Sangat menyebalkan bagi Mamori kala sang kapten tiba lebih pagi darinya.
Apa ia akan mengejeknya sekarang? Bersandar di dinding di samping pintu ruang Klub Deimon dengan setengah wajah tertutup oleh balon permen karetnya?
Pletak!—"Pagi juga, Manager Sialan, hem?" bahkan sekarang nadanya serta seringai itu menyapanya di pagi hari.
Mamori tentu malas menyapanya kali ini, ia hanya beri sang Kapten pandangan sekilas lalu mencari sesuatu di dalam tasnya; kunci ruang Klub. Setelah perdebatan mereka kemarin, mana mungkin ini akan berakhir secepat itu. Kalau bukan ia adalah manajer Klub Deimon dan satu-satunya yang memegang kunci, ia akan mangkir dari tugasnya dan menolak bertemu pria dengan kata "Sialan" itu sekarang.
Pria itu lebih menyebalkan dibanding berat badannya yang naik dua kilo.
"Aish...," dan, kebetulan sekali kuncinya tidak ketemu.
"Bodoh," itu gerutuan Hiruma sebelum ia berbalik menghadap pintu dan ... terbuka?
All For You
by Mei Anna AiHina
Eyeshield 21 © Riichiro Inagaki & Yusuke Murata
Based on Reply 1997
AU, OOC, Typos, OC's, etc
.
.
.
Birthday...
.
.
.
Kemarin sore...
"Aku—
"Tidak—
"Ikutaaan," tiga Haha bersaudara berjalan keluar ruang Klub dengan berurutan, meninggalkan kekacauan di belakang mereka. Bahkan Suzuna yang biasanya exited kini bungkam dan diam-diam ikut keluar bersama anggota lain.
Suara mereka adalah penutup untuk hari ini—mungkin.
"Apa? Apa?!" Hiruma berdiri dari kursinya dan memajukan tubuhnya; menantang.
"Kau melakukannya lagi! Mana kue-ku?!" tuduhnya. Tentulah, hanya Hiruma saja yang protes tentang hobinya akan kue sus.
"Sus-Freak-Sialan itu, hanya itu?!"
Melihat keadaan mulai memanas, Kurita bermaksud menyela di antara mereka, "Teman-teman—
tapi tidak digubris barang sebentar karena mereka mulai bertengkar dan merembet kemana-mana. Ia menyerah dan keluar, meninggalkan couple (menurut Suzuna dan juga penggemar mereka) yang manis ini—"Hah ... terserah kalian deh."
"Pembohong!"
"Apa peduliku, hah!? Kau juga, seenaknya saja membawa dia!"
Mamori menelan amaranya dengan wajah memadam, ia menggenggam gagang sapunya erat. Ia sudah menarik napas dalam-dalam sebelum mengutuk—entah apa—pada pria di hadapannya, tapi ketika sampai ujung lidahnya—
"Aku—
"Apa!?"
Tiba-tiba ia menjerit dan menghentak lantai sampai dua kali—"Benci padamu!"—ia tahu ia pencundang dan langsung pergi; membiarkan Hiruma di balik pintu yang ia banting.
Dia memang pecundang besar, mengutuk orang seperti Hiruma saja tidak kuasa.
Kembali Keesokannya...
Putar-putar ... ia mendelik sinis pada kursi di pojok ruangan lalu menghela napas. Ia tahu gula yang sedikit itu sudah terlarut bersama kopi hitam yang ia buat, bahkan ia sempat berpikir yang tidak-tidak kalau kopi ini akan jadi susu. Bodohnya.
"Kopi itu tidak akan berubah jadi susu walau kau aduk seumur hidup," suara pria di pojokan sana membelah sunyi. Haruskah ia tanggapi?
Mamori segera meletakan kopi hitam itu di meja di samping Hiruma yang sedang sibuk dengan laptop kesayangannya itu. Ia meletakannya sedikit menguncangnya, hanya melampiaskan kekesalannya dan sepertinya Hiruma tidak bereaksi barang sebentar.
Ia jadi sebal sendiri jadinya, menggerutu tidak karuan dan mengutuk di belakang pria itu, "Dasar menyebalkan! Pria macam apa itu!"— ia bahkan terus ngedumel saat membersihkan Klub, sampai anggota lain berdatangan, sampai latihan dimulai, sampai istirahat, sampai—
"Hei, Manajer, bawa handuk untuk bocah-bocah sialan!"
