At 6.13 a.m.
In Kuoh Internasional Airport
"Ya ampun, dimana sih Reborn ini? Katanya mau jemput di Bandara..." Seorang cowok berambut kecoklatan yang membawa sebuah koper, terlihat seperti sedang mencari sesuatu. Kemudian dia alihkan pandangannya kearah jam tangan miliknya yang melingkar di lengan kirinya, menatap dengan keluh kesah jarum pendek yang menunjuk di pertangahan angka enam dan tujuh. "Apakah aku di bohongi lagi oleh Reborn?" Ia bergumam.
Sebelum sempat melanjutkan langkahnya kembali, ponsel yang berada di salah satu saku celana cowok itu bergetar, lantas ia segera mengambil ponsel miliknya dengan tangan yang masih bebas. Satu panggilan nomor tanpa nama terpampang pada layar ponsel di tangannya, tanpa pikir panjang langsung saja ia terima panggilan dari nomor misterius itu.
"Emm... moshi-moshi?"
"Dasar, dame Tsuna! Kenapa kau lama sekali tidak mengabariku?"
"Reborn..." Ada nada senang saat ia memanggil nama itu. Namun, "He!? Kenapa kau tidak menjemputku!?" Cowok itu berteriak.
Ada hening sejenak di ponsel itu.
"Ahh, aku lupa."
"REBORN..."
Disclaim: Aku hanya minjam karakternya para [Pakar Ternama]
Peringatan: ooc, typo, Ngenes!Tsuna, Jomblo!Tsuna, dll.
Ringkasan: Tsunayoshi Sawada. Seorang calon bos mafia yang di juluki sebagai Decimo, dengan terpaksa melakukan sebuah pelatihan individu atas suruhan sang Arcoballeno, Reborn. Dan dia kini hidup sendiri di sebuah apartemen, hanya dengan bermodalkan Nekad.
~o~
Bagian 1: Korban Manusia
"Ya ampun, Reborn ternyata kejam sekali, aku sampai di tinggal di kota ini sendirian. Tanpa uang."
Keluhan tak terbatas itu Tsuna lontarkan sambil terus berjalan melewati indahnya trotoar pagi dimana banyak orang berseragam menatapnya dengan pandangan yang sulit di artikan. Setelah berjalan keluar dari Bandara selama kurang lebih tiga jam, calon bos mafia yang usianya masih beranjak enam belas tahun itu tak tahu harus kemana.
Tapi yang terpenting, saat ini dirinya sudah berada komplek perumahan. Tsuna menghela nafas lega. Koper besar yang sedari tadi dibawanya langsung ia hempaskan di pinggiran trotoar, berjalan selama kurang lebih tiga jam sudah cukup untuk membuat tenggorokannya seperti pada pasir, kering dan panas. Ia perlu minum. Tapi dimana dia bisa mendapatkannya? Tak tahu lagi ujung-ujungnya.
Nasib-nasib.
Karena rasa lelah yang mendominasi, cowok berambut jabrik itu memilih untuk mengikuti jejak kopernya yang kini tergeletak di atas aspal trotoar, di hempaskannya bokong berlapiskan celana jeans itu tepat disamping kopernya berada, Tsuna mulai mengatur nafasnya yang sedikit ngos-ngosan.
Banyak orang berlalulalang memandanginya dengan penuh perhatian. Melihat bagaimana melasnya muka yang saat ini di pampangkan oleh Tsuna, siapa yang tak kasihan melihat anak muda yang pagi-pagi sudah jadi gelandangan? Ohh, andai mereka tahu kalau yang mereka tatap saat ini adalah calon bos mafia yang memiliki kekuasaan paling besar di Italia, itu pasti dapat membuat mereka kaget.
Namun Tsuna tak ingin membesar-besarkan hal itu. Peduli setan tentang jabatan sebagai bos mafia, tak sedikipun dirinya berharap menjadi pemimpin sindikat kriminal seperti itu, yang hati kecilnya inginkan adalah ketenangan hidup dan kedamaian. Ohh, naif sekali. Padahal sudah lebih dari lima kali dirinya masuk kedalam situasi yang membuat nyawanya menjadi sebuah taruhan, dan dia tidak menyadari itu.
Mungkin tidak.
