Returning Favor by Forehead Poke
An entry for S-Savers Contest: Banjir TomatCeri V Alternate Universe (AU) Category
Based on Prompt #21
Disclaimer: Naruto and its character belongs to Masashi Kishimoto.
.
.
.
.
.
"Pertemuan selanjutnya akan ada ulangan, jadi – "
Teett!
" – jangan lupa belajar." Ujar Ibiki-sensei melanjutkan kalimatnya yang terpotong oleh bel pulang sekolah. Menyaksikan suasana kelas yang diajar berubah drastis, ia hanya menghela napas lalu meninggalkan ruang kelas yang penuh dengan suasana gaduh oleh siswa-siswinya bercampur suara rintik-rintik hujan.
Para penghuni kelas tersebut berbondong-bondong meninggalkan ruangan untuk pulang, tak terkecuali Haruno Sakura. Lamunan gadis bermahkota pink itu buyar setelah mendengar suara gaduh dari teman-teman sekelasnya. Ia mendecak tanda kesal.
Penyebab kekesalan itu tak lain adalah karena Sakura kurang suka dengan hujan. Cuaca mendung, hawa dingin, udara lembab, dan angin kencang, apalagi petir. Ditambah hewan-hewan menjijikkan seperti kodok, nyamuk dan bekicot yang sering bermunculan di musim hujan. Sakura tidak suka dengan semua itu.
Maka dari itu, ia paling malas berjalan kaki di saat hujan, walau ia membawa payung sekalipun. Dan hari ini sepertinya hari sial khusus untuknya seorang. Hujan terus turun dengan derasnya sepanjang hari. Apa air-air itu tidak lelah turun terus-terusan sejak tadi pagi? Batin Sakura.
Pandangan iris emeraldnya yang tadinya tertuju pada tetes-tetes air yang menempel di luar kaca jendela sebelah kirinya, kini teralihkan menuju mejanya. Ia mulai memasukkan barang-barangnya yang tadinya di atas meja ke dalam tasnya, lalu meninggalkan kelas dan menuju loker untuk mengganti uwabaki yang ia pakai dengan sepatu miliknya.
Gadis itu pun mengambil payungnya, lalu pergi meninggalkan loker. Sesampainya di depan gedung sekolahnya, ia berhenti sejenak untuk membuka payungnya. Entah kenapa, payungnya agak sulit untuk dibuka. Setelah berhasil membukanya, ia pun melanjutkan perjalanannya menuju rumahnya.
Sakura berjalan melawan angin yang berhembus berbeda arah dengan tujuannya dengan kencang. Sembari memperhatikan setiap langkahnya agar tak terpeleset di jalanan yang licin dan menginjak genangan air, Sakura memegang payungnya dengan erat. Jika tidak, mungkin payungnya sudah terbang entah kemana terbawa arus angin.
Manik emeraldnya terlalu fokus pada langkah yang ia ambil, sehingga tidak sadar jika tetesan-tetesan air mulai membasahi dirinya. Pandangannya pun beralih kepada payungnya. Benda yang sedari tadi ia pegang dengan erat kini tinggal kerangkanya saja.
Sakura membalikkan badannya. Kain polyester berwarna merah yang tadinya adalah bagian payungnya, kini setengah melayang tertiup angin menjauhi tempatnya berdiri.
"Memang sudah seharusnya diganti..." Gumamnya seraya menatap kain yang semakin lama semakin tak terjangkau pandangannya. Ia pun menggerutu kesal. Mengapa ini harus terjadi di saat hujan seperti ini?
Sadar tak ada lagi yang dapat melindunginya dari hujan angin, tas yang sedari tadi tersampir di pundaknya kini ia pegang dengan tangan kanannya di atas kepalanya sedangkan tangan kirinya membawa payungnya yang sudah rusak.
Sambil berlari, iris emerald milik Sakura menerawang mencari tempat untuk berteduh. Untungnya, ia menemukan taman yang ada tempat berteduh di dekatnya.
Gadis itu pun duduk bersandar di bangku yang ada dan menyimpan tas serta payung rusaknya di sebelahnya sembari menghela napas lega. Ia cukup beruntung menemukan tempat berteduh, meskipun sebenarnya ia agak khawatir jika hujan tak kunjung reda. Tidak mungkin 'kan, ia menunggu sepanjang hari hingga hujan reda? Apalagi hujannya sangat deras sejak tadi pagi.
Namun ia juga tak mungkin menerobos hujan menuju rumahnya. Sakura tidak tega mengorbankan kesehatannya demi selamat dari cuaca yang ia tidak sukai ini. Yang bisa ia lakukan hanya berharap hujannya segera reda, atau paling tidak ia tidak sendiri menunggu hujannya reda.
.
.
Returning Favor by Forehead Poke
.
.
"Hoi teme! Cepat kemari!" Dari kejauhan, terlihat dua orang laki-laki datang mendekati tempat Sakura duduk berteduh. Dari seragam yang mereka pakai, mereka berasal dari sekolah yang berbeda dengan Sakura. Salah satunya berambut kuning jabrik dan berkulit agak gelap, sedangkan satunya berambut raven. Yang berambut raven membawa payung rusak yang sudah tinggal kerangkanya seperti Sakura.
Kedua laki-laki itu duduk di bangku sebelah Sakura. Yang berambut pirang malah terlihat asyik bermain game di ponsel miliknya sedangkan temannya hanya duduk terdiam seraya memperhatikan sekelilingnya.