Mamori secepat mungkin ke tengah lapangan, ia membagikan handuk dan air mineral ke masing-masing anggota Deimon, "Terima kasih sudah bekerja keras. Kalau butuh sesuatu, panggil aku, oke?"
"Mamo-nee dan Hiruma-san kenapa ya?" ceritanya Sena berbisik pada Monta, tapi Monta sedang asik mengelus-elus handuk pemberian Mamori dengan sayang. Ia jadi ngeri lihatnya.
Sena pun terlonjak kala Mamori berdiri di hadapan anak lelaki berperawakan kurang—ehem—tinggi itu, "Ma-Mamo-nee, a-ada apa?"
Mamori tersenyum, tapi Sena tahu itu sangat menyeramkan, bahkan aura hitam sempat membuat ia semaput sebentar.
"Kau tahu kan kalau berbicara tentang orang di belakangnya itu tidak baik?" dan kini menjadi aura malaikat—dua kepribadian. Menyeramkan.
"I-iya. Go-gomen."
Mamori langsung mengulurkan sebuah handuk dan sebotol air mineral, "Tolong ya?" dan kini ia tersenyum lembut. Sena mengerti sekarang maksudnya.
Setelah kepergian Sena, ia kembali sibuk dengan tugasnya mencatat tentang kemajuan latihan hari ini. Ia duduk di pinggir lapangan dan sesekali melirik ke lapangan yang masih masa istirahat. Dan, matanya menangkap Sena yang sedang menyerahkan sesuatu pada Hiruma yang ada di sisi lapangan yang lain. Walaupun ia sedang marah pada orang itu, tidak mungkin ia melupakannya begitu saja.
Ia begitu kalang kabut saat menatap mereka dan Sena menunjuk ke arahnya, tentunya Hiruma menatap ke arahnya juga. Ia akan segera kembali ke dalam ruang Klub, tapi begitu terkejut apa yang Hiruma katakan dari kejauhan—tangannya.
Mamori menatap Hiruma sejenak dengan wajah pias kemudian, bahkan ia masih berdiri di sana walau Hiruma sudah kembali dengan latihan Nerakanya. Ia menelan napasnya sebelum mengeluarkannya begitu sulit, ia mengelus tengkuknya dan berjalan kembali ke ruang Klub.
Ia berharap, ini yang terbaik.
.
.
.
.
.
Mamori sedang bercengkrama dengan teman sekelasnya, sesekali ia akan melirik kursi Hiruma belum juga terisi sejak jam pelajaran ke 2. Ia jadi berpikir, kenapa juga harus memikirkannya, apa pernah pria itu memikirkannya juga? Tidak—
"Kita karaoke-an yuk!"
"Sabtu malam saja, ya?"
Mamori memajang wajah antusias untuk menghargai mereka, namun mereka mulai mengguncang-guncang dirinya.
"Ayolah, Mamo-chan, acara gokon ini ngga akan seru kalau kami berdua aja. Mereka itu datangnya bertiga. Mereka sangat tampan dan dari SMU Bando," temannya itu sedikit berbisik pada kalimat terakhir.
"Iya, iya!" yang lainnya ikut mendukung.
Mamori terlihat tidak enak, tapi ia juga banyak kerjaan. Pikirannya beralih pada file-file dan video pertandingan yang dikirim Hiruma dua hari lalu untuk dipelajari.
"Aku—" ketika ia melengos ke luar jendela dan melihat dua orang yang ia kenal sedang berduaan di luar lapangan sedang membicaran sesuatu, tidak menunggu waktu ia langsung buang muka dan menunduk. Pandangannya jadi buram.
"Ada apa, Mamo-chan?"
"Oh ya ampun, kau masih mengharapkan pria seperti itu?"
Mamori tidak tahu sejak kapan tangannya mengepal di atas meja, apalagi mendengar temannya melanjutkan—"Ck, siapa sih tuh cewek?"—Brak!
"Aku ingin ke toilet."
Dan, satu kelas dikejutkan dengan kepergian Mamori yang terburu-buru.
Kemarin paginya...
Mamori tersenyum, sedikit khawatir juga ia akan diceramahi oleh Hiruma karena datang begitu telat, tapi apa pedulinya. Ada hal yang lebih penting, lagipula sebentar lagi Ulang Tahunnya dan ia harus ingat orang itu menjanjikan sesuatu setelah hari jadinya ke 17 nanti. Kepulangan ayahnya pun mengejutkannya, apalagi sepupunya yang dari jauh juga datang.
