Naruto © Masashi Kishimoto.
A Naruto Fanfiction by Yukimura Hana & Iwahashi Hani.
PROLOG.
Naruto bergegas menuju pintu apartemennya, jam di tangannya telah menunjukkan pukul 07.12. waktu Konoha. Sebentar lagi, bel sekolahnya akan berbunyi. Ia harus bergegas! Ia mengambil nafas sejenak, bersiap untuk hal 'mengerikan' hari ini.
Naruto berlari secepat kilat tanpa menggubris beberapa tetangganya yang menatapnya sinis. Oh, hatinya sudah keras. Keras akan perlakuan orang-orang tak berkemanusiaan itu terhadap dirinya. Dicaci, dimaki, ditendang, dipukul, diludahi, hal-hal itu tak cukup untuk menjelaskan apa yang dilakukan orang-orang itu kepadanya.
Memangnya, apa salahnya sebagai anak orang yang mati atas 'tuduhan' pengedar barang haram narkoba? Dia tau, sungguh tau. Hal itu merupakan pekerjaan yang keji di dunia ini. Tetapi, bukankah dengan memperlakukan anak berusia 13 tahun yang sama sekali tidak tau dengan pola kehidupan orangtuanya dengan kasar tanpa alasan yang jelas, itu merupakan hal yang sama kejinya melebihi PSK sekalipun?
Ironis.
Naruto hanya bisa tersenyum getir, mengepalkan tangan dibawah naungan kegelapan sembari terus menunduk menahan amarah yang bergejolak di batinnya. Ia tak memiliki teman, saudara ataupun keluarga. Tak ada, tak ada yang memperdulikannya. Kadang, dirinya tak habis pikir, kenapa dirinya dilahirkan di dunia ini? Kenapa Tuhan harus menciptakannya?
Tiba-tiba, seseorang mendorong tubuhnya hingga jatuh terjerembab ke bawah. Naruto menatapnya dengan geram, siapa pelaku yang berani memperlakukannya seperti ini? Apakah orang itu tak cukup menatapnya diperlakukan layaknya hewan ternak?
"Maaf, tidak sengaja." Ujar orang itu. Naruto mengenali dirinya, pemuda dingin yang keluarganya dibantai habis-habisan oleh kakaknya sendiri pada saat dirinya menginjak kelas lima. Tapi, kenapa Sasuke tidak ikut dicaci sepertinya? Dimaki ataupun diberi tatapan tak suka? Kenapa pemuda biru dongker itu malah dipuja-puja? Ah, Tuhan tak adil 'kah? Tidak, ia tau Tuhan Maha adil. Bahkan, semua orang mengetahui itu. Naruto kembali mencengkram tangannya, lalu menonjokkannya kepada sebuah tiang yang berada di dekatnya.
"Na-namikaze-san.."
Disaat dirinya tengah meluapkan amarahnya, datanglah seorang gadis cantik bermata perak yang dikenal sebagai wanita ter-ayu di sekolahnya. Naruto mendelik kesal, mau apa dia disini? Mencacinya? Memakinya? Cih, lebih baik dia enyah dari hadapannya.
"Aku.. membawakan be-bento untukmu."
Apa dia bilang? Bento? Apakah gadis itu ingin membunuhnya dengan cara menaruh racun di dalamnya? Tertawa saat dirinya terkapar payah di hadapan gadis itu dengan mulut penuh busa? Cih, walau ia tau itu tidak mungkin. Naruto beranjak dari tempatnya, tak menggubris gadis itu tanpa mengucapkan sepatah katapun, berharap gadis gagap itu pergi dari hadapannya.
Tapi, Naruto salah. Hinata terus mengikuti dirinya kemanapun ia pergi. Walau pada awalnya ia yakin gadis bersurai indigo itu akan menyerah, kala ikut dicaci dengan dirinya karena terus ikut di belakang punggungnya, tetapi lihat sekarang. Gadis itu setia berdiri sedari tadi menatap pintu apartemennya.
Tiap ia ke atap sekolah, pulang ke rumah, membeli cup ramen, gadis itu mengikutinya tanpa henti. Menatapnya saat sedang belajar, memberikan pinjaman catatan dengan senang hati, ah Naruto tak habis pikir dengan gadis ini. Apa mau gadis indigo itu?
Namun, karena gadis itu, Naruto menyadari arti teman sesungguhnya. Disaat diperhatikan, diberikan senyuman, dinasihati, ia menyukai hal-hal itu. Hal-hal yang tak pernah ia rasakan lagi semenjak 7 tahun silam, dimana orang tuanya telah pergi ke alam yang lebih baik. Naruto menatap gadis itu kala bercerita di bawah terangnya sinar bulan. Bercerita disertai gelimangan air mata yang membanjiri pelupuknya. Rasa ingin berbagi, menolong, melindungi hinggap di batin pemuda kuning itu. Direngkuhnya Hinata ke dalam dekapannya, hingga tetasan air matanya mengenai tangannya.
SRINGGGG— Tiba-tiba, cahaya yang terang berderang menyeruak dari tetesan air mata itu. Naruto terlonjak kaget, ditatapnya wajah Hinata yang seiring waktu juga mengeluarkan cahaya yang menyilaukan. Apa ini? Tetapi, selang berikutnya, keluarlah sebuah portal dunia berwarna-warni yang aneh di pengelihatannya.
'NARUTO, MASUK!'
Suara bass entah milik siapa terdengar di portal itu. Naruto menautkan alisnya, masuk? Masuk dia bilang? Gila saja! Bisa-bisa ia mati dengan posisi tak karuan!
