Disclaimer: Bleach is a registered trademark for Tite Kubo and Shonen Magazine. No copyright infringement intended. All rights reserved.


Satu

Should old acquaintances be forgot, and never brought 'till mind?

Should old acquaintances be forgot, and auld lang syne?

.

Hari yang terik dan dingin di pertokoan Karakura.

Rukia sibuk memilih pernik-pernik untuk pesta tahun baru. Dia menguak beberapa pakaian di toko baju anak-anak. Satu untuk putrinya, dan beberapa untuk keponakannya, yang pasti akan melapor pada orang tuanya bila saja Rukia tak berhasil membelikan pakaian hadiah tahun baru bagi mereka.

Ia menyisihkan gaun berwarna pink. Merah muda bukan kesukaan Yume lagi. Warna kesukaannya sudah berganti menjadi kuning cerah. Bukan hitam. Bukan polka dot. Bukan merah marun berlipit-lipit…

Tiba-tiba saja keributan itu terjadi. Dia mendengar suara benda metal bertubrukan dengan sesuatu. Jeritan beberapa wanita membuatnya tertarik.

Si penjaga toko mendekatinya. "Astaga… mobilnya sampai ringsek."

Kerumunan manusia yang bergegas keluar dari gerai pakaian tempat Rukia berada menuju lokasi tabrakan tadi. Rukia mengikutinya. Dia tak terlalu penasaran tentang hal ini, tapi sedikit banyak dia cukup tertarik…

Dengan langkah kaki yang ringan ia berjalan keluar gerai. Mendekati kerumunan manusia yang berbisik-bisik. Suara ambulans meraung-raung dari kejauhan, merobek bisikan manusia.

Sesuatu yang tergeletak di dekat tiang listrik menyapanya. Benda itu berlumuran darah.

Rasanya dia kenal benda itu. Sebuah boneka kelinci, warnanya putih, dan telinganya bercorak hitam. Boneka itu kini telah basah, berlumuran darah. Rukia menjangkaunya. Terasa lengket di tangan.

Ya, dia kenal boneka itu. Dia sangat kenal boneka itu.

Itu boneka kelinci anaknya. Dia yang membelikan.


Wanita itu mengangkat wajahnya. Rambutnya kusut, matanya kusut, pendek kata, semua yang ada di wajahnya saat ini kusut. Dahinya memerah akibat terlalu lama beradu dengan kemudi mobil. Ia mengucek-ucek matanya yang sembap. Pipinya terasa kering, mulutnya, tenggorokannya juga.

Sudut matanya menangkap kerlipan cahaya di kursi sebelahnya. Ponselnya lagi-lagi berdering. Dia mengangkatnya, membaca nama orang yang memanggilnya, kemudian mematikannya. Tapi itu tak berlangsung lama. Timbul perasaan tak enak dalam hatinya. Jadi dia menekan kembali nama tadi, dan mendekatkan ponselnya ke telinga.

Hanya butuh satu deringan. "Rukia…"

Suara di ujung sana penuh kekhawatiran.

"Ya."

Rukia merasa suara yang keluar—suara yang parau itu—bukan suaranya.

"Aku… minta maaf."

Rukia tersenyum getir. "Tak apa. Memang itu yang terbaik bagi kita. Kupikir kita harus berpisah. Tak ada dari kita yang akan tahan menjalani hari-hari seperti ini."

"Kalau kau mau, aku bisa membatalkan surat cerai itu…"

Kalau kau mau. "Tidak, tidak, tidak usah," Rukia menyahuti, cepat dan tajam. "Kita memang harus berpisah, Ashido. Kau tak usah membatalkan surat cerainya. Aku sudah menandatanganinya. Dan aku tahu kau juga akan tanda tangan. Ini yang terbaik. Kau juga bilang begitu, kan."

Ashido terdiam. "Tapi kau tak harus pergi secepat ini," katanya pelan.

Secepat ini. Kali ini giliran Rukia yang diam. Dia tak pergi dengan cepat. Tidak juga dengan tiba-tiba. Justru dia sudah berpikir matang-matang. Segalanya sudah terasa hambar. Ashido pun berpendapat serupa. Yang tak dipikirkan pria itu adalah bahwa, meski kata-kata itu terdengar seperti seloroh, namun itulah yang sebenarnya. Itulah isi hatinya.

"Aku cuma ingin semua tak terkesan berat untukmu, Ashido."

Dia menutup telepon.