Ada satu pertarungan yang paling berkesan untuknya, pertarungan yang paling besar, paling dahsyat, dan paling ia benci karena dirinya sudah gagal menyelamatkan dua nyawa manusia. Menyedihkan.
"Yuni..." Bayangan seorang gadis terlintas di benak Tsuna. Gadis yang gagal ia selamatkan nyawanya.
Sudah lebih dari setahun dari kejadian itu, namun bayang-bayang wajah ceria Yuni tidak dapat Tsuna lupakan begitu saja. Yuni adalah temannya, dan teman adalah seseorang yang berharga yang tak mungkin bisa di lepaskan begitu saja. Sudah pasti.
Setelah merenung sejenak, Tsuna harus dibuat sadar kembali pada kenyataan saat ponsel yang berada di sakunya bergetar, cowok itu segera merogoh sakunya kembali dan mendapati sebuah pesan singkat dari Reborn tentang alamat kos yang akan menjadi tempat tinggalnya. Ini merepotkan.
Satu hal yang membuatnya terjebak dalam situasi ini adalah kejadian dua hari yang lalu dimana kedua orang tuanya dengan senang menyetujui usulan dari salah satu bayi terkuat di dunia. Padahal salah satu sekolah SMA di Tokyo telah ia pilih sebelum dirinya benar-benar lulus, dan alasan memilih sekolah itu bukan lain karena Kyoko-chan. Gadis pujaannya.
Dan semua ini terjadi setelah Reborn mengusulkan salah satu sekolah pada kedua orang tuanya dengan alasan kemandirian. Tentu saja Tsunayoshi Sawada memergoki rencana Reborn yang di kerja samai dengan ayahnya yang edan bukan main, tentu saja Tsuna menolak keras tentang rencana itu, karena dia tahu bahwa semua rencana yang Reborn lancarkan tidak lain hanyalah untuk menjadikannya seorang Bos Mafia. Maniak sekali.
Dan kemudian rencana ini di setujui oleh Tsuna karena sehari setelah ia mengetahui rencana ini, dia harus melihat ibunya yang senantiasa tersenyum tiba-tiba menangis sesenggukan di depannya. Hati anak yang baik tidak akan tega melihat bagaimana ibunya menangis, Tsuna akhirnya menyutujui untuk melanjutkan SMA-nya di Kota Kuoh. Disini. Di Kota yang tak sedikitpun ia kenali.
Tsuna menghela nafas.
Nasib-nasib.
~o~
Pukul 10.39
Keberadaan Tsuna sekarang ini ialah dudul di bawah pohon rindang di taman yang sepi akan pengunjung. Bukan, lebih tepatnya masih ada beberapa orang, termasuk dirinya. Ohh, inikah pelatihan yang dimaksudkan oleh Reborn? Pelatihan kemandirian yang hanya bermodalkan uang dua puluh ribu Yen yang saat ini berada di dompetnya?
Ya ampun, paling tidak sediakan jemputan untuk pergi ke tempat kosnya, itu mungkin sudah cukup. Entah sudah berapa kilometer kaki Tsuna menjelajah seluk-beluk kota hanya untuk mencari alamat kos yang tidak jelas asal-usulnya, andai saja dia bisa menggunakan layanan GPS untuk mencari alamat itu, mungkin sudah dari satu jam yang lalu dia bisa bersantai di dalam kamar kos yang sepi dan tenang, itu memang sebuah andai-andai kalau saja masalah yang sebenarnya itu kini bertautan dengan kuota internet yang sudah habis masanya. Biasalah, dompet pelajar. Miris.
Nasib-nasib.
Setelah beberapa menit mengistirahatkan diri di bangku taman yang sedang sepi, sebuah firasat tiba-tiba menyerang sang Decimo, sontak membuat Tsuna harus menginpeksi daerah sekitarnya.
'Perasaan apa itu tadi?' Hati Tsuna mulai bertanya-tanya tentang kejadian yang membuat hatinya sedikit tersentak oleh sesuatu, seperti sengatan kecil, sedikit samar namun tetap terasa. 'Sepertinya ada sesuatu yang buruk disini.' Tsuna kembali membatin. Dia kemudian memeriksa salah satu saku celananya yang dimana didalamnya terdapat sarung tangan wol miliknya, senjata khusus yang ia punya.