Tiba-tiba muncul kilatan cahaya di langit, dan dalam sekejap petir pun menggelegar, membuat kaget Sakura. Ia berteriak sambil menutup kedua telinganya tanda ketakutan, tak menghiraukan kehadiran dua manusia lainnya. Begitu petir menghilang, ia sadar telah melakukan hal memalukan di depan umum. Ia pun menutup mulutnya, dan melihat kedua orang lain yang juga berteduh di tempat itu.
Laki-laki di sebelahnya hanya tersenyum simpul, sedangkan sahabat pirangnya masih saja berkutat dengan ponselnya – sepertinya ia tak peduli jika ada petir ataupun tsunami sekalipun.
"Payungmu juga rusak?" Sakura terkejut dengan suara baritone di tengah kesunyian itu yang ternyata berasal dari pita suara milik laki-laki itu. Sakura menoleh ke sumber suara, dari jarak yang cukup dekat ternyata pemuda itu sangat tampan meskipun seragam dan rambutnya agak basah akibat hujan. Iris obsidian milik laki-laki itu menatap payung rusak milik Sakura yang letaknya diantara mereka.
"Eh... ya." Tanpa ia sadari, jawaban keluar dari mulut Sakura dengan suara yang pelan. Apa ia gugup hanya karena lawan bicaranya tampan?
Dengan jawaban singkat itu, percakapan mereka pun berakhir. Suasana kembali sunyi dan hujan semakin deras. Yang Sakura lakukan sedari tadi hanyalah menatap menerawang taman tersebut. Hingga ia menyadari ada bangunan dengan lampu yang cukup terang tak jauh dari taman itu. Minimarket.
Sakura pun merogoh isi sakunya, namun yang ia temukan hanyalah sekeping uang koin bergambar tiga bunga sakura di salah satu sisinya. Gadis pink itu pun menghela napas dengan kecewa. Ia tahu uang 100 yen tidak cukup untuk membeli payung. Ia mencoba membongkar isi tasnya, siapa tahu ada uang tertinggal. Namun hasilnya nihil.
Sakura menendang-nendang kakinya ke depan tanda kesal. Ia tidak sadar sedari tadi sepasang mata obsidian terus memperhatikannya. Begitu matanya bertemu, mereka sempat saling bertatapan selama beberapa detik.
Sadar akan apa yang ia lakukan, Sakura langsung mengalihkan pandangannya, lalu menundukkan kepalanya. Tiba-tiba, ia beranjak dari tempatnya duduk, dan berlari.
"Kemana?" Gumam laki-laki itu pelan. Manik obsidian miliknya itu menatap Sakura bingung. Ia lalu memperhatikan sosok bersurai pink yang berlari menjauh dengan kedua tangannya melindungi kepalanya dari hujan hingga sosok itu memasuki sebuah ruangan. 'Oh, toilet' batinnya lega.
.
.
Returning Favor by Forehead Poke
.
.
"Teme! Kau mau kemana?" Lelaki berambut jabrik itu mengalihkan atensinya dari layar ponselnya ke sahabatnya yang sepertinya hendak meninggalkan tempat mereka berteduh.
"Membeli payung. Kau ikut tidak?" Tanpa menjawab, lelaki beriris biru itu langsung beranjak dan mengikuti langkah sahabatnya. Mereka pun berjalan menuju sebuah minimarket yang jaraknya tak begitu jauh dari taman tempat mereka tadi berteduh. Begitu masuk, pria berambut raven itu langsung mengambil tiga payung sekaligus, sedangkan sahabatnya sudah menghilang entah kemana.
Begitu selesai membayar tiga payung yang dibelinya, ia menemukan sahabatnya tengah melahap ramen instan dengan cepat. Setelah menunggu agak lama, akhirnya sahabat pirangnya itu berhenti setelah menikmati 3 cup ramen instan. Ia menyodorkan salah satu dari tiga payung yang dibelinya pada sahabatnya yang kenyang itu dan satu lagi ia pakai.
"Terima kasih." Ujar sahabatnya sambil mengangkat alis tanda heran melihat satu lagi payung di genggamannya.
"Hn." Jawabnya singkat. Mereka pun berjalan meninggalkan minimarket itu, namun mereka menuju arah yang berbeda.
"Hoi teme, kau mau kemana?" Tanpa menjawab, lelaki itu berjalan menuju arah taman tempat mereka berteduh tadi. Seperti saat mereka meninggalkan tempat ini, di bangku itu hanya ada sebuah tas dan payung rusak kepunyaan perempuan berambut pink tadi – Sakura. Ia pun meletakkan payung yang baru ia beli di samping tas itu, lalu meninggalkannya bersama sahabatnya.
"Memangnya perlu kau belikan payung untuknya?" Tanya sahabat pirangnya itu.
"Hn." Lagi-lagi lelaki itu menjawab dengan singkat, namun sahabatnya tak mempermasalahkannya sebab ia sudah terbiasa dengan sifat dinginnya.
"Eeeh... kau naksir ya, teme?" Celetuk sahabat pirangnya itu, karena tidak biasanya laki-laki itu peduli pada orang lain, apalagi perempuan.
Sebuah pukulan pun mendarat di wajah laki-laki berambut jabrik itu.
.
.
Returning Favor by Forehead Poke
.
.
