"Happy anniversary one year, Sarada-chan! Duh, gak nyangka kalian udah pacaran selama 1 tahun ya? Kudoain semakin langgeng ya sama Bolt, dan jangan sering berantem, okey?"
Penuturan dari gadis berbadan gempal dengan rambut dikucir dua bagaikan nanas itu, mengawali pagi hariku ini. Mungkin menurut mereka, ini adalah hari membahagiakan untukku, tapi malah sebaliknya. Aku tak menganggap hari ini sangat istimewa atau apalah bagiku. Bagaimana tidak? Jika kekasihku yang Baka! Sok-sokan, tukang iseng, tapi tetap saja aku menyukainya.
Tapi, Hey! Aku tarik kata-kataku itu, karena itu hanya terjadi diawal hubunganku. Entah sejak kapan, si pirang itu jadi super sibuk, cerdas, bahkan jika sedang melakukan kencan denganku di perpustakaan?! Oke, satu hal itu dapat aku maklumi. Bagaimana kalau hari liburmu seharusnya menjadi menyenangkan jika dihabiskan dengan kekasihmu yang cerewet menyuruhmu menyelesaikan semua PR dalam satu hari.
Dan yang satu itu sangat tak kuterima, kenapa? Ya, aku harap dia menyenangkanku di hari libur, membawaku ke taman bermain kek, shopping kek. Dan intinya dari sekian keluh kesahku selama hampir setengah tahun ini adalah… AKU BENCI PACARKU!
AKU BENCI PACARKU!
"Nah, Sarada. Apa rencanamu?" Tanya lelaki berambut kuning dan dikucir itu menatapku.
"Apanya?" Satu kata itu bisa diartikan berbeda-beda oleh teman-teman aku yang sangat berisik ini.
Contohnya Chouchou, gadis berbadan gempal dan kulitnya berwarna sawo matang itu menyangka aku tak mempunyai rencana untuk perayaan Anniversary kami. Kedua Inojin, lelaki berambut kuning dikucir kebelakang dan kulitnya agak tampak pucat dibanding dibilang putih itu menyangka aku tak mendengarkan pertanyaannya. Yang terakhir, Shikadai, lelaki berkucir rambut bak kepala nenas yang sedang masak dan sering mengeluarkan kata-kata 'Membosankan' itu menyangka jika aku mempunyai otak yang terlampau lambat tanggap. Lihat saja reaksi mereka.
Pertama Chouchou, "Jadi kau tak mempunyai rencana apapun untuk perayaan hari jadi satu tahun kalian?" dan aku tak menjawab.
Inojin pun angkat bicara, "Apa kau tak mempunyai rencana bersamanya, Sarada?" sekali lagi aku hanya menatap buku di tanganku.
Dan Shikadai pun mulai menggerutu, "Sudahlah, Uchiha yang satu ini mempunyai kecacatan yaitu otaknya terlampau lambat tanggap. Perlu beribu kali kalian menjelaskan, dia baru akan mengerti"
Meskipun itu sesuai dengan apa yang kufikirkan, tapi Hey! Aku tersinggung dengan kata-katamu, Shikadai. Sedangkan lelaki berambut pirang yang baru saja masuk ke ruang kelas dan menghampiri kami ini, aku tak tau akan bicara seperti apa kepadaku. Mungkin bertanya 'Ada apa?' Atau semacam itulah.
"Hey! Duduklah kalian, sebentar lagi pelajaran akan dimulai" tutur lelaki yang kumaksud itu sembari duduk di bangku kosong di belakangku.
Lihat, betapa menyebalkannya dia. Padahal dulu, jika melihat kami sedang berbincang-bincang seperti itu, dia akan sangat antusias ingin mengetahuinya alias Kepo. Aku tau, pacar itu harus menerima apapun kelakuan atau tingkah pasangannya yang meskipun tak kau sukai maupun menyebalkan. Tapi, ini bukan kelakuan atau tingkahnya harus aku terima, kan? Sebelum pacaran dengannya, bukanlah ini tingkah yang membuatku bisa menerimanya apa adanya. Meskipun aku harus akui, dia dulu memang Baka! Pemalas bahkan sering cabut. Dan entah kenapa, perubahannya dari yang dulu dan sekarang menjadi orang yang pintar, berbakat bahkan supe duper sibuk sangat mengganggu. Aku lebih suka dia yang dulu, Bolt-baka-ku dimana kau sekarang? Aku yakin, yang dibelakangku sekarang bukanlah Bolt-ku.