Beberapa kali mengalami pertarungan hidup dan mati sedikit membuat Tsuna tersadar, bahwa di dunia ini pasti ada yang namanya kejahatan, dan kemudian itu membuatnya selalu setia membawa sarung tangan pemberian Reborn, lebih tepatnya Leon, kadal milik Reborn.
"Aku harus kembali bergerak." Tsuna bergumam. Remaja berambut jabrik itu menggenggam gagang kopernya, kemudian beranjak dari sana.
Dari balik pohon di bangku yang menjadi bekas Tsuna mengistirahatkan diri, muncul seorang pria paruh baya yang berjenggot sedang menatap punggung Tsuna dengan tatapan yang mengartikan sebuah ketertarikan. "Dia dengan mudah merasakan sebuah kehadiran, padahal aku hanya sedikit mengeluarkan hawa keberadaanku. Manusia yang menarik."
~o~
Koneko Tojou, seorang siswi tahun pertama yang populer di kalangan pria karena menjadi maskot sekolahnya, kini sedang berjalan menyusuri kota demi menemukan toko kue terbaru yang di kabarkan memiliki satu kue spesial berkelas tinggi. Itu... sebuah obsesi.
Beberapa pelajar laki-laki yang kebetulan baru pulang dari sekolah mereka, menatap sang Maskot dengan wajah cengo yang terkesan tidak bermatabat. Sebagaimana insting seorang pria sejati, jika ada seorang Loli yang sedang berjalan, pasti secara otomatis pandangan mata akan langsung tertuju pada Loli tersebut. Begitu juga dengan apa yang mereka alami saat ini. Saya biasanya juga gini, saya mah emang begitu.
Namun Koneko mengabaikan semua tatapan yang tertuju padanya. Sebenarnya dia merasa agak risih dengan semua itu, tapi mau bagaimana lagi? Dia hanya bisa membiarkan mereka melakukan apapun yang mereka ingin lakukan. Toh, selama mereka tindak sampai bermain tangan, itu bukan suatu masalah.
"Ada yang berbau enak," Koneko berhenti berjalan di tengah trotoar ketika indera penciumannya mencium sesuatu yang menurutnya enak. Hidungnya yang kecil tapi mancung terus mengendus-endus udara dan mencoba mencari asal bau yang enak itu, namun dia tidak masih belum menemukannya.
Karena instingnya yang bergerak karena penasaran tentang bau yang enak tersebut, gadis favorit semua orang ini meninggalkan niat awalnya yang ingin segera mencicipi kue berkelas yang sedang ramai di bicarakan orang-orang. Kaki kecilnya mulai melangkah kembali dengan niatan untuk mencari bau yang enak tersebut, dengan hidung yang ia busungkan ke depan, ia berharap akan dapat dengan mudah menemukan asal bau tersebut.
"Aduh, capeknya..."
Setelah berjalan beberapa meter, Koneko dibuat berhenti karena bau enak yang sedang di carinya seperti sudah melewatinya dan perlahan beranjak menjauh. Gadis itu kemudian berbalik, menatap punggung cowok berjaket hijau yang tadi sempat ia dengar sedang mengeluh karena rasa capeknya. "Dia..."
~o~
Malam kini menjelang, lampu-lampu di pinggiran trotoar mulai menyala berderet bergiliran dan menerangi jalanan. Tak ada yang spesial malam ini, seperti malam-malam lainnya, makan malam bersama keluarga, tertawa bersama, dan menghangatkan hati bersama dalam kebersamaan –
"...Huh!?" Mata Tsuna langsung terbelalak saat menyadari bahwa dirinya sedang ketiduran di atas jejeran kardus yang ia pungut sore tadi, "Baru saja aku bermimpi indah tentang keluargaku." Tsuna baru sadar bahwa dirinya kini sedang berada di lingkungan bekas bangunan pabrik yang terbengkalai, terlihat cocok di jadikan sebagai tempat uji nyali. Greget.
Tap! Tap! Tap!
Terdengar suara telapak kaki berjalan yang semakin lama semakin jelas terdengar. Tsuna panik bukan kepalang, tubuhnya langsung begetar seperti orang menggigil kedinginan, matanya mulai melebar seperti terkena tekanan shock yang belebihan, di bagian selangkangan sedikit ada rasa hangat dan juga melegakan.
Tunggu-tunggu! Ngompol?