Sakura terus memperhatikan refleksi dirinya sendiri dalam cermin toilet. Rambut pink-nya sedikit lepek terkena air hujan, dan bagian pundak seragamnya basah. Inilah salah satu alasan ia kurang suka dengan hujan, penampilannya menjadi kurang menarik di saat cuaca itu saja. Apa penampilannya sedari tadi sedekil ini? Ia jadi malu berpikir ia pasti terlihat sangat lucu – dalam artian memalukan – di mata laki-laki itu, apalagi setelah berteriak tak tahu malu kala petir menyambar tadi.
Ia kembali memperhatikan bayangannya dan menyadari, untuk pertama kalinya warna wajah serta telinganya memerah hampir menyerupai rambutnya. Eh?
Ia tidak mungkin kepanasan di cuaca seperti ini, lantas apa yang membuat wajahnya memerah? Yang ada di pikiran Sakura hanyalah bayangan laki-laki yang sempat eye contact beberapa detik dengannya barusan. Apa mungkin laki-laki itu alasan aliran darahnya berkumpul di wajah dan telinganya?
Sakura menggeleng-gelengkan kepalanya. Tidak mungkin! Ia hanyalah laki-laki yang kebetulan payungnya rusak sepertinya, dan kebetulan berteduh di tempat yang sama dengannya. Jantungnya boleh saja berdebar karena melihat orang tampan – itu sangat normal bagi perempuan – tapi dia adalah orang asing yang baru saja ia temui, bahkan tidak lebih dari satu jam! Ia bahkan tidak tahu namanya.
Setelah menenangkan dirinya dan memperingatkan dirinya sendiri untuk bertingkah seolah tak terjadi apa-apa nantinya jika bertemu dengan laki-laki itu lagi, Sakura pergi meninggalkan toilet. Hujan belum berhenti, namun sudah tidak terlalu deras dan tidak ada angin kencang.
Sakura berlari kecil seraya melindungi kepalanya menggunakan kedua tangannya menuju tempat berteduhnya tadi. Namun kedua laki-laki yang tadi berteduh bersama kini sudah tidak ada. Yang ada di bangku itu hanya ada tasnya, payung rusaknya dan payung lain.
Hei, sejak kapan ada dua payung?
Sakura mendekati payung tersebut dan diperhatikannya dengan seksama. Payung itu terlihat masih baru, dan berwarna putih dengan pelindung berbahan plastik transparan. Tipikal payung yang biasa dibeli di minimarket. Mungkin pemiliknya baru saja membelinya di minimarket yang ia lihat tadi dan meninggalkannya di sini.
'Apa pemiliknya ada di sekitar sini?' Batin Sakura. Ia melihat sekelilingnya. Tamannya masih tetap seperti tadi, sepi. Tidak ada tanda-tanda kehadiran manusia selain dirinya. Setelah berpikir dan menunggu agak lama – siapa tahu pemiliknya datang – dengan sedikit ragu-ragu Sakura membuka payung yang masih mengkilap itu.
Ia memutuskan untuk memakainya. Toh, nanti ia bisa mengembalikan payung itu di bangku taman itu lagi jika ia sudah membeli payung baru untuknya. Apalagi ini sudah sore menjelang malam, ia harus segera pulang karena ia tahu tidak baik untuk perempuan – apalagi pelajar seperti dirinya – pulang larut sendirian dan ia butuh waktu untuk mempersiapkan dirinya untuk pelajaran esok hari. Selain itu, Sakura sudah tidak than terjebak sendirian di cuaca yang tidak ia sukai ini.
.
.
Returning Favor by Forehead Poke
.
.
Letak sang surya di atas kepala menunjukkan bahwa hari sudah siang. Cerahnya langit siang itu sama cerahnya dengan mood Haruno Sakura. Kini di hadapannya sebuah cup kertas berukuran sedang berisi gelato yang sudah tinggal setengahnya. Tangannya tidak berhenti menyendoki gelato-nya dan melahapnya. Rasanya nikmat sekali...
Gadis musim semi itu tidak menghiraukan tatapan aneh pengunjung kafe lainnya. Kebanyakan pelanggan kafe ini memang datang bersama pasangan atau teman, namun tidak dengan Sakura. Ia memang datang seorang diri ke kafe itu sepulang sekolah untuk menikmati gelato yang jarang-jarang bisa ia beli. Bukannya ia tidak punya teman untuk diajak atau penyendiri – malah ia punya banyak sekali teman – namun Sakura menikmati sesekali menghabiskan waktunya sendirian untuk sekedar bersenang-senang, seperti saat ini contohnya.
Setelah memastikan tidak ada setetes gelato tersisa di cup kertasnya, Sakura pun pergi meninggalkan kafe itu. Saat ia berada di teras kafe, Sakura mendongakkan kepalanya ke atas. Langit yang tadinya cerah kini berubah mendung, dan teriknya sinar matahari perlahan-lahan terhalangi oleh gumpalan awan tebal.
Tak lama kemudian, tetesan-tetesan air hujan perlahan turun membasahi permukaan bumi. Sakura buru-buru berteduh ke salah satu parasol di teras kafe itu. Ia mulai sibuk membongkar isi tasnya untuk mencari sesuatu. Untungnya, benda yang ia cari ketemu. Payung.
