlihat keberatan. Membuat gadis itu bertanya-tanya apa hubungan ayahnya dengan wanita itu? Bagaimana dengan ibu kandungnya?
Bukankah wanita itu hanya penipu yang tergila-gila pada ayahnya? Yang tanpa rasa malu mengenakan simbol klan Uchiha di belakang punggungnya. Wanita yang tak tau diri yang memuaskan fantasinya dengan berpura-pura menjadi nyonya di rumah mereka. Wanita berdarah dingin yang hanya menyuapnya dengan kebohongan. Wanita yang membesarkannya, mengurusnya serta memenuhi semua kebutuhannya, memberinya makan dan mengajarinya cara berbicara.
Wanita yang memberinya rasa cinta juga kasih sayang, seolah-olah Sarada adalah miliknya—putrinya yang begitu berharga hingga merelakan dirinya terjaga semalaman di kala ia sakit.
Di saat wanita berambut merah darah itu—yang merupakan ibu kandungnya—menyia-nyiakannya begitu saja.
Ia baru saja selesai menghabisi makhluk aneh bermata sharingan yang muncul tiba-tiba di belakang mereka, ketika sekelompok cloning Shin datang untuk menyerbu mereka. Matanya melihat tubuh wanita yang tadinya berlutut menahan sakit itu bangkit berdiri di hadapannya—seolah-olah menjadi perisai manusia baginya.
"Mundurlah, Sarada." Ucap wanita itu. Tubuhnya yang tadinya lemah dan rapuh menjadi lebih tegap, lebih kuat, lebih ringan, lebih tegas—seakan-akan sesuatu baru saja merasuki raganya. Mata hijaunya berkilau dengan kesungguhan, tangan kanannya terkepal dengan erat, mulutnya terkatup rapat-rapat. Ia terlihat lebih berani, lebih ganas, lebih bersemangat—
—seolah-olah Sarada begitu berharga hingga pantas untuk dilindungi dengan nyawanya.
Dan putrinya yang begitu berharga itu, baru saja berkata kepada hokage ke tujuh bahwa ia tak ingin menyelamatkan wanita yang tidak melahirkannya tersebut.
Betapa bodohnya, ia menggigit bibirnya erat-erat. Melihat wanita itu berdiri di sana, dengan berani menjadi perisai bagi seorang anak yang sama sekali bukan putrinya, siap untuk menukarkan nyawanya demi dirinya—betapa bodohnya. Wanita yang memberinya pelukan serta ciuman, wanita yang memberinya cinta juga kehangatan, wanita yang membesarkan dan mengurusnya hingga saat ini. Wanita ini, wanita berambut merah muda yang rela mengorbankan dirinya demi Sarada, betapa kurang ajarnya.
Bagaimana bisa ia memalingkan wajahnya dari wanita yang terjaga semalaman saat ia menangis? Bagaimana bisa ia mencela wanita yang mengganti popoknya saat ia bayi? Bagaimana bisa ia membalikkan punggungnya pada wanita yang menyiapkannya bento setiap hari, wanita yang selalu menyambutnya dengan senyum hangat setiap ia pulang ke rumah, dan mendengarkan setiap keluhan juga celotehannya tentang betapa bodohnya laki-laki.
Bagaimana bisa ia meragukan cinta yang diberikan wanita ini, meragukan wanita yang siap mengorbakan dirinya demi Sarada, meragukan wanita itu bukan ibunya—dan berlari menangis untuk mengejar wanita yang tak memperdulikan dirinya.
Ia merasa malu sekaligus marah kepada dirinya sendiri. Setelah semua yang wanita berambut merah muda ini lakukan untuknya, setelah semua waktu dan tenaga yang ia habiskan untuk Sarada, gadis itu membalasnya dengan bersikap kurang ajar. Gadis yang begitu dicintainya itu berani untuk memanggilnya penipu dan menyebutnya bukan ibunya—betapa tak tau diri.
Tak peduli apakah ia terlahir dari rahimnya, tak peduli gadis itu memiliki darahnya atau tidak, wanita ini menganggapnya sebagai putrinya yang berharga. Dan Sarada berani menyangkal wanita yang begitu luar biasa tersebut bukan ibunya.