Greget.
"Bre-brengsek... aku sedikit ngompol." Rutuk Tsuna sambil memegangi kepalanya sendiri.
Tap! Tap! Tap!
Satu sosok kecil masuk ke dalam lingkungan pabrik.
"GYAHH..." Membuat Tsuna berteriak histeris. Calon Bos Mafia macam apa ini? Memalukan. "Tolong jangan makan aku, dagingku alot, tidak bergizi, dan aku belum mandi."
Setelah beberapa saat terjebak dalam kepanikan yang tidak jelas disebabkan oleh apa, Tsuna akhirnya bisa mengendalikan dirinya lagi. Seorang anak kecil Tsuna lihat dengan tenang melangkah memasuki gedung bekas pabrik itu, tanpa sedikitpun ada rasa gentar.
"Hei, adik ngapain ke situ?" Tsuna mencoba memanggil dan menarik perhatian dari anak kecil yang rambutnya di kuncir kuda tersebut, namun sayang panggilannya tidak sedikitpun di sahut oleh anak itu. Ada sesuatu yang tidak beres. "Hei, tunggu!" Tsuna akhirnya bangkit dan kemudian menyusul kepergian anak itu.
Saat Tsuna baru masuk kedalam gedung, bau amis menyengat langsung mengisi semua rongga lubang hidungnya. Cowok berambut jabrik itu dapat merasakan hawa dingin yang terasa aneh, dan sekarang ia dapat merasakan kalau semua bulu kuduknya berdiri. Sangat jelas.
Tap! Tap! Tap!
Kembali Tsuna mendengarkan sebuah langkah yang terus menapak, membuat ruangan kosong dan gelap itu menghasilkan sebuah gema. Firasatnya kembali mengingatkan kalau mungkin akan ada sesuatu yang buruk disini, dan itu membuat Tsuna tersadar.
Merogoh dan kemudian memakai sarung tangan wol kesukaannya, Tsuna akhirnya kembali untuk mencari anak yang terlbih dahulu masuk kedalam gedung ini. Sekarang terasa sepi, tak terdengar lagi suara gema langkah yang mengisi seluk-beluk ruangan kosong gedung itu. Terlebih dengan kurangnya penerangan disana, membuat pencarian akan semakin bertambah sulit.
Setelah menulusuri lebih dalam dengan memakai senter yang menjadi perangkat Hp miliknya, Tsuna akhirnya dapat menemukan anak kecil yang di carinya sedari tadi. Dapat ia lihat dari kejauhan kalau anak itu sedang berdiri mematung menatap sebuah dinding, tak bergerak dan tak bersuara.
Tsuna mengambil langkah kembali menuju anak itu, "Hei, apa yang kau –" Ucapannya langsung terhenti ketika dengan sangat jelas kedua matanya menatap seekor makhluk yang tak jelas bentuk tubuhnya tiba-tiba berdiri di depan anak itu. Mata merah menyala yang terlihat jelas dalam kegelapan, menyorot tajam kearah anak kecil yang Tsuna cari.
"HEI, CEPAT LARI DARI SAN –"
JRATT!
Tsuna berhenti berlari karena menyadari kalau dirinya sudah terlambat. Ada rasa tidak percaya yang besar yang saat ini mengganjal di hatinya, rasa takut dan rasa sedih, marah dan menyesal semua seolah menjadi satu. Ia pernah merasakan ini, ia pernah mengalami goncangan ini, dan inilah yang paling tidak pernah ia sukai.
Ia gagal.
Sekali lagi ia gagal menyelamatkan nyawa seseorang.
Menyedihkan.
Melihat bagaimana makhluk dengan bentuk tak jelas itu menikmati setiap jilatan dan kunyahan dari kepala manusia yang ia telan hidup-hidup, mau tak mau membuat air mata yang selama ini Tsuna bendung akhirnya keluar. Dia menangis, seperti ikut merasakan kesedihan pada korban yang sedang di makan makhluk itu.
BUFF!
Sebuah kobaran api kecil tiba-tiba muncul tepat di dahi Tsuna, api yang dapat menerangi segalanya. "Kau, tidak akan kumaafkan."
To be Continued...
A/N: Etto... ini Fic untuk minggu ini, untuk minggu depan bakal saya update dua Fic sekaligus.
.
Salam Lolicon.