Rukia memarkir mobilnya di depan bangunan tua bergaya Victoria. Agak salah tempat, mengingat negara ini bukan Inggris, tapi susunan bangunan di Aokigahara ini lebih menyerupai New York abad sembilan belas ketimbang Jepang abad 21. Bangunan-bangunannya berlantai dua, berdinding dan berlantai kayu, dengan beranda lebar dihiasi tanaman dalam pot gantung. Halamannya luas dan tak berpagar, bercorak putih karena salju di utara, dengan pohon mahoni yang daunnya sudah tak tampak.

Rukia menutup pintu mobil dan mengeratkan syalnya. Suhu udara betul-betul buruk. Dia menatap sekeliling. Rumah-rumah penuh hiasan Natal yang bertengger manis di pintu-pintu. Asap tipis membubung dari cerobong asap yang masih berfungsi. Beberapa rumah bahkan memiliki boneka salju di halaman mereka. Semua rumah semarak dengan suasana penghujung Desember.

Kecuali rumah kecil di seberang jalan sana. Halamannya bahkan cenderung tak terurus. Mungkin rumah itu tak ditempati.

"Nona, kau akan diam di sana terus atau masuk dan menikmati kehangatan di dalam?"

Rukia tersentak dan memutar tubuhnya. Sesosok wanita tua bercelemek balas menatapnya. Matanya sipit, tapi kesipitan itu lebih disebabkan kelopak matanya yang demikian besar sampai-sampai mata wanita itu terlihat seperti mata iguana.

"Halo?" wanita itu memanggil lagi.

Rukia mendekat. "Maaf. Anda…"

"Aku pengurus rumah ini," jawabnya sambil mengulurkan tangan. "Namaku Hikifune. Kau pasti Kano-san yang membeli rumah ini, ya?"

"Kuchiki," koreksi Rukia. Dia diam sebentar sebelum menambahkan, "Aku sudah bercerai dengan suamiku."

Si pengurus rumah tak repot menyembunyikan keterkejutannya. Dia menutup mulutnya dengan tangan. "O-oh, maafkan aku, Kuchiki-san."

Rukia tak menanggapi.

"Bagaimana kalau kita masuk sekarang? Udara di sini betul-betul buruk. Kau tahu, Aomori memang buruk sekali di akhir tahun begini, salju dan badai dan hujan es serta segala macam lain-lainnya itu… omong-omong, mana bawaanmu?" Tiba-tiba saja si pengurus rumah merasa sangat akrab dengan Rukia. Mungkin karena dia merasa senasib sebagai seorang janda…

Rukia tertegun lagi; nyata dia tak memerhatikan ocehan Kirio. "Cuma satu koper ini," dia menunjuk tentengannya.

Kirio berkedip sekali. "O-oh, baiklah. Wanita zaman sekarang memang tak pernah bepergian dengan banyak barang. Aku ingat cucuku; dia tak pernah membawa pakaian lebih dari satu ransel! Ketika kutanyakan apakah dia membawa cukup baju, dia cuma tertawa dan menuduhku kuno! Aku, kuno! Padahal aku bisa menyebutkan seratus orang yang jauh lebih kuno dari aku… contohnya si tua Yamamoto…"

Dia memimpin jalan masuk ke dalam rumah. Dari belakang, Rukia mengikutinya. Serenceng kunci yang jatuh ke lantai sebelum mereka masuk lewat pintu belakang membuat Kirio menghentikan ocehannya untuk beberapa belas detik; sesudahnya Rukia lagi-lagi berada dalam lautan cerita tentang pasta ikan yang dijual seseorang bernama Kenpachi di kota.

Rumah itu hangat, dan dingin di saat bersamaan. Tak ada genkan seperti rumah pada umumnya, meskipun sebuah rak tempat sepatu ada di samping pintu dapur. Dapurnya bercat putih, dengan peralatan memasak yang telah diperbaharui sebelum rumah ini diiklankan. Kirio membuka pintu menuju toilet dan kamar mandi, dilengkapi dengan penjelasan mengenai keran air panas di bathtub.

"Kau tak bisa langsung mengharapkan air panas mengucur segera setelah kau membuka keran—pemanas air adalah satu-satunya yang belum diperbaiki di sini, jadi airnya akan panas pelan-pelan…"

Rukia cuma mengangguk. Dia meninggalkan kopernya di ruang ganti di sebelah kamar mandi.