Ia mengepalkan tangannya erat-erat dan memejamkan matanya, tubuhnya kecilnya terasa gemetaran, tapi ia memaksanya untuk tetap berdiri tegak. Ia tak akan kalah dari wanita ini, wanita yang mencintainya dengan seluruh jiwanya—ia tak akan berpaling lagi, ia tak akan membalikkan punggungnya lagi. Karena sekarang matanya telah terbuka jelas, menatap punggung wanita ini yang berdiri tegap.
Karena ia sadar, wanita itu—wanita berkacamata dengan rambut semerah darah itu—bukanlah wanita yang tepat untuk mendapat gelar tersebut. Tapi justru wanita ini—wanita berambut merah muda ini— yang berdiri dengan gagah berani untuk melindunginya, wanita inilah yang pantas untuk dipanggil sebagai ibunya.
Maka ia tak akan membiarkan wanita ini mengorbankan dirinya demi Sarada lagi. Karena putri kecilnya yang berharga, telah memutuskan untuk melindungi ibunya.
Jadi ia berlari melewati wanita itu, dengan langkah yang lebih kencang, lebih pasti, lebih berani—menyerang para Shin terkutuk itu dengan semua kekuatan yang ia punya. Membiarkan wanita yang lebih dari pantas untuk dipanggilnya ibu tersebut melihat semua perasaan yang ia punya, melihat semua rasa terima kasih yang ia coba pancarkan kepadanya.
"Aku akan membinasakanmu, bajingan!"
Jadi ia memukul mereka sekuat yang ia bisa, membuat mereka hancur seketika, meretakkan bumi, membuatnya tunduk di bawah kekuatannya yang dahsyat.
Dan lihatlah, putri kecilnya yang begitu berharga—membuat orang tuanya merasa bangga.
"Shannarooo!"
"Sarada, kau baik-baik saja?!"
Ia melihat wanita itu berlari ke arahanya. Sarada sama sekali tak melewatkan rasa khawatir yang terpancar jelas seraya wanita itu mengucapkan kata-katanya. Sedetik kemudian ia telah berada dalam dekapan wanita itu. Ia bisa merasakan kelegaan yang dirasakannya, juga sisa-sisa rasa cemas dari tubuh wanita itu, memeluknya terlalu erat seakan-akan tak ingin kehilangan dirinya yang begitu berharga.
"Ibu, terlalu kencang..." Ucap gadis itu pada ibunya, mencoba menenangkan wanita itu dengan caranya sendiri, membuatnya melepaskan tubuh mungil Sarada sambil tertawa kecil. Tawa yang terdengar begitu menyenangkan, membuat Sarada tak menyangka betapa ia merindukannya. Namun gadis itu tetap tak melewatkan nada khawatir yang masih bergelayut di ujung tawa indah ibunya tersebut.
"Aku telah mendengar ceritanya dari Shizune," ucap wanita itu seraya mengehela napas, Sarada bisa melihat rasa kekecewaan yang ibunya coba sembunyikan dibalik mata hijaunya, membuatnya merasa begitu bersalah. "Sudah jelas kau adalah putriku, shannaro!" wanita itu meremas jari-jarinya sebelum melanjutkan, "Putriku yang begitu idiot."
Sarada tidak bisa lebih setuju lagi dengan perkataan ibunya. Ia memang begitu idiot—namun ia adalah putrinya.
Jadi ia hanya tersenyum sebelum berkata, "Aku tau, jadi aku baik-baik saja sekarang." Gadis itu berhenti sejenak seraya memandang wajah cantik ibunya yang terlihat lelah. "Kita memiliki semua perasaan dan kenangan, perasaan kitalah yang menyatukan kita satu sama lain."
Wanita itu menatap putrinya dengan agak bingung, menelengkan kepalanya seraya memperhatikan gadis kecil itu lekat-lekat. Sarada beralih dari ibunya dan sekarang matanya tertuju pada sosok lelaki yang berdiri di belakangnya. Ia telah lama bertanya-tanya apa yang dipikirkan ayahnya itu terhadap ibunya, ia mengaku ia juga pernah meragukan perasaan lelaki itu terhadap dirinya dan ibunya, bagaimana lelaki itu meninggalkan mereka selama bertahun-tahun tanpa memberi kabar. Namun sekarang tidak akan lagi, karena Sarada tidak akan buang-buang waktu, ia akan menanyakan hal itu kepadanya dan Sarada akan mendapatkan jawabannya.