Ia pun membuka payungnya dan berjalan meninggalkan kafe tersebut sambil menggerutu kesal. Pasalnya, hari ini sangat cerah dan prakiraan cuaca di berita pagi yang ia tonton sebelum berangkat sekolah mengatakan bahwa tidak ada tanda akan turun hujan hari ini. Dan semua itu salah besar!
Beruntung ia selalu membawa payungnya – yang ia pungut di taman kala itu – kemana-mana. Ia ingin sekali berterima kasih kepada sang pemilik asli payung tersebut, sebab sudah meninggalkan payung itu disaat ia sedang butuh – entah disengaja atau tidak. Sudah terhitung dua kali sang pemilik – lebih tepatnya payungnya – menyelamatkan Sakura di keadaan genting. Ia berhutang budi pada sang pemilik payung itu yang tidak ia ketahui.
Sakura berhenti sejenak di kala ia melihat gedung sekolah yang sudah agak sepi karena jam pulang sekolah sudah lewat. Bukan, bukan sekolahnya, melainkan sekolah lain – yang masih satu area dengan sekolahnya. Ia melihat seragam yang dikenakan beberapa siswa-siswi yang berlalu lalang di sekitar sekolah itu, dan tersenyum sesaat mengingat seragam yang familiar itu.
Apa mungkin ia akan bertemu laki-laki itu lagi?
Ia terkekeh dalam hati. Apa yang membuatnya ingin bertemu dengan laki-laki itu lagi? Tatapan tajam milik iris obsidiannya, atau paras tampannya? Atau jangan-jangan ia jatuh cinta pada pandangan pertama?
Tuhan! Mengapa ia menjadi berpikiran yang tidak-tidak?
Sakura pun membuyarkan lamunannya, lalu melanjutkan perjalanannya – masih dengan harapan bahwa ia akan menemui laki-laki itu lagi. Baru beberapa langkah berjalan, tiba-tiba seseorang ikut berlindung di bawah payungnya.
Hal itu membuat Sakura terkejut, dan refleks menoleh untuk melihat orang lain yang ada di bawah payungnya. Ia tersenyum tipis saat Sakura menatapnya.
"Ka-kau?" Manik emerald Sakura membesar, tak menyangka kini di sebelahnya laki-laki yang sempat ia temui saat berteduh di taman saat itu berteduh di payung yang sama dengannya.
"Izinkan aku berteduh bersamamu." Ujarnya singkat dengan sedikit nada paksaan, lalu merebut gagang payung itu dari genggaman Sakura. Sakura yang payungnya direbut pun tak keberatan sama sekali. Diam-diam ia merasakan getaran aneh saat tangannya sempat bersentuhan dengan tangan miliknya.
Laki-laki itu memegang payung untuk mereka berdua, dan kembali berdiri tegak setelah membungkuk untuk berlindung di bawah payung yang dipegang Sakura akibat perbedaan tinggi badan keduanya.
Sakura sempat melihat sekeliling untuk memalingkan mukanya dari tatapan laki-laki itu, dan yang ia dapati adalah tatapan-tatapan iri dari beberapa siswi sekolah itu.
"Syukurlah kau memakainya dengan baik." Gumam laki-laki itu pelan, sambil menatap payung diatasnya yang kini menjadi pelindung mereka berdua dari hujan.
"Jadi kau yang meninggalkan payung ini?" Lagi-lagi Sakura terperanjat. Laki-laki itu hanya menganggukkan kepalanya pelan.
"Uchiha Sasuke." Ujarnya dengan suara baritone-nya yang khas sembari mengulurkan tangannya untuk bersalaman.
Ia pun tersenyum, tapi kali ini bukan senyuman simpul yang terkesan sombong seperti senyuman yang pernah Sakura lihat sebelumnya. Senyum yang memancarkan ketulusan.
"Haruno Sakura." Balasnya dengan senyuman yang tak kalah lebar dengan Sasuke sambil menyambut uluran tangan Sasuke. Sakura lagi-lagi merasakan getaran aneh itu saat ia menjabat tangan Sasuke.
Mereka terus dalam posisi berjabat tangan hingga Sakura sadar mereka terlalu lama berjabat tangan.
"Uh, ano... maaf." Gumam Sakura pelan saat Sasuke melepas jabatan tangannya.
"Tidak masalah. Ayo." Mereka berdua pun berjalan berdampingan di bawah payung itu.
"Kemana... um...Sasuke-kun?" Tanya Sakura malu-malu. Sasuke pun mengalihkan wajah tampannya menyembunyikan semburat pink di pipinya kala mendengar gadis di sampingnya ini tak hanya memanggilnya Sasuke, tapi ditambah dengan sufiks -kun dibelakangnya. Sasuke tidak ingin mengakuinya, tapi sebenarnya ia suka saat Sakura memanggilnya seperti itu.
"Pulang, tentu saja." Ujarnya singkat. Selanjutnya, perjalanan berlalu dengan keheningan. Hanya Sakura memberitahu arah ke rumahnya kepada Sasuke.
"Ano, terima kasih... Sasuke-kun." Ujar Sakura seraya membungkukkan badannya sopan.
"Payungnya untukmu." Sasuke menyodorkan payung yang baru saja ia pakai.
"Pakai saja, Sasuke-kun! Ini 'kan masih hujan." Sakura kembali menyodorkan payung itu pada Sasuke. "Anggap saja aku meminjamkannya untukmu." Sakura pun tersenyum.
"Hn." Jawab Sasuke singkat, lalu berbalik meninggalkan Sakura yang berdiri di teras rumahnya.