"Ya ampun, Sist, kau manajer dari klub Deimon? Aku melihat kalian di Youtube. Awesome! Kau beruntung sekali. Ternyata, pindah ke sekolah ini tidak sia-sia juga,"—namanya Jane. Ia anak dari adik ibu Mamori.
Mereka masuk ke ruang Klub Deimon dan mendapat perhatian dari seluruh anggota yang hadir. Tentu, semua terpusat kepada pendatang baru yang memang cukup mencolok dengan rambut Brunette dan wajah blasteran itu.
"Maaf aku telat. Oh iya, perkenalkan, dia—
"Namaku Jennifer dari New York, panggil aku Jane dan bahasa Jepangku agak payah. Mohon bimbingannya," ia membungkuk sebagaimana seharusnya kebiasaan di sana, tapi kini Hiruma menyela—
"Kami tidak butuh yang payah," tanpa memandang orang yang dimaksud karena sibuk dengan laptopnya. Lalu ia mengangkat wajahnya untuk melihat Mamori yang ternyata hanya jadi fokusnya saat ini—"Buatkan kopi, Manajer Sialan!"
Mamori tersenyum, "Iya, iya!" namun senyumnya agak luntur saat—
"Aku suka dia, seram tapi tampan," Jane berbisik padanya.
Mamori menghela napas, "Pria setan seperti itu? Seleramu aneh," kini giliran ia begurau dengan nada rendah yang hanya bisa mereka dengar berdua.
Mamori meninggalkan Jane untuk berbaur dengan anggota lain. Ia pun segera ke dapur dan mencari kopi di rak, tapi tidak ketemu. "Kemarin aku letakan di mana ya?"
Ini hari yang aneh, matahari seperti siap membakar tapi ada awan tebal dan nampaknya hujan akan turun. Mamori bersandar pada rak itu, kenapa tiba-tiba jadi kepikiran perkataan Jane ya? Bukannya selama ini Hiruma punya banyak penggemar, apalagi perempuan, dan ia biasa saja. Harusnya tidak perlu gundah begini, walau ia tidak akan mengakui sih—
"Bukankah aku menyuruhmu membuat kopi?"
"Hi-Hiruma-kun?" Hiruma benar-benar mengagetkannya. Ia pun sempat bingung tupperware yang digunakan untuk menempatkan kopi yang ia beli untuk persedian seminggu ada di tangan Hiruma—yang sekarang meletakannya di atas meja. Hah, ternyata Hiruma mempermainkannya.
Selagi Mamori sedang membuatkan kopi, ia tahu Hiruma masih berdiri di belakangnya. Kali itu mereka benar-benar diam, ini membuatnya agak aneh. Ia jadi ingin segera menyelesaikan tugasnya.
Ketika kopinya selesai, ia mengulurkannya pada Hiruma tapi sepertinya itu hanya alasan dan ia tahu seharusnya. Ia meletakannya di atas meja lagi dan menunggu Hiruma berkata sesuatu. Mereka saling menatap, namun hanya suara balon permen karet yang terdengar diledakan—
"Kau ingin membuatku gila ya?" jujur saja, ledakan kali ini membuatnya kesal.
Hiruma menyeringai lalu mengambil kopinya dan berniat meninggalkannya—
Cuma begitu?
"Hiruma-kun!" ia memanggilnya, mencegahnya pergi walau begitu Hiruma tidak berbalik menghadapinya, "Ehm," sempat ia kehilangan kata, "Oh iya, ini ... sepupuku itu masih baru di sini. Bisakah ... bisakah kau bersikap lebih baik padanya?"
Lalu sebuah tawa meledak, "Kekeke," Hiruma menoleh padanya dengan senyum menyebalkan, "Aku tidak akan membuat janji pada siapa pun, Manajer Sialan! Kekekeke!" dan meninggalkannya.
Uhh ... menyebalkan sekali! Terus ... janji padanya? "Bohong ya?" ia langsung merengut lalu menendang kaki meja dan itu sakiiiiit sekali! "Aku butuh Sus-Kariya!"
Kembali Keesokan Sorenya...
Aku membencimu ... aku butuh Sus-Kariya sekarang!
Sekarang Mamori benar-benar bolos dari latihan, meninggalkan tugasnya sebagai Manajer Klub Deimon. Ia pun melampiaskan kekesalannya—yang ia tidak mengerti—dengan berjalan-jalan mengelilingi kota dan untuk mengakhirinya karena waktu sudah sore, ia akan mengunjungi—tentu saja—tempat di mana sus terenak tercipta.