"Ayah," ucapnya dengan tegas, memantapkan dirinya. "Apakah perasaanmu benar-benar terhubung bersama perasaan ibu dengan baik?"
Ia melihat tubuh lelaki berambut yang sewarna dengan miliknya itu sama sekali tak bergeming. Ia terlihat begitu tenang seraya diam beberapa saat, sebelum menjawab dengan 'Ya' yang begitu singkat, membuat gadis itu tak merasa puas. Hanya itu jawaban yang lelaki itu berikan? Tidak adakah penjelasan yang ingin ia berikan untuk menjawab rasa penasarannya?
"Bagaimana bisa kau hanya mengatakan itu sebagai jawaban?"
Sarada sudah siap untuk menumpahkan rasa tidak puasnya, ia siap untuk menghujaninya berbagai macam pertanyaan, ketika lelaki itu melanjutkan kata-katanya,
"Karena kami memilikimu...Sarada."
Gadis itu terdiam, mulutnya membeku begitu saja, dan ia kehabisan kata-kata. Raut muka yang terpancar dari wajah kedua orangtuanya begitu tulus, begitu jujur—seakan-akan memang seperti itulah adanya, sesederhana itulah jawabannya. Membuatnya paham, begitu spesialnya ia hingga mampu untuk menyatukan mereka bertiga sejauh apapun jarak yang menghadang. Semua itu karena dirinya—putri kecil mereka, buah cinta yang berharga.
Sarada merasa bodoh untuk yang kedua kalinya hari itu, bagaimana bisa ia menyangkal cinta yang diberikan orangtuanya untuknya. Bagaimana bisa ia begitu egois menghakimi mereka begitu saja, sedangkan segala yang mereka lakukan sejauh ini adalah demi kebaikannya. Bagaimana bisa ia menjadi begitu kurang ajar dan tak tau diri.
Gadis itu hanya bisa menangis dan menangis di hadapan mereka.
—akhirnya sadar, betapa beruntungnya dirinya.
Ooo00ooO
Finish
Ooo00ooO
Halo semuanya! Happy Sasusaku month!
Ada yang baca chapter terakhir gaiden? Saya nungguin lho, stay di Narutoforum dari kemaren sambil baca spoiler dari evil. Sempat down juga pas dia ngasih tau Karin itu ibunya, tapi rai bilang Sakura itu ibunya, nah bingung deh. Dan pas chapternya keluar di mangapanda jam 12 tadi, uwaaa, ternyata Sakura bener-bener ibu kandungnya Sakura—walau sebenarnya nggak masalah dia ibu kandung atau bukan, karena menurut saya pribadi, ibu itu bukan hanya tergantung sama wanita yang melahirkan kita, tapi juga yang membesarkan kita. Saya punya firasat Sarada belum bener-bener tau Sakura itu ibu kandungnya, tapi nggak apalah—bakalan nunggu Suigetsu minta maaf sama Sara-chan.
Kishi-sensei emang hobi nge-troll ya, dari jaman Itachi sampe Obito. Udah nangkep sih red herringnya yang satu ini, tapi tes DNA itu lhooo bikin tidak-tidak-iya-iya-bisa-jadi.
Tapi ternyata Sasusaku memang OTP sejatinya Kishi-sensei ya, seneng deh, liat Sasusakusara family, akhirnya bisa ngumpul, sampai makan malam bareng en foto bareng lagi, jadi nggak sabar nunggu boruto the movie :D Dan Chochou, akhirnya ketemu juga dengan ayah kandungnya *Chouji* cough cough.
*Did someone notice Karin looks so damned hawt in that last chapter? I did! And god she is literally supermodel, she should start her own brand or something, hahaha*
Seneng deh, Karin udah merelakan Sasuke dan sekarang malah temenan dengan Sakura *girl friendship XD* aku salah satu orang yang nggak bisa nggak suka sama dia, entah kenapa—deep down i know she was more than that, and i was right!—ngerasa Karin terlalu diremehkan *apa lagi di tumblr thats it* padahal sebenarnya dia nggak se hina? Itu—mungkin dulu kali ya, sebelum dia tobat—hahaha
She is too good, she is literally angel now XD
Oke, cukup celotehan saya, sekali lagi happy Sasusaku month ^^
Terima kasih sudah membaca ;)