"Hati-hati! Sasuke-kun!" Sakura menyempatkan melambai tangannya, meskipun ia tahu Sasuke tidak melihatnya lantaran tidak menoleh belakang dan berjalan terus menjauhinya. Alasannya, pria beriris obsidian itu enggan menunjukkan wajahnya yang memerah. Setelah memastikan tak ada yang melihatnya, senyuman tak henti-hentinya mengembang di wajahnya. Kali ini ia akan memastikan mengembalikan payung – yang sebenarnya miliknya – pada Sakura.
Sakura pun memasuki rumahnya dengan senyuman lebar yang menghiasi parasnya.
"Tadi itu siapa, Sakura?" Tanya Haruno Mebuki yang muncul dari dapur kepada putri semata wayangnya itu. Bukannya menjawab, Sakura malah tetap tersenyum seperti orang gila dan berjalan menuju kamarnya tanpa sepatah kata pun.
Menyaksikan tingkah putrinya itu, Mebuki hanya menggeleng-gelengkan kepalanya dan melanjutkan aktivitasnya di dapur sambil berpikir apa mungkin putrinya yang menginjak masa remaja itu sudah memiliki kekasih?
.
.
Returning Favor by Forehead Poke
.
.
Sakura menopang dagunya dan menghela napas bosan. Jam pelajaran terakhir adalah pelajaran matematika oleh Kakashi-sensei. Bukannya menyalin catatan di papan tulis, Sakura malah terus menatapi jendela di sebelah kirinya. Ia tidak takut ditegur, sebab gurunya itu terus saja menghadap papan tulis tanpa tahu keadaan kelas sepanjang pelajaran.
Di luar sedang hujan, dan Sakura tidak membawa payung. Payungnya belum dikembalikan oleh Sasuke, sedangkan ia belum sempat membeli payung baru pengganti miliknya yang sudah rusak beberapa waktu yang lalu.
Berbicara soal payung, Sakura tiba-tiba teringat akan Sasuke. Sejak saat Sasuke mengantarkan Sakura pulang, ia belum pernah bertemu dengan lelaki itu. Entah kenapa, ia ingin payungnya kembali. Bukan karena ia ingin memakai payung itu, namun ia ingin sekali bertemu dengan Sasuke. Ia hanya sekedar ingin kenal Uchiha Sasuke lebih baik. Dan payung itu adalah satu-satunya cara bertemu dengan Sasuke.
Tapi jika dipikir-pikir kembali, rasanya agak mustahil ia bisa bertemu lagi dengannya. Mereka hanya mengerti nama dan asal sekolah masing-masing, serta rumah Sakura. Tidak mungkin rasanya Sasuke pergi ke rumahnya hanya untuk mengembalikan payungnya. Dan lebih tidak mungkin lagi Sakura menjemput Sasuke di sekolahnya.
Terdengar aneh memang, tapi Sakura berani mengakui ia mulai menyukai Uchiha Sasuke meskipun mereka baru bertemu dalam waktu yang cukup singkat.
Bagaimana bisa ia tidak tertarik? Wajahnya tampan, penampilannya menarik, terlebih ia berbaik hati meminjamkan – memberikan, lebih tepatnya – payung untuk Sakura. Dan Sasuke-lah yang dapat membuat debar jantung Sakura tak beraturan untuk pertama kalinya.
Ya, cinta pertamanya adalah Uchiha Sasuke.
Dan ia baru tahu bahwa ucapan sahabatnya Ino tentang bagaimana jatuh cinta membuatnya bahagia dan frustrasi di saat yang bersamaan ternyata benar.
Bel tanda pulang sekolah berbunyi membuat Sakura terbangun dari lamunannya tentang Sasuke. Ia pun segera pulang sekolah. Sakura menarik napas sesaat sebelum terpaksa berlari menerobos hujan menuju rumahnya. Tiba-tiba, ia merasakan hujan di sekitarnya berhenti. Bayangan benda lingkaran mengitari dirinya muncul di atas aspal tempatnya memijak.
Sakura pun mendongakkan kepalanya. Sebuah payung familiar di atas kepalanya. Tak perlu menebak, ia sudah tahu siapa yang tengah memayunginya itu.
Pucuk dicinta, ulam pun tiba. Siapa yang menyangka Sakura bertemu lagi dengan Sasuke di saat seperti ini?
"Sasuke-kun!" Pemilik nama itu hanya tersenyum, lalu berjalan. Sakura pun mengikutinya. Otot-otot wajahnya kini tak berhenti menarik ujung-ujung bibirnya untuk tersenyum. Mereka hanya berjalan berdampingan dalam sunyi, namun keduanya tak keberatan dengan suasana canggung ini.
Sakura tak sengaja hampir menginjak genangan air di depannya, dan refleks ia mendekat pada Sasuke. Posisi bahu mereka yang menempel itu membuat suasana semakin canggug saat keduanya menjauhkan diri.
"Kau tak suka hujan, ya?" Tanya Sasuke memecah kesunyian setelah memperhatikan Sakura yang beberapa kali menghindari genangan air dengan ekspresi tak suka. Gadis yang ditanyainya hanya mengangguk mengiyakan.
Sasuke mengangkat tangan kirinya yang tidak memegang payung, ingin rasanya ia merangkul bahu gadis di sebelahnya ini. Namun ia ragu-ragu, dan memutuskan untuk menariknya kembali sebelum tangannya itu menyentuh bahu Sakura. Tangannya itu pun Sasuke masukkan ke dalam saku celananya.