Mereka beranjak ke ruang makan. Miskin perabotan. Rukia memang meminta agar semua perabot bergaya kuno disingkirkan, dan diganti dengan sesuatu yang lebih minimalis. Ia cuma meliriknya saja, karena Kirio sudah keburu berjalan ke ruang duduk. Langkah kakinya berderit di lantai kayu yang licin.

"Aku sudah melaksanakan semua pesan-pesanmu pada Hitsugaya-san," katanya. Hitsugaya adalah nama agen perumahannya. "Sofa yang ada di kamar ini sudah dibersihkan. Aku jamin tak ada tikus sama sekali. Mereka semua sudah aku racun. Kuberitahu kau, sianida jauh lebih berguna ketimbang arsenik…"

"Boleh aku melihat kamar tidurnya?" potong Rukia cepat, setengah tak sabar.

Kirio langsung bungkam. "Y-ya, tentu saja." Dengan muka merah, dia memimpin jalan. "Semua kamar tidur ada di lantai atas." Dia menaiki tangga.

Rukia mengikutinya. "Terima kasih," sahutnya lega.

Tangannya menyusuri selusur tangga yang sedikit berdebu. Ia hampir terserimpet karpet di ujung tangga, tapi Kirio tak menyadarinya. Mereka berhadapan dengan beberapa pintu, dua pintu di sisi kiri mereka dan satu pintu di ujung lorong yang terjauh.

Kirio melangkah dan membuka pintu yang terjauh. "Ini kamar utamanya. Tidak menghadap jalan, memang, tapi kau bisa melihat Danau Sanshiro di kejauhan sana. Kau lihat? Sayang danau itu sekarang membeku." Dia diam sebentar. "Dan oh, kudengar dari Hitsugaya-san kalau kau seorang penulis? Maka kamar ini adalah tempat yang tepat untukmu."

Si penjaga rumah beranjak ke sebuah pintu di ujung kamar dan membukanya. Rukia melongok ke dalam. Sebuah ruang kerja dengan rak buku setinggi langit-langit sebagai latar belakang. Hanya saja rak itu kosong. Dan sedikit berdebu.

"Kukira kamar ini akan cocok sebagai tempatmu bekerja," sambungnya akrab. "Pemandangannya juga cukup bagus. Inspiratif, kata orang. Di sini juga ada bel, jadi kalau kau butuh sesuatu, kau bisa langsung memintanya…" Suaranya tiba-tiba menghilang. Sepertinya dia tak mau topik pembantu dibawa ke permukaan.

"Baiklah," gumam Rukia. Dia belum menjelaskan pada Kirio bahwa sejak hari itu dia berhenti menjadi penulis.

"Kira-kira kapan barang-barangmu akan tiba? Tak mungkin kalau kau hanya membawa satu koper kecil itu saja, kan?"

"Bawaanku memang cuma itu, Hikifune-san."

Kirio terdiam. Kemudian, dengan nada riang, dia berkata, "Ayo, kuantar ke kamar yang lain."

Mereka bergerak kembali ke lorong. "Ini kamar tamu," katanya sambil membuka pintu. Sebuah kamar berukuran setengah kamar utama menyapa, dengan furnitur tertutup kain putih. Kirio membukanya dan melipat kain-kain itu asal-asalan. "Mungkin kalau ada keluarga yang mau menginap, mereka bisa tidur di sini."

Rukia cuma tersenyum.

Raut wajah Kirio mendadak berseri-seri lagi. "Oh, kau pasti punya anak, kan, Kuchiki-san?" Tak menunggu jawaban, dia keluar dan membuka pintu sebelah. Dengan jantung berdegup kencang, Rukia mengikutinya.

Sebuah kamar untuk anak-anak, dengan tempat tidur berukuran kecil.

"Aku yakin, ini pasti cocok untuk anakmu. Memang catnya berwarna biru laut, tapi kalau anakmu perempuan, kau tahu kalau mereka suka warna seperti ini. Omong-omong, anakmu laki-laki atau perempuan, Kuchiki-san?"

"E-eh?" Rukia tergagap. "P-perempuan."

"Hm?" Kirio heran. "Kalau begitu, di mana dia? Aku tak melihatnya sejak tadi." Dia diam sebentar. "Ah," katanya, "aku tahu. Pasti sekarang dia sedang bersama ayahnya, ya? Yah, aku tahu, hak asuh anak memang menjadi isu utama dalam perceraian, tapi sebagai seniormu yang sudah makan asam garam kehidupan sebagai janda, kuberitahu kau, tak baik kalau anakmu kau biarkan terus bersama ayahnya. Para ayah memang begitu—benar-benar lancang, padahal ia tidak sadar bahwa seorang anak harus bersama ibunya sampai dia berumur lima belas tahun…"

"Anakku sudah meninggal, Hikifune-san."