Tiba-tiba ponselnya bergetar. Itu email dari Jane.
Jane: Aku berhasil bicara sama Hiruma. Aku ngajak dia kencan dan pacaran! Wah, nekat ngga tuh!? Haha XD
Kenapa jadinya malas begini? Tapi—
Mamo: Benarkah?
Jane: Ihh, responmu biasa nih. Yah, ngga papa deh. Dia belum jawab sih, tapi aku punya waktu kok buat ngerubah pendapat dia. Oh iya, kau dimana? Bibi mencarimu.
Mamori menggenggam ponselnya kuat-kuat dan menghentikan langkahnya ketika sampai di depan Toko Sus Kariya.
Apa ... apa dia selalu melakukan ini? Menggantungkan jawaban?
Mamo: Toko sus Kariya.
Lalu lonceng berbunyi dari Toko sus Kariya, menandakan ada yang baru saja keluar dan itu—
Jane: Err ... kue aneh itu? Kemarin aku mencobanya di Klub, karena rasanya aneh, aku buang saja. Ckck, seleramu aneh, Sist.
"Hi ... ruma?"
.
.
.
.
.
Setelah saling menatap beberapa saat, Hiruma menyingkir dari pintu masuk dan memberi cela untuk seseorang masuk atau keluar toko itu.
Mamori menunduk dan berjalan menuju pintu masuk, "Maaf, aku mau masuk—" dengan suara lirih tapi kata-kata Hiruma setelahnya menahannya.
"Sepupumu menembakku."
Mamori tertahan di posisinya dan menatap Hiruma dengan kebingungan, "Aku ... tahu."
Tiba-tiba Hiruma maju selangkah, "Aku harus bagaimana?" suaranya begitu berat, bahkan terdengar mengambang di telinga Mamori.
Ia harus jawab apa? "Bagaimana ... perasaanmu?" Kenapa kau bertanya padaku? Kenapa harus padaku?
"Aku harus bagaimana?" Hiruma menunggunya, "Apa aku harus menerimanya?" Hiruma mengulanginya lagi dan menuntutnya lagi, membuat ia bingung dengan wajah pias.
Hiruma mendekat sedikit lagi dengan tampilan wajah mengeras, "Apa aku harus menerimanya?" dan ia lagi-lagi tidak menjawab, membuat kantung plastik yang digenggam Hiruma berbunyi; yang berarti digenggam terlalu erat oleh tangan yang mengepal itu.
Pergerakan Hiruma yang tiba-tiba setelahnya membuat ia heran. Tanpa melepaskan pandangan padanya, Hiruma mengulurkan kantung plastik itu—
"Ini hari ulang tahunku. Permintaanku—
.
.
.
.
.
"Buat aku tidak menerimanya."
.
.
To be continued
A/N: Kyaaaaaaaa... Akhirnya terwujud juga bisa buat Reply 1997 versi HiruMamo #senang.
Oh iya, salam kenaaal :D
Saya baru pertama kali buat fanfiksi di Fandom ini, mohon bimbingannya m(_ _)m
Ada yang tahu drama korea ini? Err ... buatan saya mah aneh, mending liat aslinya dulu. Hehe. Ini mungkin ngga terlalu mirip, awalnya doang, coz latar belakang mereka juga berbeda. Jane, sepupu Mamori itu OC saya.
BTW, ultah Hiruma ngga diketahui kan? Jadi di sini saya buat ngga jauh dari Mamori yang 24 November. Lagian, kasian juga Hiruma ya, ngga ada yang tahu ultah dia #Demo!Demo!
Ohhh, sooo kyute(?), bagian akhir ini yg paling saya suka dari dramanya. Err ... kayak meminta pendapat dari orang yang disuka sekaligus ingin mengetahui apa orang disukai itu menyukainya juga atau ngga ama kita, tapi sepertinya karena Mamori ngga jawab jadi Hiruma membuat pilihan lain biar ngga sakit hati dan ini Cliff bangeeeeet! Jane ngeselin juga ya, Hiruma jadi dituduh nyuri sus Mamori #aneh. Haha.
Ehem, terakhir, untuk mengetahui apa fic ini layak atau ngga untuk dilanjutkan, silahkan Review ya?
Terima kasih karena sempat membaca ini sampai akhir \(^ o ^)/