Sakura baru tahu jika waktu berjalan begitu cepat saat bersama orang yang disukai. Begitulah pikiran Sakura saat ini karena mereka sudah sampai di depan kediaman Sakura, padahal rasanya baru saja ia bertemu Sasuke.
"Terima kasih, Sasuke-kun." Sakura tersenyum, lalu tangannya meraih gagang pintu yang menghubungkan teras tempatnya berdiri dan rumahnya.
"Tunggu." Satu kata yang keluar dari mulut Sasuke mampu membuat Sakura mematung sesaat. Saat ia membalikkan badannya, Sasuke masih tetap berdiri dengan memegang payungnya, namun tangan kirinya kini ia julurkan. Entah kapan lelaki bermarga Uchiha itu mengeluarkan benda itu dari tasnya. Iris obsidiannya seolah berkata 'terimalah'.
Sakura pun mengambil benda yang Sasuke berikan dengan bingung. Payung?
"Milikmu." Tanpa menunggu Sakura berkata lagi, Sasuke langsung membalikkan badannya dan pergi dengan langkah cepat – hampir berlari malah.
"Hati-hati, Sasuke-kun!" Ujar Sakura sambil tersenyum menatap punggung Sasuke yang semakin lama semakin jauh itu. Setelah tampang belakang Sasuke benar-benar menghilang dari pandangannya, Sakura membuka pintu rumahnya dan masuk ke dalamnya.
Kali ini, ayahnya, Haruno Kizashi-lah yang menatap Sakura penuh keheranan dengan tingkah putrinya itu. Tidak hanya tersenyum-senyum aneh seperti beberapa hari yang lalu, putri tunggalnya berjalan menuju kamarnya sambil sesekali melompat kecil.
Sesampainya di kamar miliknya, Sakura membanting badannya di atas kasur empuknya. Iris emeraldnya menerawang langit-langit kamarnya sambil berpikir tentang kejadian barusan. Pandangannya pun beralih ke tangan kanannya yang kini menggenggam payung pemberian Sasuke barusan.
Senyumnya melebar, kali ini menampakkan deretan giginya yang rapi. Jika ayahnya melihatnya saat ini, mungkin ia sudah mengira putrinya tidak waras lagi.
'Mengapa Sasuke tidak memberikan payung ini dari tadi?' Sebuah pertanyaan muncul di benaknya. Seharusnya, saat ia baru bertemu Sasuke tadi, laki-laki itu langsung memberikannya payung itu. Hei, tunggu!
'Apa mungkin karena Sasuke ingin berjalan berdua denganku?' Tiba-tiba Sakura berdiri diatas kasurnya, tertawa dan melompat-lompat kekanak-kanakan sambil mengangkat tangannya yang tengah mengenggam payungnya erat tinggi-tinggi, seakan kewarasannya benar-benar raib. Cinta memang gila.
Sakura berhenti melompat. Nafasnya ngos-ngosan. Bukan akibat ia kelelahan melompat, melainkan detak jantungnya yang begitu cepat tak kunjung normal walaupun sudah lima belas menit sejak mereka berpisah barusan. Tuh, 'kan? Sekali lagi ia ingin membenarkan perkataan bahwa cinta itu gila.
Ia mulai melupakan pikiran ge-er nya barusan. Bisa saja Sasuke lupa memberikannya sebelumnya. Namun ia tidak peduli bahwa aksi berjalan bersama di bawah satu payung tadi itu disengaja oleh Sasuke atau tidak. Toh, ia sekali lagi berkesempatan jalan berdua Sasuke. Dan Sakura tak bisa lebih bahagia dari ini.
Sakura pun memutuskan untuk membersihkan dirinya. Ia melepas genggaman eratnya pada payungnya – walaupun sebenarnya ia enggan – dan berjalan menuju kamar mandi. Ia merasa benar-benar gila, dan berharap mandi dapat menghanyutkan pikiran gilanya itu dari kepalanya.
Saat Sakura selesai mandi, perhatiannya kembali tertuju pada payung itu. Iseng-iseng, ia meraih payung itu, lalu membukanya.
Gadis musim semi itu memakainya seolah hujan turun di kamarnya seraya berpose di depan cermin. Sambil terus menatap bayangannya yang tersenyum dengan payung, ia membayangkan angin kosong di sebelahnya kini tengah berdiri Uchiha Sasuke.
Tak disangka, begitu ia menggoyang-goyangkan payungnya, sesuatu menjuntai. Secarik kertas yang digantung oleh pita di penyangga payung itu.
Sakura mengambilnya, lalu membacanya.
Uchiha Sasuke
+81-23-0701-2606
Matanya terus terpaku menatap secarik kertas dengan tulisan tangan khas laki-laki itu. Jika Sasuke memberikan nomor teleponnya, berarti ia menunggu panggilan dari Sakura, bukan?
Tak lama kemudian, sebuah senyuman kembali mengembang di wajah manis Sakura. Lupakan sejenak aturan kuno tentang laki-laki yang harus menghubungi duluan, kini ia tahu apa yang harus ia lakukan untuk membalas budi pada Uchiha Sasuke: segera menelponnya. Jika ia menelponnya saat ini juga, Sasuke tak perlu menunggu lama untuk panggilannya. Mudah, bukan?