"Eh? Maaf?"

Rukia menatap mata Kirio lekat-lekat. "Anakku sudah meninggal."

Entah seperti apa dia menatapnya. Entah seperti apa kata-kata yang keluar dari bibirnya sendiri itu. Kirio langsung menutup mulutnya lagi, dengan tangan. "M-maafkan aku, Kuchiki-san, sudah lancang…"

Rukia mengangkat tangannya. "Tak apa," katanya. Dia memilih mengalihkan pembicaraan, dan menanyakan soal pembantu rumah tangga karena dia terlalu sibuk untuk bisa membersihkan rumah besar ini sendirian.

Kesedihan dan rasa bersalah Kirio sirna secepat munculnya. "Hinamori akan membersihkan rumah ini seminggu dua kali. Biasanya dia datang setiap Rabu dan Minggu. Berikan saja dia beberapa ribu yen dan anak itu akan senang," katanya. Tiba-tiba dia terdiam, sadar tak ada hal lain lagi yang bisa dibahasnya dengan si pemilik baru.

Rukia pun mengerti dengan keheningan itu. Dia menyelipkan beberapa lembar uang di genggaman Kirio, disertai ucapan terima kasih yang dirasanya berlebihan.

"Tidak, aku yang semestinya berterima kasih, Kuchiki-san. Ini begitu… banyak," katanya.

"Tak apa-apa, Hikifune-san," jawab Rukia. "Justru aku yang sangat terbantu dengan kehadiranmu. Ini tak seberapa."

Disertai ucapan terima kasih lagi dari si pengurus rumah, dia mohon diri. Dia sudah menyiapkan nomor telepon di atas meja dapur, jadi kalau-kalau Rukia butuh sesuatu, dia tinggal menghubungi saja. Rukia cuma menjawab bahwa dia tak akan mau membuat Kirio terlalu terganggu. Dia mendengar langkah-langkah kaki Kirio menghilang di kejauhan, sebelum menatap sekelilingnya, dan menghela napasnya yang berat dan lelah.

Dia beranjak, mendekati jendela yang kerainya telah terbuka. Jalanan yang sepi tergambar nyata dari sini, di balik jendela dengan sedikit debu. Begitu juga dengan rumah tak terurus di depan rumahnya. Tapi… sepertinya ada yang berbeda. Tirai di ruang depan rumah itu kini terbuka.

Rukia menatap tirai itu terus, sampai tiba-tiba dia sadar bahwa bangunan di seberangnya itu, bangunan yang tak terurus itu, tidak kosong dan tak berpenghuni sebagaimana mestinya. Sebuah tangan menggenggam tirai hijau tua itu; tubuhnya tampak beberapa saat kemudian, terduduk di atas sebuah kursi roda.

Mata Rukia mau tak mau setengah melebar. Ia menatap seorang pria, yang balas menatapnya keheranan selama beberapa selang. Rambutnya berwarna jingga, tapi yang lebih menarik perhatiannya adalah mata si pria. Sepasang mata berwarna madu, yang seolah-olah terperangkap dalam penjara rahang persegi dan air muka sendu.

Rukia mencoba mengangkat tangannya, setengah melambai. Tapi pria itu mengerutkan dahinya, mukanya memerah, dan dengan kemarahan, dia menyentakkan tirai itu sehingga menutup. Tersentak Rukia dibuatnya. Ia terdiam selama beberapa saat. Pikirnya, betapa tidak ramahnya pria dengan rambut anehnya itu… tapi ada sesuatu yang berada dalam mata itu, yang membuatnya tertarik.

Kesedihan yang persis sama dengan kesedihannya.

Tiba-tiba saja, di kepalanya mengalun selarik lagu.

"For auld lang syne, my dear, for auld lang syne.

We'll take a cup of kindness yet, for auld lang syne."

.

to be continued.


Author's Note:
Hehehe... dipublish lagi deh cerita ini. Maaf ya, sedang ingin publish cerita ini lagi karena bisa bikin bab duanya. Ntar kalau mandek lagi dihapus lagi (bercandaa...).

Kalau sudah baca ini, berarti sudah selesai baca kan? Ada kritik? Saran? Komentar? Sila ditulis, terima kasih banyak :3