Treng!
Ah, karena tak konsen memperhatikan pelajaran. Aku jadi melewatkan dua jam pelajaran sekaligus, jika nilaiku turun, aku akan menyalahkanmu Bolt!
"Jaa, Sarada. Kami makan dulu, kau makan sianglah bersamanya" seru Chouchou dengan terburu keluar dari kelas dengan tangannya yang penuh dengan bungkusan makanan ringan.
Apa peduliku dengan lelaki yang dimaksud Chouchou, bahkan jika makan siangpun dia tak akan menemaniku kok. Dia lebih baik makan siang dengan semua tugasnya disbanding bersamaku kekasihnya.
Grap!
"Itaai..!" aku menyeringai kesakitan karena tanganku digenggam dengan erat.
"Kau kenapa?" sebuah pertanyaan itu mengalihkan mataku yang awalnya memandangi tangan kiriku yang masih di genggam erat ke wajah si pirang sok sibuk itu.
"Apanya?"
Ah, sepertinya aku sudah dua kali mengatakan kata 'Apanya' hari ini, tapi itu tak penting bukan. Dan lagi, kenapa si pirang ini sok peduli padaku. Memang kemarin-kemarin dia kemana? Sms sekali 5 tahun, telpon sekali seabad, kencan sekali seribu abad, apalagi makan siang bersama, TIDAK PERNAH! Itu bukan artian yang sebenarnya hanya perumpaannya bahwa dia sangat sedikit sekali mengabariku bahkan memberikan perhatian pada kekasihnya ini. Cih! Sial, kenapa aku harus jatuh cinta dengan si pirang ini.
"Sedari tadi kau tak memperhatikan pelajaran dengan serius, Sarada"
Bahkan dia hanya memanggil namaku tanpa kata '-chan' diakhir namaku, Oh tuhan! Aku benar-benar merindukan Bolt yang dulu.
"Apa pedulimu?"
"Tentu aku peduli, aku pacarmu!"
Yang benar saja! Kau anggap dirimu pacarku? Hee, kau yang sekarang bukanlah pacarku. Melainkan seorang lelaki yang maniak dengan ilmu! Sumpah! Ingin rasanya aku berteriak seperti kepadanya. Tapi sudahlah, pastinya dia akan mengoceh seperti ibu-ibu mengkhawatirkan anaknya.
"Cih!"
Aku tak mempedulikan apa yang akan dia lakukan, aku hanya berjalan keluar ruang kelas menuju kantin. Sudah lebih dari 3 bulan aku tak membuat bekal, karena tak ada gunanya jika memakannya seorang diri. Percuma punya pacar, tapi tak ada waktu untuk pasangannya.
"Sarada, kenapa kau sendiri? Kemana Bolt?"
Nah ini dia sahabat dari 'Pa-car-ku' yaitu Mitsuki, entah perlu aku mengakui si pirang sebagai pacarku. Pernah terbesit untukku membuat Bolt cemburu dan merubah sikapnya yang sekarang dengan mengencani sahabatnya ini. Tapi itu tak akan terjadi, karena Mitsuki sudah terlebih dahulu berpacaran dengan Himawari, calon adik iparku itu.
"Entahlah, bukan urusanku"
"Hey, dia itu pacarmu. Kenapa kau bilang bukan urusanmu?"
"Entah pantas dia kuakui sebagai pacar"
"Kau kenapa, Sarada? Akhir-akhir ini kau tampak membenci Bolt, apa yang dia lakukan padamu? Sehingga begitu tampak membencinya"
Benci? Padanya? Ya, aku sangat membencinya. Benci, benci, beeen~ ciiii…! Aku sudah sangat muak, sudah berkali-kali aku memberikan tanda bahwa aku sangat merindukannya yang lalu. Tapi ia tak juga sadar bahkan ia seakan tak mungkin kembali seperti dulu lagi.
"Kalau pun ia, dia tak akan peduli. Sudahlah Mitsuki, kau tak usah ungkit si pirang itu"
"Ya sudah, kalau begitu. Tapi, apa kau melihat Himawari-chan? Aku tak menemukannya di kelasnya"
"Kau tak perlu repot-repot mencarinya"
"Kenapa kau berbicara seperti itu"
Aku tak menjawab, hanya menunjuk seseorang yang menghampiri kami. Dan jika Mitsuki melihat orang itu, dia pun akan mengerti maksudku.