Tangannya langsung meraih ponselnya, lalu menekan nomor sesuai yang tertera di kertas itu di layar sentuh ponselnya. Sebelum benar-benar menekan tombol hijau bergambar gagang telepon, Sakura menarik napas dalam-dalam, lalu mengeluarkannya kembali dan mengelus dadanya.
Setelah mengumpulkan keberaniannya, jari lentiknya pun menekan tombol itu. Kala nada sambung berbunyi, Sakura terus-terusan mengatur napasnya yang mulai tak beraturan.
Ternyata tak ada jawaban dari panggilan itu. Apa ia sedang sibuk? Batin Sakura kecewa. Gadis itu pun mulai berkecil hati dengan pikiran-pikiran negatifnya tentang Sasuke yang tak kunjung menerima panggilan.
Dengan wajah cemberut dan hati yang masih berdebar, Sakura pun memutuskan untuk mengutak-atik ponselnya sebentar sebelum mencoba lagi menghubungi Sasuke. Jujur, Sakura sangat ingin menghubungi Sasuke dengan segala cara, apalagi saat ini Sasuke memberinya kesempatan tanpa diminta.
Saat ia tengah melihat-lihat akun sosial medianya, Sakura dikagetkan dengan sebuah dering yang bersumber dari ponselnya sendiri. Layarnya pun berganti. Tertulis di atasnya nomor asing yang sedang menghubunginya.
Kaget, Sakura hampir saja melemparkan ponselnya saat tahu nomor asing yang sedang menghubunginya sama persis dengan yang tertulis di kertas tadi. Untung saja ia sedang di atas kasur, karena jika tidak mungkin saat ini ponselnya retak akibat refleksnya itu.
Segera ia meraih ponselnya yang kini terletak agak jauh darinya sebelum panggilan itu terputus. Ini adalah kesempatan emas! Now or never!
Dengan gerakan tergesa, jari lentik Sakura yang masih gemetar langsung menerima panggilan itu.
"Moshi-moshi?" Terdengar suara baritone khas Sasuke. Sakura yang sibuk mengatur napas terperanjat, tangan kirinya yang tadinya sibuk mengelus-elus dadanya kini ikut memegang ponsel yang menempel di telinga kanannya. Ia takut jika ponselnya jatuh akibat tangannya yang tak henti-hentinya bergetar hebat.
"Um, ano… Sasuke-kun?" Sakura masih merasakan gugup, namun ia tak bisa menyembunyikan senyumannya. Sedangkan di ujung sana, Uchiha Sasuke tersenyum begitu ia mengenali warna suara penelponnya.
"Sakura?" Sang pemilik nama itu senang bukan main mendengar namanya dipanggil oleh pujaan hatinya itu.
"Iya. Etto… terima kasih, Sasuke-kun"
"Untuk apa?" Sakura bingung harus menjawab apa. Ia mengucap terima kasih bukan tanpa alasan – banyak hal yang membuat Sakura merasa berterima kasih pada Sasuke sejak pertemuan pertama mereka. Dan ia bingung ingin mengatakan yang mana.
"Karena… sudah menolongku dan –"
"Dan apa?" Sasuke yang tak sabaran ingin mendengar Sakura melanjutkan kalimatnya.
" –membuatku mulai menyukai hujan." Sunyi kembali menghinggapi. Selama beberapa detik tak ada diantara mereka yang angkat suara.
"Aku juga suka…" Gumam Sasuke pelan.
"Eh?"
"Suka kamu, Sakura." Kebahagiaan Sakura kini tak terbendung lagi. Selanjutnya, terdengar tawa pelan Uchiha Sasuke kala mendengar suara Sakura yang berteriak histeris sambil melompat-lompat.
Kali ini, Haruno Kizashi dan Haruno Mebuki benar-benar mengira putri mereka sudah tidak waras lagi kala mendengar suara teriakan bahagia dan lompatan heboh dari kamarnya.
.
.
Their first encounter wasn't a mere coincidence
Deluge was the sign that their flutter wil repeat.
The sound of heart beat sync steadily as the droplets touched the tip of their heads.
Iridescence pictured on their face as their gaze met each other.
Repugnance started to obsolete slowly.
And they started to grow tangled to each other,
As if he was the rainbow after her rain.
.
.
THE END
.
.
OMAKE
Uchiha Mikoto membuka pintu kamar putra bungsunya itu. Pemandangan kamar yang agak berantakan khas laki-laki seperti yang sedang ia saksikan saat ini sudah tidak asing lagi di matanya. Pasalnya, kedua anaknya berjenis kelamin pria.
Wanita paruh baya itu mulai memunguti baju-baju kotor milik Sasuke – putra bungsunya – yang tertumpuk di salah satu pojok ruangan.
Yah, setidaknya ia tidak melemparnya ke sembarang tempat tak seperti kakaknya, batin Mikoto sambil memasukkan baju-baju itu ke dalam keranjang pakaian yang ia bawa sebelumnya.
Setelah selesai memasukkan baju kotor milik putranya, Mikoto meraih tabung plastik berwarna hitam yang terletak di bawah meja belajar Sasuke. Ia mengeluarkan kantong plastik dari dalam tong sampah itu, dan mengeluarkan isinya yang menumpuk untuk menyortirnya – berjaga-jaga jika ada barang berharga yang nyasar di tong sampah itu.