'KAU TAKKAN MATI, CEPAT MASUK!'
Naruto meneguk ludahnya dengan susah payah, dia cenayang rupanya. Ia menatap Hinata sekilas, mungkin gadis itu mengetahui apa maksudnya ini. Ia tak habis pikir, apakah itu kekuatan Hinata? Hingga airmatanya bisa membuat lubang aneh itu?
"Kenapa aku harus masuk?"
Bukannya menjawab atau apa, orang di dalam portal itu tertawa terbahak-bahak. Dengan semilir angin yang menggesek daun-daun bunga sakura, ia berdehem keras sebelum menjawab pertanyaan yang terlontar untuk dirinya.
'KAU AKAN TAU JIKA KAU SUDAH MASUK.'
Ragu, Naruto melangkahkan kaki menuju portal itu. Tetapi, sebuah tangan menghentikan langkahnya. "Aku ikut." Pinta Hinata, dengan wajah memelas. Belum sempat Naruto bertanya pada pemilik suara di portal sana, sebuah dadu bercahaya putih keluar. Berputar, lalu berhenti pada satu buah titik cahaya merah.
'HANYA SATU. TAK LEBIH.'
Naruto terdiam, melepaskan genggaman Hinata dan memasuki portal itu dengan keraguan yang memuncak dibenaknya. "Aku pasti kembali, kau pulang saja. Hati-hati."
Selang beberapa saat, Naruto terbawa dimensi. Ia terjatuh, hingga wajahnya mengenai tanah. Tapi, ia tidak merasakan sakit sama sekali. Memang aneh, tetapi yang lebih membuatnya bingung adalah hadirnya ribuan kurcaci merah yang sedang menatapnya bahagia. Penuh senyuman, tak seperti orang-orang di sekitarnya yang memandangnya dengan tatapan iblis.
"Inilah, penjaga baru bumi.. NARUTO!"
Terdiam, melongo, bingung. Penjaga? Apa maksudnya?
Sebuah dadu yang tadi ia lihat di taman bersama Hinata pun muncul lagi di hadapannya, mengeluarkan kembali satu titik cahaya merah disana. Tiba-tiba, mata biru laut Naruto berubah menjadi violet, campuran antara keberanian dan ketenangan. Giginya berubah menjadi taring nan tajam dan tubuhnya menjuntai tinggi ke atas layaknya pria dewasa.
"Kau, penjaga baru yang di utus Dewa Semesta Alam, Naruto."
Penjelasan yang singkat itu tak membuat Naruto paham, bukannya kembali menjelaskan apa maksud itu, para kurcaci mendorongnya hingga suatu tempat berkayu yang cukup nyaman untuk disinggahi.
Semenjak tinggal di tempat itu, Naruto dilatih untuk menjadi kuat. Dari menguasai ilmu pedang, hingga elemen-elemen kehidupan. Ilmu pedang, oleh Monster Elang. Elemen angin oleh Dewa Kematian. Api oleh Naga bijaksana. Tanah oleh pohon berdaun emas. Petir oleh Pria bertopeng biru. Dan yang paling membuatnya terkejut, Air oleh Dewi Bulan, yang mana wajahnya mirip sekali dengan Hinata.
Tetapi, disaat ia belum menguasai sepenuhnya kelima elemen, Dewa Iblis telah bergerak. Menguasai sebagian bumi yang dinaungi kebencian. Menyerang daerah Bulan, dan mengusir Dewi Bulan hingga kekuatannya tertekan. Saat Bumi diselimuti lahar panas hitam nan mencekam, mematikan seluruh kehidupan dan ketika dirinya gagal menyelamatkan Dewi Kehidupan dari genggaman Dewa Iblis, jutaan tatapan sinis kembali tertuju kepadanya. Sakit, batinnya sakit.
Menyerah, ingin saja. Jika Dewi Kehidupan telah punah, seluruh kehidupan bumi meredup. Lagipula, jika ia melakukan ini, apa keuntungannya? Menyelamatkan bumi? Menyelamatkan orang-orang yang telah berbuat jahat kepadanya? Yang telah mencacinya, memakinya, menendangnya, oh apakah mereka pantas mendapatkan susu setelah memberikan air tuba?
Di saat itu, kebenaran akan kematian kedua orang tuanya terungkap. Disaat dirinya tak percaya akan kebaikan kedua insan itu, akibat melakukan tindakan merugikan pemerintah, suatu fakta menyekit hatinya. Orang tuanya bukan mati atas pengedaran benda haram!
Mata violet itu bertransformasi menjadi mata sehitam kegelapan. Kebencian, memenuhi sebagian iris memabukkan itu. Naruto mengulurkan tangan, kepada Dewa Iblis yang memegang sebuah pedang kusanagi pusaka. Mengacungkannya kepada sang rembulan, seakan menantang bahwa benda langit kehidupan itu telah kalah.
"Naruto.. aku mempercayaimu."
Dan suara lembut milik Dewi Bulan menyadarkannya, mengembalikan iris biru ketenangan di dalamnya. Apa yang harus ia pilih? Melepaskan rantai kebencian, yaitu melawan Dewa Iblis, atau membalas kebenciannya dengan bergabung dengan Dewa Iblis?
.
.
.
PROLOG END!
Bagaimana? Apakah jelek? Itu hanya cuplikan, belum cerita yang sebenarnya. Jadi, jika berpikiran cerita ini akan baik jika dilanjutkan, tolong tulis di kotak bernama review Terima kasih^^
Sign-
Yukimura Hana & Iwahashi Hani.