"Mitsuki-chan, kau kemana saja? Aku mencari-carimu sedari tadi"
Dan inilah dia, calon adik ipar yang aku bicarakan tadi. Dia memiliki mata Ocean dan tiga garis horizontal seperti milik kakak laki-lakinya itu. Dan bukan tanpa alasan memilikinya, karena sang ayah memiliki ciri-ciri sama hal yang dimiliki oleh mereka.
"Ah, Sarada-chan. Kenapa kau tak bersama Bolt Nii-chan?"
Ah, pertanyaan itu. Aku muak sebenarnya, tapi aku tak boleh marah karena hanya sebuah pertanyaan bukan? Aku hanya tersenyum manis padahal dalam hati 'Argh!'
"Aku muak melihatnya"
Ya, itulah jawabanku. Dengan senyuman manis diwajah, namun kata-kata itu yang keluar dari bibir mungilku ini. Dan tentu saja, sepasang kekasih yang bersamaku ini tercengang mendengar jawabanku. Tanpa pikir panjang, aku berjalan meninggalkan mereka berdua dengan wajah terpelongo seperti orang dungu.
"Ah, Sarada! Disini! Kenapa kau tak makan siang bersamanya?" Tanya Chouchou sembari berdiri dari kursi yang didudukinya agar aku dapat mengetahui dimana dia sekarang.
"Dia sibuk"
Aku tak mau ambil pusing dengan apa yang dilakukan si pirang itu, mau dia jungkir balik kek, belajar kek, ketebrak mobil kek. Eh, bentar jangan ketabrak mobil deh. Entar dia mati, kan aku jadi kesepian. Ada dia pun aku memang sudah kesepian sih. Bagaimana pun juga dia pacarku sih.
"Hm, sabar ya Sarada. Dia memang akhir-akhir ini terlalu keras untuk mendapatkan nilai bagus dalam semua mata pelajaran" ujar Inojin mencoba memberiku semangat.
"Paling tidak dia tak mengacuhkanmu kan?" Tanya Chouchou mulai khawatir karena aku mulai menghela nafas panjang dan memalingkan wajahku dari mereka.
"Sudahlah, aku lapar. Tak usah bicarakan dia"
Sepertinya mereka belum bisa menerima jawabanku tadi, tampak sekali dari wajah mereka kecuali Shikadai. Aku mengerti Chouchou sebagai sahabatku dia sangat mengkhawatirkan keadaanku yang akhir-akhir mulai sering tidak memperdulikan apa pun yang lakukan si pirang itu.
.
.
.
.
.
Teng! Teng! Teng!
Dan bel sekolah tanda jam pulang sekolah pun di bunyikan, seluruh siswa keluar dari ruang kelas dan berjalan menuju pintu gerbang sekolah. Tapi bukan berarti mereka langsung pulang, ada sebagian yang bersenang-senang dahulu baru kembali ke rumah. Yang seperti itu adalah kebiasaanku dulu bersama dengan Bolt. Dan yang sekarang, aku lebih memilih pulang jalan kaki tanpa harus berharap Bolt akan mengantarku pulang.
Karena aku pernah sekali mencoba untuk menunggunya di pintu gerbang, namun yang terjadi malah dia pulang hingga sore hari. Bahkan ia memarahiku karena dia terkejut melihatku menunggunya hingga pulang. Dia khawatir? Oke, aku terima. Paling tidak dia bilang jika ia akan pulang lama dan tak bisa pulang bersama denganku. Tapi, malah asik dengan buku-buku kesayangannya itu.
"Sarada, kau pulang sendiri lagi"
"Hn, kau mau pulang denganku lagi? Shin"
"Ya, masih benci padanya?"
"Siapa? Si pirang?"
"Bukan, kekasihmu"
Oh ya, sampai lupa. Ini adalah Uchiha shin, bisa dibilang dia seperti keluargaku sendiri. Karena umur kami tak terpaut jauh, ada yang menyangka ia kembaranku dan ada yang bilang dia adalah saudara jauhku.
Dan lebih tepatnya dia itu adalah anak angkat keluarga kami. Karena sebuah kecelakaan, orangtuanya meninggal. Sebagai sesama keluarga Uchiha, Tou-san mengangkatnya sebagai anak. Dan tak banyak orang tau tentang Shin, sebenarnya akulah yang tak ingin orang tau banyak tentang Shin.
"Itu, si pirang Shin Nii-chan" aku memukul kepala Shin dengan tas yang sedang kupegang.