Kebanyakan isinya adalah sampah bungkus permen mint yang ia hafal seringkali menemani putra bungsunya itu belajar. Namun manik hitam Mikoto menangkap kumpulan sampah yang baru pertama kali ia lihat itu.
Tangan lentiknya mengumpulkan potongan-potongan kertas itu dari kumpulan sampah lain, dan mengambil salah satunya. Ia membolak-balikkan secarik kertas itu dan menemukan tulisan tangan khas Sasuke. Ia pun membacanya.
+81-23-0701-2606
Mikoto mengernyitkan dahinya kebingungan. Bukankah itu nomor telepon Sasuke? Kebingungannya berhasil memancingnya untuk membaca potongan-potongan kertas lainnya.
Telepon aku
+81-23-0701-2606
.
Kutunggu teleponmu
+81-23-0701-2606
.
Salam kenal
+81-23-0701-2606
.
Untuk Haruno Sakura
+81-23-0701-2606
.
Nomorku
+81-23-0701-2606
Mikoto tak henti-hentinya tersenyum sendiri atas tingkah Sasuke. Potongan-potongan kertas itu seolah mengingatkannya jika putra bungsunya itu telah menginjak usia dimana ia mulai tertarik pada lawan jenis.
Dan jika ia tidak salah, sepertinya ini cinta pertama Sasuke. Wanita itu hafal betul jika putranya sama sekali tak memiliki teman perempuan. Jangankan teman, berdekatan dengan perempuan pun Sasuke enggan, kecuali dirinya sendiri karena ia adalah ibunya.
Ah, Mikoto jadi penasaran dengan sosok Haruno Sakura yang telah 'mencuri' hati putra keduanya itu. Ia ingin tahu selera putranya soal wanita. Apakah ia cantik? Apakah ia pintar?
Setelah tersadar dari lamunannya, Mikoto kembali memasukkan sampah-sampah itu ke dalam kantong plastik asalnya, kecuali potongan kertas-kertas yang baru saja ia baca. Ia menumpuk potongan-potongan kertas itu dengan rapi, lalu menyimpannya di saku celemek yang ia pakai. Ia berniat untuk menanyakan pada Sasuke untuk mengundang perempuan bernama Haruno Sakura itu ke rumahnya saat Sasuke pulang sekolah nanti.
THE END
Word count (story only) : 4443
[Author's Note] Kyaa! Akhirnya selesai juga *fiuh* oneshot SasuSaku pertamaku untuk BTC yang ke-lima ini. Ini pertama kalinya author ikut berpartisipasi dalam BTC, dan author benar-benar excited! Fic ini author buat berdasarkan prompt nomor 21 yang disediakan oleh panitia BTC. Awalnya sempat ragu-ragu mau ikut BTC, karena sempat terkena WB yang cukup parah sampai membuat otakku buntu untuk memikirkan ide fic untuk event ini. Hahaha, kelihatan banget ya maksa buat ikutan BTC, habisnya author bosan liburan nggak ngapa-ngapain di rumah sambil menunggu PPDB online SMA di kota tempat tinggal author, hehe. Doakan bisa masuk SMA favorit pilihan author ya ^^
Fic ini sudah agak lama dibuat, tapi belum juga di-publish karena masih banyak yang harus diperbaiki. Fic ini sedikit terinspirasi dari anime watamote di bagian payung rusak (ada yang pernah nonton? ^^) dan selebihnya termasuk puisi itu benar-benar murni milik author. Mungkin feel-nya kurang di bagian romance-nya, karakternya agak OOC dan endingnya aneh. Haha, entahlah. Namanya juga masih tahap belajar. Bagaimana menurut kalian?
Fyi, uang koin 100 yen yang sempat aku sebutkan di fic ini memang aslinya bergambar bunga Sakura di salah satu sisinya, lho. Kebetulan banget 'kan? Dan nomor telepon Sasuke di cerita ini author nggak ngarang. Nomor itu gabungan dari ulang tahunnya Sasuke (2307) dan nomor registrasi ninja-nya Sasuke (012606) yang kebetulan banget pas jumlah digitnya kalau digabung dengan kode telepon Jepang. Haha, kurang kerjaan banget yah. Kalau yang Sakura lompat-lompat kayak orang gila itu inspirasinya dari author sendiri hehe ._.v kalo lagi seneng author bisa sampe guling-guling di lantai dan nyanyi keras-keras. Mamanya author sering ngira author punya pacar cuma gara-gara ketawa dan senyum-senyum sendiri pas lagi hp-an, padahal author lagi baca fanfic heheh. Nah loh kok jadi buka aib gini sih haha.
Oh ya, untuk yang menunggu chapter lanjutan dari Reunite, author minta maaf yang sebesar-besarnya karena belum sempat update karena sekali lagi, author sedang dalam tahap WB dan masih tidak tahu bagaimana jalan cerita Reunite kedepannya hingga ending huhuhu. Kalau ada yang mau menyumbang ide, langsung via PM aja ya.
Terakhir, author ingin mengucapkan banyak terima kasih untuk readers sekalian yang sudah membaca fic ini sampai selesai, dan jika tidak keberatan me-review dan fave fic ini. Tak lupa author ingin mengucapkan selamat menunaikan ibadah puasa bagi yang menunaikannya serta sukses selalu untuk pelaksanaan BTC tahun 2015 ini. Fresh and Reddish Like a CherryTomato!
xoxo,
Forehead Poke.