"Itai, Imoto! Hahah, gomen. Aku hanya menggodamu, kau tak buruk sekali jika cemberut"
Aku tak menjawab, dan tetap berjalan menuju rumah yang berjarak sekitar 1 Kilometer lagi. Dan Shin masih setia menemaniku berjalan disampingku.
"Imoto, aku tau kau sangat membenci perubahannya. Paling tidak kau katakan, apa yang kau rasakan padanya" Shin mencoba menasehatiku ala kakak yang sedang menasehati adiknya.
"Iie, aku tak mau. Meskipun bisa saja besok kami berpisah"
"Berpisah? Berarti kau memberikanku kesempatan disisimu, bukan?"
"Hentikan kebiasaanmu itu, Shin Nee-chan. Kau selalu menggodaku jika masalahku dengan Bolt terjadi"
"Aku tak menggodamu, Sarada-chan~"
"Nah lihat, sekarang kau memanggilku seperti itu. Padahal kau menyebutku dengan 'Imoto' tadi"
"Aku serius Sarada-chan, aku benar-benar tidak menggodamu"
Dan kali ini aku tak bisa menyahuti kata-kata kakak angkatku itu, bagaimana tidak? Tangannya yang cukup kuat memegangi lenganku hingga tak bisa kemana-mana. Matanya menatap tajam, hingga terasa menusuk ke ulu-ulu hatiku.
"Ja-jadi?"
"…"
Dia masih tak menjawab, dan menatapku dengan tajam. Ayolah, Shin. Hentikan ini semua, jangan membuat semua orang salah sangka terhadap kita.
"Shi-shin Nii-chan"
"…"
Ini sudah hampir setengah jam ia tak menjawab kata-kataku. Aku sungguh tak habis pikir, kenapa ia masih bisa menatapku selama ini.
"Jaa! Aku hanya mengerjaimu, Imoto"
Lelaki bersurai biru pucat itu berlari dengan suara tawa yang sangat terdengar jelas oleh telingaku. Aku mengejarnya hingga sampai ke dalam rumah.
"Shin Nii-chan! Akan kupukul kepalamu, Shannaaro!"
Dan aku satu lagi, Tou-san adalah seorang pengusaha dan Kaa-san menjadi sekretarisnya. Jadi, jika kami pulang, tak akan ada yang mengatakan 'Okaeri'. Makanya, kami tak pernah mengatakan 'Tadaima' jika masuk ke dalam kediaman Uchiha ini.
.
.
.
"Jadi, kau mau masak apa?"
"Kari Tomat"
Aku menghentikan kegiatan masak-masakku dan duduk di dekat Shin Nee-chan yang masih asik dengan siaran televisi.
"Sudah selesai?"
"Hn!"
"Ayo, kita makan"
Aku hanya mengangguk dan mengikuti langkah kakak angkatku itu berjalan menghampiri meja makan yang sudah kupersiapkan sedemikian rupa dengan masakan buatanku itu.
"Hm, kau semakin pandai memasak Imoto"
"Tentu saja"
"Kau semakin mendekati wanita idaman yang akan kujadikan istri"
Bletak!
Sebuah sendok nasi menghantam kepala lelaki dihadapanku itu. Dengan wajah yang meringis kesakitan, ia mencoba menggaruk-garuk kepalanya agar rasa sakitnya itu menghilang.
"Imoto! Hentikan kebiasaanmu melempar sendok nasi itu, nanti calon suamimu ini bisa jadi lelaki bodoh"
"Itu salahmu Shin Nii-chan, kau masih menggodaku sesudah kupukul kepalamu pakai tasku tadi"
"Ayolah, Sarada-chan~"
"Apa?!"
Mata Onyx itu menatap tajam mataku, dan lagi-lagi. Hatiku terasa tertusuk oleh tatapannya itu, entah mengapa ini sangat menyakitkan dibanding Bolt menatapku seperti ini. Ya, itupun dulu saat kami pertama kali berkencan sekitar satu setengah tahun yang lalu. Mungkin (?) Karena cukup lama, jadi ingatanku hampir tak bisa menemukan bagaimana perasaanku pada Bolt.
Kyaa! Gomen-nasai, minna! XD Bukannya nyelesaiin fic satu2 malah nambah buat fic,, Setiap mau melanjutkan chapter fic2 sebelum ini, aku malah punya inspirasi fic baru. #nahlohjadi? Fic yang sebelumnya jadi terlambat update deh, XD gomen, gomen, gomen-nasai!
Arigato gozaimasu, sudah membaca fic kali ini. Dan jangan lupa tinggalkan reviews minna yaa? XD
